PENDIDIKAN PEMUDA

Posted by Unknown on 18:09


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Generasi Pemuda adalah generasi yang memiliki peran yang sangat penting di dalam suatu pembangunan. Diantara yang menunjukan hal itu adalah apa yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq t ketika memilih Zaid bin Tsabit t untuk mengumpulkan Al-quran, Beliau berkata kepada zaid :
"إنك رجل شاب عاقل لا نتهمك "
Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang berakal, dan kami tidak pernah mencurigai atau menuduhmu[1]
Inilah kriteria yang dijadikan pedoman oleh Abu Bakar tuntuk memilih Zaid tyaitu : pemuda, berakal dan tidak pernah dicurigai atau dituduh, yang ini menandakan bahwa Zaid t memilik Keilmuaan dan ketakwaan. Karena dengan kedua poin inilah sebuah generasi menjadi generasi yang bermanfaat.Generasi seperti ini disebut dengan generasi rabbani.
            Namun sangat disayangkan, pada zaman sekarang ,pemuda yang seharusnya menjadi pelopor dalam pembangunan, malah banyak melakukan hal-hal yang  merusak, seperti melakukan tawuran dan mengkonsumsi narkoba, bahkan sampai ada yang berani untuk membacok gurunya dan aparat keamanan[2]. Hal ini disebabkan karena sebagian para pemuda tidak memiliki apa yang dimiliki oleh Zaid bin Tsabit t yaitu keilmuan dan ketakwaan.Kedua hal tersebut haruslah beriringan sehingga akan membentuk suatu kepribadian yang membangun. Karena apabila seseorang hanya mempunyai ilmu saja dan tidak mempunyai ketakwaan, dapat membuatnya sombong , sebagaimana yang terjadi pada Qarun. Allah U berfirman menceritakan tentang Qarun ketika ia diingatkan oleh kaumnya :
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka” (QS. Al-Qashash: 78)
            Maka dari itu merupakan tugas dan tantangan bagi para pendidik untuk membentuk generasi pemuda masa kini menjadi generasi yang memiliki keimanan dan ketakwaan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang harus diajarkan kepada para pemuda sehingga mereka dapat memiliki keilmuan dan ketakwaan ?
2.      Metode seperti apa yang harus dilakukan di dalam pendidikan agar menghasilkan pemuda yang berilmu dan bertakwa ?






BAB II
KAJIAN TEORITIS

A.    Makna Pendidikan
Pendidikan memiliki dua definisi, yaitu definisi yang luas dan definisi yang sempit. Adapun definisi pendidikan secara luas adalah seluruh proses yang terjadi dalam mengembangkan jiwa seseorang ke arah positif, baik jasmani, akal, maupun ruhani.
Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa seluruh proses, baik yag berasal dari dalam diri seseorang, atau yang berasal dari orang lain, maupun yang berasal dari lingkungan yang terjadi dalam rangka mengembangkan jiwa ke arah yang positif dari segala aspeknya, maka ini dinamakan pendidikan.
Adapun pengertian pendidikan yang sempit adalah apa yang dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir dari definisi Marimba yaitu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa arti pendidikan secara sempit adalah pendidikan yang terbatas pada salah satu proses pendidikan, yang pada definisi Marimba, pendidikan terbatas pada kegiatan pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik berupa orang (jadi ada orang yang mendidik). Dari definisi tersebut maka pengaruh masyarakat, pengaruh alam, maupun hasil pemikiran seseorang dari alam sekitar tidak dinamakan pendidikan, oleh karena itulah definisi seperti ini dikategorikan sebagai definisi pendidikan yang sempit[3]. Dan pada makalah ini, definisi yang akan digunakan untuk kata pendidikan adalah definisi yang sempit.
B.     Makna Pemuda
Pada Bab 1 Pasal 1 No. 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan disebutkan bahwa “Pemuda adalah warga negara Indonesia yangmemasuki periode penting pertumbuhan danperkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai30 (tiga puluh) tahun”. Namun batasan umur ini pun tidak lepas dari perdebatan, bahkan undang-undang itu pun tidak lepas dari gugatan[4]. Oleh karenanya, untuk definisi pemuda di makalah ini, akan dipakai apa yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa umur pemuda dimulai pada saat seseorang telah mencapai baligh[5].
            Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan pemuda adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani anak didik yang telah mencapai usia pemuda menuju terbentuknya kepribadian yang utama.














