MUJTAMA ISLAMI

Posted by Unknown on 23:09
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia adalah ciptaan Allah Swt. yang tertinggi dan sempurna, hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-Tin ayat 4 yang berbunyi:
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.(Q.S. al-Tin: 4)
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. disamping sebagai makhluk individu, juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia dalam menjalani hidup ini tidak akan terlepas dari peranan manusia lain dan lingkungannya. Oleh karenanya manusia tidak bisa hidup sendiri dan menyendiri tanpa bantuan orang lain, sebab pada hakikatnya terdapat hasrat yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat dan menjalin persaudaraan dengan manusia yang lain, sebagaimana Rasulullah Saw menekankan hal ini dalam haditsnya:
كُوْنُوْا عِبَادً اللهِ اِخْوَانًا (رواه المسلم عن ابى هريرة)
“Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara”[1]. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
 Problematika masyarakat saat ini tidak akan pernah ada habisnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat sikap persaudaraan, saling menghormati dengan tidak memandang perbedaan dan kekurangan, saling menghargai satu sama lain akan menciptakan masyarakat yang nyaman, damai dan aman. karena sejatinya orang-orang yang beriman itu bersaudara, sebagaimana disebutkan dalam ayat:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) ...
“Sesungguhnya Orang-orang beriman itu bersaudara...” (Q.S. al-Hujurat: 10)
Namun, sebagai manusia yang bersaudara,  masih banyak dijumpai kasus-kasus pertikaian dan permusuhan di tengah masyarakat baik karena faktor perbedaan ras, suku dan golongan. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi penyebab runtuhnya rasa“persaudaraan” di masyarakat, misalnya tawuran antara dua kelompok warga cipinang besar utara,[2] permusuhan dan kebencian karena berbeda tim yang didukung dan lain sebagainya, hal-hal yang terkesan sepele ini ternyata berakibat fatal bahkan mampu merusak tali persaudaraan. Hal ini memberikan gambaran kalau masyarakat belum memiliki sikap persaudaraan yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an, yakni nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an belum dipraktikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, menjadi bahan pembelajaran untuk semua kalangan baik itu pendidik, tokoh agama maupun tokoh masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga kelak tercipta masyarakat islami, yakni masyarakat yang menjalankan konsep-konsep ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari. Maka, demi tercapainya tujuan  tersebut sudah seharusnya bagi para pendidik untuk mengetahui tentang karakteristik dan ciri-ciri masyarakat islami yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Saw.   

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimanakah karakteristik masyarakat islami yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits Nabi ?
2.      Bagaimanakah implikasi nilai-nilai pendidikan di dalam masyarakat sesuai dengan ajaran islam ?



BAB II
KAJIAN TEORITIS

A.    Definisi al-Mujtama’ al-Islami
Istilah al-mujtama’  tidak ditemukan dalam nash al-Quran maupun as-Sunnah. Istilah ini pun belum dikenal dalam khazanah keilmuan kaum Muslim sebelumnya, sehingga tidak dijumpai di dalam berbagai kamus bahasa, atau kitab-kitab karya para ulama terdahulu. Secara bahasa kata al-Mujtama’ berasal dari akar kata ‘jama’a’. Dalam kamus al-Munawir kata al-Jam’u bermakna penghimpunan atau pengumpulan[3], sedangkan menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, al-Jam’u adalah menggabungkan sesuatu yang terpisah-pisah.[4] Jadi, al-Mujtama berarti suatu pertemuan atau penggabungan manusia.
Kata al-Mujtama belakangan ini digunakan untuk menyebutkan arti masyarakat. Secara singkat Juhaya S. Praja menyatakan masyarakat adalah kumpulan orang-orang.[5] Sedangkan Murthadha Muthahhari berpendapat masyarakat adalah kumpulan dari manusia yang antara satu dan lainnya saling terkait oleh sistem nilai, adat istiadat, ritus-ritus serta hukum-hukum tertentu dan bersama-sama berada dalam suatu iklim dan bahan makan yang sama.[6]  
Jadi, masyarakat islami adalah masyarakat yang seluruh atau sebagiannya merupakan muslim yang berpedoman pada akidah dan hukum Islam yang dibentuk berdasarkan ajaran dan tata nilai Islam yang mengandung arti bahwa prinsip dasar yang membentuk dan membina masyarakat itu adalah nilai-nilai luhur ajaran Islam serta berorientasi kepada fondasi tauhid.

