PENDIDIKAN KELUARGA

Posted by Unknown on 22:47
BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
            Proses pendidikan dalam Islam dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor pembawaan dari dalam diri manusia, faktor lingkungan, dan faktor hidayah dari Allah.[1] Di kalangan para ahli pendidikan pada umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya, terdapat kesepakatan bahwa lingkungan pendidikan terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.[2]
Rumah memiliki peran yang sangat sentral dalam pendidikan anak. Bisa dikatakan bahwa segala sesuatu bermula dari rumah. Bila pendidikan dalam rumah tidak berjalan atau lemah maka si anak akan jatuh dalam pendidikan-pendidikan di luar rumah yang masih belum jelas arahnya.[3] Pendidikan yang bersifat normatif, pertama dan paling utama adalah lingkungan keluarga. Selanjutnya pendidikan yang bersifat eksploratif diberikan di lingkungan sekolah. Dan pendidikan yang bersifat aplikatif diberikan di lingkungan masyarakat.[4]
Keluarga muslim adalah aset terbesar yang berperan dalam menegakkan peradaban Islam. Keluarga yang menerapkan metode pendidikan yang baik, maka masyarakat akan memberikan respons yang baik terhadap keluarga tersebut.  Rasulullah S.A.W bersabda
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ [5]
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”. (HR. Bukhari, Abu Daud, Ahmad)
            Menurut Prof. Dr. Abudin Nata bahwa fungsi rumah sebagai tempat pendidikan dapat dilihat dari dua aspek. Di antaranya yaitu; Pertama, dari segi informal, yakni pendidikan yang dilakukan oleh kedua orang tua terhadap putra-putrinya. Pendidikan di rumah ini ditekankan pada pembinaan watak, karakter, kepribadian, dan keterampilan mengerjakan pekerjaan atau tugas keseharian yang biasa terjadi di rumah tangga. Kedua, dari segi pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang dilakukan di rumah dalam bentuk materi pengajaran, guru, metode pengajaran dan lainnya yang tidak dilakukan secara formal. Pedidikan nonformal yang dilakukan di rumah contohnya seperti pendidikan penanaman aqidah bimbingan membaca dan menghafal al-Qur’an.[6]
           Remaja sebagai generasi muda yang akan memegang tongkat estafet untuk menegakkan dan mewarisi cita-cita bangsa di masa depan. Namun demikian, pemerintah dan masyarakat pada saat ini masih prihatin mengenai masalah remaja. Karena ternyata rasa patriotisme, nasionlisme dan budi pekerti kaum remaja mulai menurun jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. [7]
Masa remaja adalah masa transisi antara masa anak-anak dan orang dewasa. Pada masa transisi ini, para remaja berada pada masa independency dan dependency, sehingga jiwanya masih labil, sehingga pada masa ini pula para remaja sering mengalami berbagai problem, baik problem fisik maupun sosial.[8]
Masalah remaja adalah suatu masalah yang sebenarnya menarik untuk dibicarakan, lebih-lebih pada akhir-akhir ini di mana telah timbul akibat negatif yang sangat mencemaskan, yang akan membawa kehancuran bagi remaja itu sendiri dan masyarakat pada umumnya.[9]
Hal ini tentu saja akan menimbulkan kegelisahan dan keprihatinan dari segenap lapisan masyarakat terutama para orang tua dan pendidik. Karena para remaja yang nantinya diharapkan sebagai generasi penerus. Apabila generasi muda itu rusak, tentu mereka tidak dapat diharapkan untuk membangun dan mengisi kemerdakaan ini.[10]
            Fenomena  yang menjadi trend di era globalisasi ini adalah konsep kesetaraan gender. Konsep kesetaraan gender (gender equality) memiliki konsep dan bangunan dasar bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama, dan hukum, serta faktor-faktor lainnya yang berlaku dalam suatu masyarakat di mana konsep ini berdasarkan tuntunan nilai-nilai hak asasi manusia secara universal, tanpa mendasarkan pada teks agama. Kesetaraan gender Barat menuntut pembebasan dari penindasan yang dilakukan kepada perempuan dalam berbagai aspek.[11]
            Isu tentang gender sebenarnya tidak memiliki soal, bila ia tidak menimbulkan ketidak adilan dan kesewenangan terhadap kaum wanita. Persoalannya, cara seseorang memandang ketidak adilan gender itu sendiri menjadi bias bila kemudian ia lahir dari satu bentuk kultur dan pandangan hidup (worlview) tertentu, dan dipaksakan sebagai sesuatu yang rasional kepada kultur dan pandangan hidup lainnya. Sebagai contoh, Islam menetapkan tugas dan kedudukan laki-laki dalam lingkup rumah tangga sebagai kepala keluarga sedangkan istri (wanita) sebagai anggota keluarga. Dalam pandangan feminis yang mengangkat isu gender, jelas budaya hidup seperti ini tidak menguntungkan pihak wanita, dimana mereka ”merasa” diatur dan dikendalikan oleh kekuatan lelaki.Mereka memandang, kewajiban menaati suami hanya menjadikan istri sebagai budak kebutuhan biologis suami yang menjadi hak milik dan kuasa suami. Oleh karenanya, kaum feminis juga menganggap bahwa isu ketidakadilan gender sangat dipengaruhi teks-teks agama, dan agama adalah salah satu dari sarang ketidakadilan gender.[12]
Di tengah masyarakat Barat, salah satu poros kesetaraan hak pria dan wanita adalah pekerjaan dan karir wanita di luar rumah. Barat, dengan mengabaikan perbedaan alamiah antara pria dan wanita, mengangkat masalah kesamaan kerja di antara mereka. Dalam banyak kasus, trend ini telah merusak mental wanita dan meruntuhkan institusi keluarga. Sosiolog AS, Gerhard Lenski dalam bukunya yang berjudul “Human Societies” menulis: “Melibatkan kaum wanita secara gegabah dalam kegiatan industri dan pekerjaan telah meningkatkan angka perceraian dan kriminal.[13]
Mayoritas psikiater meyakini bahwa wanita dengan ciri khas mental dan fisiknya, tidak dapat memainkan dua peran sekaligus dengan baik, yaitu peran sebagai istri sekaligus ibu dan peran sebagai wanita karir. Menurut mereka, dalam kebanyakan kasus, tuntutan profesi dan peran sebagai istri dan ibu sering kali terabaikan. Dokter wanita dari AS, Jessica Anderson menilai kemajuan pendidikan dan pekerjaan wanita sama dengan kemajuan mereka dalam memainkan tugas sebagai istri dan ibu.[14]
Kini, pengabaian terhadap posisi dan peran ibu dalam mendidik anak telah membuat masyarakat Barat mengalami krisis sosial yang serius. Sosiolog AS, Davis Kingsley menulis, “Tampaknya, salah satu kinerja utama sistem pendidikan di Barat adalah mengasingkan anak dari orang tuanya”. Dalam masyarakat modern, ibu lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan lingkungan kerja, sementara anak-anak diserahkan pada pusat-pusat penitipan anak. Ketika sampai di rumah, sang ibu pun merasa letih dan tidak mampu lagi memainkan peran keibuannya dengan baik.[15]
Permasalahan keluarga yang juga menjadi suatu keprihatinan adalah perceraian. Jumlah perceraian di Indonesia semakin meningkat. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), kurun 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Dari data Ditjen Badilag 2010, kasus tersebut dibagi menjadi beberapa aspek yang menjadi pemicu munculnya perceraian. Misalnya, ada 10.029 kasus perceraian yang dipicu masalah cemburu. Kemudian ada 67.891 kasus perceraian dipicu masalah ekonomi. Sedangkan perceraian yang dipicu karena masalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga mecapai 91.841 perkara.[16]