BAB III
KAJIAN TAFSIR

Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dalam seluruh aspek kehidapannya, termasuk masalah pendidikan pemuda. Di antara ayat-ayat yang berbicara tentang pendidikan pemuda adalah ayat 22 dari surat Yusuf, dan ayat 102 surat Ash-Shafaat. Allah berfirman :
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (٢٢)
“Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Yusuf: 22)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ash-Shafat: 102)
            Ayat pertama menjelaskan bahwa ketika Nabi Yusuf  telah mencapai umur dewasa, Allah memberikan kepadanya ilmu dan hikmah. Ahli tafsir berbeda pendapat dalam menentukan berapa umur tersebut. Ibnu Abbas t berpendapat bahwa umur Nabi Yusuf pada saat itu 33 tahun. Imam Adh-Dhahak berpendapat 20 tahun. Sedangkan imam Malik, Imam Asya’bi, dan Zaid Ibn Aslam mengatakan bahwa itu adalah waktu baligh[6]. Perbedaan penentuan umur ini terjadi karena memang tidak dijelaskan batasan pasti umur tersebut di dalam Al-qur’an. Namun intinya umur tersebut menunjukan masa kedewasaan yang dimulai saat seseorang sudah mencapai baligh sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Malik. Fase inilah yang disebut dengan fase pemuda. Pada saat itulah Allah memberikan kepada Nabi Yusuf ilmu dan hikmah.
            Adapun makna ilmu dan hikmah, Syeikh Abu Bakar Al-Jazairy mengatakan bahwa hikmah adalah melakukan sesuatu dengan benar, adapun ilmu adalah pemahaman yang lurus tentang agama[7]. Imam Al-Baghawy mengatakan bahwa seorang yang alim adalah orang yang mengetahui hakikat suatu perkara, adapun orang yang hakim adalah adalah orang yang mengerjakan sesuatu berdasarkan ilmu[8].
            Dari pemaparan di atas dapat difahami bahwa hikmah lebih dari sekedar ilmu. Dr. Akhmad Alim menyimpulkan bahwa hikmah mencakup rukun-rukun berikut :
·         Ilmu yang Argumentatif yang bersih dari kekliruan ( al-ilmu muhakkamah), jauh dari kebodohan, sehingga dapat mengubah keadaan menuju perbaikan aqidah, ibadah dan akhlak
·         Sikap lembut dan persuasif dalam menyampaikan pesan (al-hilmu)
·         Kondisional, yaitu melihat kondisi tingkat pemahaman, dan melakukan pentahapan sehingga mudah dipahami dan diikuti.
·         Berorientasi pada kebenaran ( ishabah al-haq)[9].
Maka dari ayat pertama ini dapat disimpulkan bawa untuk membentuk generasi pemuda yang rabbani haruslah ditanamkan dan diajarkan kepada merekailmu tentang agama dan seluruh aspek kehidupan, serta tentang bagaimana mengaplikasikan ilmu tersebut pada dirimereka sehingga akan berkembang menjadi pemuda yang tidak hanya memiliki ilmu saja, akan tetapi pemuda yang memiliki ilmu dan hikmah.
            Pada ayat kedua Allah U mengajarkan tentang bagaimana berkomunikasi kepada pemudamelalui kisah Nabi Ibrahim ketika ia mengkabarkan kepada putranya yaitu Nabi Ismail, bahwa ia menerima perintah untuk menyembelihnya.Ibnu Katsir menyebutkan bahwa saat itu Nabi Ismail berada pada usia muda, pada saat ia telah mampu mengerjakan pekerjaan ayahnya[10]. Hal berharga yang dapat diperoleh dari kisah ini adalah bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, yaitu walaupun ia tahu bahwa ia harus tetap menyembelih anaknya karena itu merupakan perintah Allah U, akan tetapi ia lebih dahulu mengajak dialog putranya tentang perintah yang diperolehnya. Ibnu Katsir menyebutkan faedah dari hal itu adalah agar meringankan perasaan anaknya sekaligus untuk menguji kesabaran anaknya di dalam ketaatan kepada Allah U[11]. Maka sudah sepantasnya bagi para pendidik untuk mempergunakan metode dialog kepada para pemuda, karena hal tersebut lebih mudah untuk diterima mereka, walaupun sebenarnya hal yang kita diskusikan memang harus dilaksanakan tanpa persetujuan mereka.








BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI

   Dari Pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulan, untuk membentuk generasi pemuda berkualitas yang memiliki keimanan dan ketakwaan, perlu diterapkan konsep-konsep berikut :
1.      Pendidik yang berbasis keilmuan yang argumentatif yang bersih dari kekeliruan.
·         Hendaknya setiap pendidik selalu membekali dirinya dengan ilmu yang benar, yang sesuai dengan ajaran islam.
·         Hendaknya setiap pendidik berusaha mengamalkan ilmu yang dimilikinya sehingga menjadi contoh bagi peserta didiknya.
2.      Menerapkan tujuan pendidikan islam di dalam visi dan misi lembaga pendidikan.
3.      Pembelajaran dengan kurikulum dan metode yang tepat yang sesuai dengan konsep pendidikan islam.
·         Membenahi kurikulum pendidikan sehingga sesuai dengan tujuan pendidikan islam (Kurikulum berbasis ilmu dan hikmah).
·         Menyesuaikan bahan ajar dengan jenjang pendidikan.
·         Menggunakan metode yang tepat di dalam pengajaran.






BAB V
PENUTUP

Pemuda berkualitasadalah pemuda yang meiliki keilmuan dan ketakwaan. Generasi tersebut tidaklah muncul dengan sendirinya, akan tetapi melalui proses pendidikan yang benar, yang mempunyai tujuan dan kurikulum yang lurus sesuai dengan ajaran islam. Oleh karena itu, untuk membentuk generasi pemuda zaman sekarang agar menjadi generasi pemuda yang memiliki ilmu dan ketakwaan, hendaknya para pendidik dan pemerhati pendidikan mengaplikasikan konsep ilmu yang benar dan konsep tarbiyah islamiyah di dalam segala aspek pendidikan.















DAFTAR PUSTAKA

Albaghowy, Ma’alimut Tanzil, Riyadh : Dar Thayyiibah, 1409 H.
Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, Bairut: Muassasah Ar-Risalah,2010.
Alim, Akhmad, Tafsir ayat Pendidikan, Jakarta : AMP Press,2014, Cet. I.
Al-Jazairi, Abu Bakar, Aisarut Tafasir, Madinah : Dar Ulum wal Hikam.
Ibnu Katsir, Tafsir Al-qur’an Al-‘Azhim, Riyadh : Ad-Dar Ath-Thayyibah,1999.
Tafsir, Ahmad, ilmu pendidikan islam, Bandung : Rosda, 2013, cet.II.

                                                                                      


[1] HR. Bukhari dalam shahihnya, Bab Jam’ul Qur’an, hadits no. 4986
[2] http://www.merdeka.com/peristiwa/parahnya-kelakuan-pelajar-zaman-sekarang-guru-saja-dibacok.html
3Ahmad Tafsir,ilmu pendidikan islam, Bandung : Rosda, 2013, cet.II, hal.34
[4] Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f8b8555a486/pengurus-knpi-gugat-batas-usia-pemuda
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al-qur’an Al-‘Azhim, Riyadh : Ad-Dar Ath-Thayyibah,1999, Jilid IV, hal. 378
[6] Ibnu Katsir, Tafsir Al-qur’an Al-‘Azhim, Riyadh : Ad-Dar Ath-Thayyibah,1999, Jilid IV, hal. 378
[7] Abu Bakar Al-Jazairi, Aisarut Tafasir, Madinah : Dar Ulum wal Hikam, Jilid 2, hal 603
[8] Albaghowy, Ma’alimut Tanzil, Riyadh : Dar Thayyiibah, 1409 H, Jilid IV, hal. 227
[9] Akhmad Alim, Tafsir ayat Pendidikan, Jakarta : AMP Press,2014, Cet. I, hal. 137
[10] Ibnu Katsir, Tafsir Al-qur’an Al-‘Azhim, op., cit., Jilid VII, hal. 27
[11] Ibid hal. 28