B.     Istilah Masyarakat di dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an, kata Masyarakat memiliki beberapa istilah, yaitu:
1.      Ummah
Kata ummah (Q.S. Ali Imran: 110) diambil dari kata اَمَّ – يَؤُمُّ  (amma-yaummu) yang berarti menuju, jalan dan maksud.[7] Dari asal kata ini dapat diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan yang sama.[8] Menurut ar-Raghib, kata ummah diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.[9]
Kata ummah tidak sepenuhnya dapat diartikan sebagai kumpulan manusia yang berada di dalam suatu wilayah dengan seperangkat ciri-ciri yang membedakannya dengan masyarakat lainnya, istilah ummah di dalam al-Qur’an memiliki ciri yang lebih luas dari itu. Di dalam al-Qur’an terdapat 49 kata ummah yang memiliki arti: 1. kelompok yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (Q.S. Ali Imran: 104), 2.agama tauhid (Q.S. al-Mu’minun: 52), 3. kaum ( Q.S. Hud: 8), 4. Waktu 5. Jalan, cara atau gaya hidup (Q.S. az-Zukhruf: 22), dan lain sebagainya.[10]
2.      Qa’um
Kata qa’um (Q.S. al-Hujurat: 11) berasal dari kata قَامَ – يَقُوْمُ – قِيَامًا (qama-yaqumu-qiyaman) yang berarti berdiri atau bangkit.[11] Kata  qa’um agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. Oleh karena itu, pada awalnya kata qa’um digunakan untuk kaum pria, bukan pada kaum wanita.[12]
3.      Syu’ub
Kata syu’ub (Q.S. al-Hujurat: 13) merupakan ja’ma dari kata al-Sya’bu yang berarti tingkatan nasab keturunan yang paling tinggi[13] atau lebih dikenal dengan arti bangsa,[14] yang terdiri dari beberapa suku atau kabilah yang bersepakat untuk bersatu dibawah aturan-aturan yang disepakati bersama. Dalam konteks ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan dan menjadikannya berbagai suku dan bangsa.[15] Kata syu’ub dalam bentuk ja’ma hanya terdapat pada satu ayat di dalam al-Qur’an yaitu surat al-Hujurat ayat 11.
4.      Qaba’il
Kata qaba’il (Q.S. al-Hujurat: 13) berarti kabilah atau suku.[16] seperti halnya kata syu’ub, kata qaba’il  hanya terdapat pada satu ayat di dalam al-Qur’an yaitu pada surat al-Hujurat ayat 11. Kata ini lebih khusus dari pada kata syu’ub karena kedudukan suku berada di bawah bangsa, setelah suku atau kabilah disebut imarah, lalu batn, sesudah batn adalah fakhz dan yang paling bawah adalah fashilah. Contohnya Khuzaimah adalah nama suatu bangsa, kinanah adalah nama suatu kabilah atau suku, Qurays adalah nama suatu Imarah, Qushay adalah nama suatu Batn, Hasyim adalah nama suatu Fakhdz dan al-Abbas adalah nama suatu Fashilah.[17] Oleh karenanya, bangsa dan suku ini termasuk berada dalam masyarakat atau sebagai unsur dari masyarakat.




BAB III
KAJIAN TAFSIR

A.    Tafsir Surat al-Hujurat ayat 9-13 tentang Masyarakat
            Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam telah memberikan perhatian terhadap aspek masyarakat, hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat yang memberikan pembinaan nilai-nilai akhlak seorang mukmin kepada mukmin yang lain demi terciptanya sebuah perdamaian. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 9-10:
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ̍øBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ,$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè?  
"Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."