           Realitas dari berbagaimasalah tersebut adalah hal yang menjadi perhatian bagi kaum muslimin. Di mana permasalahan tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psikologi anggota keluarga. Perilaku seseorang yang diaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat adalah hasil pembinaan dan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya ketika di rumah. Karena keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Keluarga yang memiliki nuansa edukatif akan menjadikan seorang anak tumbuh menjadi remaja yang memiliki akhlak yang baik serta menjadi remaja yang diharapkan masyarakat. Keluarga yang harmonis akan menjadikan solusi bagi setiap permasalahan yang ada. Dengan keharmonisan tersebut, akan meminimalisir tumbuhnya angka perceraian yang terjadi.
           Dalam mewujudkan keluarga yang ideal, jalan untuk menempuhnya tidaklah mudah. Islam memberikan perhatian khusus terhadap pembinaan dan pendidikan keluarga. Al-Qur’an telah memberikan metode yang terbaik dalam hal pendidikan dan pembinaan di keluarga untuk mewujudkan keluarga yang idamkan setiap muslim.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang tertera di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep keluarga sebagai institusi pendidikan?
2.      Bagaimana implementasi keluarga sebagai institusi pendidikan menurut Al-Qur’an dan sunnah?


BAB II
KAJIAN TEORITIS
  1. Definisi Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah ibu bapak dengan anak-anaknya seisi rumah. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
            Dalam Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Pasal 1 ayat 6 menyebutkan “Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.”
Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.[17]
Secara psikologis keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan bathin sehingga terjadi saling memengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sementara secara pedagogis, keluarga adalah persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang yang dikukuhkan dengan pernikahan, dan bermaksud untuk saling menyempurnakan.[18]
            Pendidikan dalam arti sempit berupa usaha sadar dari orang dewasa untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan anak didik untuk mencapai kedewasaannya, sedangkan dalam arti luas adalah proses perubahan tingkah laku manusia untuk perkembangan kepribadian dan kemampuannya.[19]Sedangkan yang dimaksud keluarga sebagai institusi pendidikan dalam pembahasan ini adalah bahwa lingkungan keluarga sebagai lingkungan yang utama harus menjadi pendukung dalam menjalankan peran pengabdiannya kepada Allah. Karena pendidikan merupakan hak bagi setiap anak. Maka orang tua harus memberikan pendidikan dan pembinaan yang terbaik yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.


BAB III
KAJIAN TAFSIR
A.    Konsep Keluarga Sebagai Institusi Pendidikan         
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama di mana anak mulai mengembangkan diri sebagai makhluk sosial. Kehidupan keluarga, dengan segala macam tingkah laku dan pergaulan orang tua ataupun anggota keluarga yang lain biasanya menjadi contoh bagi anak. Pengalaman anak dalam keluarga merupakan dasar bagi perkembangan tingkah lakunya kelak.[20]
Lingkungan keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat, sangat penting artinya dalam pembinaan masyarakat bangsa. Apabila tiap-tiap keluarga hidup tentram dan bahagia, maka dengan sendirinya masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga yang bahagia itu akan aman dan tentram pula.[21]
Sebagai institusi pendidikan pertama, anak pertama kali mengenal lingkungan sosialnya di dalam keluarga, mendapatkan pengaruh secara fisik dan psikis untuk pertama kalinya dari anggota keluarga. Sementara sebagai institusi pendidikan yang utama, keluarga memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan dalam lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak untuk tumbuh dan berkembang secara tepat. Keluarga dapat berperan dalam meletakkan dasar pendidikan agama dan sosial.[22]
              Dikatakan oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh, bahwa rumah (keluarga) muslim bagaikan pioneer dari sebuah masyarakat Islam. Rumah diibaratkan sebagai benteng dari sebuah aqidah. Dan sebuah benteng haruslah dijaga ketat dari serangan musuh. Setiap orang yang berada di benteng tersebut bertanggung jawab untuk menjaganya dari setiap sudut. [23]
Pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan ini adalah karena ia melibatkan anak-anak dalam tahap awal hidupnya, di mana hubungan-hubungan dan pengalaman-pengalaman sosialnya belum cukup luas, juga belum sanggup berdikari untuk menanggapi suasana dan sekelilingnya[24]
Berkenaan dengan berbagai keistimewaan orang tua dalam hubungannya dengan anak tersebut, maka ajaran Islam sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an memberikan perhatian yang cukup besar dalam mengupayakan lahirnya keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Agama Islam sangat berkepentingan dalam pembentukan rumah tangga yang dapat mendidik anak-anak yang baik.[25]
   Sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rum: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Keluarga memiliki pengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Hal ini disebabkan; tanggung jawab orang tua pada anak bukan hanya bersifat duniawi, melainkan ukhrawi dan teologis, orang tua tidak hanya memberi pengaruh yang bersifat empiris, akan tetapi hereditas dan genesitas. Anak lebih banyak tinggal dan berada di rumah daripada di luar rumah, keluarga lebih dahulu memberikan pengaruh, dan pengaruh tersebut lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh yang datang setelahnya.[26]
Islam memandang keluarga sebagai lingkungan bagi individu di mana ia berinteraksi. Dari hal tersebut ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan dan emosinya. Juga pentingnya keluarga bukan hanya kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengganggapnya institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit sosial yang utama. Oleh sebab kepentingan berganda yang dimiliki oleh keluarga inilah maka masyarakat Islam berusaha keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan mengusahakan segala jalan untuk memperkokoh keluarga.[27]
Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ayyuhal Walad menetapkan makna tarbiyah adalah bagaikan seorang petani yang tengah mencabut duri dan membuang tanaman asing yang mengganggu di antara tumbuhan yang ia tanam, agar tanaman tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik.[28]  Bahwa untuk mentarbiyah seorang anak dan menginginkan anak agar berkembang dengan baik, orang tua harus menghindari dari hal yang dapat memberikan dampak negatif bagi anak.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah at-Tahrim: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)

 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya,[29] mengenai firman Allah Ta’ala,
قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗ Mujahid mengatakan “Bertakwalah kepada Allah dan berpesanlah pada keluarga kalian untuk bertakwa kepada Allah.” Sedangkan Qatadah mengemukakan, “Yakni hendaklah engkau menyuruh mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka, dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.
 Demikian itu pula yang dikemukakan Adh-Dhahak dan Muqatil bin Hayyan, di mana mereka mengatakan, “setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal-hal yang diwajibkan Allah kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.
           Firman-Nya lebih lanjut وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ“yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”Kata  وَقُود berarti bahan bakar yang tubuh ummat manusia dilemparkan ke dalamnya. وَٱلۡحِجَارَةُ“Dan batu,” ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah patung yang dijadikan sembahan.
 Dan firman Allah selanjutnya عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَاد“penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang keras.” Maksudnya karakter mereka sangat keras, dan hatinya telah dihilangkan rasa kasihan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah. Berkenaan dengan ayat ini Ali Bin Abi Thalib telah berkata, “Yakni ajarilah dirimu dan keluargamu nilai-nilai kebaikan.”
            Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَار adalah menjaga diri dengan menunaikan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta bertaubat dari perbuatan yang membuat Allah murka dan mengundang azab serta menjaga keluarga dan anak-anak dengan cara mendidik, mengajarkan serta memaksa mereka untuk menunaikan perintah-perintah Allah. Seorang hamba tidak akan selamat hingga menunaikan perintah Allah terhadap dirinya sendiri dan orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti istri dan anak.[30]
            Sedangkan Sayyid Quthb memaparkan, kewajiban seorang mukmin membentengi dirinya dan keluarganya dari neraka, sebelum kesempatan itu sirna dan sebelum alasan dan uzur itu tidak bermanfaat lagi diutarakan. Lantas bagaimana orang-orang beriman melindungi dirinya dan keluarganya dari api neraka ini? Sesungguhnya Al-Qur’an (Q.S At-Tahrim: 8) menjelaskan jalannya dan memberikan harapan yang sangat mendalam bagi mereka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu"
            Maka inilah jalannya, yaitu taubat nasuha, taubat yang menjernihkan hati, membersihkannya dan memurnikannya. Kemudian ia tidak mengkhianatinya dan tidak mencuranginya. Ia adalah taubat dari maksiat dan dosa, yang dimulai dengan penyesalan atas segala yang terjadi sebelumnya, dan berlanjut dengan amal sholeh dan ketaatan. Pada saat itulah hati menjadi jernih, murni dan bersih dari noda-noda dosa dan pengaruh maksiat.[31]
            Sebagaimana biji tanaman yang hendak ditanam, tentunya membutuhkan lahan yang subur dan bersih dari penyakit atau tumbuhan pengganggu (gulma). Demikian halnya dengan anak-anak. Jika motivasi pembentukan lembaga keluarga didasarkan atas niat yang suci, maka hal itu identik dengan menempatkan janin pada lahan yang suci dari berbagai gangguan. Sebaliknya, jika motivasi pernikahan didasarkan pada pretensi-pretensi matrealistik, hal itu sama dengan menempatkan anak-anak pada lahan yang penuh dengan penyakit atau gangguan.[32]
            Suatu bangsa akan baik jika masyarakatnya baik, dan suatu masyarakat akan baik jika masing-masing keluarga dapat hidup secara baik pula. Demikian dengan suatu bangsa akan berkarakter kuat jika masyarakatnya memiliki karakter yang kuat. Masyarakat akan berkarakter kuat jika terdiri dari keluarga yang memiliki karakter yang kuat pula.[33]

  1. Aspek-aspek Pembinaan Dalam Keluarga
            Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan pembinaan dan pendidikan dalam lingkungaan keluarga. Dengan terbinanya keluarga dengan karakter yang baik, maka harus memulainya dengan pembentukan karakter sejak dini yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Mendidik bukanlah suatu urusan yang remeh, tetapi ini merupakan suatu keharusan yang dituntut, dan urusan yang membutuhkan perhatian. Membina atau mendidik membutuhkan kesungguhan yang luar biasa yang tidak mungkin akan diketahui dengan hanya bermalas-malasan dan membutuhkan pengerahan segenap potensi.[34] Pembinaan yang dapat dilakukan di dalam keluarga yaitu:

1.      Pembinaan Akidah dan Akhlak
Akidah yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseorang, merupakan hal yang terpenting dalam perkembangan pendidikan anak. Dan salah satu sarana yang bisa menguatkan akidah adalah ketika anak telah memiliki nilai pengorbanan dalam diri demi membela akidahnya yang ia yakini kebenarannya. Pada saat akidah serta keyakinan akan kebenaran Islam sudah tertanam kuat, maka dalam diri anak akan timbul keyakinan yang kuat dalam mempertahankan kebenaran ini.[35]
Luqman Al-Hakim memprioritaskan pendidikan tauhid kepada anaknya. Hal tersebut terbukti pada wasiatnya dalam surah Luqman ayat 13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (QS. Luqman [31]: 13)
   Hikmah yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah bahwa ketauhidan dan keimanan harus senantiasa ditanamkan dalam jati diri seorang anak. Hal tersebut merupakan pilar yang akan membentuk main set seorang anak dalam berpikir dan bertindak. Orang tua bertanggung jawab untuk mengenalkan keimanan kepada anak, agar ia tumbuh menjadi anak yang sholeh dan taat kepada Allah.[36]
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الأرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S Luqman [31]: 16)
            Dalam wasiat tersebut terdapat penjelasan bahwa kezaliman dan kesalahan itu meskipun seberat biji sawi, namun Allah akan menunjukkannnya pada hari kiamat ketika ditimbangnya amal perbuatan, dan memberikan balasan baginya, yang jika baik maka balasannya baik, dan jika buruk maka balasannya buruk.[37]
          Aidh Al-Qarni dalam Tafsir Muyassar menjelaskan bahwa dalam nasihatnya bagi anaknya, Luqman berkata “Seandainya kadar keburukan atau kebaikan sangat kecil, bagaikan sebiji sawi, dan tersembunyi di balik sebuah batu atau di sebuah tempat di langit dan di bumi, niscaya hal itu tidak luput dari pengetahuan Allah dan kelak Allah akan menghadirkannya di hari kiamat untuk memberi balasan kepada setiap orang sesuai amal perbuatannya. Jika baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan jika buruk, maka pelakunya akan menerima balasan yang buruk pula. Allah Maha Lemah Lembut kepada setiap hamba-Nya.  Dia membawa hal yang disukai kepada mereka dan mencegah hal yang tidak disukai dari mereka dengan cara yang paling halus. Dia Yang Maha Mengetahui, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya ataupun tidak terlihat oleh-Nya.[38]
