PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBN JAMA’AH
Posted by Unknown on 21:06
Oleh: Abdul Mukit, S.Th.I
I. PENDAHULUAN
A.
Riwayat Hidup Ibn Jama’ah
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn
Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah
al-Kinany. Ia lahir di Hamwa Mesir pada malam Sabtu tanggal 4 Rabi’ul Akhir 639
H/1241 M dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin tanggal 21 Jumadil
‘Ula tahun 733 H/1333 Mdan dimakamkan di Qirafah Mesir. Dengan demikian usianya
64 tahun 1 bulan 1 hari. Pendidikan awal yang diperoleh Ibn Jama’ah berasal
dari ayahnya sendiri yaitu Ibrahim Sa’ad Allah ibn Jama’ah (596-675 H),seorang
ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain kepada ayahnya, Ibn Jama’ah juga
berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah, ia berguru kepada
Syaikh as-Syuyukh ibn Izzun, dan ketika di Damaskus, ia berguru kepada Abi
al-Yasr, Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika
ia di Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik,
Rasyid at-Tahar, Ibn Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-‘Id,
Ibn Abi Musalamah, Makki ibn ‘Illan, Isma’il al-‘Iraqi, Al-Mushthafa,
Al-Bazaraiy dan lain-lain.[1]
Ibn Jama’
berada diantara para ulama Fikih dan Pendikan yang mempunyai karya besar
seperti; Al-Zarnudji (w.571 H/ 1175 M), Al-Thusy (w.673 H/ 1273 M), Ibn Jama’ah
(w.773 H/ 1381 M), Al-Subky (771 H/ 1369 M). Kemudian setelah itu Zainuddin
Al-Syamy (966 H/ 1558 M) yang dijuluki al-Syahid Al-Tsani (Al-Syahid yang
kedua).[2]
Ibn Jama’ah termasuk ulama yang pakar dalam bidang
pendidikan. Namun demikian ia tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli
hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena dalam sebagian masa
hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di Syam dan
Mesir. Sedangkan propesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas
mengajar di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah lembaga
pendidikan yang di bangun oleh Ibn Thulun di Damasyqus dalam waktu yang cukup
lama.[3]
Ibn Jama’ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti
Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalahuddin Al-Ayyubi menggantikan Dinasti Fatimiyah
pada tahun 1174 M. Dinasti Ayyubiyah diketahui telah membawa angin segar bagi
pertumbuhan dan perkembangan paham sunni, terutama dalm bidang fiqh Syafi’iyah.
Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang dikembangkan adalah paham Syi’ah.[4]
Pada masa Ibn Jama’ah telah muncul berbagai lembaga
pendidikan. Diantaranya adalah: (1) Kuttab, yaitu lembaga pendidikan
dasar yang dibangun untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis. (2) Pendidikan
istana, yaitu lembaga pendidikan yang di khususkan untuk anak-anak pejabat
dan keluarga istana. Kurikulum yang di buat tersendiri yang didasarkan pada
kemampuan anak didik dan kehendak orang tua anak. (3) Kedai atau toko kitab
yang fungsinya sebagai tempat untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi
diantara pelajar. (4) Rumah para ulama, yaitu tempat yang sengaja
disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa. (5) Rumah sakit
yang di kembangkan selain untuk kepentingan medis juga untuk mendidik
tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat dan juga sebagai tempat
pengobatan. (6) Perpustakaan yang berfungsi selain tempat menyimpan
buku-buku diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan penelitian.