            Dalam ayat ini jelas sekali perintah Tuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu hendak berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain segera mendamaikan kedua golongan yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian tersebut terjadi karena timbul salah faham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga untuk mendamaikan kedua golongan tersebut. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,
اُنْصُرْ اَخَاكَ ظَالِمًا اَوْ مَظْلُومَا, قُلْتَ: يَا رسول الله, هذا نَصَرْتُهُ مَظْلُوْمًا. فَكَيفَ اَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَذَاكَ نَصْرُكَ اِيَّاهُ
            “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi.” Lalu ku tanyakan: “Ya Rasulullah, menolong orang yang dizhalimi itu aku dapat mengerti, lalu bagaimana aku menolong orang yang zhalim ?” beliau menjawab” yaitu engkau mencegahnya dari berbuat zhalim, dan itulah pertolonganmu untuknya.”
            Akan tetapi, bila ada satu pihak yang tidak mau berdamai. Orang yang tidak mau berdamai itu di dalam ayat ini disebut orang yang menganiaya. Maka orang yang ingin mendamaikan itu hendaklah memerangi pula orang yang tidak mau berdamai, sampai dia kalah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu barulah dicari jalan perdamaian yang diputuskan dengan adil. Karena apabila orang yang mendamaikan perkara tersebut bersikap adil, niscaya kedua golongan itu akan menerima dan merasa puas menerima keadilan itu. Dari ayat ini, diketahui bahwasanya kedua orang islam yang telah berkelahi sampai menumpahkan darah masih disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang beriman.[18]
            Surat al-Hujurat ayat 10 masih memiliki kaitan yang erat dengan ayat 9. Dari ayat ini diperingatkan tentang pangkal dan pokok hidup orang beriman yaitu persaudaraan. Oleh sebab itu, apabila terdapat dua golongan orang beriman pastilah kedua-duanya bersaudara. Maka apabila terdapat dua golongan yang berselisih, pihak ketiga: “damaikanlah diantara kedua saudaramu” lalu tunjukkan  pula bagaimana usaha Perdamaian agar berhasil, “dan bertakwalah kepada Allah” artinya bahwa di dalam segala usaha mendamaikan itu tidak ada maksud lain, tidak ada keinginan lain, melainkan semata-mata karena mengharap ridha Allah, karena rasa kasih sayang yang timbul diantara orang-orang yang beriman, di antara dua orang yang berselisih dan orang yang mendamaikan,”supaya kamu mendapat rahmat”.[19]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$#  ,$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§
 
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Q.S. al-Hujurat: 11-12)

Allah Swt melalui surat al-Hujurat ayat 11 memberi peringatan dan nasihat tentang sopan santun dalam pergaulan hidup kepada kaum yang beriman, yaitu agar “janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain” baik dengan perkataan, ucapan maupun perbuatan yang menunjukkan sikap menghina sesama saudara muslim. Selanjutnya Allah berfirman “dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri” artinya janganlah kalian saling mencela. Kata al-Lamz adalah mencela dengan perkataan, sedangkan al-Hamz adalah mencela dengan perbuatan. “dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”. Artinya janganlah salah satu dari kalian menghina saudaranya dan jangan memberikan julukan yang tidak disukai. Inilah yang disebutkan sebagai pemberian julukan yang tidak disukai. Inilah yang disebutkan sebagai pemberian julukan tidak baik sedangkan pemberian julukan yang terpuji tidak termasuk dalam ayat ini.[20]
Pada ayat ke 12 surat al-Hujurat, Allah melarang banyak prasangka tidak baik terhadap orang-orang mukmin, karena  “Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” seperti praduga yang jauh dari kenyataan dan tidak ada indikasinya, seperti juga prasangka buruk yang diikuti dengan perkataan dan perbuatan yang diharamkan. “dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” yakni janganlah kalian mencari kesalahan kaum muslimin. Menurut Ibn Katsir kata tajassasu lebih sering digunakan untuk kejahatan, sedangkan kata tahassasu  sering digunakan pada hal yang baik.[21]
Selanjutnya Allah Swt menyebutkan perumpaan agar kita menjauhi ghibah seraya berfirman, “dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain” ghibah sebagaimana disebutkan oleh Nabi adalah:
ذِكْرُكَ اَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ وَلَوْ كَانَ فِيْه
“Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai saudaramu meski hal itu benar terdapat pada dirinya.”

