Jihad Trunajaya
Posted by Unknown on 20:42
Oleh: Ustad Isa Anshori, M.P.I.
“Tidak pantas
jika Baginda sebagai Raja bergaul dengan orang-orang Kristen (Belanda). Para
pembesar yang mengabdi kepada Baginda akan merasa hina melihat yang demikian
itu. Orang Jawa nanti akan memeluk agama Kristen. Dengan keadaan ini, Baginda
sebagai Raja tidak dapat menjalankan pemerintahan karena kewibawaan Baginda di
mata rakyat akan turun… Leluhur Baginda tidak pernah bersekutu dengan
orang-orang Kristen (Belanda). Pemerintahan tidak dicampuri oleh orang lain,
tetapi dijalankan sendiri. Oleh karena mereka adalah benalu, bilamana bertempat
di suatu pohon akhirnya ini akan kering.” Demikian nasihat Trunajaya kepada
Amangkurat II dalam suratnya pada 1679, seperti yang dicantumkan dalam Daghregister
15 April 1680 hal. 174.
Trunajaya adalah
seorang bangsawan Madura yang melakukan pemberontakan terhadap Raja Mataram
Amangkurat I, lalu Amangkurat II. Pemberontakan ini (1674–1680) semula adalah
gerakan protes terhadap kezaliman Amangkurat I terhadap rakyat Mataram. Tanpa
diduga, ia kemudian menjadi gerakan jihad melawan VOC Belanda.
Berbeda dengan ayahnya, Sultan
Agung, Amangkurat I adalah raja yang bermoral buruk. Dia senang bermain wanita,
mudah curiga, dan gemar membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Pada 1659,
dia memerintahkan prajuritnya untuk membantai para pemuka agama Islam beserta
istri dan anak mereka yang mencapai jumlah 6.000 orang dalam waktu kurang dari
setengah jam. Mereka dibantai karena dicurigai terlibat dalam konspirasi
melawan Amangkurat I oleh adiknya, Pangeran Alit. Amangkurat I juga bereaksi
keras terhadap pertumbuhan Islamisasi dalam masyarakat Jawa. Dia merevisi administrasi peradilan, yang belum
lama diperkenalkan ayahnya, dan membatasi yurisdiksi pengadilan agama. Dia
menolak gelar “sultan” dan lebih suka gelar Jawa “susuhunan”. (Bernard H.M.
Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 196) Penggantian gelar ini untuk
memposisikan dirinya lebih tinggi dari para wali yang memakai gelar “sunan” dan
dianggap jauh lebih agung daripada gelar “sultan”. (Soemarsaid Moertono,
Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, hal. 41) Selain itu,
Amangkurat I juga mengadakan perjanjian dengan VOC yang merugikan Mataram dan
menguntungkan VOC. Dalam perjanjian ini, Mataram mengakui kedaulatan Belanda di
Batavia.
Oleh
karena track record Amangkurat I yang sangat buruk, banyak orang tidak menyukainya,
termasuk putra mahkota sendiri, Pangeran Anom. Pangeran Anom bertekad
menumbangkan pemerintahan ayahnya. Dia meminta bantuan Raden Kajoran untuk
memimpin revolusi. Raden Kajoran menolak permintaan Pangeran Anom, namun
melimpahkannya kepada menantunya, Raden Trunajaya. Akhirnya, kedua bangsawan
itu sepakat untuk menyalakan api revolusi. Apabila revolusi sudah berkobar,
Raden Kajoran dan Pangeran Anom akan tampil ke muka. Kedua bangsawan ini
mempunyai tujuan yang sama, yaitu menumbangkan pemerintahan Amangkurat I, namun
mereka berbeda dalam dasar pertimbangan. Pangeran Anom menumbangkan
pemerintahan ayahnya untuk merebut mahkota Mataram, sedangkan Trunajaya
didorong oleh rasa keadilan untuk membasmi kezaliman dan menghidupkan pula
kebesaran Mataram. Perbedaan dasar ini nanti akan mengakibatkan perpecahan
antara Trunajaya dan Pangeran Anom yang berakhir dengan kematian Trunajaya.
(Raden Soenarto Hadiwidjojo, Raden Trunodjojo Panembahan Maduratna Pahlawan
Indonesia, hal. 11-12)
Trunajaya memulai revolusi dari
Madura. Seluruh wilayah Madura berhasil ditaklukkannya dengan mudah karena
dukungan rakyat yang tidak menyukai pimpinan pulau itu, Pangeran Tjakraningrat
II. Dari Madura, kemudian Trunajaya berhasil menaklukkan seluruh wilayah Jawa
Timur dan pesisir utara Jawa Tengah. Pada 13 Oktober 1676, pasukan Trunajaya
bertempur dengan pasukan Mataram pimpinan Pangeran Anom yang dibantu oleh
pasukan VOC di Gegodok. Pangeran Anom tidak memperhatikan jalannya pertempuran.
Sebaliknya, Trunajaya mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk
menghancurkan aliansi pasukan Mataram dan VOC hingga mereka mengalami kekalahan
besar. Di luar kesepakatan antara Trunajaya dan Pangeran Alit, pasukan VOC bersungguh-sungguh
hendak menangkap dan memerangi Trunajaya sehingga Trunajaya pun mencurahkan
segala kekuatannya untuk menghancurkan musuh. Kekalahan pasukan Mataram di
Gegodok menimbulkan kebencian Pangeran Alit terhadap Trunajaya. Dia kemudian
menyesal dan meminta maaf kepada ayahnya, Amangkurat I.
Campur tangan VOC mengubah
pemberontakan Trunajaya menjadi gerakan jihad melawan pasukan penjajah Belanda.
Pasukan Trunajaya menghimbau agar
orang-orang Jawa mendukung mereka demi agama Islam. Mereka pun mendapatkan
tanggapan yang positif. Panembahan Giri merestui mereka dan mengatakan bahwa
Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC masih tetap berada di Jawa. Kesadaran
Islam di kalangan rakyat pada waktu itu sangat kuat sehingga gerakan jihad tersebut
sulit dipadamkan. Mereka meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberkahi Jawa selama
orang-orang yang beragama Kristen masih ada di sana. (M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern, hlm. 112—114) Trunajaya juga mendapatkan bantuan dari
para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong dan Montemarano, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC pada 1668. Mula-mula mereka berdiam di Banten,
kemudian berpusat di Demung (Besuki) Jawa Timur. Dengan bantuan armada Makasar
ini, Trunajaya bergerak di darat dan di laut. Pasukan Karaeng Galesong dan Montemarano mengacau pelayaran VOC di
sepanjang pantai utara pulau Jawa.
Pada
1676, Trunajaya berhasil menduduki keraton Mataram di Karta. Sejumlah harta
pusaka kerajaan dia bawa. Mengetahui keraton diserbu, Amangkurat I beserta
putra mahkota melarikan diri. Dia ingin mengungsi ke Batavia untuk berunding
dengan VOC. Sebelum sampai tujuannya, dia jatuh sakit dan meninggal, kemudian
dikuburkan di dekat Tegal. Putra mahkota menggantikan ayahnya dengan gelar
Susuhunan Amangkurat II. Namun demikian, dia menjadi susuhunan yang tidak
bermahkota dan tidak bernegara. Dia pun meminta bantuan kepada Speelman, wakil
VOC di Jepara, agar merebut tahta Mataram untuknya. Speelman sanggup, tetapi
dengan perjanjian yang sangat berat dan merugikan Mataram.
Dengan
bantuan pasukan Bone dan Ambon, Speelman menyerbu pusat kekuatan pasukan
Trunajaya di Kediri pada 25 Nopember 1678. Pertempuran sengit pun terjadi.
Menghadapi musuh yang berlipat ganda dengan persenjataan yang jauh lebih
lengkap, Trunajaya akhirnya melepaskan Kediri dan mundur ke Blitar, lalu ke Malang.
Jatuhnya Kediri disambut dengan sangat gembira oleh Belanda di Batavia. Pada
kedua hari Natal 1678, Belanda menggelar pesta perayaan kemenangan di beberapa
gereja. Bunyi meriam diperdengarkan pada malam hari. Kembang api menghiasi
angkasa di atas kota Batavia. (Raden Trunodjojo Panembahan Maduratna
Pahlawan Indonesia, hal. 17)
Pada saat mundur itu, Trunajaya
sempat mengirimkan surat kepada Amangkurat II mengingatkan hubungannya dengan
orang-orang kafir (Belanda). Trunajaya siap mengabdi kembali kepada Susuhunan
apabila Susuhunan bersedia memutuskan hubungan dengan Belanda. Sebagai raja
Muslim, Susuhunan tidak boleh bersekutu dengan orang-orang Kristen. Leluhur
Susuhunan, yaitu Sultan Agung, bahkan bersikap tegas terhadap orang-orang
Kristen dan berani melawan mereka.
Akan tetapi, nasihat Trunajaya ini
tidak dipedulikan oleh Amangkurat II. Dia tetap meminta Belanda untuk memerangi
pasukan Trunajaya. Setelah penaklukan Kediri, pasukan Belanda dan Susuhunan
berusaha menangkapi sisa-sisa pasukan Trunajaya. Begitulah Belanda untuk
pertama kalinya mengenal pedalaman pulau Jawa. (Nusantara, hal. 200) Pada 1680, pasukan Trunajaya akhirnya
dapat dikalahkan dan Trunajaya sendiri menyerah kepada Kapitan Jonker. Oleh
Jonker, Trunajaya diserahkan kepada Amangkurat II yang kemudian menikamnya
hingga mati. Perang pun selesai, namun beban monopoli mulai terasa. Susuhunan
membutuhkan uang, sedangkan rakyat yang harus menghasilkan uang tersebut. Rakyat
terus diperas dan menderita. Demikianlah dampak yang terjadi apabila
penguasa senang bekerja sama dengan pihak penjajah.
Categories: Artikel