PENDIDIKAN KELUARGA
Posted by Unknown on 22:47
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Proses pendidikan
dalam Islam dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor pembawaan dari dalam
diri manusia, faktor lingkungan, dan faktor hidayah dari Allah.[1] Di
kalangan para ahli pendidikan pada umumnya, dan pendidikan Islam pada
khususnya, terdapat kesepakatan bahwa lingkungan pendidikan terdiri dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.[2]
Rumah memiliki peran yang sangat sentral dalam
pendidikan anak. Bisa dikatakan bahwa segala sesuatu bermula dari rumah. Bila
pendidikan dalam rumah tidak berjalan atau lemah maka si anak akan jatuh dalam
pendidikan-pendidikan di luar rumah yang masih belum jelas arahnya.[3]
Pendidikan yang bersifat normatif, pertama dan paling utama adalah lingkungan
keluarga. Selanjutnya pendidikan yang bersifat eksploratif diberikan di
lingkungan sekolah. Dan pendidikan yang bersifat aplikatif diberikan di
lingkungan masyarakat.[4]
Keluarga muslim adalah aset terbesar yang berperan dalam menegakkan
peradaban Islam. Keluarga yang menerapkan metode pendidikan yang baik, maka
masyarakat akan memberikan respons yang baik terhadap keluarga tersebut. Rasulullah S.A.W bersabda
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ [5]
Artinya: “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”. (HR. Bukhari, Abu Daud, Ahmad)
Menurut Prof. Dr. Abudin Nata bahwa
fungsi rumah sebagai tempat pendidikan dapat dilihat dari dua aspek. Di
antaranya yaitu; Pertama, dari segi
informal, yakni pendidikan yang dilakukan oleh kedua orang tua terhadap
putra-putrinya. Pendidikan di rumah ini ditekankan pada pembinaan watak,
karakter, kepribadian, dan keterampilan mengerjakan pekerjaan atau tugas
keseharian yang biasa terjadi di rumah tangga. Kedua, dari segi pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang
dilakukan di rumah dalam bentuk materi pengajaran, guru, metode pengajaran dan
lainnya yang tidak dilakukan secara formal. Pedidikan nonformal yang dilakukan
di rumah contohnya seperti pendidikan penanaman aqidah bimbingan membaca dan
menghafal al-Qur’an.[6]
Remaja
sebagai generasi muda yang akan memegang tongkat estafet untuk menegakkan dan
mewarisi cita-cita bangsa di masa depan. Namun demikian, pemerintah dan
masyarakat pada saat ini masih prihatin mengenai masalah remaja. Karena
ternyata rasa patriotisme, nasionlisme dan budi pekerti kaum remaja mulai
menurun jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. [7]
Masa
remaja adalah masa transisi antara masa anak-anak dan orang dewasa. Pada masa
transisi ini, para remaja berada pada masa independency dan dependency,
sehingga jiwanya masih labil, sehingga pada masa ini pula para remaja sering
mengalami berbagai problem, baik problem fisik maupun sosial.[8]
Masalah
remaja adalah suatu masalah yang sebenarnya menarik untuk dibicarakan,
lebih-lebih pada akhir-akhir ini di mana telah timbul akibat negatif yang
sangat mencemaskan, yang akan membawa kehancuran bagi remaja itu sendiri dan
masyarakat pada umumnya.[9]
Hal ini tentu saja akan menimbulkan kegelisahan dan keprihatinan dari
segenap lapisan masyarakat terutama para orang tua dan pendidik. Karena para
remaja yang nantinya diharapkan sebagai generasi penerus. Apabila generasi muda
itu rusak, tentu mereka tidak dapat diharapkan untuk membangun dan mengisi
kemerdakaan ini.[10]
Fenomena yang menjadi trend di era globalisasi ini adalah konsep kesetaraan gender. Konsep
kesetaraan gender (gender equality)
memiliki konsep dan bangunan dasar bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama
dengan laki-laki yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama, dan hukum, serta
faktor-faktor lainnya yang berlaku dalam suatu masyarakat di mana konsep ini
berdasarkan tuntunan nilai-nilai hak asasi manusia secara universal, tanpa
mendasarkan pada teks agama. Kesetaraan gender Barat menuntut pembebasan dari
penindasan yang dilakukan kepada perempuan dalam berbagai aspek.[11]
Isu tentang gender
sebenarnya tidak memiliki soal, bila ia tidak menimbulkan ketidak adilan dan
kesewenangan terhadap kaum wanita. Persoalannya, cara seseorang memandang
ketidak adilan gender itu sendiri menjadi bias bila kemudian ia lahir dari satu
bentuk kultur dan pandangan hidup (worlview) tertentu, dan dipaksakan
sebagai sesuatu yang rasional kepada kultur dan pandangan hidup lainnya.
Sebagai contoh, Islam menetapkan tugas dan kedudukan laki-laki dalam lingkup rumah
tangga sebagai kepala keluarga sedangkan istri (wanita) sebagai anggota
keluarga. Dalam pandangan feminis yang mengangkat isu gender, jelas budaya
hidup seperti ini tidak menguntungkan pihak wanita, dimana mereka ”merasa”
diatur dan dikendalikan oleh kekuatan lelaki.Mereka memandang, kewajiban menaati suami hanya
menjadikan istri sebagai budak kebutuhan biologis suami yang menjadi hak milik
dan kuasa suami. Oleh karenanya, kaum feminis juga menganggap bahwa isu
ketidakadilan gender sangat dipengaruhi teks-teks agama, dan agama adalah salah
satu dari sarang ketidakadilan gender.[12]
Di
tengah masyarakat Barat, salah satu poros kesetaraan hak pria dan wanita adalah
pekerjaan dan karir wanita di luar rumah. Barat, dengan mengabaikan perbedaan
alamiah antara pria dan wanita, mengangkat masalah kesamaan kerja di antara
mereka. Dalam banyak kasus, trend ini telah merusak mental wanita dan
meruntuhkan institusi keluarga. Sosiolog AS, Gerhard Lenski dalam bukunya yang
berjudul “Human Societies” menulis: “Melibatkan kaum wanita secara gegabah
dalam kegiatan industri dan pekerjaan telah meningkatkan angka perceraian dan
kriminal.[13]
Mayoritas
psikiater meyakini bahwa wanita dengan ciri khas mental dan fisiknya, tidak
dapat memainkan dua peran sekaligus dengan baik, yaitu peran sebagai istri
sekaligus ibu dan peran sebagai wanita karir. Menurut mereka, dalam kebanyakan
kasus, tuntutan profesi dan peran sebagai istri dan ibu sering kali terabaikan.
Dokter wanita dari AS, Jessica Anderson menilai kemajuan pendidikan dan pekerjaan
wanita sama dengan kemajuan mereka dalam memainkan tugas sebagai istri dan ibu.[14]
Kini, pengabaian
terhadap posisi dan peran ibu dalam mendidik anak telah membuat masyarakat
Barat mengalami krisis sosial yang serius. Sosiolog AS, Davis Kingsley menulis,
“Tampaknya, salah satu kinerja utama sistem pendidikan di Barat adalah
mengasingkan anak dari orang tuanya”. Dalam masyarakat modern, ibu lebih banyak
menghabiskan waktunya di luar rumah dan lingkungan kerja, sementara anak-anak
diserahkan pada pusat-pusat penitipan anak. Ketika sampai di rumah, sang ibu
pun merasa letih dan tidak mampu lagi memainkan peran keibuannya dengan baik.[15]
Permasalahan
keluarga yang juga menjadi suatu keprihatinan adalah perceraian. Jumlah
perceraian di Indonesia semakin meningkat. Data Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), kurun 2010 ada 285.184
perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Dari
data Ditjen Badilag 2010, kasus tersebut dibagi menjadi beberapa aspek yang
menjadi pemicu munculnya perceraian. Misalnya, ada 10.029 kasus perceraian yang
dipicu masalah cemburu. Kemudian ada 67.891 kasus perceraian dipicu masalah
ekonomi. Sedangkan perceraian yang dipicu karena masalah ketidakharmonisan
dalam rumah tangga mecapai 91.841 perkara.[16]
Realitas
dari berbagaimasalah tersebut adalah hal yang menjadi perhatian bagi kaum
muslimin. Di mana permasalahan tersebut memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap psikologi anggota keluarga. Perilaku seseorang yang diaplikasikannya
dalam kehidupan masyarakat adalah hasil pembinaan dan pendidikan yang diberikan
oleh orang tuanya ketika di rumah. Karena keluarga adalah lingkungan pertama
yang dikenal oleh anak. Keluarga yang memiliki nuansa edukatif akan menjadikan
seorang anak tumbuh menjadi remaja yang memiliki akhlak yang baik serta menjadi
remaja yang diharapkan masyarakat. Keluarga yang harmonis akan menjadikan
solusi bagi setiap permasalahan yang ada. Dengan keharmonisan tersebut, akan meminimalisir
tumbuhnya angka perceraian yang terjadi.
Dalam mewujudkan keluarga yang ideal,
jalan untuk menempuhnya tidaklah mudah. Islam memberikan perhatian khusus
terhadap pembinaan dan pendidikan keluarga. Al-Qur’an telah memberikan metode
yang terbaik dalam hal pendidikan dan pembinaan di keluarga untuk mewujudkan
keluarga yang idamkan setiap muslim.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang tertera di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep keluarga sebagai institusi
pendidikan?
2. Bagaimana implementasi keluarga sebagai
institusi pendidikan menurut Al-Qur’an dan sunnah?
BAB II
KAJIAN TEORITIS
- Definisi Keluarga
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah ibu bapak dengan anak-anaknya
seisi rumah. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) Keluarga
adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah
suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Dalam
Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, Pasal 1 ayat 6 menyebutkan “Keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami, isteri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya.”
Menurut Salvicion
dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang
tergabung karena hubungan darah, hubungan
perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi
satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu kebudayaan.[17]
Secara psikologis
keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal
bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan bathin sehingga
terjadi saling memengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.
Sementara secara pedagogis, keluarga adalah persekutuan hidup yang dijalin oleh
kasih sayang yang dikukuhkan dengan pernikahan, dan bermaksud untuk saling
menyempurnakan.[18]
Pendidikan dalam arti
sempit berupa usaha sadar dari orang dewasa untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan anak didik untuk mencapai kedewasaannya, sedangkan dalam arti luas
adalah proses perubahan tingkah laku manusia untuk perkembangan kepribadian dan
kemampuannya.[19]Sedangkan yang dimaksud
keluarga sebagai institusi pendidikan dalam pembahasan ini adalah bahwa
lingkungan keluarga sebagai lingkungan yang utama harus menjadi pendukung dalam
menjalankan peran pengabdiannya kepada Allah. Karena pendidikan merupakan hak
bagi setiap anak. Maka orang tua harus memberikan pendidikan dan pembinaan yang
terbaik yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.
BAB III
KAJIAN TAFSIR
A.
Konsep Keluarga Sebagai Institusi Pendidikan
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama di mana anak mulai mengembangkan diri sebagai makhluk sosial. Kehidupan
keluarga, dengan segala macam tingkah laku dan pergaulan orang tua ataupun
anggota keluarga yang lain biasanya menjadi contoh bagi anak. Pengalaman anak dalam
keluarga merupakan dasar bagi perkembangan tingkah lakunya kelak.[20]
Lingkungan keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat,
sangat penting artinya dalam pembinaan masyarakat bangsa. Apabila tiap-tiap
keluarga hidup tentram dan bahagia, maka dengan sendirinya masyarakat yang
terdiri dari keluarga-keluarga yang bahagia itu akan aman dan tentram pula.[21]
Sebagai institusi pendidikan pertama, anak pertama kali mengenal
lingkungan sosialnya di dalam keluarga, mendapatkan pengaruh secara fisik dan
psikis untuk pertama kalinya dari anggota keluarga. Sementara sebagai institusi
pendidikan yang utama, keluarga memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan dalam lingkungan keluarga dapat
menjamin kehidupan emosional anak untuk tumbuh dan berkembang secara tepat.
Keluarga dapat berperan dalam meletakkan dasar pendidikan agama dan sosial.[22]
Dikatakan oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh, bahwa rumah (keluarga) muslim
bagaikan pioneer dari sebuah
masyarakat Islam. Rumah diibaratkan sebagai benteng dari sebuah aqidah. Dan
sebuah benteng haruslah dijaga ketat dari serangan musuh. Setiap orang yang
berada di benteng tersebut bertanggung jawab untuk menjaganya dari setiap
sudut. [23]
Pentingnya peranan
keluarga dalam pendidikan ini adalah karena ia melibatkan anak-anak dalam tahap
awal hidupnya, di mana hubungan-hubungan dan pengalaman-pengalaman sosialnya
belum cukup luas, juga belum sanggup berdikari untuk menanggapi suasana dan
sekelilingnya[24]
Berkenaan dengan berbagai keistimewaan orang tua dalam hubungannya
dengan anak tersebut, maka ajaran Islam sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an
memberikan perhatian yang cukup besar dalam mengupayakan lahirnya keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Agama Islam sangat berkepentingan dalam
pembentukan rumah tangga yang dapat mendidik anak-anak yang baik.[25]
Sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rum:
21
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
(٢١)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”
Keluarga memiliki pengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Hal ini
disebabkan; tanggung jawab orang tua pada anak bukan hanya bersifat duniawi,
melainkan ukhrawi dan teologis, orang tua tidak hanya memberi pengaruh yang
bersifat empiris, akan tetapi hereditas dan genesitas. Anak lebih banyak
tinggal dan berada di rumah daripada di luar rumah, keluarga lebih dahulu memberikan
pengaruh, dan pengaruh tersebut lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh yang
datang setelahnya.[26]
Islam memandang keluarga sebagai lingkungan bagi individu di mana ia
berinteraksi. Dari hal tersebut ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan dan
emosinya. Juga pentingnya keluarga bukan hanya kepada individu, tetapi juga
kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengganggapnya institusi sosial yang
terpenting dan merupakan unit sosial yang utama. Oleh sebab kepentingan
berganda yang dimiliki oleh keluarga inilah maka masyarakat Islam berusaha
keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan mengusahakan segala jalan untuk
memperkokoh keluarga.[27]
Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ayyuhal Walad menetapkan makna tarbiyah
adalah bagaikan seorang petani yang tengah mencabut duri dan membuang tanaman
asing yang mengganggu di antara tumbuhan yang ia tanam, agar tanaman tersebut
tumbuh dan berkembang dengan baik.[28] Bahwa untuk mentarbiyah seorang anak
dan menginginkan anak agar berkembang dengan baik, orang tua harus menghindari
dari hal yang dapat memberikan dampak negatif bagi anak.
Sebagaimana
firman Allah Ta’ala dalam surah at-Tahrim: 6
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya,[29] mengenai firman Allah
Ta’ala,
قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗ Mujahid mengatakan
“Bertakwalah kepada Allah dan berpesanlah pada keluarga kalian untuk bertakwa
kepada Allah.” Sedangkan Qatadah mengemukakan, “Yakni hendaklah engkau menyuruh
mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya.
Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka, dan perintahkan
mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika
engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah
mereka.
Demikian itu pula yang
dikemukakan Adh-Dhahak dan Muqatil bin Hayyan, di mana mereka mengatakan,
“setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan
budaknya, berbagai hal-hal yang diwajibkan Allah kepada mereka dan apa yang
dilarang-Nya.
Firman-Nya lebih lanjut وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ
وَٱلۡحِجَارَةُ“yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”Kata وَقُود berarti bahan bakar yang tubuh ummat
manusia dilemparkan ke dalamnya. وَٱلۡحِجَارَةُ“Dan
batu,” ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah
patung yang dijadikan sembahan.
Dan firman Allah selanjutnya عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَاد“penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar yang keras.” Maksudnya karakter mereka sangat
keras, dan hatinya telah dihilangkan rasa kasihan terhadap orang-orang yang
kafir kepada Allah. Berkenaan dengan ayat ini Ali Bin Abi Thalib telah berkata,
“Yakni ajarilah dirimu dan keluargamu nilai-nilai kebaikan.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَار adalah menjaga diri dengan menunaikan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya serta bertaubat dari perbuatan yang membuat Allah murka
dan mengundang azab serta menjaga keluarga dan anak-anak dengan cara mendidik,
mengajarkan serta memaksa mereka untuk menunaikan perintah-perintah Allah.
Seorang hamba tidak akan selamat hingga menunaikan perintah Allah terhadap
dirinya sendiri dan orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti istri
dan anak.[30]
Sedangkan Sayyid Quthb memaparkan,
kewajiban seorang mukmin membentengi dirinya dan keluarganya dari neraka,
sebelum kesempatan itu sirna dan sebelum alasan dan uzur itu tidak bermanfaat
lagi diutarakan. Lantas bagaimana orang-orang beriman melindungi dirinya dan
keluarganya dari api neraka ini? Sesungguhnya Al-Qur’an (Q.S At-Tahrim: 8)
menjelaskan jalannya dan memberikan harapan yang sangat mendalam bagi mereka.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ
عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى
بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا
وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke
dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu"
Maka inilah jalannya, yaitu taubat nasuha,
taubat yang menjernihkan hati, membersihkannya dan memurnikannya. Kemudian ia
tidak mengkhianatinya dan tidak mencuranginya. Ia adalah taubat dari maksiat
dan dosa, yang dimulai dengan penyesalan atas segala yang terjadi sebelumnya,
dan berlanjut dengan amal sholeh dan ketaatan. Pada saat itulah hati menjadi
jernih, murni dan bersih dari noda-noda dosa dan pengaruh maksiat.[31]
Sebagaimana biji tanaman yang hendak
ditanam, tentunya membutuhkan lahan yang subur dan bersih dari penyakit atau
tumbuhan pengganggu (gulma). Demikian halnya dengan anak-anak. Jika motivasi
pembentukan lembaga keluarga didasarkan atas niat yang suci, maka hal itu
identik dengan menempatkan janin pada lahan yang suci dari berbagai gangguan.
Sebaliknya, jika motivasi pernikahan didasarkan pada pretensi-pretensi
matrealistik, hal itu sama dengan menempatkan anak-anak pada lahan yang penuh
dengan penyakit atau gangguan.[32]
Suatu bangsa akan baik jika
masyarakatnya baik, dan suatu masyarakat akan baik jika masing-masing keluarga
dapat hidup secara baik pula. Demikian dengan suatu bangsa akan berkarakter
kuat jika masyarakatnya memiliki karakter yang kuat. Masyarakat akan
berkarakter kuat jika terdiri dari keluarga yang memiliki karakter yang kuat
pula.[33]
- Aspek-aspek Pembinaan Dalam Keluarga
Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan
pembinaan dan pendidikan dalam lingkungaan keluarga. Dengan terbinanya keluarga
dengan karakter yang baik, maka harus memulainya dengan pembentukan karakter
sejak dini yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Mendidik bukanlah suatu urusan yang remeh, tetapi ini merupakan suatu
keharusan yang dituntut, dan urusan yang membutuhkan perhatian. Membina atau
mendidik membutuhkan kesungguhan yang luar biasa yang tidak mungkin akan
diketahui dengan hanya bermalas-malasan dan membutuhkan pengerahan segenap
potensi.[34]
Pembinaan yang dapat dilakukan di dalam keluarga yaitu:
1.
Pembinaan Akidah dan Akhlak
Akidah yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseorang, merupakan hal yang
terpenting dalam perkembangan pendidikan anak. Dan salah satu sarana yang bisa
menguatkan akidah adalah ketika anak telah memiliki nilai pengorbanan dalam diri
demi membela akidahnya yang ia yakini kebenarannya. Pada saat akidah serta keyakinan akan kebenaran Islam sudah
tertanam kuat, maka dalam diri anak akan timbul keyakinan yang kuat dalam
mempertahankan kebenaran ini.[35]
Luqman Al-Hakim memprioritaskan pendidikan tauhid kepada anaknya. Hal
tersebut terbukti pada wasiatnya dalam surah Luqman ayat 13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar" (QS. Luqman [31]: 13)
Hikmah yang dapat diambil dari ayat tersebut
adalah bahwa ketauhidan dan keimanan harus senantiasa ditanamkan dalam jati
diri seorang anak. Hal tersebut merupakan pilar yang akan membentuk main set
seorang anak dalam berpikir dan bertindak. Orang tua bertanggung jawab untuk
mengenalkan keimanan kepada anak, agar ia tumbuh menjadi anak yang sholeh dan
taat kepada Allah.[36]
يَا
بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ
أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الأرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ
خَبِيرٌ
(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya
Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S Luqman [31]: 16)
Dalam wasiat tersebut terdapat
penjelasan bahwa kezaliman dan kesalahan itu meskipun seberat biji sawi, namun
Allah akan menunjukkannnya pada hari kiamat ketika ditimbangnya amal perbuatan,
dan memberikan balasan baginya, yang jika baik maka balasannya baik, dan jika
buruk maka balasannya buruk.[37]
Aidh Al-Qarni dalam Tafsir Muyassar
menjelaskan bahwa dalam nasihatnya bagi anaknya, Luqman berkata “Seandainya
kadar keburukan atau kebaikan sangat kecil, bagaikan sebiji sawi, dan
tersembunyi di balik sebuah batu atau di sebuah tempat di langit dan di bumi,
niscaya hal itu tidak luput dari pengetahuan Allah dan kelak Allah akan
menghadirkannya di hari kiamat untuk memberi balasan kepada setiap orang sesuai
amal perbuatannya. Jika baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan jika buruk,
maka pelakunya akan menerima balasan yang buruk pula. Allah Maha Lemah Lembut
kepada setiap hamba-Nya. Dia membawa hal
yang disukai kepada mereka dan mencegah hal yang tidak disukai dari mereka
dengan cara yang paling halus. Dia Yang Maha Mengetahui, tidak ada yang
tersembunyi bagi-Nya ataupun tidak terlihat oleh-Nya.[38]
Keistimewaan keluarga
sebagai wadah pendidikan adalah terbukanya kesempatan para orang tua untuk
membimbing dan memberikan arahan serta melakukan pengawasan yang bersifat continue terhadap anak. Selain itu, di
tengah-tengah keluarga inilah orang tua harus menyemai akhlak mulia pada anak
dengan mengajarkan beberapa adab yang terpuji.
Mengapa demikian? Sebab terbentuknya akhlak mulia pada diri
seseorang sangat dipengaruhi oleh tempaan pendidikan yang dilaluinya.
Karenanya, sangat penting bagi para orang tua untuk menanamkan adab dan akhlak
yang terpuji. Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah yang murni dan perangai
yang lurus.[39]
Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga
pribadi yang berakhlak baik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat yang
baik pula. Akhlak dalam Islam juga memiliki nilai yang mutlak karena persepsi
antara akhlak baik dan buruk memiliki nilai yang dapat diterapkan pada kondisi
apapun. Tentu saja, hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang menempatkan
akhlak sebagai makhluk yang mulia.[40]
2.
Pembinaan Ibadah
Allah Ta’ala berfirman dalam surah Thaha: 132
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (١٣٢)
“ Dan perintahkanlah
kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.
Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan
akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”
Mengenai ayat tersebut, Sayyid Quthb dalam
Tafsir Fi Zilalil Qur’an menjelaskan
bahwa kewajiban seorang muslim yang pertama adalah menyulap rumahnya menjadi
rumah yang islami. Juga mengerahkan keluarganya agar melaksanakan kewajibannya
yang menghubungkan mereka dengan Allah, sehingga orientasi langit mereka dalam
kehidupan sama. Alangkah indahnya kehidupan dalam naungan rumah yang seluruh
isi rumahnya menghadap Allah.
وَٱصۡطَبِرۡ
عَلَيۡهَاۖyaitu melaksanakan
secara sempurna dan merealisasikan pencapaiannya. Sesungguhnya shalat dapat
mencegah perbuatan keji dan mungkar. Inilah realisasi pencapaian dari shalat yang
benar. Shalat, ibadah dan menghadap Allah itu adalah beban yang diamanahkan
kepadamu, dan Allah tidak mengambil sedikitpun darinya. Allah tidak
memerlukanmu dan tidak memerlukan ibadah hamba-Nya.[41]
Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pembinaan
akidah. Karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah
keyakinan akan kebenaran ajarannya. Kewajiban orang tua adalah mengarahkan
kembali fitrah pengabdian anak pada sang Khalik yang telah tertanam padanya.
Dr.
Said Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya Tajribah Al-Tarbiyah
Al-Islamiyah, menjelaskan hubungan antara ibadah dengan pembinaan akidah anak.
Beliau mengatakan, agar akidah anak tertanam kuat di dalam jiwanya, ia harus
disiram dengan air ibadah dalam berbagai bentuk dan macam-macamnya, sehingga
akidahnya dapat tumbuh dengan kukuh. Tegar dalam menghadapi terpaan badai dan
cobaan kehidupan.[42]
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الأمُورِ (١٧)
“Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah)”(Q.S Luqman: 17)
Luqman menyuruh
anaknya untuk menegakkan shalat dengan sempurna sebagaimana telah diatur oleh
syari’at. Sebab, shalat adalah tiang agama dan pencegah dari perbuatan keji dan
mungkar. Luqman juga menuyuruh anaknya untuk menyeru orang untuk berbuat yang
ma’ruf, yaitu setiap kebaikan dan petunjuk yang dianggap baik oleh dalil‘aqli dan dalil naql.
Apabila kamu menyuruh orang untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah orang
agar tidak berbuat mungkar maka pastilah kamu mendapat gangguan dari
orang-orang itu, demikian jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul.
Melakukan perbuatan-perbuatan baik adalah hal yang seharusnya dilakukan setiap
orang dengan antusias, maka pelakunya akan diberi kedudukan yang mulia dan
agung.[43]
Dengan menegakkan
shalat berarti melakukan perbaikan spiritual, memperkuat kepribadian dan
meneguhkan hubungan dengan Allah, agar lidah, hati dan seluruh anggota badan
selalu berada dalam bimbingan Allah, sehingga teraih keshalihan individu.
Setelah itu, maka akan lahir amal-amal kebaikan yang tercermin amar ma’ruf dan
nahi mungkar, sebagai wujud keshalihan sosial.[44]
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Sibrah
bin Ma’bad Al-Juhani bahwa
قال
رسول الله صلى الله عليه و سلّم : مروا أولادكم با الصلاة و هم أبناء سبع سنين، واضربوهم عليها و
هم أبناء عشر، و فرّقوا بينهم في المضاجع
Rasulullah bersabda “Apabila
anak telah mencapi usia tujuh tahun, perintahkanlah dia untuk melaksanakan
sholat, dan pada saat usianya telah mencapai sepuluh tahun, pukullah dia
apabila meninggalkannya, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (H.R Ahmad dan Abu Daud)
3.
Pembinaan Mental
Bermasyarakat
Menurut
S. Nasution, lingkungan sekitar tempat tinggal anak sangat memengaruhi
perkembangan pribadi anak, karena di sanalah anak pertama kali mendapatkan
pengalaman bergaul dengan teman-temannya di luar rumah sebagai pengalaman
sosial baru. Lingkungan rumah atau tempat tinggal menjadi hal yang sangat
menentukan dalam upaya mendukung suasana pendidikan keluarga yang baik pula.[45]
Cepat atau lambat, setiap orang pasti akan
hidup sebagai individu yang mandiri di tengah-tengah masyarakat. Dia akan
berinteraksi langsung dengan berbagai jenis karakter manusia lainnya.
Karenanya, pembinaan kemasyarakatan termasuk perkara penting yang harus
diberikan sejak dini. Tujuannya agar ia bisa beradaptasi dengan lingkungan
masyarakat dan mampu menempatkan diri dengan sebaik-baiknya.[46]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠)
“Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat” (Al-Hujuraat:
10)
Orang tua harus mengenalkan anak pada lingkungan
masyarakat yang didalamnya terdapat nilai-nilai kehidupan. Dan mengajarkan anak
tentang adab-adab bergaul dengan orang lain.Di antara hikmah mengajak anak menghadiri
majelis orang dewasa yaitu anak-anak bisa mendapatkan nasehat dan bimbingan.
Seperti Ibnu Abbas r.a yang mendapat nasehat berharga dari Rasulullah, “Wahai anak kecil, Aku akan mengajarkanmu
beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah,
niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu.”
Dengan membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, akan
terlihat kekurangankekurangan dan kebutuhannya. Dengan begitu seorang pendidik
akan bisa membimbingnya ke arah yang lebih sempurna.
4.
Pembinaan
Intelektual
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ
لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ (٧٨)
“ Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S An-Nahl: 78)
Dalam kitab
tafsirnya, Sayyid Quthb menerangkan, bahwa ilmu yang selama ini diakui manusia
dan ia merasa tinggi dengannya sehingga ia ingin menguji kebenran hari kiamat
dan alam ghaib lainnya, adalah ilmu yang dangkal yang baru saja ia peroleh,
sebab “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun”
“Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati” Dalam bahasa Al-Qur’an, hati terkadang diungkapkan dengan kata qalbu atau dengan kata fu’ad, untuk menjelaskan setiap alat
(organ) pemahaman pada diri manusia. Hal ini meliputi apa yang diistilahkan
dengan akal, juga potensi inspiratif (ilham) pada diri manusia yang tersembunyi
dan tidak diketahui hakikatnya serta cara kerjanya. Allah memberimu
pendengaran, penglihatan, dan hati dalam rangka “agar kamu bersyukur.”[47]
Proses belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pembentukan pribadi dan
perilaku individu. Belajar dapat diartikan sebagai usaha mengubah keadaan diri,
dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Karena itulah,
Allah menurunkan wahyu pertama kepada Nabi dengan surah al-‘Alaq, yang
kandungannya berisi perintah beriqra’. Rasulullah telah mengajarkan dasar pembinaan
pertama yang dapat ditempuh seorang anak agar masa depannya dapat membentuk
generasi yang seluruhnya mampu melaksanakan amanah Allah sebagai khalifah di
muka bumi. Yaitu dengan cara menanamkan pada mereka rasa cinta terhadap ilmu
pengetahuan. Mencari ilmu merupakan sebaik-baik ibadah yang akan mendekatkan
seorang hamba kepada sang Khalik.[48]
BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI
A.
Implementasi
Keluarga Sebagai Institusi Pendidikan
1.
Metode Keteladanan
Aturan Islam dalam mendidik anak
sangat menekankan contoh teladan yang baik. Orang tua adalah contoh teladan
sekaligus sebagai potret nyata bagi anak.[49]
Anak akan selalu meniru tabiat orang tuanya, hingga orang tua yang akan pertama
kali mencetak anak menjadi apa saja yang diajarkan oleh orang tua melalui
perilaku diri mereka sendiri.[50]
Setiap orang tua dituntut untuk
memberikan keteladanan yang baik. Karena seorang anak selalu mengawasi dan
memperhatikan apa yang dilakukan orang tuanya sepanjang waktu. Dan secara perlahan
mulai meniru dan berlaku seperti mereka. Hingga jika mereka mendapati orang
tuanya jujur, maka hal itu akan membentuk mereka menjadi orang yang jujur pula.[51]
Allah Ta’ala
berfirman
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ
تَقُولُونَ مَا لَا تَفعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا
لَا تَفعَلُونَ ٣
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”(Q.S Ash-Shaff: 2-3)
Mengenai ayat
tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan pengingkaran
Allah terhadap orang yang mentapkan suatu janji atau menetapkan suatu ucapan
tetapi ia tidak memenuhinya. Oleh karena itu, ayat ini dijadikan landasan bagi
ulama salaf yang berpendapat mengharuskan pemenuhan janji itu secara mutlak,
baik janji tersebut adalah sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak.[52]
Konsep keteladanan dalam sebuah pendidikan
sangatlah penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya
dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Karena seorang
pendidik merupakan sosok figur dalam pandangan anak.[53]
Rahmat Rosyidi berpendapat bahwa keluarga
merupakan lingkungan pertama yang menuntut anak supaya mampu menyesuaikan diri
dengan baik. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa orang tua merupakan sumber
pelajaran pertama dan utama bagi anak supaya dapat tumbuh dan berkembang dengan
optimal. Kualitas pengasuhan yang diberikan orang tua akan mempengaruhi
perkembangan kepribadian anaknya. Orang tua adalah penopang tata nilai dan
standar moral masyarakat. Kelestarian tata nilai dan standar moral sangat
tergantung pada keluarga khususnya orang tua untuk menyediakan lingkungan yang
positif bagi anaknya. Sehingga anak dapat berperilaku dan bertindak sesuai
dengan tata nilai dan moral yang berlaku.[54]
Dan dalam hal ini, sangat dibutuhkan kerjasama
yang baik antara suami dan istri atau ayah dan ibu. Seorang ayah berkedudukan
sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Sementara ibu adalah petugas lapangan yang
secara langsung akan menjadi “madrasah pertama” bagi anak-anak mereka. Dapat
dikatakan bahwa peran ibu lebih dominan daripada peran ayah. Demikian juga
tabiat ibu yang lembut dan penuh kasih sayang membutnya lebih dekat di hati
anak.[55]
Dalam sebuah hadits dikatakan
أن
عبد الله ابن عمر يقول سمعت رسول الله يقول: كلّكم را عٍ و كلّلكم مسؤول عن رعيّته. الإمام
راعٍ و مسؤول عن رعيّته و الرجل راعٍ في
أهله و هو مسؤول عن رعيّته. والرءة راعية في بيت زوجها و مسؤولة عن رعيّتها. و
الخادم راعٍ في مال سيّده و مسؤول عن رعيّته. و كلّكم را عٍ و كلّلكم مسؤول عن
رعيّته.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya
tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya
tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya
dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin
bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang
mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya
tentang harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari 893 dan
Muslim 1829).
Hal
yang perlu ditekankan mengapa keluarga dijadikan sebagai institusi pendidikan
adalah karena keluarga memiliki peran dan pengaruh yang besar pada perkembangan
anak. Bagaimana ia berinteraksi di tengah-tengah masyarakat adalah hasil ketika
ia menerima pendidikan dan pengajaran serta berkomunikasi dengan anggota
keluarganya. Apabila orang tua dapat membentuk pribadi anak dengan baik dan
membekalinya dengan berbagai pengetahuan, maka seorang anak dapat menghadapi
pengaruh luar ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat.
Inilah
pentingnya mengapa pendidikan keluarga selalu ditekankan pada orang tua. Karena pendidikan yang mereka berikan
akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan mental dan spiritual
anak-anaknya. Orang tua harus mempunyai pemahaman bahwa proses pembelajaran itu
terjadi di mana saja dan kapan saja. Pada usia dini, penerapan pendidikan di
rumah adalah yang paling utama karena orang tua lebih mengetahui ke arah mana
anaknya harus dididik.Posisi ayah (suami) dalam suatu rumah tangga adalah
sebagai kepala keluarga. Dengan posisi itu, peran seorang ayah menjadi sangat
strategis dalam menentukan kehidupan arah keluarganya.
2. Bimbingan dan Pengawasan
Bimbingan dan pengawasan orang tua adalah dua hal yang tidak dilepas
dan tidak bisa dipisahkan dari proses pendidikan. Pendidikan memerlukan
bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun, mengarahkan sekaligus mendampingi anak
dalam hal-hal tertentu, terutama ketika anak merasakan ketidakberdayaannya,
atau ketika anak sedang mengalami suatu masalah yang dirasaknnya berat.
Kebanyakan orang tua gagal mendidik anaknya karena lemahnya melakukan
pengawasan terhadap anaknya. Kelemahan itulah yang menyebabkan kelalaian
sehingga orang tua tidak dapat mengikuti perkembangan anak dengan baik.
Pengawasan pada hakikatnya pengganti evaluasi. Dengan melakukan pengawasan
orang tua akan tahu perkembangan dan sekaligus hasil pendidikan dan pengajaran
yang didapat anak dari sekolah dan dari lingkungan. Pengawasan yang diperlukan
adalah pengawasan yang melihat situasi dan kondisi tertentu. Orang tua harus
melakukan pengawasan terhadap anaknya secara bijak.
3. Peran Orang Tua
Sebagai kepala keluarga atau pimpinan rumah tangga, ayah harus dapat
mengendalikan anggota keluarganya di dalam rumah agar mengarah pada situasi
yang mendukung terlaksananya proses pendidikan Islam. Seorang ayah harus
bersikap tegas dan yang terpenting adalah keteladanannya. Untuk memelihara
hubungan yang harmoni dengan angggota keluarga, membangun semangat kebersamaan
dan gotong royong, mengenalkan pekerjaan pada anak, mengajak anggota keluarga
untuk rekreasi.
Seorang ayah adalah tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah
kehidupan. Ayah harus berusaha keras untuk mencari nafkah yang halal dan
bekerja segiat mungkin tanpa mengabaikan perhatiannya pada anak dan keluarga di
rumah.[56]
Ayah adalah pengambil keputusan terhadap beberapa masalah dalam
keluarga. Tetapi ayah yang baik tidak segan memberikan pujian dan penghargaan
pada anak atau anggota keluarga lainnya jika melakukan sesuatu yang baik dan
bermanfaat. Sebaliknya juga, tidak ragu untuk memberikan sanksi atau hukuman
kepada anak jika melakukan keburukan.
Ibu memiliki hubungan yang teramat dekat dengan anak, baik secara
fisik maupun psikis. Kunci keberhasilan seorang ibu dalam membesarkan,
memelihara, dan mengantarkan kesuksesan anak-anaknya adalah ketekunan,
kesabaran dan keuletan dengan segala kelembutannya. Dalam posisi seperti ini,
seorang ibu harus memegang perang yang maksimal dalam mendidik anak-anaknya di
rumah. Ibu harus menjadi tempat curahan hati bagi anak-anaknya, sambil
memberikan bimbingan, mengajarkan ketrampilan disertai keteladanannya.
Keberadaan ibu dalam suatu rumah tangga sangat menentukan kehidupan yang Islami
dalam keluarga.[57]
Peran ibu dalam
mendidik anak memegang peranan yang sangat penting. Lingkungan keluarga merupakan
ranah dasar yang sangat menentukan kehidupan anak di masa selanjutnya. Sebab
sebelum terjun ke lingkungan yang lebih luas, seorang anak mesti mendapat
pendidikan dasar di lingkungan keluarganya. Karena itu, peran ibu di tengah
keluarga memiliki posisi sentral.
Peran khusus ibu dalam mendidik anak bisa kita tinjau
dalam dua perspektif. Pertama, masa-masa awal pembentukan kepribadian seorang
anak dilalui dalam buaian dan kasih sayang seorang ibu. Pada masa-masa awal
itulah pondasi pendidikan dini anak dimulai. Kebiasaan dan pola tindakan
seorang ibu akan menjadi model perilaku dan kepribadian anaknya. Kedua, kasih
sayang seorang ibu merupakan tumpuan hangat seorang anak. Tiap kali seorang
anak merasa tidak nyaman, ia pun akan lari ke pangkuan dan pelukan ibunya untuk
memperoleh rasa aman.
Islam menganggap ibu
memiliki peran yang menentukan dalam mendidik jiwa dan mental anak-anak. Sebab,
anak yang saleh akan lahir dari buaian dan pendidikan seorang ibu yang baik
4. Peran
Anak
Sedangkan kewajiban anak adalah berbuat
baik dan berkhidmat kepada orang tuanya secara tulus, orang tualah yang menjadi
sebab terlahirnya ia ke dunia. Al-Qur’an memerintahkan supaya anak
memperlakukan orang tua dengan sebaik-baiknya, ibu yang telah mengandungnya
sehingga sepatutnya anak bersyukur kepada Allahdan memohon kebaikan untuk orang
tuanya. Allah mengharuskan anak berbuat kebaikan dan mentaati kedua orang tua. Pengertian berbuat baik terhadap orangtua di sini artinya sangat luas.
Beberapa contoh perilaku berbuat baik terhadap orang tua di antaranya:
- Berkata dan bertutur kata yang sopan, lemah lembut serta menyenangkan hati orang tua kita. Jangan sampai berkata yang keras, kasar, dan menyakitkan hati orang tua, karena kalau orang tua sampai sakit hati kemudian dia mengadu dan berdo’a kepada Allah, maka do’anya akan langsung dikabulkan oleh Allah Ta’ala.
- Merendahkan diri apabila berhadapan dengan orang tua. Sikap tangan harus ke bawah, bukan hanya kepada orang lain dan atasan, maka kepada orang tua pun harus senantiasa bersikap sopan.
- Berterima kasih dan bersyukur atas kebaikan orang tua karena mereka sudah sangat berjasa terhadap kita; dari sejak kita masih dalam kandungan sampai dewasa. Sungguh sangat besar jasa dan pengorbanan kedua orang tua kita. Kita tak akan dapat membalasnya sampai akhir hayat sekalipun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Islam memandang keluarga sebagai lingkungan bagi individu di mana ia
berinteraksi. Dari hal tersebut ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan
dan emosinya. Juga pentingnya keluarga bukan hanya kepada individu, tetapi juga
kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengganggapnya institusi sosial yang
terpenting dan merupakan unit sosial
yang utama. Oleh sebab kepentingan berganda yang dimiliki oleh keluarga inilah
maka masyarakat Islam berusaha keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan
mengusahakan segala jalan untuk memperkokoh keluarga.[58]
Agar anak tumbuh dan memiliki pribadi muslim
yang ideal, maka orang tua diharapkan melakukan pembinaan dan memberikan
pendidikan di keluarganya. Di antaranya yaitu
melakukan pembinaan terhadap akidah dan akhlak, pembinaan terhadap ibadah, pembinaan
mental bermasyarakat dan pembinaan intelektual.
Akidah yang kuat dan tertanam dalam jiwa
seseorang, merupakan hal yang terpenting dalam perkembangan pendidikan anak. Pembinaan anak dalam beribadah dianggap
sebagai penyempurna dari pembinaan akidah. Karena nilai ibadah yang didapat
oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan kebenaran ajarannya. Hal penting lainnya
yaitu pembinaan kemasyarakatan yang harus diberikan sejak dini. Tujuannya agar
ia bisa beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan mampu menempatkan diri
dengan sebaik-baiknya. Selain itu, proses belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pembentukan pribadi dan perilaku individu. Mencari ilmu merupakan sebaik-baik ibadah yang
akan mendekatkan seorang hamba kepada sang Khalik.
Implikasi dari kajian makalah ini adalah bahwa
orang tua harus memiliki keteladanan yang baik. Konsep keteladanan dalam sebuah
pendidikan sangatlah penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan,
khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Karena
seorang pendidik merupakan sosok figur dalam pandangan anak.
Bimbingan dan pengawasan orang tua adalah dua hal yang tidak dilepas
dan tidak bisa dipisahkan dari proses pendidikan. Pendidikan memerlukan
bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun, mengarahkan sekaligus mendampingi anak
dalam hal-hal tertentu.
Sebagai kepala keluarga atau pimpinan rumah tangga, ayah harus dapat
mengendalikan anggota keluarganya di dalam rumah agar mengarah pada situasi
yang mendukung terlaksananya proses pendidikan Islam.Seorang ayah berkedudukan
sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Sementara ibu adalah petugas lapangan yang
secara langsung akan menjadi “madrasah pertama” bagi anak-anak mereka.
B.
Saran
1.
Keluarga memberikan pengaruh terhadap proses perkembangan
anak, maka orang tua harus memberikan pendidikan dan pengasuhan yang baik
terhadap anak yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.
2.
Sebelum mencerdaskan anak, orang tua harus
mencerdaskan diri sendiri atau berusaha manjadi orang tua yang bisa memberikan
keteladanan yang baik dengan membekali dengan ilmu pengetahuan.
3.
Diperlukan kerja sama antara sesama anggota
keluarga untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abu Fida Isma’il Ibnu
Katsir. 2000.Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim,
terj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Ibnu
Katsir, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Al-Atsary, Ummu Ihsan Choiryah dan Abu Ihsan. 2010.Mencetak Generasi Rabbani:Mencetak
Generasi Rabbani: Mendidik Buah Hati Menggapai Ridha Ilahi, Bogor: Pustaka Darul Ilmi.
Al-Bukhari, Abu Abdullah ibn
Muhammad Isma’il, Shahih Bukhri, Riyadh: Idaratul Bahtsi
Ilmiah,tt.
Alim, Akhmad.2014.Tafsir
Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press.
Al-Ghomidy, Abdul Latif bin Wahhab Al-Ghamidy,
100 Fikroh li Tarbiyah al-Usroh, terj,
Mutsanna Abdul Qahhar, 100 Kiat Membina Rumah Tangga Muslim,
Solo: At-Tibyan, tt.
Al-Qarni, Aidh.2008.At-Tafsir Al-Muyassar,
terj. Tim Qisthi Press, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press.
As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 1999. Taisiir
Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Manan, terj. Muhamaad Iqbal dkk, Tafsir
Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Sahifa.
Asy-Syahawi, Majdi Muhammad. 2005.Washaaya
Luqmanul Hakim min al-Kitab wa as-Sunnah, terj. Abdul Hayyi Al-Kattani dan
Machmudi Mukson, Pesan-Pesan Bijak Luqmanul Hakim, Depok: Gema Insani.
Drajat, Zakiah. 1982. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan Bintang
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia Dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta:
PT. Al Husna Zikra.
Muallifah. 2009.Psycholo Islamic Smart
Parenting, Yogyakarta: Diva Press.
Nashir, Sahilun. 1999.Peran Pendidikan Agam
Terhadap Pemecahan Problema Remaja, Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abudin. 2010.IlmuPendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Quthb, Sayyid. 2000.Fi Zhilalil Qur’an, terj. Aunur Rafiq, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an; Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jakarta:
Robbani Press.
Rosyadi, Rahmat. 2011.Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini, Bogor:
Penerbit UIKA.
Salim, Moh. Haitami. 2013. Pendidikan Agama dalam Keluarga;
Revitalisasi Peran Keluarga Dalam Membangun Generasi Bangsa Yang Berkarakter,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Press.
Sohib.
Moh. 1998.Pola Asuh Orangtua dalam
Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, Jakarta: Rineka Cipta.
Suharsono. 2003.Mencerdaskan Anak,
Depok: Inisiasi Press.
Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafizh. 1998.Manhaj
al-Tarbiyyah al-Nabawiyah Li al-Thifl, terj. Kuswandani dkk, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung:
Penerbit Al-Bayan.
Zakiah Drajat. 1982. Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan Bintang.
http://news.detik.com/berita/1696402/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat
Imam
Taufik Alkhotob. 2015. Gender Dalam
Perspektif Islam.https://hudzai.wordpress.com/2009/01/07/gender-dalam-prespektif-islam/, diakses pada
pukul 21.00, 14 Desember 2015
Hak Perempuan Dalam
Keluarga.
https://eloklubna.wordpress.com/2011/12/22/hak-perempuan-dalam-keluarga/, diakses pada
pukul 10.45, 16 Desember 2015
Lismanto.
2015. Konsep Kesetaraan Genderhttp://www.islamcendekia.com/2013/12/konsep-kesetaraan-gender-menurut-barat-dan-islam.html, diakses pada
pukul 20.48, 14 Desember 2015
[1] Abudin Nata, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), h. 298
[2] ZakiahDrajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 76
[3] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu
Ihsan al-Atsary, Mencetak Generasi Rabbani:
Mendidik Buah Hati Menggapai Ridha Ilahi, (Bogor: Pustaka Darul Ilmi,
2010), h. 61
[4] Rahmat Rasyidi, Pendidikan…, h. 11
[5]Abu Abdullah ibn
Muhammad Isma’il al-Bukhari, Shahih
Bukhri Juz I, (Riyadh: Idaratul Bahtsi Ilmiah,tt), h. 25
[6] Abudin Nata, Ilmu…, h.191-192
[7] Sahilun A. Nashir, Peran
Pendidikan Agam Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia:
1999), h. 4
[9] Zakiah Drajat, Pembinaan
Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 9
[10] Sahilun A. Nashir, Peran…
h. 8
[11] Lismanto,Konsep Kesetaraan Gender Menurut Barat dan Islam, http://www.islamcendekia.com/2013/12/konsep-kesetaraan-gender-menurut-barat-dan-islam.html, diakses pada pukul 20.48, 14
Desember 2015
[12]Imam Taufik Alkhotob, Gender Dalam Perspektif Islam. https://hudzai.wordpress.com/2009/01/07/gender-dalam-prespektif-islam/, diakses pada pukul 21.00, 14
Desember 2015
[13]https://eloklubna.wordpress.com/2011/12/22/hak-perempuan-dalam-keluarga/, diakses pada pukul 10.45, 16
Desember 2015
[14]Ibid.
[16]http://news.detik.com/berita/1696402/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat, diakses pukul 21.05, 20 Oktober
2015
[17]
Baron, R. A dan Donn Byrne, Psikologi Sosial. (Jakarta: Erlangga, 2003)
[18] Moh. Sohib, Pola Asuh Orangtua dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 17
[19]Simanhadi Widyaprakosa,
Pembaharuan Pendidikan Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Universitas Jember, Program Diploma Kependidikan, Jember, 1984,
h. 3
[20] Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter
Anak Sejak Dini, (Bogor: Penerbit UIKA, 2011), h. 21
[21] Zakiah Drajat, Pendidikan…, h. 76
[22] Moh Haitami Salim, Pendidikan Agama Dalam Keluarga:
Revitalisasi Peran Keluarga dalam Membangun Generasi Bangsa yang Berkarakter,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 136
[23] Muhammad Nur Abdul Hafizh
Suwaid, Manhaj al-Tarbiyyah al-Nabawiyah
Li al-Thifl, terj. Kuswandani dkk, Mendidik
Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1998), h. 41
[24] Hasan Langgulung, ManusiaDan Pendidikan: Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995), h. 369
[25] Abudin Nata, Ilmu…, h. 299
[27] Hasan Langgulung, Manusia…h. 348
[28] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…,
h. 38
[29] Al-Imam Abu Fida Isma’il Ibnu
KatsirAd-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Adhim, terj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), Juz 28, h. 5
[30] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di,
Taisiir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Manan, terj. Muhamaad
Iqbal dkk, Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999), Jilid 5,
h. 327
[31]Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, terj. Aunur Rafiq, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an; Di Bawah Naungan
Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2000), Juz XXVIII, h. 339
[32] Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 100
[33] Moh. Haitami Salim, Pendidikan…, h. 292
[34] Abdul Latif bin Wahhab
Al-Ghamidy, 100 Fikroh li Tarbiyah al-Usroh, terj, Mutsanna Abdul Qahhar, 100 Kiat Membina
Rumah Tangga Muslim, (Solo: At-Tibyan, ), h. 15
[35] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…, h. 147
[37] Majdi MuhammadAsy-Syahawi, WashaayaLuqmanul Hakim min al-Kitab wa as-Sunnah, terj. Abdul Hayyi
Al-Kattani dan Machmudi Mukson, Pesan-Pesan Bijak Luqmanul Hakim,
(Depok: Gema Insani, 2005), h. 28
[38] Aidh Al-Qarni, At-Tafsir
Al-Muyassar, terj. Tim Qisthi Press, Tafsir Muyassar, (Jakarta:
Qisthi Press, 2008), Jilid IV, h. 375
[40] Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam Kata
Pengantar pada yunhar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2005), h. viii
[41] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, terj. Aunur Rafiq, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an; Di Bawah Naungan
Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2000), Juz XVI h. 36
[43] Aidh Al-Qarni, At-Tafsir…,
h. 375
[44] Akhmad Alim, Tafsir
Pendidikan Islam, (Jakarta: AMP Press, 2014), h. 78
[45] Moh. Haitami Salim, Pendidikan…, h. 141
[46] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu
Ihsan Al-Atsary, Mencetak…, h. 155
[47] Sayyid Quthb, Tafsir…, Juz XVI, h. 200
[48] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…, h. 233
[49] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu
Ihsan Al-Atsary, Mencetak…, h. 196
[50] Muhammad Nur Abdul Hafizh, Manhaj…, h. 290
[52]Al-Imam Abu Fida Isma’il Ibnu
KatsirAd-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an,…h. 2
[53] Muallifah, Psycholo Islamic
Smart Parenting, (Yogyakarta: Diva Press, 2009)
[54] Rahmat Rasyidi, Pendidikan…, h. 32
[55] Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu
Ihsan Al-Atsary, Mencetak…, h. 24
[56] Moh. Haitami Salim, Pendidikan…,
h. 166-167
[58] Hasan Langgulung, Manusia…, h. 348
Categories: Jurnal