            Firman Allah Swt. dalam surat al-Hujurat ayat 13:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz  
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat: 13)

            Allah Swt berfirman seraya memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari satu jiwa, dan darinya Dia menciptakan pasangannya, yaitu adam dan hawa, dan selanjutnya Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa.[22] Di dalam surat al-Hujurat ayat 13 ditegaskan bahwasanya terjadi berbagai bangsa, berbagai suku sampai kepada perinciannya yang lebih kecil, bukanlah agar mereka bertambah lama bertambah jauh, melainkan supaya mereka saling kenal-mengenal satu sama lain. kenal-mengenal dari mana asal-usulnya, dari mana nenek  moyangnya, dan dari mana asal keturunannya dahulu kala.[23]
            Mengenai firman Allah Swt (لِتَعَارَفُوْا) “supaya kamu saling kenal-mengenal,” Mujahid berkata:”sebagaimana dikatakan fulan bin fulan dari anu dan anu atau dari kabila anu dan kabilah anu.” Sufyan al-Tsauri berkata: “orang-orang Humair menasabkan diri kepada kampung halaman mereka. Sedangkan orang Arab Hijaj menasabkan diri kepada kabilah mereka.” Oleh karenanya as-Sa’di menegaskan tujuan dari dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar berbagai hal positif dapat terwujud dengan proses saling mengenal satu sama lain serta pemaduan nasab.[24]
             Ukuran kemuliaan diantara mereka di sisi Allah Swt hanyalah ketakwaan. Orang yang paling mulia di antara mereka adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah Swt, paling banyak melakukan ketaatan serta paling mampu mencegah diri dari kemaksiatan, bukan yang paling banyak kerabat serta kaumnya, bukan pula yang keturunannya paling terpandang (karena status sosial). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya:”siapakah orang yang paling mulia?” maka beliau bersabda: “yang paling mulia diantara mereka di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara mereka.” Para sahabat bertanya: “bukan masalah ini yang kami tanyakan kepadamu. Beliau menjawab:”Jadi, orang yang paling mulia adalah Nabi Yusuf putera Nabi Allah, putera Nabi Allah, putera kekasih Allah.” Bukan ini yang hendak kami tanyakan kepadamu,” papar mereka. “kalau begitu, apakah yang kalian tanyakan kepadaku itu tentang orang-orang arab yang paling mulia ?” tanya beliau. “Ya”, jawab mereka. Beliau bersabda:”yang terbaik dari mereka pada masa jahiliyyah adalah yang terbaik dari mereka pada masa islam, jika mereka benar-beanr memahami.”
            Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
اِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ
            “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (H.R. Muslim)

B.     Karakteristik Masyarakat Islami
Dari pemaparan surat al-Hujurat ayat 9-13 dapatlah diketahui bahwa tujuan utama diciptakannya manusia dalam keadaan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenal satu sama lain demi terciptanya masyarakat yang islami.
Dalam mencapai tujuan tersebut, sudah seharusnya kita mengetahui bagaimanakah karakteristik masyarakat islami itu?. Pada makalah ini, penulis akan menggunakan model perintah[25] dan larangan[26], sebagai model pendidikan akhlak di dalam al-Qur’an, Oleh karenanya, penulis dalam makalah ini akan mengurai karakteristik masyarakat islami yang terkandung di dalam al-Qur’an melalui 2 (dua) model tersebut, yaitu:
1.      Model perintah
a.        Melaksanakan Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
Allah telah menjadikan masyarakat islami sebagai suatu Masyarakat yang memerintahkan untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, sebagaimana telah diisyaratkan dalam pembahasan tentang “landasan Tasyri’i pendidikan islam” Allah Swt berfirman:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#  
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(Q.S. Ali Imran: 104)
Allah Swt. Berfirman pula dalam surat Ali Imran ayat 110:
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ ...
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah... (Q.S. Ali Imran: 110)

            Mendidik anak berdasarkan asas ini berarti menjaga fitrah mereka dari kotoran dan perbuatan salah, atau ikut-ikutan dalam kenistaan. Sebab, ditinjau dari suatu sisi, membiarkan anak-anak memandang yang nista sebagai hal yang biasa atau bahkan sebagai yang baik dapat mengundang mereka untuk melakukannya tatkala mereka sudah besar dan mampu melakukannya. Ditinjau dari segi yang lain, salah satu kewajiban orang dewasa adalah menanamkan makna keimanan ke dalam hati anak-anak pada berbagai kesempatan dengan mengarahkan perhatian mereka kepada setiap gejala alam yang membuktikan kekuasaan, keagungan dan wahdaniyat Allah, mengarahkan dan mendidik tingkah laku mereka dengan adab-adab islam, menasihati mereka ketika masuk masjid dan mengajarkan mereka ibadah kepada Allah dan adab-adab masjid.[27]

b.      Menjaga Nilai-Nilai Persaudaraan
Masyarakat islami akan terbentuk apabila seluruh warganya menjalin persaudaraan. Persaudaraan tidak akan terjadi jika tidak ada rasa saling mencintai dan bekerja sama. Bentuk persaudaraan yang dianjurkan dalam al-Qur’an tidak hanya persaudaraan satu aqidah namun juga dengan masyarakat lain yang berbeda aqidah. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa sesama mukmin adalah bersaudara. Hal tersebut dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 10:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) ...
“Sesungguhnya Orang-orang beriman itu bersaudara...” (Q.S. al-Hujurat: 10)

                        Dengan menanamkan rasa persaudaraa, niscaya akan menjauhkan seseorang dari perbuatan buruk seperti, melecehkan, menghina, dan lain sebagainya.[28]

c.       Anjuran untuk Saling Tolong-Menolong
Pendidikan islam menyatakan bahwa masyarakat muslim merupakan satu kesatuan kehidupan. Rasulullah Saw telah mengumpakan masyarakat ini sebagai satu tubuh, Beliau bersabda:
تَرَى اْلمُؤمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِهِمْ وَ تَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه البخارى)
“Engkau melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai dan menyayanginya seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya terserang sakit, maka seluruh tubuh tidak akan dapat tidur dan merasa demam”.
                        Berdasarkan hadits diatas, jelaslah perihal al-Qur’an memerintahkan kita untuk saling tolong-menolong, sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:
 ...Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# 
“... dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Maidah: 2)

                        Ayat ini menunjukkan, bahwa tali-temali kasih sayang yang menjadi dasar tolong-menolong antar anggota masyarakat muslim, semata-mata untuk diterapkan dalam melakukan kebaikan, kebajikan dan ketaqwaan, yakni ketakutan untuk melakukan maksiat atau syirik kepada Allah, jauh dari syariat-Nya atau menganiaya orang lain dengan jalan yang tidak benar. Oleh karena itu, Allah melarang tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.
                        Inilah yang membedakan pendidikan islam, yang mendidik masyarakat muslim untuk melakukan kebaikan, kebajikan dan keadilan tanpa fanatisme. Dan inilah yang membedakannya dengan pendidikan yang sekedar bertujuan mewujudkan “warga negara yang baik” yang fanatik kepada bangsa dan negaranya, tanpa bertujuan merealisasikan kebaikan, keadilan atau menjauhkan kejahatan dari orang lain.
                        Di antara hal-hal yang dapat merealisasikan makna tolong-menolong dalam pendidikan masyarakat  islam adalah memenuhi kebutuhan manusia, menyingkirkan kesusahan, menutupi aib, dan menasihati mereka agar menjauhi perbuatan tercela jika itu mungkin dapat ditinggalkan. Demikianlah seorang anak akan tumbuh berkembang dalam suatu masyarakat yang padu, dengan mengutamakan orang lain, jauh dari sifat egoisme, selalu menolong orang lain demi kebenaran dan kebaikan, membuat orang lain gembira dan menyingkirkan berbagai kesusahan orang lain.[29]

