Sekolah Kristen Dan Kolonialisme
Posted by Unknown on 06:36
Sejarah
menunjukkan bahwa Kristenisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekspansi
kolonialisme. Agama Kristen datang
dan menyebar di negeri kita seiring dengan datang dan menyebarnya kolonialisme
Barat. Portugis maupun Belanda sama-sama datang dengan membawa misi Kristen. Di
dalam Encyclopædie van Nederlandsch-Indië Jilid IV (Leiden: Martinus
Nijhoff, 1905), hlm. 829 disebutkan, “Mengenai sikapnya terhadap perkara agama
di kepulauan ini (Nusantara), orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan
orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan menjumpai pribumi Kristen, keadaan
mereka itu tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun belum ada pribumi
Kristen, dia berusaha menyebarkan Kristen di tengah-tengah mereka.”
Di daerah-daerah yang
berhasil ditaklukkan, pihak kolonial memfasilitasi pendirian sekolah-sekolah
Kristen. Hal ini mempunyai
arti penting bagi penyebaran Kristen maupun hegemoni kolonialis. Franciscus
Xaverius (1506-1552), misionaris Portugis pengikut Ordo Jesuit yang sukses
menyebarkan Kristen Katolik di Maluku, menegaskan bahwa untuk memperluas agama
Kristen perlu didirikan sekolah di mana-mana, terutama di daerah-daerah non-Kristen.
Dalam Ordo Jesuit, bidang pendidikan memang menjadi salah satu sarana kegiatan
misi mereka yang sangat efektif dan efisien. Pada masa penjajahan Portugis itulah ordo ini
datang ke Indonesia.
Menaklukkan Muslim Lewat Pendidikan
Mayoritas penduduk Maluku telah
memeluk Islam ketika Portugis datang. Portugis memandang semua pemeluk Islam
adalah bangsa Moor dan musuh Kristen yang harus diperangi. Selain memerangi
secara fisik, Portugis juga berusaha menaklukkan Muslim Maluku melalui
Kristenisasi. Oleh karena
itu, sekolah Kristen didirikan di daerah-daerah Muslim.
Di Ternate, misalnya, Antonio Galvano mendirikan
sekolah seminari untuk anak-anak para pemuka pribumi pada 1536. Sekolah sejenis
kemudian didirikan di Pulau Solor dengan jumlah murid sebanyak 50 orang. Murid-murid dari golongan pribumi yang
mampu mengikuti pelajaran dengan baik dan ingin melanjutkannya bisa meneruskan
studi di Goa (India). Ketika itu, Goa merupakan pusat kekuatan orang-orang
Portugis di Asia. Franciscus Xaverius berangkat dari Ternate ke Goa dengan
membawa pemuda-pemuda Maluku untuk melanjutkan pelajarannya ke kota tersebut.
Jumlah orang Kristen pribumi pun semakin meningkat. Pada 1546 di Ambon sudah
terdapat tujuh buah kampung pemeluk Katolik Roma. (Sejarah Pendidikan di
Indonesia Zaman Penjajahan, hlm. 8)
Memasuki abad
17 Belanda berhasil mengambil alih kekuasaan Portugis di Maluku. Belanda kemudian
juga berhasil mengontrol pulau-pulau lain, terutama pulau Jawa. Mereka bersatu
dalam Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Sebagai organisasi dagang
swasta, VOC kurang melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan dan menyerahkannya
saja kepada gereja. Pendidikan
tersebut disesuaikan dengan kepentingan VOC. Misalnya pengembangan agama
Kristen Protestan melalui pendidikan sebagai sarana untuk membina dan
meningkatkan loyalitas penduduk pribumi kepada penguasa baru, yaitu orang-orang
Belanda. Pejabat VOC memberikan sejumlah beras kepada anak-anak yang datang ke
sekolah. Di kemudian hari, orang terbiasa mengejek tentang "orang Kristen
beras" Kompeni.
