Respon Muhamdiyah Terhadap Sekolah Kristen
Posted by Unknown on 23:38
Oleh: Ustad Isa Anshori, M.P.I.
Berdirinya Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Salah satu faktor yang melatarbelakangi pendirian organisasi ini adalah adanya penetrasi misi Kristen yang berkembang pesat pada masa politik etis. Hal ini berawal ketika para penguasa keraton Yogyakarta, atas desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan penginjilan terhadap masyarakat Jawa. Sejak saat itu, Jawa, wilayah konsentrasi kebanyakan kaum Muslim, terbuka bagi kegiatan misionaris Kristen. Penetrasi Kristen yang lebih dalam lagi terjadi mulai 1850-an ke wilayah Jawa Tengah, yang menjadi dorongan kuat bagi lahirnya pendalaman kesadaran kaum Muslim untuk melawan kegiatan-kegiatan misi ini.
Menghadapi
tantangan demikian, Muhammadiyah giat melakukan tabligh, merapikan dan
mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi ini, bahkan sering
mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur dan pendeta. Tujuannya adalah untuk
menunjukkan kebenaran Islam dan kemampuan umatnya dalam mempertahankan
agamanya. Selama masa Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menghindari konfrontasi
langsung dengan misi Kristen.
Dalam
pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka dan menghentikan
penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah sesuatu yang tidak efektif dan
strategis. Baginya, yang lebih penting dari itu adalah membangkitkan kesadaran
kaum Muslim mengenai akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi
tersebut. Oleh sebab itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan
daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen.
Dengan berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu
menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen.
Kristenisasi dalam Pandangan
Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja
dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para
pemimpin Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi
Kristen banyak dijadikan contoh. Muhammadiyah banyak mengadopsi cara dari misi
Kristen dalam pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, dan panti asuhan.
Perawatan fakir miskin dan bantuan kepada
orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah dilakukan secara
tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif perseorangan. Malah
pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada kesediaan orang-orang Islam
sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya mendapat tempat perlindungan pada
keluarga berada. Sebuah keluarga Muslim secara tradisi ingin memelihara
anak-anak yatim tersebut karena kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi
mereka. Oleh sebab itu, pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan
mengatur rumah khusus bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan
klinik kesehatan.
Sebuah
kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh Muhammadiyah adalah
gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dibentuk pada
1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh keterangan tentang persoalan kepanduan
ini dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan kepanduan misi
Kristen di alun-alun Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh
gerakan seperti ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan
guna membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa,
pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama serta
latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan mereka pada
tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan bergabung dengan
organisasi Muhammadiyah.
Sekolah Kristen dan Sekolah Barat vs
Sekolah Muhammadiyah
Sebagaimana telah diketahui, pemerintah
kolonial Belanda beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis
membuka semakin banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut
mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa. Anak
laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah tidak mempunyai
waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang priyayi mengirimkan
anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah tidak ada.
Dalam beberapa
kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke sekolah oleh orang tua menyebabkan
pendidikan agama mereka terabaikan. Orang tua yang berasal dari lingkungan yang
taat dan mengharapkan anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang
harus memilih satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke
sekolah swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama
khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah
menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan
umum dengan menggunakan metode modern.
Pada
akhir 1923, di Yogyakarta telah didirikan empat sekolah dasar Muhammadiyah dan
sudah mulai mempersiapkan mendirikan sekolah HIS dan sekolah pendidikan guru.
Muhammadiyah juga sibuk mendirikan sekolah di luar Yogyakarta. Misalnya saja
mendirikan HIS di Batavia.
Selain
mendirikan sekolah yang mengikuti model gubernemen, Muhammadiyah dalam waktu
singkat juga mendirikan sekolah yang lebih bersifat agama. Sekolah ini
dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki pengajaran Al-Qur’an yang
tradisional. Untuk pengajian kitab, Muhammadiyah juga segera mencari penggantinya
yang sesuai dengan tuntutan zaman modern. Usaha tersebut dapat dianggap sebagai
realisasi dari rencana Sarekat Islam yang semenjak 1912 berusaha mendirikan
sekolah pendidikan agama, yang dapat menyaingi sekolah pendidikan guru
gubernemen.
Pada
8 Desember 1921, Muhammadiyah sudah dapat mendirikan Pondok Muhammadiyah
sebagai sekolah pendidikan guru agama. Dalam sekolah tersebut, pelajaran umum
diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool).
Sementara itu, Ahmad Dahlan sendiri dan beberapa orang guru lainnya memberikan
pelajaran agama yang lebih mendalam.
Pendirian Pondok Muhammadiyah ini sangat
penting untuk kaderisasi mubaligh yang akan mendakwahkan Islam dan membendung
arus Kristenisasi. Terlebih ketika itu pihak Kristen juga mempunyai sekolah
guru yang mengkader murid-muridnya untuk melakukan Kristenisasi. Misalnya saja
sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan dan Hoevenaars di Mendut
Jawa Tengah. Mantan murid sekolah-sekolah Muntilan dan Mendut kebanyakan
menjadi guru pada jejaring sekolah-sekolah dasar Katolik yang dikembangkan
dengan cepat di berbagai kota dan kampung di Jawa. Para guru itu kemudian
berupaya menghasilkan jemaat-jemaat Katolik baru.
Peran Muhammadiyah dalam memperbarui pendidikan
Islam sangat besar. Sampai-sampai mendirikan cabang baru Muhammadiyah pada
umumnya identik dengan mendirikan sekolah baru. Hal ini menunjukkan betapa
gigih dan konsisten para pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu
sudah selayaknya dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Wallahu a‘lam.
Categories: Artikel