Keistimewaan keluarga sebagai wadah pendidikan adalah terbukanya kesempatan para orang tua untuk membimbing dan memberikan arahan serta melakukan pengawasan yang bersifat continue terhadap anak. Selain itu, di tengah-tengah keluarga inilah orang tua harus menyemai akhlak mulia pada anak dengan mengajarkan beberapa adab yang terpuji.
Mengapa demikian? Sebab terbentuknya akhlak mulia pada diri seseorang sangat dipengaruhi oleh tempaan pendidikan yang dilaluinya. Karenanya, sangat penting bagi para orang tua untuk menanamkan adab dan akhlak yang terpuji. Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah yang murni dan perangai yang lurus.[39]
            Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga pribadi yang berakhlak baik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat yang baik pula. Akhlak dalam Islam juga memiliki nilai yang mutlak karena persepsi antara akhlak baik dan buruk memiliki nilai yang dapat diterapkan pada kondisi apapun. Tentu saja, hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang menempatkan akhlak sebagai makhluk yang mulia.[40]

2.      Pembinaan Ibadah
Allah Ta’ala berfirman dalam surah Thaha: 132
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (١٣٢)
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”
Mengenai ayat tersebut, Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kewajiban seorang muslim yang pertama adalah menyulap rumahnya menjadi rumah yang islami. Juga mengerahkan keluarganya agar melaksanakan kewajibannya yang menghubungkan mereka dengan Allah, sehingga orientasi langit mereka dalam kehidupan sama. Alangkah indahnya kehidupan dalam naungan rumah yang seluruh isi rumahnya menghadap Allah.
وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖyaitu melaksanakan secara sempurna dan merealisasikan pencapaiannya. Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Inilah realisasi pencapaian dari shalat yang benar. Shalat, ibadah dan menghadap Allah itu adalah beban yang diamanahkan kepadamu, dan Allah tidak mengambil sedikitpun darinya. Allah tidak memerlukanmu dan tidak memerlukan ibadah hamba-Nya.[41]
Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pembinaan akidah. Karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan kebenaran ajarannya. Kewajiban orang tua adalah mengarahkan kembali fitrah pengabdian anak pada sang Khalik yang telah tertanam padanya.
  Dr. Said Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya Tajribah Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, menjelaskan hubungan antara ibadah dengan pembinaan akidah anak. Beliau mengatakan, agar akidah anak tertanam kuat di dalam jiwanya, ia harus disiram dengan air ibadah dalam berbagai bentuk dan macam-macamnya, sehingga akidahnya dapat tumbuh dengan kukuh. Tegar dalam menghadapi terpaan badai dan cobaan kehidupan.[42]
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ (١٧)
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”(Q.S Luqman: 17)
            Luqman menyuruh anaknya untuk menegakkan shalat dengan sempurna sebagaimana telah diatur oleh syari’at. Sebab, shalat adalah tiang agama dan pencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Luqman juga menuyuruh anaknya untuk menyeru orang untuk berbuat yang ma’ruf, yaitu setiap kebaikan dan petunjuk yang dianggap baik oleh  dalil‘aqli dan dalil naql. Apabila kamu menyuruh orang untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah orang agar tidak berbuat mungkar maka pastilah kamu mendapat gangguan dari orang-orang itu, demikian jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul. Melakukan perbuatan-perbuatan baik adalah hal yang seharusnya dilakukan setiap orang dengan antusias, maka pelakunya akan diberi kedudukan yang mulia dan agung.[43]
            Dengan menegakkan shalat berarti melakukan perbaikan spiritual, memperkuat kepribadian dan meneguhkan hubungan dengan Allah, agar lidah, hati dan seluruh anggota badan selalu berada dalam bimbingan Allah, sehingga teraih keshalihan individu. Setelah itu, maka akan lahir amal-amal kebaikan yang tercermin amar ma’ruf dan nahi mungkar, sebagai wujud keshalihan sosial.[44]
            Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Sibrah bin Ma’bad Al-Juhani bahwa
قال رسول الله صلى الله عليه و سلّم : مروا أولادكم با الصلاة و هم أبناء سبع سنين، واضربوهم عليها و هم أبناء عشر،  و فرّقوا بينهم في المضاجع
Rasulullah bersabda “Apabila anak telah mencapi usia tujuh tahun, perintahkanlah dia untuk melaksanakan sholat, dan pada saat usianya telah mencapai sepuluh tahun, pukullah dia apabila meninggalkannya, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (H.R Ahmad dan Abu Daud)


3.      Pembinaan Mental Bermasyarakat
 Menurut S. Nasution, lingkungan sekitar tempat tinggal anak sangat memengaruhi perkembangan pribadi anak, karena di sanalah anak pertama kali mendapatkan pengalaman bergaul dengan teman-temannya di luar rumah sebagai pengalaman sosial baru. Lingkungan rumah atau tempat tinggal menjadi hal yang sangat menentukan dalam upaya mendukung suasana pendidikan keluarga yang baik pula.[45]
Cepat atau lambat, setiap orang pasti akan hidup sebagai individu yang mandiri di tengah-tengah masyarakat. Dia akan berinteraksi langsung dengan berbagai jenis karakter manusia lainnya. Karenanya, pembinaan kemasyarakatan termasuk perkara penting yang harus diberikan sejak dini. Tujuannya agar ia bisa beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan mampu menempatkan diri dengan sebaik-baiknya.[46]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠)
 Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (Al-Hujuraat: 10)
Orang tua harus mengenalkan anak pada lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat nilai-nilai kehidupan. Dan mengajarkan anak tentang adab-adab bergaul dengan orang lain.Di antara hikmah mengajak anak menghadiri majelis orang dewasa yaitu anak-anak bisa mendapatkan nasehat dan bimbingan. Seperti Ibnu Abbas r.a yang mendapat nasehat berharga dari Rasulullah, “Wahai anak kecil, Aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu.”