Jumlah sekolah Kristen
semakin bertambah dan menyebar di berbagai wilayah Indonesia setelah
lembaga-lembaga zending Eropa berdatangan pada pertengahan abad 19. Apabila
memulai Kristenisasi di suatu daerah, para zendeling biasanya membuka pula
sekolah dan lembaga kesehatan. Melalui kegiatan tersebut, zending sanggup memikat
hati orang yang masih bersikap menolak terhadap Kristenisasi secara langsung.
Di samping itu, sebagian zendeling yakin bahwa sekolah perlu untuk menuntun
orang masuk ke dalam lingkungan peradaban Barat (Kristen) sehingga mereka dapat
memahami pemberitaan agama Kristen.
Politik Etis Menyuburkan Sekolah Kristen
Politik etis (1901-1942 M) sejatinya merupakan
upaya Kristenisasi dan sekulerisasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk
pribumi yang mayoritas beragama Islam. Pemerintah merasa punya hutang budi
kepada pribumi. Oleh karena
itu, Pemerintah ingin meningkatkan kemakmuran mereka. Salah satu sarananya
adalah melalui pendidikan.
Pemerintah lalu membuka lebih banyak
sekolah-sekolah model Barat untuk pribumi. Akan tetapi, Pemerintah kekurangan tenaga
untuk menjalankannya. Menghadapi masalah demikian, Pemerintah bekerja sama
dengan badan zending dan misi. Pemerintah memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah
Kristen karena aktivitas mereka dianggap sejalan dengan tujuan politik etis
yang ingin memajukan peradaban pribumi. Padahal subsidi tersebut berasal dari
pajak yang dibayarkan oleh penduduk yang mayoritas Muslim. Melalui lembaga
pendidikan dan lembaga sosial, para zendeling dan misionaris berusaha melakukan
Kristenisasi secara bertahap. Strategi ini disebut pre-evangelisation.
Di sekolah-sekolah Kristen, kesetiaan kepada
pemerintah dan ratu Belanda ditanamkan ke dalam hati para murid. Doktrin yang
demikian itu ditekankan karena para zendeling yakin bahwa orang Indonesia masih
membutuhkan dan masih lama akan membutuhkan bimbingan mereka. Akibatnya ketika
terjadi kebangkitan nasional, gerakan ini oleh kebanyakan para zendeling
dipandang sebagai gerakan revolusioner yang patut ditolak.
Sekolah-sekolah Kristen berhasil memurtadkan
banyak pribumi Muslim. Misalnya saja sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith
di Muntilan Jawa Tengah. Di desa kecil Semampir dia mendirikan sebuah sekolah
desa dan sebuah bangunan gereja. Saat itulah dia memulai kompleks persekolahan Katolik di
Muntilan, mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru
berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906. Anak-anak
lelaki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Akan tetapi, mereka semua tamat
sebagai orang Katolik. Beberapa dari kelompok siswa pertama bahkan melanjutkan
studi mereka untuk menjadi imam.
Demikianlah, pendidikan menjadi senjata ampuh bagi
misionaris maupun kolonialis dalam menaklukkan Islam. Orientalis penasihat
pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje, menyatakan dalam bukunya Nederland
en de Islam hlm. 79, “Opvoeding en onderwijs zijn in staat de Moslims
van het Islamstelsel te emancipeeren”. Artinya, “Pendidikan dan pelajaran dapat
melepaskan kaum Muslim dari genggaman Islam.”
Pernyataan serupa juga
disampaikan oleh tokoh misionaris Samuel M. Zwemer dalam Islam; A Challenge
to Faith hlm. 211,
“Semua kekuatan pendidikan, yang besar maupun yang kecil, dapat membantu
meruntuhkan karang kebodohan dan takhayul luar biasa, yang menjadi tradisi
Islam. Akan tetapi, karya pendidikan
hanyalah persiapan. Kita harus bisa menembus hati nurani, atau gagal.
Pendidikan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan.”
Sebagai Muslim,
tentu kita harus mengambil pelajaran dari sejarah ini. Wallahu a‘lam.
Categories: Artikel