d.      Mendidik seseorang agar cintanya semata-mata karena Allah
Pendidikan masyarakat dijalankan atas dasar perasaan-perasaan sosial, perasaan yang paling penting adalah kecintaan. Kecintaan itu lahir dari kedua orang tua kepada anak. Jika keduanya memberikan apa yang dibutuhkan seorang anak seperti kecintaan, kasih sayang dan perhatian. Maka akan bersemi pulalah padanya benih cinta terhadap sesama. Akan tetapi jika kedua orang tuanya tidak memberikan kecintaan yang dibutuhkannya, maka akan tumbuh pulalah padanya hati yang gersang, sikap acuh, rasa jemu dan cemburu bahkan bibit benci kepada orang lain.
Pendidikan islam menyandarkan kecintaan kedua orang tua pada satu sumber kecintaan yang sungguh, yang terus menerus dan tidak kunjung berhenti, yakni cinta kepada Allah. Allah Swt. telah memberikan nikmat kepada kita dan mengasihi kita di kala mengalami kesusahan, saat kita mengalami berbagai cobaan dan ujian dan di saat kita kembali menghadap-Nya, berdoa kepada-Nya. Maka Dia akan melenyapkan segala nista dan nestapa.
Atas dasar kecintaan Allah inilah orang mukmin mencintai sesamanya yang hidup dalam suasana saling tolong-menolong, mencintai dan mentaati Allah, tunduk kepada syariat-Nya, dan merasa mulia dengan berjalan di bawah panji-Nya. Inilah yang disebut dengan kecintaan karena Allah. Rasulullah Saw bersabda dalam haditsnya,
ثَلَاثٌ مَن كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْاِيْمَانِ: اَنْ يَكُوْنَ الله وَرَسُوْلُهُ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَاَنْ يُحِبَّ اْلمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ اِلَّا لله. وَاَنْ يَكْرَهُ اَنْ يَعُوْدَ فِى اْلكُفْرِ بَعْدَ اَنْ اَنْقَذَهُ الله مِنْه, كَمَا يَكْرَهُ اَنْ يُقْذَفَ فى النَّارِ (رواه متفق عليه)
“Ada tiga perkara yang jika ketiganya berada pada seseorang, maka dia akan mendapatkan manisnya iman, hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, hendaknya dia mencintai seseorang dan dia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan hendaknya dia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana dia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (H.R. Mutafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw. telah menetapkan bahwa mencintai suatu kaum yang menolong Allah dan Rasul-Nya adalah salah satu tanda keimanan dan bahwa membenci mereka adalah salah satu tanda kemunafikan.[30]
2.      Model Larangan
Didalam al-Qur’an, model larangan ini banyak dijumpai di beberapa surat termasuk surat al-Hujurat ayat 11 dan 12, seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, setidaknya ada 6 larangan yang terdapat pada kedua ayat tersebut, yaitu:
a.       Larangan mengolok-olok
b.      Larangan mencela diri sendiri
c.       Larangan memanggil orang dengan panggilan gelar yang buruk
d.      Larangan Berburuk sangka
e.       Larangan Mencari kesalahan orang lain
f.       Larangan Ghibah
Maka, karakteristik masyarakat islami mengenai nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 9-13, apabila hal-hal ini dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari akan menciptakan sebuah masyarakat yang aman, nyaman dan damai, serta kentalnya nuansa persaudaraan antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tujuan konsep masyarakat islami.


























BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI

            Pemahaman terhadap konsep masyarakat islami sangat diperlukan dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan saat ini. Berkenaan dengan hal itu terdapat 4 (lima) gambaran mengenai hubungan konsep masyarakat dengan pendidikan, diantaranya:
            Pertama, bahwa gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan. dalam hubungan ini visi pendidikan dapat dirumuskan, dengan menyatakan pendidikan sebagai pusat keunggulan bagi pembentukan masyarakat yang beradab yakni, masyarakat islami. Sedangkan misinya adalah membangun masa depan bangsa yang lebih cerah. Sedangkan tujuannya menghasilkan sumber daya manusia yang siap memajukan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai islami.
            Kedua, bahwa gambaran masyarakat yang ideal (masyarakat islami) harus dijadikan landasan bagi pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat, yaitu pendidikan yang melihat masyarakat bukan hanya sebagai sasaran atau objek penyelenggara pendidikan melainkan sebagai mitra dan subyek penyelenggara pendidikan. masyarakat harus dilihat sebagai suatu keadaan dimana didalamnya terdapat berbagai potensi yang amat luas untuk diberdayakan bagi penyelenggaraan pendidikan.
            Ketiga, perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat juga harus di pertimbangkan dalam merumuskan tujuan pendidikan. pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dibutuhkan oleh masyarakat atau lapangan kerja.
            Keempat, perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dijadikan landasan bagi perumusan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sangat penting diperhatikan, karena dunia pendidikan sering mendapatkan kritik dari berbagai kalangan yang disebabkan karena tidak mampu menghasilkan lulusan yang siap pakai.[31]
BAB V
KESIMPULAN

Kandungan al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9-13, menyatakan bahwa Masyarakat islami terbentuk dari kokohnya persaudaraan seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh bangsa, warna kulit, kekayaan dan wilayah melainkan didasari oleh ikatan aqidah. Persaudaraan merupakan pilar masyarakat Islam dan salah satu basis kekuatannya. “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya bagaikan bangunan yang saling mengikat dan menguatkan serta bagaikan jalinan antara jari-jemari.”
Nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 menjadi salah satu acuan kita dalam membentuk masyarakat yang ideal yakni masyarakat islami.  Akhlak merupakan cermin kepribadian seseorang, sehingga baik buruknya seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam berprilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika Al-Qur’an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman bathin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan.
Allah menciptakan kita bermacam-macam dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal, saling tolong menolong, saling menghormati, dan berlaku adil dalam kehidupan bermasyarakat serta meninggalkan hal-hal yang dapat memicu permusuhan di tengah masyarakat. Sesungguhnya Allah hanya mengukur kemulian seseorang dengan ketaqwaannya.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Tafsirnya, Kementrian Agama
Al-Husayn , Abi al-Qasim Ibn Muhammad, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Mesir: al-Halabi.
Al-Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Jalalain (terj. Oleh Bahrun Abu Bakar, L.C),Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, CV. Diponegoro: Bandung
As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir, Tafsir taysir al-Karim al-Rahman, Jakarta: Darul haq, 2011.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Nasional: Singapura, 2003.
Ibn Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1414.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir kamus arab-indonesia, surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Muslim Ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim (Diterjemahkan oleh Ma‘mur Daud), Widjaya, Jakarta, 1993.
Nata, Abudin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo persada, 2002.
Praja, Juhaya S., Tafsir Hikmah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Syafri, Ulil Amri, Pendidikan karakter berbasis al-Qur’an, jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014
http://tv.liputan6.com/read/2310832/saling-ejek-warga-cipinang-tawuran-di-tpu-prumpung.




[1] Muslim Ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim (Diterjemahkan oleh Ma‘mur Daud), Widjaya, Jakarta, 1993, Juz IV, hlm. 204.
[2] http://tv.liputan6.com/read/2310832/saling-ejek-warga-cipinang-tawuran-di-tpu-prumpung
[3] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir kamus arab-indonesia, surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 209
[4] Ibn Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1414 H, jilid 9, hlm. 403
[5] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 131
[6] Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo persada, 2002, hlm.233
[7] Ahmad Warson Munawwir, op.cit, hlm. 39
[8] Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo persada, 2002, hlm.232
[9] Abi al-Qasim al-Husayn Ibn Muhammad, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Mesir: al-Halabi, hlm.28
[10] Lihat Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo persada, 2002, hlm. 234
[11] Ahmad Warson Munawwir, op.cit, hlm. 1172
[12] Abudin Nata, op.cit, hlm. 235
[13] Imam Jalaluddin al-Mahali dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Jalalain (terj. Oleh Bahrun Abu Bakar, L.C),Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001,  jilid 4, hlm. 2238
[14] Ibid, hlm. 723
[15] Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya, hlm. 419
[16] Ibid, hlm. 1088
[17] Imam Jalaluddin al-Mahali dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op.cit,  jilid 4, hlm. 2238
[18] Lihat HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Nasional: Singapura, 2003, Jilid 9, hlm. 6823-6825
[19] Ibid. Hlm. 6826
[20] Lihat Syaikh Abdurrahman bin nashir as-Sa’di, Tafsir taysir al-Karim al-Rahman, jakarta: Darul haq, 2011, hlm. 661
[21] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Darr al-Hilal: Kairo, 2005, Juz. 7, hlm. 490
[22] Ibid,  hlm. 495
[23] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, pustaka Nasional: singapura, 2003, jilid 9, hlm. 6834
[24] Lihat Syaikh Abdurrahman bin nashir as-Sa’di, Tafsir taysir al-Karim al-Rahman, jakarta: Darul haq, 2011, hlm. 661
[25] Lihat Ulil Amri Syafri, Pendidikan karakter berbasis al-Qur’an, jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hlm. 99
[26] Ibid. 106
[27] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, CV. Diponegoro: Bandung, hal. 248
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31][31]  Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo persada, 2002, hlm. 245-246

Categories: