PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBN MISKAWAIH
Posted by Unknown on 20:54
Oleh: Gasmin, S.Pd.I
I. Riwayat Hidup Ibn Miskawaih
I. Riwayat Hidup Ibn Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn
Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahirtahun 320 H/932 M di Rayy dan meninggal di
Isfahan pada tanggal 9 Shafar 412H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup
pada masa dinasti Buwaihi (320-450 H./932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya
bermazhab Syi’ah. Namanya diambil dari nama kakeknya yang semula beragama majusi
(persi) kemudian masuk Islam, gelarnya Abu Ali dan al-Khazain yang artinya
bendahara, dari segi latar belakang pendidikannya tidak ditemukan data sejarah
yang rinci. Namun ada keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar
Ahmad Ibnu Kamil al-Qadi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar, dan
mempelajari kimia dari Abu Thayyib.
Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli sejarah yang
pemikirannya sangat cemerlang, dialah ilmuan Islam yang
paling terkenal dan yang pertama kali menulis filsafat akhlak. Ia mampu
memperoleh informasi dari sumber aslinya. Dia juga sangat memahami model
administrasi dan strategi peperangan sehingga dengan mudah menuliskan berbagai
peristiwa secara jelas, dia juga menguasai berbagai manuver politik dengan
baik.
Ibnu
Miskawaih pernah menjabat sebagai sekretaris Amirul-Umarak Adhud-Daulah
(949-982 M) dari daulat Buwaihi di Baghdad, merangkap kepala perpustakaan
negara Bait al-Hikmah. Sebelumnya Ibnu Miskawaih mendampingi Abu Muhammad
Al-hasan Al-Muhallabi yang menjabat wazir pada tahun 339 H/950 M. Oleh karena
itu ada yang mengatakan Ibnu Miskawaih penganut Syi’ah karena wazir-wazir bani
Buwaihi menganut paham Syi’ah. Adapula yang mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih
mula-mula beragama majusi, kemudian masuk Islam seperti yang dikemukakan Yaqut
dalam buku terjemahan M.M Syarif M.A, tetapi hal ini mungkin benar bagi ayahnya
karena seperti yang tercermin pada namanya Muhammad adalah putra seorang
muslim. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibn Miskawaih ada 41
buah.
Menurut
Ahmad Amin, semua karya Ibn Miskawaih tersebut tidak luput dari kepentingan
filsafat akhlak, sehubungan dengan itu tidak mengherankan jika Ibn Miskawaih
selanjutnya dikenal sebagai moralis. Abu Manshur al-tsalabi (421H)
menerangkan bahwa Ibnu Miskawaih adalah pribadi mulia yang penuh keutaman,
halus budi, ahli sastra, ahli Balaghah, ulet dan penyair.[1]
Dari
paparan diatas jelaslah bahwa Ibnu Miskawaih adalah ilmuwan yang luas
pengetahuannya dan banyak pengalamannya. Ia dikenal sebagai sejarawan,
sastrawan, tabib, ahli bahasa, dan seorang filosof yang pertama kali
menciptakan ilmu al-Akhlak.
II.
Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
A.
Dasar Pemikiran
Terdapat sejumlah pemikiran yang mendasari pemikiran Ibn Miskawaih
dalam bidang pendidikan. Pemikiran tersebut antara lain:
1.
Konsep Manusia
Sebagaimana
para filososof lainnya Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang
memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya, yaitu:
(1) Daya bernafsu(an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya terendah, (2)
Daya berani(an-nafs an-natbiqah) sebagai daya pertengahan, dan (3) Daya
berpikir (an-nafs an-natbiqat) sebagai daya tertinggi.[2]
Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda.
Sesuai dengan
pemahaman tersebut diatas, unsur ruhani berupa an-nafs al-bahimyyat dan an-nafs
as-sabuiyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-natbiqat
berasal dari ruh Tuhan. Karena Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs
yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs
an-natbiqat tidak akan mengalami kehancuran.[3]
Selanjutnya Ibn
Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-bahimiyyat(bernafsu) dan
jiwa al-ghadabiyat(berani) dengan jasad pada pada hakikatnya sama dengan
hubungan saling mempengaruhi.[4]
Kuat-lemahnya dan sehat-sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat-lemahnya dan
sehat-sakitnya kedua macam jiwa ini, dalam menjalankan fungsinya tidak akan
sempurnah kalau tidak menggunkan alat bendawi atau alat badani yang terdapat
dalam tubuh manusia. Dengan demikian Ibn Miskawaih melihat bahwa manusia
terdiri dari unsur jasad dan ruhani yang antara satu dan lainnya saling
berhubungan.
2.
Konsep Akhlak
Pemikiran Ibn
Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya
dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkan berdasar pada doktrin
jalan tengah, Ibn Miskawaih secara umum memberi
pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan,
moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan
tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum
diartikan sebagai posisi umum antara ekstrem berlebihan dan ekstrem kekurangan
masing-masing jiwa manusia.
Dari sini
terlihat bahwa Ibn Miskawaih memberi
tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi, seperti
telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia ada tiga, yaitu: jiwa
al-bahimiyyah, al-ghadabiyah dan an-natbiqah. Menurut Ibn
Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyah adalah al-‘iffah yaitu
menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya
posisi jiwa al-ghadabiyah adalah as-saja’ah, yaitu keberanian
yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari
jiwa an-natbiqah adalah al-hikmah yaitu kebijaksanaan, adapun
perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan dan keseimbangan.[5]
Selanjutnya Ibn
Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang
ekstrem, yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela. Menurut hemat
penulis satu hal menjadi kekurangan Ibn Miskawaih dalam mengurai sikap tengah
dalam bentuk akhlak mulia, Ibn Miskawaih tidak membawah satu ayat pun dari
Al-Qur’an, dan tidak pula membawa dalil dari hadits. Namun demikian menurut
penilaian Abd al-Halim Mahmud dan Al-Ghazali, bahwa spirit doktrin jalan tengah
ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak
dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak
boleh kikir tetapi tidak boleh boros, melainkan harus bersifat diantara kikir
dan boros. Hal sejalan dengan ayat yang artinya:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelengu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya,karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.”(QS.Al-Isra’:29)[6]
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.(QS.
Al-Furqan :67)[7]
Ayat-ayat
tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan
dengan ajaran Islam. Oleh karena itu sungguhpun Ibn Miskawaih tidak menggunakan
dalil-dalil ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah
tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam.
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya
memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin dapat
terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan
nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan menggunakan
doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehhilangan arah dalam kondisi apapun
juga.
B.
Konsep Pendidikan
Ibnu Miskawaih
membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar
pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang
dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih dasar
pendidikan:
Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang
dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama
merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan
manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap
menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga
dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat.Dengan demikian
syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk
kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan
dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
Kedua, Psikologi. Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan
pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik,
harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan
serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan
mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia
akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia serta akhlak mulia.
Maka dari itu,
jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan
tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian
teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu
Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada
pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan dan konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan
sebagaiberikut:
1. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan
pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibn Miskawaih adalah terwujudnya
sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua
perbuatan yang bernilai baik[8] sehingga
mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan
alasan ini, maka Ahmad Abd Al-Hamid As-sya’ir[9] dan
Muhammad yusuf musa[10]menggolongkan
Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab as-Sa’adat di bidang akhlak.
Al-Sa’adat memang
merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi
pendidikan akhlak, makna
as-Sa’adah sebagaimana dinyatakan M. Abd Hak Anshari tidak mungkin dapat dicari
padanan katanya dalam bahasa inggris walaupun secara umum diartikan Happiness[11]
menurutnya as-Sa’adah merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung
unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blesednes), dan kecantikan (beautitude).[12]
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan
pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih
bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam
arti yang seluas-luasnya.
2.
Materi
Pendidikan Akhlak
Pada materi
pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan
materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan.
Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada
Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai
materi pendidikan akhlaknya yaitu: Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh
manusia, Hal-hal yang wajib bagi jiwa dan Hal-hal yang wajib bagi hubungannya.
Materi
pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat,
puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi
kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang
benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang
kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia
dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati,
mempererat hubungan silaturahim, saling membantu, saling mengingatkan, saling
tolong menolong dalam kebaikan, dan sebagainya.Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia
agar sebagai filosof.Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang
sejumlah ilmu yang dapat dipelajari agar menjadi seorang filosuf.Ilmu tersebut
ialah:Matematika, Logika dan Ilmu kealaman. Jadi, jika dianalisa dengan secara
seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam
kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu
sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak
yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan
bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan
semakin tinggi pula akhlaknya.
3. Pendidik dan Anak Didik
Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn
Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi
anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan
pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak
yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut
Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya,
akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih
mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap
orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih
berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru
sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan
illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama
dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan
seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan
adab.
Cinta
murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta
anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru
idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Adapun
yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal
karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain:
bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di
masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari
orang yang dididiknya.
Perlu
hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena
terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar
mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi
dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
4. Lingkungan Pendidikan
Seperti
pera dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai
kebahagiaan(as-sa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama
atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan trcipta
apabila sesame manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa
kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak
demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurnah. Atas dasar
itu, maka setiap induvidu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari
seluruh anggota badan. Manusi menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan
anggota-anggota badannya.[13]
5.
Metodologi
Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode
ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa
masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa
akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka
usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang
selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat
beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya
kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat
wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya
sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof
lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina.
Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa.
Kedua, dengan
menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi
dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini
adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang
berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara
ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia
bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.
Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian
mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan
seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap
malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga
tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.
III.
Karya-Karya Ibn
Miskawaih
Ibn Miskawaih
dikenal sebagai filosof etika dalam Islam. Karenanya, karya-karya yang
dihasilkan adalah kebanyakan bercerita masalah pendidikan, pengajaran, etika
yang utama, dan metode-metode yang baik semua masalah tersebut. Adapun
karya-karyanya:
1.
Tahdzib
al-akhlaq wa tathir al-a’raq, sebuah kitab yang mendeskripsikan etika
dan filsafat sosial masyarakat
terdahulu. Suatu bentuk pemilihan antara perilaku yang sesuai dengan syari’at
dan perilaku yang menyimpang, beberapa pengalaman hidup yang dilaluinya, dan
jalan metodologis kearah etika yang baik.
- Kitab al-Sa’adah, sebuah kitab filsafat etika yang menjadi orientasi semua manusia. Kitab ini disusun sebagai hadiah bagi ibn al-Amid.
- Kitab fawz al shagir, sebuah kitab pegangan untuk mmperoleh “keuntungan” yang besar dalam sekolah kehidupan
- Kitab fawz al-shagir, sebuah kitab pengangan untuk kehidupan sehari-hari.
- Kitab Jawidan khard, sebuah kitab Persia yang berisi tentang hikmah hikmah dan sastra.
- Tajarib al-umam, sebuah kitab sejarah.
- Kitab uns al-farid, sebuah kitab ringkasan yang didalamnya dibahas kisah-kisah,syair-syair, hikmah-hikmah, dan perumpamaan-perumpamaan.
- Kitab al Sayr, sebuah kitab sejarah perjalanan seseorang dan pelbagai problematika yang dihadapinya, serta dibubuhkan pula jalan keluarnya.
- Kitab al mustwfa, sebuah kitab berisi syair-syair pilihan.
10.
Kitab al-adwiyah
al-mufrodah, al-asy ribah, fi tarqibal-bajat min al-ath’imah, semuanya
berbicara mengenai kedokteran, kesehatan dan gizi yang baik untuk manusia.
KESIMPULAN
Ada beberapa prediksi yang dilekatkan pada ibnu Miskawaih,
yaitu ahli bahasa dan sastra, penyair, intelektual profesional, seorang hakim yang bijak,
sejarawan, filosof etika dan sastra, dan sufi.
Ibn Miskawaih dikenal sebagai filosof etika dalam Islam.
Karenanya, karya-karya yang dihasilkan adalah kebanyakan bercerita masalah
pendidikan, pengajaran, etika yang utama.Terdapat sejumlah pemikiran yang
mendasari konsep ibn miskawaih dalam bidang pendidikan. Konsep Manusia
Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya yaitu: daya bernafsu sebagai daya
terendah, daya berani sebagai daya pertengahan daya berfikir sebagai daya
tertinggi. Konsep akhlaq yang ditawarkan beradasar pada doktrin jalan tengah
secara global Ibnu Miskawaih membagi materi pendidikan akhlaq sebagai berikut: pertama,
hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia. Kedua, hal-hal yang
wajib bagi jiwa. dan Ketiga, hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan
sesama manusia.
Metode yang diajukan ibn Miskawaih
dalam mencapai akhlaq yang baik. Pertama, adanya kemauan yang
sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-adat wa
al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai
dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan
pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya, adapun pengetahuan dan
pengalaman yang dimaksud dalam pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman
yang berkenaan dengan hukum-hukum akhlaq yang berlaku bagi sebab munculnya
kebaikan dan keburukan bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
As-Sya’ir,
Ahmad Abd al-Hamid. 1979. Manahij
al-Bahs al-Khuluqi fi al-Fikr al-Islami. Kairo: Dar
al-Thiba’at al-Muhammadiayat
Miskawaih,Ibn. 1952. al-Hikmat
al-Khalidat (terjJavidan Khirad oleh Abd ar-RahmanBadawi). Kairo: Maktabat
Nahdat al-Mishriyat
Miskawaih, Ibn. 1398. Tahzib
al-Akhlak. Beirut: Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat
Musa,
Muhammad Yusuf.1963.Falsafat
al-Akhlak fi al-Islam.Kairo: Muassasat
al-Khanji
Nata, Abuddin. 2003. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo Persada
Ottal,
William R. 1978. The Psychologi Of Mind. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Association
[1] Lihat
Tholhah.Imam “Membuka Jendela Pendidikan hal 240
[2] Lihat Ibn
Miskawaih, Tahzib al-Akhlak, (Beirut: Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat, 1398 H.)
cet.II, hlm.62
[3] Ibn Miskawaih,
Al-Fauz al-ashghar, op. cit., hlm 27
[4] Dalam sejarah
filsafat modern, paham ini dipelopori oleh Rene Descartes. Lihat William R.
Ottal, The Psychobiologi of mind (New Jersey: Lawrence Erlbaum Association,
1978, hlm. 48-49..
[5] Lihat Ibn
Miskawaih,Tahzib al-Akhlak, hlm.38 dan 111;Al-Ghazali,Ihya ‘Ulum ad-Din, Jilid
III, hlm.53.
[6] QS. Al-isra’
:59.,Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir dan pula terlalu pemurah.
[7] QS. Al-Furqan
:67., maksudnya, larangan untuk berlebih-lebihan membelanjakan harta (boros)
juga himbawan untuk tidak kikir dalam membelanjakan harta.
[8] Ibn
Misakawaih, Kitab as-sa’adat, hlm 34-35.
[9] Ahmad Abd
al-Hamid as-Sya’ir, Manahij al-Bahs al-Khuluqi fi al-Fikr al-Islami, (kairo:
Dar al-Thiba’at al-Muhammadiayat,1979), cet.1,hlm.216.
[10] Muhammad Yusuf
Musa, Falsafat al-Akhlak fi al-Islam, (cairo:Muassasat al-KHanji,1963),
cet.III.
[11] M.Abd Haq
Ansari, Miskawaish’s Conception of sa’adat, dalam Islamic studies, No. II/3,
1963,hlm.31
[12] Ibid.
[13] Ibn Miskawaih,
al-Hikmat al-KHalidat, (terj.) Javidan Khirad oleh Abd ar-Rahman Badawi,
(Kairo: Maktabat Nahdat al-Mishriyat,1952), hlm.39 dan 273.
Categories: Jurnal