PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA
Posted by Unknown on 20:46
Oleh: Abdul Kahar, S.Pd.I
I. Riwayat
Hidup Ibnu Sina
Ibnu Sina dalam sejarah pemikiran Islam dikenal sebagai intelektual
Muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir tahun 900 M. Ayahnya bernama
Abdullah bersal dari balkh, suatu kota yang termahsyur dikalangan orang-orang
Yunani dengan nama Bakhtra yang mengandung arti cemerlang. Hal ini sesuai
dengan peran yang pernah dimainkan kota tersebut, yaitu selain sebagai pusat
kegiatan politik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.[1]
Sebagai tempat kedudukan raja-raja Yunani, Balkh atau Bakhtra selain
memainkan peranan sebagaimana disebutkan di atas, juga pada periode tertentu
pernah menjadi pusat peradaban Yunani (Helenic), dan setelah
kedudukannya itu ia termasuk orang Persia atau orang Turki. Upaya perebutan
untuk menetapkan dari daerah mana Ibnu Sina berasal itu di atas terjadi di
belakang hari, yaitu setelah diketahui kehebatan Ibnu Sina sebagai salah
seorang intelektual Muslim kelas dunia.
Tampilnya Ibnu Sina sebagai sosok intelektual Muslim kelas dunia itu
erat kaitannya dengan latar belakang pendidikan dan kecerdasannya. Sejarah
mencatat bahwa Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di Bukhara
kota kelahirannya. Pelajaran yang pertama kali ia pelajari adalah membaca
Al-Qur’an. Setelah itu ia lanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu keislaman
seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan
kecerdasannya, Ibnu Sina mampu menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai
cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun itu.
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mengajari Ibnu Sina adalah
Mahmud al-Massah yang dikenal sebagai ahli matematika India dan juga seorang
pengikut ajaran Isma’iliyah.
Kemudian terdapat pula nama Abi Muhammad Isma’il Ibn al-Husayni yang
kemudian dikenal dengan nama al-zahid dan termasyhur sebagai salah seorang ahli
fiqh bermazhab Hanafi di Bukhara pada saat itu, Ibnu Sina belajar ilmu fiqh.
Kemudian ilmu manthiq dan falsafah Ibnu Sina berguru kepada Abi’Abdillah
al-Natili. Menurut keterangan Ibnu Sina mempelajari kitab Isago dalam bidang
manthiq, kemudian dilanjutkan mempelajari permasalahan yang terdapat dalam
kitab Aklides dan kitab al-Majesthi.[2]
Selanjutnya dengan cara otodidak Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran
secara mendalam hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya.
Hal demikian didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitiannya dan praktek
pengobatan. Berkenan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa Ibnu
Sina mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali Abi Sahl al-Masihy dan Abi Mansur
al-Hasan Ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian ilmu kedokteran mengalami
perkembangan yang didukung oleh keluasan teoritis dan praktis. Hal ini termasuk
salah satu keistimewaan zaman keemasan Islam, yakni antara ilmu falsafah yang
bersifat teoritis dengan ilmu kedokteran yang bersifat praktis tercapai suatu
hubungan yang harmonis.
Pelajaran lain yang diperdalam oleh Ibnu Sina secara otodidak adalah
falsafah dengan berbagai cabangnya. Dalam bidang ini, Ibnu Sina nampak lebih
mencurahkan perhatiannya dibandingkan dengan lainnya. Hal ini antara lain
diperlihatkan oleh dirinya yang tak pernah tidur secara sempurna, karena ia
senantiasa terbenam dalam kegiatan membaca dan menulissepanjang malam. Dan jika
ia diserang kantuk ia segera mengalihkan perhatian pada minuman-minuman yang
mengandung ramuan yang dapat membangkitkan daya tahan tubuhnya.
Dalam mempelajari bidang filsafat
tersebut, Ibnu Sina mengakui al-Farabi sebagai gurunya. Karena ia mempelajari
kitab-kitab karangan al-Farabi, khususnya kitab yang berjudul Aghrad Ma
ba’da al-Tabi’ah (Tujuan Mempelajari Metafisika). IbnuSina mengaku pernah
memahami falsafah ketuhanan berkali-kali, namun semua itu tidak menghasilkan
apa-apa, kecuali setelah membaca karangan al-Farabi. Itulah sebabnya ia mengaku
al-Farabi sebagai gurunya, walaupun ia tidak pernah belajar langsung darinya.