Diantara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah. (7) Masjid
yang berfungsi selain tempat melakukan ibadah shalat, juga sebagai kegiatan
pendidikan dan social. Selain itu, pada masa Ibn Jama’ah juga telah berkembang
lembaga pendidikan madrasah. Menurut Michael Stanton, Madrasah yang pertama
kali didirikan adalah Madrasah Nizham al-Muluk yang didirikan oleh Wazir
Nizhamiyah pada tahun 1064 M. Sementara itu Richaerd Bulliet berpendapat bahwa
madrasah yang pertama kali dibangun adalah Madrasah Bayhaqiyah yang didirikan
oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400 H./1009 M. Bahkan menurut Bullet
ada 39 Madrasah yang berkembang di Persia, Iran yang dibangun dua abad sebelum
Madrasah Nizham al-Muluk. Dengan demikian, pada masa Ibn Jama’ah lembaga
pendidikan telah berkembang pesat dan telah mengambil bentuk yang
bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong Ibn Jama’ah menjadi
seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan.
B. Karya Tulis Ibn Jama’ah
Karya-karya Ibn Jama’ah pada garis besarnya
terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulum at-tafsir,
Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh. Kitab Tadzkirat as-Sami’wa al-Mutakallimin fi
Adab al-Alim wa al-Muta’ilim merupakan kitab yang berisi tentang konsep
pendidikan. Kitab Usthurulah merupakan kitab yang membahas masalah
astrologi. Kitab al-Munhil al-Rawy fi Ulum al-Hadits al-Nabawy merupakan
ringkasan dari kitab ilmu hadits yang ditulis Ibn as-Shalah. Dalam kitab ini,
Ibn Jama’ah menambahkan beberapa cacatan dan mengurutkan beberapa pembahasan.
Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H. Di Damaskus. Selain
kitab-kitab di atas, Ibnu Jama’ah juga menulis beberapa kitab lainnya, yaitu Idlah
ad-Dalil fi Qath’I Hujaj ahl-Ta’wil, at-Tibyan li Muhhimat Al-Qur’an, Tajnid
al-Ajnad wa Jihat al-Jihad, Tahrir al-Ahkam fi Tadhir Jasys al-Islam, al-Tanzih
fi Ibthal al-Hujaj at-Tasybih, Tanqih al-Munazharat fi Tashhih al-Mukhabarah,
Hujai as-Suluk fi Muhadat al-Muluk, at-Tha’ah fi Fadhilat as-Shalat al-Jama’ah,
Ghurr at-Tibyan fi Tafsir A-Qur’an, al-Fawaid al-Ghazirat al-Mustanbihat min
Ahadits Barirah, al-Fawaid al-Laihat min Surat Al-Fatihah, Kasyf al-Ghimmat fi
Ahkam Ahl ad-Dimmah, kasyf al-Ma’any an al-Mutasyabih min al-Matsany, Mustamid
al-Ajnad fi Alat al-Jihad, ar-Radd ‘ala al-Musyabbahah fi Qaulih Ta’ala
ar-Rahman ‘ala al-Arsy Istawa’ al-Masalik fi ilmu al-Manasik, al-Mukhtashar fi
Ulum al-Hadits, al- Muqradh fi Fawaid Takrir al- Qashash, dan lain-lain.[5]
C. Corak
pemikiran Ibnu Jama’ah
Corak
pemikiran pendidikan Ibn Jama’ah dalam karyanya dapat digolongkan pada corak
pendidikan Akhlak dan Fikih. Yaitu dengan mengetengahkan nilai-nilai estetika
yang bernafaskan sufistik. Pemikiran ini merupakan wacana umum bagi
literature-literature kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan
sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip
sufisme al-Ghozali. Terbukti bahwa konsep Ibn jama’ah ternyata banyak kesamaan
dengan konsep al-Ghozali.[6]
II. PEMBAHASAN
A. Konsep
Pendidikan Ibnu Jama’ah
Konsep
pendidikan yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam
karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa
al-Muta’allim. Dalam buku tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan
ilmu pengetahuan dan orang yang mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu
Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai berikut:
1. Keutamaan
Ilmu, Guru, Proses Belajar-Mengajar.
Menurut Ibn Jama’ah ilmu lebih utama dari ibadah sunah
seperti salat, puasa, doa dan lainnya. Karena menurutnya keutamaan ilmu lebih
umum daripada ibadah sunah.