Dengan membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, akan terlihat kekurangankekurangan dan kebutuhannya. Dengan begitu seorang pendidik akan bisa membimbingnya ke arah yang lebih sempurna.
4.      Pembinaan Intelektual
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٧٨)
“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S An-Nahl: 78)
            Dalam kitab tafsirnya, Sayyid Quthb menerangkan, bahwa ilmu yang selama ini diakui manusia dan ia merasa tinggi dengannya sehingga ia ingin menguji kebenran hari kiamat dan alam ghaib lainnya, adalah ilmu yang dangkal yang baru saja ia peroleh, sebab “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun”
 “Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati” Dalam bahasa Al-Qur’an, hati terkadang diungkapkan dengan kata qalbu atau dengan kata fu’ad, untuk menjelaskan setiap alat (organ) pemahaman pada diri manusia. Hal ini meliputi apa yang diistilahkan dengan akal, juga potensi inspiratif (ilham) pada diri manusia yang tersembunyi dan tidak diketahui hakikatnya serta cara kerjanya. Allah memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati dalam rangka “agar kamu bersyukur.”[47]
Proses belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan pribadi dan perilaku individu. Belajar dapat diartikan sebagai usaha mengubah keadaan diri, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Karena itulah, Allah menurunkan wahyu pertama kepada Nabi dengan surah al-‘Alaq, yang kandungannya berisi perintah beriqra’. Rasulullah telah mengajarkan dasar pembinaan pertama yang dapat ditempuh seorang anak agar masa depannya dapat membentuk generasi yang seluruhnya mampu melaksanakan amanah Allah sebagai khalifah di muka bumi. Yaitu dengan cara menanamkan pada mereka rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan. Mencari ilmu merupakan sebaik-baik ibadah yang akan mendekatkan seorang hamba kepada sang Khalik.[48]

BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI
A.    Implementasi Keluarga Sebagai Institusi Pendidikan
1.      Metode Keteladanan
            Aturan Islam dalam mendidik anak sangat menekankan contoh teladan yang baik. Orang tua adalah contoh teladan sekaligus sebagai potret nyata bagi anak.[49] Anak akan selalu meniru tabiat orang tuanya, hingga orang tua yang akan pertama kali mencetak anak menjadi apa saja yang diajarkan oleh orang tua melalui perilaku diri mereka sendiri.[50]
            Setiap orang tua dituntut untuk memberikan keteladanan yang baik. Karena seorang anak selalu mengawasi dan memperhatikan apa yang dilakukan orang tuanya sepanjang waktu. Dan secara perlahan mulai meniru dan berlaku seperti mereka. Hingga jika mereka mendapati orang tuanya jujur, maka hal itu akan membentuk mereka menjadi orang yang jujur pula.[51]
            Allah Ta’ala berfirman
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفعَلُونَ ٣
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”(Q.S Ash-Shaff: 2-3)
            Mengenai ayat tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mentapkan suatu janji atau menetapkan suatu ucapan tetapi ia tidak memenuhinya. Oleh karena itu, ayat ini dijadikan landasan bagi ulama salaf yang berpendapat mengharuskan pemenuhan janji itu secara mutlak, baik janji tersebut adalah sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak.[52]
Konsep keteladanan dalam sebuah pendidikan sangatlah penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Karena seorang pendidik merupakan sosok figur dalam pandangan anak.[53]
Rahmat Rosyidi berpendapat bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama yang menuntut anak supaya mampu menyesuaikan diri dengan baik. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa orang tua merupakan sumber pelajaran pertama dan utama bagi anak supaya dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Kualitas pengasuhan yang diberikan orang tua akan mempengaruhi perkembangan kepribadian anaknya. Orang tua adalah penopang tata nilai dan standar moral masyarakat. Kelestarian tata nilai dan standar moral sangat tergantung pada keluarga khususnya orang tua untuk menyediakan lingkungan yang positif bagi anaknya. Sehingga anak dapat berperilaku dan bertindak sesuai dengan tata nilai dan moral yang berlaku.[54]
Dan dalam hal ini, sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara suami dan istri atau ayah dan ibu. Seorang ayah berkedudukan sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Sementara ibu adalah petugas lapangan yang secara langsung akan menjadi “madrasah pertama” bagi anak-anak mereka. Dapat dikatakan bahwa peran ibu lebih dominan daripada peran ayah. Demikian juga tabiat ibu yang lembut dan penuh kasih sayang membutnya lebih dekat di hati anak.[55]
           Dalam sebuah hadits dikatakan
أن عبد الله ابن عمر يقول سمعت رسول الله يقول:  كلّكم را عٍ و كلّلكم مسؤول عن رعيّته. الإمام راعٍ  و مسؤول عن رعيّته و الرجل راعٍ في أهله و هو مسؤول عن رعيّته. والرءة راعية في بيت زوجها و مسؤولة عن رعيّتها. و الخادم راعٍ في مال سيّده و مسؤول عن رعيّته. و كلّكم را عٍ و كلّلكم مسؤول عن رعيّته.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut.   Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).

            Hal yang perlu ditekankan mengapa keluarga dijadikan sebagai institusi pendidikan adalah karena keluarga memiliki peran dan pengaruh yang besar pada perkembangan anak. Bagaimana ia berinteraksi di tengah-tengah masyarakat adalah hasil ketika ia menerima pendidikan dan pengajaran serta berkomunikasi dengan anggota keluarganya. Apabila orang tua dapat membentuk pribadi anak dengan baik dan membekalinya dengan berbagai pengetahuan, maka seorang anak dapat menghadapi pengaruh luar ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat.
Inilah pentingnya mengapa pendidikan keluarga selalu ditekankan pada orang tua. Karena pendidikan yang mereka berikan akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan mental dan spiritual anak-anaknya. Orang tua harus mempunyai pemahaman bahwa proses pembelajaran itu terjadi di mana saja dan kapan saja. Pada usia dini, penerapan pendidikan di rumah adalah yang paling utama karena orang tua lebih mengetahui ke arah mana anaknya harus dididik.Posisi ayah (suami) dalam suatu rumah tangga adalah sebagai kepala keluarga. Dengan posisi itu, peran seorang ayah menjadi sangat strategis dalam menentukan kehidupan arah keluarganya.
2.      Bimbingan dan Pengawasan
Bimbingan dan pengawasan orang tua adalah dua hal yang tidak dilepas dan tidak bisa dipisahkan dari proses pendidikan. Pendidikan memerlukan bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun, mengarahkan sekaligus mendampingi anak dalam hal-hal tertentu, terutama ketika anak merasakan ketidakberdayaannya, atau ketika anak sedang mengalami suatu masalah yang dirasaknnya berat.
Kebanyakan orang tua gagal mendidik anaknya karena lemahnya melakukan pengawasan terhadap anaknya. Kelemahan itulah yang menyebabkan kelalaian sehingga orang tua tidak dapat mengikuti perkembangan anak dengan baik. Pengawasan pada hakikatnya pengganti evaluasi. Dengan melakukan pengawasan orang tua akan tahu perkembangan dan sekaligus hasil pendidikan dan pengajaran yang didapat anak dari sekolah dan dari lingkungan. Pengawasan yang diperlukan adalah pengawasan yang melihat situasi dan kondisi tertentu. Orang tua harus melakukan pengawasan terhadap anaknya secara bijak.
3.      Peran Orang Tua
Sebagai kepala keluarga atau pimpinan rumah tangga, ayah harus dapat mengendalikan anggota keluarganya di dalam rumah agar mengarah pada situasi yang mendukung terlaksananya proses pendidikan Islam. Seorang ayah harus bersikap tegas dan yang terpenting adalah keteladanannya. Untuk memelihara hubungan yang harmoni dengan angggota keluarga, membangun semangat kebersamaan dan gotong royong, mengenalkan pekerjaan pada anak, mengajak anggota keluarga untuk rekreasi.
Seorang ayah adalah tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah kehidupan. Ayah harus berusaha keras untuk mencari nafkah yang halal dan bekerja segiat mungkin tanpa mengabaikan perhatiannya pada anak dan keluarga di rumah.[56]
Ayah adalah pengambil keputusan terhadap beberapa masalah dalam keluarga. Tetapi ayah yang baik tidak segan memberikan pujian dan penghargaan pada anak atau anggota keluarga lainnya jika melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Sebaliknya juga, tidak ragu untuk memberikan sanksi atau hukuman kepada anak jika melakukan keburukan.
Ibu memiliki hubungan yang teramat dekat dengan anak, baik secara fisik maupun psikis. Kunci keberhasilan seorang ibu dalam membesarkan, memelihara, dan mengantarkan kesuksesan anak-anaknya adalah ketekunan, kesabaran dan keuletan dengan segala kelembutannya. Dalam posisi seperti ini, seorang ibu harus memegang perang yang maksimal dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Ibu harus menjadi tempat curahan hati bagi anak-anaknya, sambil memberikan bimbingan, mengajarkan ketrampilan disertai keteladanannya. Keberadaan ibu dalam suatu rumah tangga sangat menentukan kehidupan yang Islami dalam keluarga.[57]
Peran ibu dalam mendidik anak memegang peranan yang sangat penting. Lingkungan keluarga merupakan ranah dasar yang sangat menentukan kehidupan anak di masa selanjutnya. Sebab sebelum terjun ke lingkungan yang lebih luas, seorang anak mesti mendapat pendidikan dasar di lingkungan keluarganya. Karena itu, peran ibu di tengah keluarga memiliki posisi sentral.
Peran khusus ibu dalam mendidik anak bisa kita tinjau dalam dua perspektif. Pertama, masa-masa awal pembentukan kepribadian seorang anak dilalui dalam buaian dan kasih sayang seorang ibu. Pada masa-masa awal itulah pondasi pendidikan dini anak dimulai. Kebiasaan dan pola tindakan seorang ibu akan menjadi model perilaku dan kepribadian anaknya. Kedua, kasih sayang seorang ibu merupakan tumpuan hangat seorang anak. Tiap kali seorang anak merasa tidak nyaman, ia pun akan lari ke pangkuan dan pelukan ibunya untuk memperoleh rasa aman.
Islam menganggap ibu memiliki peran yang menentukan dalam mendidik jiwa dan mental anak-anak. Sebab, anak yang saleh akan lahir dari buaian dan pendidikan seorang ibu yang baik
4.      Peran Anak
Sedangkan kewajiban anak adalah berbuat baik dan berkhidmat kepada orang tuanya secara tulus, orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya ia ke dunia. Al-Qur’an memerintahkan supaya anak memperlakukan orang tua dengan sebaik-baiknya, ibu yang telah mengandungnya sehingga sepatutnya anak bersyukur kepada Allahdan memohon kebaikan untuk orang tuanya. Allah mengharuskan anak berbuat kebaikan dan mentaati kedua orang tua. Pengertian berbuat baik terhadap orangtua di sini artinya sangat luas. Beberapa contoh perilaku berbuat baik terhadap orang tua di antaranya:
  1. Berkata dan  bertutur kata yang sopan, lemah lembut serta menyenangkan hati orang tua kita. Jangan sampai berkata yang keras, kasar, dan menyakitkan hati orang tua, karena kalau orang tua sampai sakit hati kemudian dia mengadu dan berdo’a kepada Allah, maka do’anya akan langsung dikabulkan oleh Allah Ta’ala.
  2. Merendahkan diri apabila berhadapan dengan orang tua. Sikap tangan harus ke bawah, bukan hanya kepada orang lain dan atasan, maka kepada orang tua pun harus senantiasa bersikap sopan.
  3. Berterima kasih dan bersyukur atas kebaikan orang tua karena mereka sudah sangat berjasa terhadap kita; dari sejak kita masih dalam kandungan sampai dewasa. Sungguh sangat besar jasa dan pengorbanan kedua orang tua kita. Kita tak akan dapat membalasnya sampai akhir hayat sekalipun.













BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Islam memandang keluarga sebagai lingkungan bagi individu di mana ia berinteraksi. Dari hal tersebut ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan dan emosinya. Juga pentingnya keluarga bukan hanya kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengganggapnya institusi sosial yang terpenting dan  merupakan unit sosial yang utama. Oleh sebab kepentingan berganda yang dimiliki oleh keluarga inilah maka masyarakat Islam berusaha keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan mengusahakan segala jalan untuk memperkokoh keluarga.[58]
Agar anak tumbuh dan memiliki pribadi muslim yang ideal, maka orang tua diharapkan melakukan pembinaan dan memberikan pendidikan di keluarganya. Di antaranya yaitu melakukan pembinaan terhadap akidah dan akhlak, pembinaan terhadap ibadah, pembinaan mental bermasyarakat dan pembinaan intelektual.
Akidah yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseorang, merupakan hal yang terpenting dalam perkembangan pendidikan anak.  Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pembinaan akidah. Karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan kebenaran ajarannya. Hal penting lainnya yaitu pembinaan kemasyarakatan yang harus diberikan sejak dini. Tujuannya agar ia bisa beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan mampu menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Selain itu, proses belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan pribadi dan perilaku individu. Mencari ilmu merupakan sebaik-baik ibadah yang akan mendekatkan seorang hamba kepada sang Khalik.
Implikasi dari kajian makalah ini adalah bahwa orang tua harus memiliki keteladanan yang baik. Konsep keteladanan dalam sebuah pendidikan sangatlah penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Karena seorang pendidik merupakan sosok figur dalam pandangan anak.
Bimbingan dan pengawasan orang tua adalah dua hal yang tidak dilepas dan tidak bisa dipisahkan dari proses pendidikan. Pendidikan memerlukan bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun, mengarahkan sekaligus mendampingi anak dalam hal-hal tertentu.
Sebagai kepala keluarga atau pimpinan rumah tangga, ayah harus dapat mengendalikan anggota keluarganya di dalam rumah agar mengarah pada situasi yang mendukung terlaksananya proses pendidikan Islam.Seorang ayah berkedudukan sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Sementara ibu adalah petugas lapangan yang secara langsung akan menjadi “madrasah pertama” bagi anak-anak mereka.

B.     Saran
1.      Keluarga memberikan pengaruh terhadap proses perkembangan anak, maka orang tua harus memberikan pendidikan dan pengasuhan yang baik terhadap anak yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.
2.      Sebelum mencerdaskan anak, orang tua harus mencerdaskan diri sendiri atau berusaha manjadi orang tua yang bisa memberikan keteladanan yang baik dengan membekali dengan ilmu pengetahuan.
3.      Diperlukan kerja sama antara sesama anggota keluarga untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.






DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abu Fida Isma’il Ibnu Katsir. 2000.Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, terj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Al-Atsary, Ummu Ihsan Choiryah dan Abu Ihsan. 2010.Mencetak Generasi Rabbani:Mencetak Generasi Rabbani: Mendidik Buah Hati Menggapai Ridha Ilahi, Bogor: Pustaka Darul Ilmi.
Al-Bukhari, Abu Abdullah ibn Muhammad Isma’il, Shahih Bukhri, Riyadh: Idaratul Bahtsi Ilmiah,tt.
Alim, Akhmad.2014.Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press.
Al-Ghomidy, Abdul Latif bin Wahhab Al-Ghamidy, 100 Fikroh li Tarbiyah al-Usroh, terj,  Mutsanna Abdul Qahhar, 100 Kiat Membina Rumah Tangga Muslim, Solo: At-Tibyan, tt.
Al-Qarni, Aidh.2008.At-Tafsir Al-Muyassar, terj. Tim Qisthi Press, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press.
As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 1999. Taisiir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Manan, terj. Muhamaad Iqbal dkk, Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Sahifa.
Asy-Syahawi, Majdi Muhammad. 2005.Washaaya Luqmanul Hakim min al-Kitab wa as-Sunnah, terj. Abdul Hayyi Al-Kattani dan Machmudi Mukson, Pesan-Pesan Bijak Luqmanul Hakim, Depok: Gema Insani.
Drajat, Zakiah. 1982. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan Bintang
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia Dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
Muallifah. 2009.Psycholo Islamic Smart Parenting, Yogyakarta: Diva Press.
Nashir, Sahilun. 1999.Peran Pendidikan Agam Terhadap Pemecahan Problema Remaja, Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abudin. 2010.IlmuPendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Quthb, Sayyid. 2000.Fi Zhilalil Qur’an, terj. Aunur Rafiq, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an; Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press.
Rosyadi, Rahmat. 2011.Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini, Bogor: Penerbit UIKA.