Hasil bacaannya terhadap karangan al-Farabi itu telah mempengaruhi garis
pemikiran falsafahnya, karena pengaruh al-Farabi melalui keterangan filsafatnya
yang demikian, filsafat menjadi jelas, khususnya dalam memperlihatkan unsur
Neo-Platonisme dengan kitab-kitab Aristoteles.
Setelah Ibnu Sina belajar berbagai ilmu pada beberapa ilmuan sebagaimana
disebut di atas, ia juga ndisebutkan berjumpa dengan sebagian besar ulama
terkenal pada zamannya, seperti Ibnu Maskawaih, Abu al-Raihan, al-Biruni, Abu
Qasim al-Kirmany, seorang tabib yang bernama Abu al-Fajr dan lainnya. Namun
demikian tidak disebutkan ilmu-ilmu apa saja yang dipelajari Ibnu Sina beberapa
ilmuan tersebut. Informasi lain menyebutkan bahwa Ibnu Sina pernah juga belajar
kepada seorang ilmuan kenamaan, Abu Bakar al Khawarizmi, dan ia telah membantu
gurunya itu dalam menuliska sebagian bukunya yang berjudul Dewan.[3]
Tidak hanya dalam bidang filsafat dan ilmu agama saja, ilmu politikpun
dipelajari oleh Ibnu Sina sejak dini dari ayahnya, yaitu ketika ia selalu
disuruh ayahnya untuk mendengarkan berbagai uraian mengenai politik. Tentang
keterlibatan ayahnya dalam bidang politik, khususnya politik Syi’ah Isma’iliyah
diceritakan oleh Ibnu Sina sebagai berikut: “Aku sering mendengarkan
perbincangan ayahku dengan salah seorang propagandis yang menganut Syi’ah
Isma’iliyah dari mesir. Aku mengetahui pendirian mereka, tetapi jiwaku tidak
mau menerimanya.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ibnu Sina, sungguhpun
pernah berhubungan dengan penganut Syi’ah, namun ia bukanlah penganut aliran
tersebut.
Pendalaman dan penguasaan Ibnu
Sina terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan ketika ia memperoleh
kesempatan untuk mempergunakan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang saat itu
menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa Ibnu Sina
yang berhasil mengobati penyakit tersebut hingga subuh. Dengan menenggelamkan diri
membaca buku-buku yang terdapat di perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil
mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan.
Pekerjaan pertama yang ia lakukan adalah membantu tugas-tugas pangeran
Nuh bin Mansyur, sebagaimana halnya dilakukan orang tuanya dulu. Pekerjaan yang
ia lakukan sejalan dengan keahliannya sebagai ilmuan. Misalnya ia diminta untuk
menyusun buku kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al-Arudy. Untuk
ini Ibnu Sina menulis buku yang berjudul al-majmu’. Selain ilmu
al-Riyadiyat. Selanjutnya ia menulis buku yang berjudul al-Hashil wa
al-Mahshul dan al-Birr wa al-Islam atas perintah Abu Bakar al-Barqy
al-Hawarizmy.
Ketika Ibnu Sina berusia 20 tahun, ayahnya meninggal dunia, dan dalam
tubuh kerajaan Samani mulai timbul kemelut politik. Dua orang putra kerajaan
yang bernama Mansyur dan Abdul Malik saling berebut kekuasaan. Peristiwa yang
berlangsung satu tahun tujuh bulan ini berakhir dengan kemenangan dipihak Abdul
Malik. Selanjutnya dalam suasana yang masih kacau dan belum stabil itu datang
pula serbuan dari kesultanan Mahmud yang berpusat di Bukhara jatuh ke tangan
penyerbu itu.
Di dalam bukunya Abuddin Nata diceritakan adanya perpindahan dinasti
Samani kepada dinasti Ghaznawi di daerah Bukhara itu telah memberikan
keuntungan kepada Ibnu Sina, karena selain hilangnya fitnah yang pernah
dijatuhkan Sultan Samani atas dirinya, yaitu tuduhan sebagai pembakar
perpustakaan. Mahmud al ghaznawi dikenal sangat kuat berpegang kepada Al-Qur’an
dan al-Sunnah, dan Ibnu Sina khawatir jika prinsip itu diterapkan dalam
pemerintahan di Bukhara. Ibnu Sina segera memutuskan untuk meninggalkan Bukhara
sebelum Sultan tersebut menerap sistem kekuasaannya di daerah tersebut.
Daerah yang dituju kepergian Ibnu Sina itu adalah Karkang yang pada saat
itu termasuk Ibu kota al-Khawarizm. Dan ia langsung melapor kepada rajanya yang
bernama Ali bin Ma’mun. Di kota inilah Ibnu Sina berkenalan dengan para pakar
ilmu pengetahuan rasional seperti Abu al-Khair al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin
yahya al-Masihy al-Jurjany, Abu al-Rahyan al-Biruny, dan Abu Nashr al-‘Iraqy.
Dalam pada masa itu Syam al-Daulah salah seorang putera dari al-Sayyidah juga
menderita sakit, dan dia juga meminta Ibnu Sina agar bersedia mengobatinya.
Momentum ini dimanfaatkan sebaik-baik mungkin oleh Ibnu Sina untuk lebih
mendekatkan diri dengann penguasa. Dan masih banyak yang dikerjakan Ibnu Sina
dalam memperbaiki situasi dalam berbagai macam bidang seperti: politik, sosial,
ekonomi, dan perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kehidupan beragama.
II. Dasar-dasar
Pemikiran Ibnu Sina
A.
Konsep Ibnu Sina Mengenai Manusia
Pembahasan mengenai manusia yang biasanya
terintegrasi dengan pembahasan mengenai jiwa telah menjadi salah satu kegemaran
para filosof Muslim, termasuk Ibnu Sina. Pembahasan Ibnu Sina mengenai manusia
dalam hubungannya dengan jiwa ini dapat ditelusuri karya tulisnya seperti kitab
al-Syifa’ dan al-Najah.[4]
Dalam hubungan dengan jiwa, Ibnu Sina
pernah mengatakan “barang siapa yang ingin memperoleh gambaran yang lengkap
dan sempurna mengenai pandangan tentang jiwa ini hendaknya ia menelaah seluruh
karya tulis yang saya susun sejak dari usia muda hingga saya wafat”.
Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa perhatian Ibnu Sina terhadap
jiwa sangat besar. Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa ini sebagaimana nanti akan
dijelaskan banyak dijadikan dasar bagi perumusan konsep manusia dan sekaligus
digunakan untuk menentukan potret manusia yang akan dibentuk melalui
pendidikan.
Berkenaan dengan pembahaan jiwa ini Ibnu
Sina menguraikan mengenai berbagai daya yang dimiliki oleh jiwa serta
tahap-tahap yang mesti dilalui dalam rangka memperoleh kesempurnaan. Jiwa ini
berhubungan dengan unsur jasmani dan mengacu kepada daya yang berbuat atas
dasar ketundukan semata-mata. Selanjutnya pada jiwa binatang terdapat dua daya,
yaitu daya gerak dan menangkap. Daya menangkap ini dibagi lagi menjadi dua,
yaitu daya menangkap dari luar dengan bantuan panca indera dan daya menangkap
dari dalam dengan bantuan indera-indera yang terdiri dari empat macam, yaitu:
1. Indera bersama (al-hiss al-mutkhayyilah
= commor sense)yang menerima segala
apa yang ditangkap oleh panca indera.
2. Refresentasi (al quwwah al-mutakhayyilah
= imagination) yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi.
3. Estimasi
(al-quwah al-wahmiyah = imagination), yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang
terlepas dari materinya seperti keharusan lari bagi kambing dari anjing
srigala.
4. Rekoleksi
(al-quwwah al-hafidzah = recollection) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh
estimasi[5].
Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa daya yang terdapat pada jiwa
binatang ini berbeda dengan daya yang terdapat pada jiwa tumbuh-tumbuhan. Daya
seperti ini dalam teks Arabnya Artinya: “Jiwa binatang adalah nama bagi daya
yang berbuat atas ke inginan dan pilihan”.
Daya yang terdapat pada jiwa binatang dapat menyempurnakan daya yang
terdapat pada jasad sehingga memiliki kemampuan melaksanakan fungsi-fungsi
psikologisnya dengan baik. Selanjutnya Ibnu Sina menguraikan mengenai jiwa
manusia. Menurutnya jiwa manusia ini memiliki dua daya yaitu:
1. Daya praktis (al-‘alimah atau al-nadzariyah)
yang ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat abstrak.
2. Daya teoritis (berfikir)ini kemudian
dibedakan menjadi: akal material (al-‘aql al-hayulany),yaitu akal yang
baru memiliki potensi untuk berfikir namun belum di latih sedikitpun mengenai
kemampuan berfikirnya itu
Ketiga macam jiwa tersebut, yakni jiwa tumbu-tumbuhan, jiwa binatang,
dan jiwa manusia dengan seluruh daya yang dimilikinya terdapat pada manusia.
Dengan kata lain bahwa pada diri manusia itu selain terdapat jiwa manusia juga
terdapat jiwa tumbu-tumbuhan dan jiwa binatang dengan segala daya yang
dimilikinya. Selanjutnya Ibnu Sina mengatakan bahwa ketiga macam jiwa tersebut
dapat berpengaruh pada diri manusia, jika jiwa tumbu-tumbuhan yang berpengaruh
pada diri manusia, maka manusia tersebut tabi’atnya seperti tumbu-tumbuhan yang
hanya hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak, tetapi tidak memiliki kehendak
dan kemauan serta tidak memiliki kehendak untuk bekerja dan berfikir.
Selanjutnya jika jiwa binatang yang mempengaruhi diri manusia, maka
manusia tersebut dapat menyerupai binatang. Dalam arti tidak dapat memikirkan
hal-hal yang bersifat abstrak dan tidak pula dapat menerima limpahan ilmu dari
tuhan. Selain itu Ibnu Sina juga menganut prinsip bahwa manusia itu secara
fitrah memiliki tabi’at yang netral,yakni tidak baik dan tidak buruk. Manusia
dapat berubah menjadi baik atau buruk tergantung pada lingkungan yang
mempengaruhinya.[6]
B.
Konsep Ibnu Sina Mengenai Masyarakat
Menurut Ibnu Sina bahwa dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya,
manusia sebagai ciptaan Tuhan tidak mungkin dapat hidup menyendiri. Ia
membutuhkan peranan orang lain yang dapat membantu memenuhi kebutuhan hidupnya
itu. Orang lain yang mereka harapkan bantuannya itu berada di masyarakat. Dari
keadaan ini, dan ia mau tidak mau harus hidup di tengah-tengah masyarakat, yang
membedakan manusia dengan binatang, manusia tidak bisa hidup menyendiri.
Menurut Ibnu Sina bahwa kelangsungan hidup seseorang mesti di dukung oleh orang
lain.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah SWT. Menciptakan manusia dalam keadaan
yang tidak sanggup hidup seorang diri atau hidup dengan sendirinya. Hal ini
sejalan dengan firman
Allah yang artinya:
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.(QS. Al-Maidah:
2).
Lebih lanjut
Ibnu Sina mengemukakan teori tentang adanya perbedaan lapisan dan tingkatan
hidup dalam masyarakat. Perbedaan ini tercipta karena adanya dasar perbedaan
yang dimiliki manusia sejak lahir. Manusia memiliki perbedaan dari segi
intelektual, harta benda, bakat dan kecendrungan. Selanjutnya Ibnu Sina
mengatakan bahwa manusia juga memiliki perbedaan tingkatan dalam kecendrungan,
anugerah dan kekuatannya. Keberadaan manusia dan kelangsungan hidupnya mesti
bekerja sama dan menjalin kesatuan dengan sesamanya.
Selanjutnya
Ibnu Sina mengatakan bahwa setiap masyarakat memerlukan undang-undang yang
mengatur urusannya. Undang-undang ini harus diciptakan oleh orang-orang yang
memiliki keunggulan yang lebih dari manusia lainnya.
Uraian tersebut menunjukan bahwa kelangsungan hidup suatu masyarakat
memerlukan adanya pengatur yang memiliki keunggulan komperatif dan kekuatan
luar biasa yang dapat menjadi faktor pendukung dalam melaksanakan tugasnya itu.
Pengatur tersebut adalah seorang Nabi. Dengan adanya pengatur yang demikian
itu, masyarakat akan mematuhi dan memegang teguh ajaran-ajaran yang
disampaikannya dengan rela. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan suasana
damai dalam masyarakat. Mengenai posisi Nabi dalam hubungannya dengan
kepemimpinan di masyarakat itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa pemimpin masyarakat
yang memiliki kualitas seperti Nabi itu adalah merupakan dasar syari’at atau
tempat kembali segala masalah kemasyarakatan. Nabi bertugas mengatur segala
urusan masyarakat sesuai dengan kehendak Allah dan wahyu-Nya.
Dengan demikian seorang nabi harus membiasakan perbuatan yang baik
kepada manusia dan mengingatnya agar senantiasa memutuhi ajaran Tuhan. Selain
itu fungsi seorang Nabi tidak hanya sebagai pengatur bidang sosial dan ibadah
saja, melainkan juga mengatur urusan masyarakat, mulai dari yang bersifat
ringan, dan sederhana, sampai dengan yang bersifat berat dan rumit. Khususnya
mengenai bidang ibadah, Ibnu Sina menyebutkan seperti shalat, puasa, zakat,
haji dan jihad di jalan Allah. Tugas lain seorang Nabi adalah menyangkut bidang
pengaturan keluar masuk keuangan Negara secara baik dan benar.
C.
Kosep Ibnu Sina Mengenai Ilmu Pengetahuan
Mengenai ilmu pengetahuan menurut pandangan Ibnu Sina akan berpijak pada
tiga aspek ilmu pengetahaun tersebut, yaitu aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
Ibnu Sina secara konsisten memulai pembahasannya dalam bidang ilmu
pengetahuan bertolak dari pandangannya mengenai daya-daya yang dimiliki oleh manusia.
Yaitu daya jasmani, daya berfikir (akal) dan daya rohani yang tertinggi (al-tadats).
Persoalan selanjutnya adalah: apakah yang dimaksud dengan al-quwwah
al-nazariah ( Akal) itu ?
Terhadap persoalan-persoalan tersebut di atas, Ibnu Sina memulai jawabannya
dengan mengatakan bahwa al-nazariah (Akal) itu bersifat fitri, yakni
merupakan anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia.
Tahap pertama daya nazariah (akal) itu tidak memiliki sedikitpun
pengetahuan, seperti keadaan yang terdapat pada anak kecil. Tahap kedua
nazariah itu mulai terbentuk dan tumbuh untuk siap menerima pengetahuan,
yaitu ketika seseorang mulai sampai pada tahap tamyiz (mampu membedakan
antara yang salah dan yang benar). Tahap ketiga, terjadi ketika daya al-nazariah
itu telah memberikan dalam ingatan (al-zihn) manusia, tetapi ia masih
lupa padanya. Untuk itu dapat diwujudkan ketika ia menghendaki. Akal serupa ini
dinamai akal al-fi’l, yaitu akal yang telah dapat berfikir mengenai
hal-hal yang abstrak.
Para ahli yang meneliti konsep pengetahuan Ibnu Sina umumnya mengatakan
bahwa karya Ibnu Sina bahwa yang membicarakan panjang lebar mengenai falsafah
pengetahuan adalah al-Syifa’. Sesuai dengan keahliannya, dibidang
falsafah, Ibnu Sina membagi ilmu pengetahuan melalui paradigma filosofis.
Menurutnya ilmu pengetahuan itu induknya adalah filsafah. Mengetahui
benda-benda yang wujudnya tidak bergantung kepada kemauan manusia itu disebut
filsafat teoritis, sedangkan bagian kedua disebut filsafat praktis.
Menurut Ibnu Sina bahwa filsafat teoritis itu bertujuan untuk
menyempurnakan jiwa (al-nafs) dengan mengetahui. Sedangkan filsafah
praktis tujuannya bukan sekedar menyempurnakan jiwa dengan pengetahuan, tetapi
melakukan perbuatan yang sesuai dengan kehendak pengetahuan itu. Ibnu Sina
membagi filsafah menjadi tiga macam ilmu yaitu:
1. Ilmu tabi’i yang disebut ilmu yang
paling bawah.
2. Ilmu matematika yang disebut ilmu
pertengahan.
3. Ilmu ketuhanan , yang disebut sebagai ilmu
yang paling tinggi, dilihat dari segi kebenarannya dari materi.[7]
Filsafat praktis juga terbagi kepada tiga
ilmu, yaitu:
1. Ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara-cara
mengatur tingkah laku manusia dan kesucian dirinya.
2. Ilmu mengatur rumah tangga, yang mengkaji
hubungan antara suami dan istrinya, anak-anaknya dan pembantu-pembantunya,
kemudian juga mengkaji tentang masalah pengaturan nafkah dalam kehidupan rumah
tangga.
3. Ilmu politik yang mengkaji tentang
bagaimana sepatutnya hubungan-hubungan masyarakat dalam suatu kota, hubungan
antara berbagai kota, dan hubungan berbagai Negara. Juga mengkaji tentang
berbagai jenis politik, kepemimpinan dan masyarakat yang luhur dan hina dina.
Selanjutnya Ibnu Sina mengatakan bahwa semua cabang dari filsafah
praktis tersebut baru terlaksana apabila didasarkan pada pemikiran akal dan
petunjuk syari’at.
D.
Konsep Ibnu Sina Mengenai Akhlak
Ibnu Sina berpendapat bahwa akhlak adalah kecakapan dalam bentuk
perbuatan yang timbul dari dorongan jiwa yang dilakukan dengan mudah, tanpa
didahului oleh pemikiran dan perbuatan. Konsep Ibnu Sina mengenai akhlak ini nampak
sejalan dengan ketentuan pembinaan akhlak yang terdapat dalam tradisi Islam,
yaitu tradisi yang mengarahkan.
Uraian Ibnu Sina mengenai akhlak yang terpuji dan tercela dalam
hubungannya dengan unsur kejiwaan yang ada pada diri manusia itu hamper sejalan
dengan pandangan al-Ghazali (1059-1111 M). Menurut al-Ghazali, induk segala
akhlak yang baik itu ada empat, yaitu: bijaksana (himah), keberanian (syajalah),
memelihara diri dari maksiat (‘iffah), dan keadilan (‘adl).[8]
Selanjutnya perlu juga dikemukakan di sini bahwa pembahasan akhlak yang
mulia dalam pemikiran Ibnu Sina ini juga erat kaitannya dengan konsep manusia
yang utama (insan al-kamil). Dengan cara demikian, akan muncullah
manusia-manusia yang berbudi pekerti mulia dan berkepribadian mulia. Dari cara
berfikir yang demikian terlihat dengan jelas adanya hubungan substansial antara
konsep Ibnu Sina mengenai akhlak dengan rumasan tujuanpendidikan. Dengan kata
lain bahwa rumusan Ibnu Sina mengenai akhlak dapat dijadikan dasar pemikiran
bagi perumusan konsep tujuan pendidikan.
Ibnu Sina memberikan penjelasan mengenai bermacam-macam akhlak yang
terpuji dan tercela itu sebagai berikut:
1. Akhlak yang
terpuji (al-Akhlak al-Mahmudah)
Menurut Ibnu Sina sangat banyak sekali aspek-aspek akhlak terpuji yang
harus dijelaskan dalam uraian ini, akan tetapi hanya menjelaskan sekilas
tentang akhlak terpuji tersebut. Menurut Ibnu Sina akhlak terpuji dan mulia itu
harus dapat menghiasi diri seseorang, sehingga ia tampil menjadi manusia utama
(insa kamil). Perbuatan itu harus dibiasakan sehingga menjadi akhlak
yang tercermin dalam setiap ucapan dan perbuatan.
Selain itu, Ibnu Sina juga sangat menekankan pentingnya akhlak yang
dapat mendorong seseorang menjadi manusia yang maju, dinamis, kreatif, berilmu
pengetahuan, bercita-cita tinggi dan penuh percaya diri. Dengan demikian
pandangan akhlak yang baik dalam pemikiran Ibnu Sina nampak lebih dilihat dalam
perspektif pendidikan. Yaitu suatu model manusia yang memiliki peranan yang
aktif di masyarakat melalui pembinaan kepribadian secara utuh.
2. Akhlak yang
Tercela (al-Akhlaq al-Madzmumah)
Akhlak yang tercela itu antara lain: sikap ingin dipuji (al-hamd),
sikap dengki (al-haqd), terlalu cepat menjatuhkan keputusan tanpa
perasaan kasih saying (al-‘ajalah), suka mencela, berkata keji, suka
memfitnah, mengadu domba, mengada-ada, berkata dusta, keluh kesah, berpandangan
sempit, langkah sempit, membuka rahasia tanpa tanpa memperhatikan kasih sayang,
bersikap bodoh.
3. Metode
Pembentukan Manusia Utama (insan kamil)
Manusia yang utama (insan kamil) adalah manusia yang daya
nalarnya mengalahkan daya amarah dan syahwatnya. Dalam arti dapat mengarahkan
daya amarah dan syahwatnya itu sesuai dengan akal pikiran dan petunjuk agama.
Dengan cara itulah seseorang dapat meningkat menjadi manusia utama. Demikian
pula mengenai keadaan seseorang menghukum dirinya sendiri jika berbuat
menyimpang dari jalan yang lurus, atau memberi pujian kepada dirinya yang
berbuat baik adalah merupakan cara pembentukan akhlak yang benar-benar adil,
jujur, dan konsisten.
4. Sifat dan
Kedudukan Akhlak
Ibnu Sina mengatakan bahwa akhlak tersebut harus diusahakan dari sejak
manusia itu dilahirkan sehingga dewasa, karena sesuatu yang dibiasakan sejak
kecil sangat mempengaruhi tabi’at seseorang dikemudian hari. Untuk ini
faktor-faktor yang mempengaruhi anak tersebut perlu diperhatikan, seperti orang
yang menyusuinya, faktor akhlak dan kepribadian guru yang mendidiknya, akhlak
rekan-rekannya di perpustakaan atau di tempat ia belajar, bermain dan
lain-lain.
III.
Konsep Pendidikan Ibnu Sina
Sebagai suatu sistem, pendidikan memiliki berbagai aspek yang antara
satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yaitu aspek tujuan pendidikan,
kurikulum, metode guru, hukuman dan lingkungan. Pada bagian ini akan
dikemukakan konsep pendidikan Ibnu Sina yang ruang lingkupnya dibatasi pada
aspek tujuan pendidikan, kurikulum, guru yang baik, metode pengajaran, dan
pelaksanaan pada aspek-aspek tersebut, didasarkan pada pemikiran pendidikan
yang terdapat pada Ibnu Sina itu sendiri.
A. Tujuan
Pendidikan
Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah mengarahkan pertumbuhan
individu baik dari segi jasmani maupun rohaninya secara sempurna. Selain itu,
menurutnya bahwa pendidikan juga bertujuan mempersiapkan seseorang agar dapat
hidup di masyarakat dan berinteraksi dengannya melalui pekerjaan atau keahlian
yang dipilihnya. Untuk itu lingkup kependidikan dalam pandangan Ibnu Sina
meliputi bidang pembinaan, jasmani melalui olah raga, melatih makan, minum dan
sebagainya secara teratur dan menjaga. Dan rohani dengan kata lain tujuannya
lebih mengarah kepada mencerdaskan akal serta semua unsur yang terkait di
dalamnya.
B. Kurikulum
Ibnu Sina melihat kurikulum lebih merupakan rancangan pengajaran,
sebagai unsur terpenting dalam kurikulum itu sendiri. Rancangan pengajaran ini
ia hubungkan dengan tingkat usia anak didik yang akan merima pelajaran
tersebut. Untuk ini Ibnu Sina membagi kurikulum kedalam tingkatan usia sebagai
berikut:
1. Kurikulum
Untuk Usia Anak 3 sampai 5 tahun
Ibnu Sina
berpendapat bahwa seorang anak yang berada dalam usia 3 sampai 5 tahun harus
diajarkan ilmu-ilmu yang sejalan dengan pertumbuhan panca indra, gerak badan,
budi pekerti dan perasaan. Pelajaran gerak badan atau olah raga tersebut
diarahkan untukmembina pertumbuhan fisiknya, sedangkan pendidikan budi pekerti
diarahkan untuk membiasakan si anak agar memiliki sopan santun dalam pergaulan
hidupnya sehari-hari.
2. Kurikulum
Untuk Usia Anak 6 sampai 14 tahun.
Kurikulum
untuk anak usia 6 sampai 14 tahun atau usia sekolah dasar ini menurut Ibnu Sina
terdiri dari: 1) Pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, 2) Pelajaran agama,
3) Pelajaran bahasa Arab, 4) Pelajaran sya’ir, dan 5) Pelajaran agama.
3. Kurikulum
Untuk Anak Usia 14 tahun Ke Atas
Berkenaan
dengan kurikulum untuk anak usia 14 tahun ke atas ini, Ibnu Sina mengatakan sebagai
berikut:
“Jika seorang anak telah selesai
mempelajari Al-Qur’an dan menghafal dasar-dasar bahasa, maka segera dipikirkan
tertang keahlian yang akan ditekuninya. Guru menunjukan pula cara untuk
menempuh keahlian tersebut, setelah mempertimbangkan dengan matang tentang
keahlian yang sesuai dengan bakal minatnya”
4. Mata
Pelajaran dalam Kurikulum
Ibnu Sina
selanjutnya membagi pelajaran kepada yang bersifat teoritis dan pelajaran yang
bersifat praktis atau pengetahuan terapan.
a. Mata
Pelajaran Yang Bersifat Teoritis
Menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang bersifat teoritis dapat di bagi
tiga lagi yaitu:
1) Ilmu tabi’i yang dikatagorikan sebagai ilmu
yang berada pada urutan yang di bawah.
2) Ilmu matematika yang ditempatkan pada
urutan pertengahan
3) Ilmu ketuhanan yang ditempatkan sebagai
urutan yang paling tinggi[9]
b. Mata
Pelajaran yang Bersifat Praktis
Mata
pelajaran yang bersifat praktis itu terbagi kepada tiga bagian. Bagian pertama
terdiri dari ilmu yang bertujuan membentuk akhlak dan perbuatan manusia yang
mulia, sehingga dapat mengantarkan kepada kebahagiaannya hidup di dunia dan
akhirat. Bagian kedua terdiri dari ilmu yang berupaya menjelaskan tentang tata
cara mengatur kehidupan rumah tangga serta pola hubungan yang baik antara suami
istri, orang tua dengan anak-anaknya, majikan dengan para pembantunya. Bagian
ketiga ilmu yang mempelajari tentang politik, pimpinan, negara dan masyarakat
yang utama atau sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. 1975. al-Tarbiyah
al-Islamiyah. Mesir: Isa al-Baby al-Halaby wa syurakauh
al-Ghazali, Imam. Ihya Ulum al-Din, Juz.
III. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Qifthi, Ibn. 1326. Ikhbar al-‘Ulama
bi Ikhbar al-Hukama. Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah
Fakhry, Majid. 1989. Sejarah Filsafat Islam (Terj A Histori of
Medieval Islamic Philosofi). Jakarta: Pustaka Jaya
Khalikan, Ibn. 1948. Wafayat al-A’yan.
Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah
Langgulung, Hasan. Manusia dan
Pendidikan Suatu Analisis Psikologi Pendidikan
Nata, Abuddin. 2006. Konsep Pendidikan Ibnu Sina. Jakarta:
UIN Pres
Sina, Ibnu. 1908. Tis’u Rasail. Mesir: Dar al-Ma’arif
[1]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Terj), R. Muliadi
Kartanegara dari judul asli A Histori of Medieval Islamic philosofi, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1989), cet. I, hal. 191.
[2]Ibn khalikan, Wafayat al-A’yan, (Mesir: Maktabah al-Nahdlah
al-Mishriyah, 1948), hal. 420, Ibn al-Qifthi, Ikhbar al-‘Ulama bi Ikhbar
al-Hukama, (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1326 H), hal. 42.
[3]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (terj). Mulyadi Kartanegara,
dari judul asli A History of Islamic Philosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987),
cet. I, hal. 191.
[4]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Isa
al-Baby al-Halaby wa syurakauh: Mesir: 1975), cet, III, hlm. 22.
[5]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi
Pendidikan
[6]‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fulasifatuha, (Mesir:
Isa al-Baby al-Halaby, 1975), cet. III. Hal. 22.
[7]Ibnu Sina, it is Raasail, (Kairo, 1908), hlm. 123
[8]Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz. III, (Beirut : Dar al-Fikr,
t.t.), hlm. 112
[9]Ibnu Sina, Tis’u Rasail, (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1908), hal. 231
Categories: Jurnal