إن الإشتغال بالعلم لله أفضل من نوافل العبادات البدنية من
صيام وصلاة وتسبيح ودعاء ونحو ذلك. لأن منافع العلم تعم صاحبه والناس, ومنافع
النوافل البدنية مقصورة على صاحبها.
“sesungguhnya
menyibukkan diri dengan ilmu karena Allah, lebih utama dari ibadah sunah yang
menggerakan badan (Badaniyah) seperti puasa, shalat, tasbih, doa dan lainnya.
Karena sesungguhnya manfaat ilmu meliputi pemiliknya dan manusia, sedangkan
manfaat perkara sunah hanya terbatas bagi pemiliknya saja”. Beliau berdalil bahwa ilmu yang akan memperbaiki
ibadah.
Karena ilmu sangatlah utama begitu juga dengan yang
mengajarkan dan mempelajarinya. Namun menurut Ibn Jama’ah bahwa tidak semua
ilmu, pengajar dan pelajar bisa mendapatkan keutamaan tersebut. Kecuali jika
semua itu dihadapkan hanya kepada Allah swt. Beliau sebut sebagai;
الأبرار المتقين الذين قصدون به وجه الله
“orang-orang
saleh, bertakwa yang hanya mengharapkan ridla Allah.”
Beliau memberikan nasehat bahwa ilmu akann tetap kekal
walau ditinggal mati pemiliknya, dia senantiasa menjaga dan menghidupkan
syariat.[7]
2. Konsep Guru
Menurut Ibn Jama’ah, guru itu harus mempunyai adab,
sifat-sifat terpuji.Dia membagi adab guru menjadi tiga;a. Adab guru terhadap
profesinya b. Adab guru dalam kelompok belajar. C. Adab guru bersama Muridnya.
a.
Adab guru terhadap profesinya
Mengingat profesi guru sangatlah mulia sebagai penentu
dalam sukses tidaknya proses belajar-mengajar serta pencapaian anak didik
terhadap ilmu. Maka, tentu guru harus memiliki karakteristik yang membentuk
pribadinya, diantaranya:
Pertama,Kemuliaan Akhlak. Ia menjadi sifat yang harus dimiliki
oleh setiap guru. Seorang guru, menurut Ibn Jama’ah harus memiliki wibawa,
khusyu’, patuh kepada Allah, dan senantiasa merasa berada dalam pengawasan
Allah, dan tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan
ekonominya.
Katagori yang terakhir disebut, menarik untuk dikaji
mendalam. Ibn Jama’ah menuturkan;
ثم يجب أن لايذهب المعلم إلى السلاطين أو الملوك من غير
ضرورة أو حاجة.
“kemudian wajib bagi seorang guru untuk tidak
mendatangi para pemerintah dan raja
tanpa sesuatu yang mendesak dan kebutuhan (yang dibenarkan).[8]
Ibn Jama’ah mensyaratkan dua hal bagi guru yang akan
menghadap Raja; sesuatu yang mendesak dan kebutuhan yang dibenarkan oleh
syariat. Hal itu untuk menjunjung tinggi kemuliaan ilmu. Karena Ilmu mepunyai
derajat yang begitu tinggi. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai
konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah
pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi
kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik
tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal
itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Ibn Jama’ah
berpendapat bahwa, metode yang dapat membantu guru untuk memperoleh sifat mulia
tersebut adalah zuhud dan rasa puas terhadap pemberian Allah swt. Zuhud
merupakan kewajiban bagi guru. Guru hanya diperbolehkan mengambil upah sekedar
kebutuhan pokoknya saja.
Kedua,Karakteristik keagamaan yang kuat. Seperti; menjaga
kewajiban dalam ibadah. Menjaga perkara sunah dengan lisan maupun sikap
seperti; membaca Al-Qur’an, dzikir kepada Allah dengan hati dan lidah, dan
senantiasa mengagungkan nama nabi setiap kali disebutkan.[9] Tentu hal tersebut
juga diwujudkan dalam pergaulan baik antar sesama. Penekanan tehadap aspek
akhlak dan ibadah yang dilakukan oleh Ibn Jama’ah sepertinya karena ia sangat
terpengaruh kepada kitab Harits Al-Muhasiby “Al-Ri’ayah”.[10]
Menurut Ibn Jama’ah, semua karakeristik yang sangat ketat
tersebut disebabkan oleh kredibilitas seorang guru yang harus dijaga dan
teladan yang harus dicontohkan. Beliau menuturkan;
لأن زلة المعلم كبيرة, ثم لكونه القدوة للناس ولطلابه,
وبالتالي فلا بد من أن يتمتع بطلاقة الوجه, وبالقدرة على كظم الغيظ, وعلى الإيثار,
وعلى التلطف وعلى الأمر بالمعروف.[11]
“karena
sesungguhnya kesalahan guru akan berdampak sangat besar, juga karena dia
menjadi teladan bagi manusia dan muridnya. Dari itu, ia harus senantiasa
menampakan wajah berseri-seri, mampu menahan amarah, empati, lemah lembut,
serta menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Ketiga,Karakteristik profesi guru. Ibn Jama’ah memandang bahwa
guru harus memilki keahlian mengemban profesinya. Karena tidak mungkin proses
belajar-mengajar akan berjalan maksimal, jika guru tidak memiliki keahlian
tersebut. Skiil tersebut akan didapat dan senantiasa terjaga oleh guru jika
dilatih dengan menetapi dzikir, Muthala’ah dan merenung, menghafal,
mengarang dan meneliti. Ibn Jama’ah mengingatkan bahwa guru harus selalu
menyibukan diri dengan ilmu, dan melakukan hal lain sekedar hanya memenuhi kebutuhan pokoknya
seperti makan, minum, tidur, istirahat, menunaikan hak isteri dan lainnya.[12]
Hal itu disebabkan;
لأن درجة العلم هي درجة وراثة الأنبياء, فلا تنال إلا بشق
الأنفس.
“karena ilmu
merupakan derajat pewaris para nabi, maka ia tidak akan diperoleh kecuali
dengan payah dan lelah.”
Bagi Ibn Jama’ah guru adalah profesi yang sangat mulia,
pewaris para nabi. Maka sudah selayaknya ia mencurahkan segala waktu, tenaga,
daya upayanya untuk kepentingan ilmu tersebut. Secara umum kriteria-kriteria
tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik
dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi
pendidik sebagaimana mestinya.
b.
Adab guru dalam kelas.
Sebelum memulai peralaran hendaknya guru mempersiapkan
dirinya. Dan boleh begegas jika materi pelajaran sudah selesai dan murid sudah
beranjak beranjak pulang. Persiapan yang harus dilakukan meliputi dzahir dan
batin;Pertama,Persiapan memulai materi pelajaran. Sebelum beranjak
ketempat mengajar, hendaknya guru berpakaian rapi, berhias dan memakai minyak
wangi. Ibn Jama’ah mengikuti cara Imam Malik ketika mengajar.[13]
Sebelum keluar dari rumah guru membaca doa. Guru juga
harus memperhatikan cara duduk yang baik, menghadap kiblat, menampakan wibawa
dan ketenangan, khusyu’, tidak bergurau, langkah kaki yang teratur, dan
tangannya senantiasa tergenggam. Ketika masuk ke tempat mengajar, guru
memulainya dengan doa dan bacaan Al-Qur’an serta menutup majlis dengan cara
yang sama.
Kedua, Kaidah dasar dalam mengajar. Menurut Ibn Jama’ah, Guru
harus bertahap memberikan materi pelajaran dan menetapkan skala prioritas dalam
memulainya. Dia merumuskan tahapan materi tersebut; Al-Qur’an, Hadits, Tauhid,
Ushul Fiqih, Al-Khilaf (Fiqih dan perbedaan ulama’ didalamnya), kemudian ilmu
Nahwu dan dialog (Jadl). Guru juga harus menjawab pertanyaan dengan
cepat agar murid tidak menganggapnya malas atau tidak bisa menjawab. Guru juga
memperhatikan suaranya, kapan harus tinggi dan datar disesuaikan dengan
kondisi. Yang penting semua murid dapat mendengarnya dengan jelas.[14]
Agar proses mengajar berjalan kondusif, guru juga harus
menjaga ketenangan majlis, menegur keras murid yang bertingkah buruk, dan
meminta tolong terhadap murid yang cerdasan untuk dan pandai agar ikut serta
dalam suksesi pengajaran seperti penertiban kelas dan lainnya.
c.
Adab guru kepada murid
Ulama pendidikanTerdapat beberapa poin yang menjadi
prinsip dasar bagi guru dalam menjalin hubungan erat antara guru dan murid;
1. Tujuaannya
hanya mengharapkan ridla Allah.
2. Guru harus
melatih dan membiasakan murid untuk ikhlas dalam niat secara bertahap.
3. Memotivasi
murid dalam mencari dan mengamakan ilmu. Juga mengingatkan bahwa tidak
terpengaruh dengan dunia adalah keharusan untuk mendapatkan ilmu.
4. Guru
menghormati pribadi dan menjaga perasaan siswa dengan tidak menampakan
kesalahannya terhadap yang lain.
5. Mempermudah
pelajaran bagi murid yang sulit memahami, dan mendidik murid yang cerdas dan
pandai dengan sangat baik.
6. Memahamkan
pelajaran sesuai dengan kadar kemampuan siswa. Tidak membenaninya dengan tugas
yang tidak dapat diemban olehnya.[15]
7. Memberlakukan
Reward dan Punishman.
8. Memperlakukan
murid dengan setara. Namun Ibn Jama’ah melihat bahwa harus ada perhatian khusus
dari guru terhadap murid yang mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Dengan
syarat guru menjelaskan alasan tersebut terhadap murid lainnya.
9. Bersikap
rendah hati, menampakan perhatiannya kepada muridnya. Misalnya dengan
memanggilnya namanya, nama ayahnya atau nama yang dapat membuat hatinya senang.
Bahkan hendaknya guru ;
يسألهم عن أحوالهم وأحوال من يتعلق بهم.[16]
“guru menanyakan keadaan muridnya dan orang yangmempunyai
hubungan dengannya.”
3. Peserta Didik
Peserta didik yang dimaksudkan Ibn Jama’ah adalah yang
telah telah beranjak dewasa dan mempunyai kecerdasan dan kemampuan untuk
melakukan tindakan belajar secara mandiri dalam hal yang berkaitan dengan
fisik, pikiran dan sikap dan perbuatan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
peserta didik telah melewati masa kanak-kanak yang dalam tradisi pendidikan
islam biasanya belajar di kuttab.
Untuk dapat menggapai cita-citanya, murid yang telah
duduk kelas atas harus memenuhi adab berikut; 1. Adab dengan statusnya. 2. Adab
dalam pelajarannya. 3. Adab kepada gurunya. Adab-adab tersebut akan dicapai
jika syarat-syaratnya terpenuhi.
a. Adab dengan
statusnya
Sepeti halnya guru, muridpun juga harus beradab dengan
statusnya sebagai pelajar. Karena ia adalah penuntut ilmu yang akan mendapatkan
keagungan dan kemuliaan dari Allah.
Adapun syarat-syaratnya adalah; 1) Pembersihan hati. Hati yang tidak bersih tidak akan dapat
menerima ilmu. Menurut Ibn Jama’ah, keharusan untuk membersihkan hati, seperti
keharusan dalam membersihkan anggota badan dari hadats ketika hendak
sholat. Ilmu seperti shalat yang menuntut kebersihan.[17] 2) niat yang baik sebagai syarat, merupakan kesepakatan
para ulama pendidikan. Karena ia yang akan menentukan tujuan usaha yang dilakukan.
3) memanfaatkan usia produktif untuk mendapatkan ilmu. Para
pakar pendidikan sepakat bahwa usia muda adalah usia produktif untuk mencari
menghasilkan ilmu sebanyak mungkin. Selain karena pada usia ini, murid dapat
fokus untuk menggapai tujuan, tanpa disibukkan oleh apapun kecuali ilmu, juga
karena kekuatan fisik yang mendukung. Berbeda dengan usia senja yang sudah
banyak kesibukan dan tanggung jawab. Waktu tersebut, menurut Ibn Jama’ah harus
dimanfaatkan secara maksimal;
فإن كل ساعة تمضى من عمره لا بديل له, ولا عوض عنها.[18
”karena
sesungguhnya setiap waktu yang terlewat dari usia manusia, tidak akan pernah
kembali dan diganti.
4) menjauh dari kesibukan dunia. 5) mengurarngi makan. Karena sebab pendukung untuk
menggapai tujuan ilmu adalah memakan sekedarnya dari makanan halal. 6)
memanfaatkan waktu-waktu penting dalam belajar. Menurut Ibn Jama’ah waktu yang
sangat tepat untuk menghafal, mengulang pelajaran dan sebagainya adalah mala
hari.[19] 7) nasehat untuk istirahat dan tidur.
Guru harus selalu menasehati muridnya agar menunaikan hak fisiknya
seperti istirahat dan tidur. Namun menurut Ibn Jama’ah istirahat dan tidur bagi
seorang pelajar hanya pada waktu 1/3 malam saja. 8) memilih teman
yang baik. Teman yang baik akan membantu murid menjadi baik begitu sebaliknya.
Ibn Jama’ah menetapkan beberapa kriteria sahabat yang baik seperti sifat
keagamaan berupa wara’, takwa, dan
mempunyai akhlak yang baik.[20]
b. Adab murid terhadap gurunya.
Setelah diuraikan diatas keutamaan dan peran seorang
guru, maka sudah sepatutnya murid memahami denngan baik adab kepada gurunya.
Menurut Ibn Jama’ah, murid kepada gurunya ibarat seorang yang sakit terhadap
dokter yang pandai. Ketaatan merupakan kata kunci dalam adab tersebut.
ينبغى على الطالب أن يكون مع المعلم كما يكون المريض مع
الطبيب الماهر.[21]
Artinya; sudah sepatutnya, murid harus menempatkan
dirinya terhadapa gurunya, seperti orang sakit bersama dokter yang ahli.
Ketaatan yang diamksud Ibn Jama’ah bukanlah totalitas
ketaatan tanpa barometer yang jelas. Tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan
guru. Karena beliau sangat paham bahwa ketaatan kepada makhluk jika tidak
menyalahi aturan Tuhan. Hal itu terungkap dari bahasa “dokter yang ahli”
diatas. Karena dokter yang ahli pasti mempunyai dasar yang jelas dalam
prakteknya begitu juga seorang guru yang telah melewati seleksi ketat diatas.
4. Materi
Pelajaran/Kurikulum
Corak pendidikan yang dikemukaka Ibn Jama’ah adalah
Fiqih-Sufistik. Pendidikan yang dia maksud adalah pendidikan keagamaan. Sejalan
dengan itu, materi dan kurikulum pelajarannya pun bersifat keagamaan. Menurut
beliau pelajaran yang harus diutamkan adalah; Al-Quran, Tafsir, Hadits, Ulum
Al-Hadits, Ushul Al-Fiqh, Nahwu dan Shorof. Setelah itu dilanjutkan dengan
pengembangan-pengembangan bidang lain dengan tetap mengacu kepada kurikulum
diatas. Seperti ilmu-ilmu tentang perbedaan madzhab-dalam Fikih-, ilmu aqliyat
(kalam) dan al-Sam’iyat (Tasawuf) dan lainnya. Ibn Jama’ah tidak
berbicara tentang klasifikasi ilmu kepada Syar’i atau Ghairu Syar’i maupun yang Fardlu
‘Ain atau Fardlu Kifayah, namun dari pemaparan diatas dapat kita
pahami bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu agama.[22]
Ibnu Jama’ah memprioritaskan Al-Qur’an daripada yang
lainya. Karena menurutnya ia merupakan induk ilmu (Ummu Al-Ulum).
Sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum Al-Qur’an merupakan
cirri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan pendidikan
lainya. Ditambah dengan Al-Hadits untuk melengkapinya dengan terlebih dahulu menghapal
hadits-hadits yang prinsipil.[23]
5. Metode
Pembelajaran
Konsep Ibnu Jama’ah tentang metode pembelajaran hafalan
dan pentuan skala prioritas (Tadarruj). Pelajar harus terlebih dahulu
menentukan pelajaran yang mendasar, karena akan membuatnya mudah menghafal dan
memahami. Misalnya ketika mempelajari ilmu Hadits, pelajar hendaknya menghafal
hadits-hadits Shahih terlebih dahulu dan begitu seterusnya. Memulai belajar
dalam materi yang tidak prinsipil tanpa penentuan skala prioritas hanya akan
membuat pelajar kebingungan dan tidak focus yang akhirnya hasilnya tidak akan
maksimal.
6. Lingkungan
Pendidikan
Para ahli pendidikan sosial umumnya berpendapat bahwa
perbaikan lingkungan merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan-tujuan
pendidikan. Sejalan dengan hal diatas Ibnu Jama’ah memberikan perhatian yang
besar terhadap lingkungan. Menurutnya bahwa lingkungan yang baik adalah
lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan
yang ada batas-batasnya. Lingkungan memiliki peranan dalam pembentukan
keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan yang kondusif
untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang mencerminkan
nuansa etis dan agamis.[24]
III. PENUTUP
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin
Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd
Allah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir, pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi’ul
Akhir, 639 H./ 1241 M., dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin,
tanggal 21 Jumadil ‘Ula tahun 733 H./1333 M., dan dimakamkan di Qirafah, Mesir.
Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. Konsep pendidikan yang
dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat
as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Dalam buku
tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan orang yang
mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat dikamukakan
sebagai berikut : 1.Konsep Guru/Ulama 2.Peserta Didik 3.Materi
Pelajaran/Kurikulum 4.Metode Pembelajaran 5.Lingkungan Pendidikan Karya-karya
Ibn Jama’ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi,
ulumul hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh. Kitab Tadzkirat
as-Sami’wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim wa al-Muta’ilim merupakan kitab
yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab Usthurulah merupakan kitab
yang membahas masalah astrologi. Kitab al-Munhil al-Rawy fi Ulum al-Hadits al-Nabawy
merupakan ringkasan dari kitab ilmu hadits yang ditulis Ibn as-Shalah.
Dalam kitab ini, Ibn Jama’ah menambahkan beberapa cacatan dan mengurutkan
beberapa pembahasan. Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H.
Di Damaskus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mustofa. 2001.Pakar-pakar Fiqh sepanjang
sejarah. Yogyakarta: LKPSM
Aliy, As’ad. 1978.Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu
Pengetahuan. Kudus: Menara Kudus
Amir, Abdul. 1990.Al-Fikr
Al-Tarbawy ‘Inda Ibn Jama’ah.Beirut:
Daru Al-Kutub Al-‘Alamy
Badruddin, Ibn Jama’ah. 2005.Tadzkirat as-Sami’ wa
al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Kairo: Maktab Ibn Abbas
Nata, Abuddin. 2001.Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Nizar, Samsul. 2005.Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam.Ciputat: Ciputat Press
Group
Ramayulis. 1994. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Suwendi. 2004.Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Categories: Jurnal