Salim, Moh. Haitami. 2013. Pendidikan Agama dalam Keluarga; Revitalisasi Peran Keluarga Dalam Membangun Generasi Bangsa Yang Berkarakter, Jogjakarta: Ar-Ruzz Press.
Sohib. Moh. 1998.Pola Asuh Orangtua dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, Jakarta: Rineka Cipta.
Suharsono. 2003.Mencerdaskan Anak, Depok: Inisiasi Press.
Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafizh. 1998.Manhaj al-Tarbiyyah al-Nabawiyah Li al-Thifl, terj. Kuswandani dkk, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Penerbit Al-Bayan.
Zakiah Drajat. 1982. Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan Bintang.
http://news.detik.com/berita/1696402/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat
Imam Taufik Alkhotob. 2015. Gender Dalam Perspektif Islam.https://hudzai.wordpress.com/2009/01/07/gender-dalam-prespektif-islam/, diakses pada pukul 21.00, 14 Desember 2015
Hak Perempuan Dalam Keluarga. https://eloklubna.wordpress.com/2011/12/22/hak-perempuan-dalam-keluarga/, diakses pada pukul 10.45, 16 Desember 2015
Lismanto. 2015. Konsep Kesetaraan Genderhttp://www.islamcendekia.com/2013/12/konsep-kesetaraan-gender-menurut-barat-dan-islam.html, diakses pada pukul 20.48, 14 Desember 2015


[1] Abudin Nata, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 298
[2] ZakiahDrajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 76
[3] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan al-Atsary, Mencetak Generasi Rabbani: Mendidik Buah Hati Menggapai Ridha Ilahi, (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2010), h. 61
[4] Rahmat Rasyidi, Pendidikan…, h. 11
[5]Abu Abdullah ibn Muhammad Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhri Juz I, (Riyadh: Idaratul Bahtsi Ilmiah,tt), h. 25
[6] Abudin Nata, Ilmu…, h.191-192
[7] Sahilun A. Nashir, Peran Pendidikan Agam Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia: 1999), h. 4
[8]Ibid., h. 6
[9] Zakiah Drajat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 9
[10] Sahilun A. Nashir, Peran… h. 8
[11] Lismanto,Konsep Kesetaraan Gender Menurut Barat dan Islam, http://www.islamcendekia.com/2013/12/konsep-kesetaraan-gender-menurut-barat-dan-islam.html, diakses pada pukul 20.48, 14 Desember 2015
[12]Imam Taufik Alkhotob, Gender Dalam Perspektif Islam. https://hudzai.wordpress.com/2009/01/07/gender-dalam-prespektif-islam/, diakses pada pukul 21.00, 14 Desember 2015
[14]Ibid.
[15]Ibid.
[17] Baron, R. A dan Donn Byrne, Psikologi Sosial. (Jakarta: Erlangga, 2003)
[18] Moh. Sohib, Pola Asuh Orangtua dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 17
[19]Simanhadi Widyaprakosa, Pembaharuan Pendidikan Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Jember, Program Diploma Kependidikan, Jember, 1984, h. 3
[20] Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini, (Bogor: Penerbit UIKA, 2011), h. 21
[21] Zakiah Drajat, Pendidikan…, h. 76
[22] Moh Haitami Salim, Pendidikan Agama Dalam Keluarga: Revitalisasi Peran Keluarga dalam Membangun Generasi Bangsa yang Berkarakter, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 136
[23] Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Manhaj al-Tarbiyyah al-Nabawiyah Li al-Thifl, terj. Kuswandani dkk, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1998), h. 41
[24] Hasan Langgulung, ManusiaDan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995), h. 369
[25] Abudin Nata, Ilmu…, h. 299
[26]Ibid.
[27] Hasan Langgulung, Manusia…h. 348
[28] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…, h. 38
[29] Al-Imam Abu Fida Isma’il Ibnu KatsirAd-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, terj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), Juz 28, h. 5
[30] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisiir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Manan, terj. Muhamaad Iqbal dkk, Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999), Jilid 5, h. 327
[31]Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, terj. Aunur Rafiq, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an; Di Bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2000), Juz XXVIII, h. 339
[32] Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 100
[33] Moh. Haitami Salim, Pendidikan…, h. 292
[34] Abdul Latif bin Wahhab Al-Ghamidy, 100 Fikroh li Tarbiyah al-Usroh, terj,  Mutsanna Abdul Qahhar, 100 Kiat Membina Rumah Tangga Muslim, (Solo: At-Tibyan, ), h. 15
[35] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…, h. 147
[36]Ibid.
[37] Majdi MuhammadAsy-Syahawi, WashaayaLuqmanul Hakim min al-Kitab wa as-Sunnah, terj. Abdul Hayyi Al-Kattani dan Machmudi Mukson, Pesan-Pesan Bijak Luqmanul Hakim, (Depok: Gema Insani, 2005), h. 28
[38] Aidh Al-Qarni, At-Tafsir Al-Muyassar, terj. Tim Qisthi Press, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), Jilid IV, h. 375
[39]Ibid., h. 93
[40] Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam Kata Pengantar pada yunhar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2005), h. viii
[41] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, terj. Aunur Rafiq, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an; Di Bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2000), Juz XVI h. 36
[42]Ibid., h. 151
[43] Aidh Al-Qarni, At-Tafsir…, h. 375
[44] Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, (Jakarta: AMP Press, 2014), h. 78
[45] Moh. Haitami Salim, Pendidikan…, h. 141
[46] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan Al-Atsary, Mencetak…, h. 155
[47] Sayyid Quthb, Tafsir…, Juz XVI, h. 200
[48] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…, h. 233
[49] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan Al-Atsary, Mencetak…, h. 196
[50] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…, h. 290
[51]Ibid.,  h. 291
[52]Al-Imam Abu Fida Isma’il Ibnu KatsirAd-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an,…h. 2
[53] Muallifah, Psycholo Islamic Smart Parenting, (Yogyakarta: Diva Press, 2009)
[54] Rahmat Rasyidi, Pendidikan…, h. 32
[55] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan Al-Atsary, Mencetak…, h. 24
[56] Moh. Haitami Salim, Pendidikan…, h. 166-167
[57]Ibid., h. 157
[58] Hasan Langgulung, Manusia…, h. 348
Categories: