Islamisasi Nusantara Menurut Haji Agus Salim
Posted by Unknown on 20:29
Pada 1941 Haji Agus Salim menulis sebuah buku berjudul Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia. Buku ini kemudian dicetak ulang pada 1962 dan diterbitkan oleh Tintamas Jakarta. Meskipun tipis dan ringkas, namun buku ini mempunyai nilai yang sangat penting. Ketika buku ini ditulis, historiografi Islam Indonesia masih didominasi oleh karya para orientalis kolonialis yang memandang Islam secara negatif berdasarkan worldview Barat.
Sebut saja misalnya Snouck Hurgronje. Dalam
bukunya Nederland en de Islam (hlm. 1), Snouck mengatakan bahwa Islam
baru masuk ke kepulauan Indonesia pada abad ke-13 M setelah mencapai evolusinya
yang lengkap. Islam datang dari Gujarat India, bukan dari Mekah Arab. Snouck
juga menyatakan dalam bukunya Arabie en Oost Indie (hlm. 22) bahwa orang
Islam di Indonesia sebenarnya hanya tampaknya saja memeluk Islam dan hanya di
permukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini. Ibarat berselimutkan kain dengan
lubang-lubang besar, tampak keaslian sebenarnya, yang bukan Islam.
Berdasarkan teorinya itu, Snouck ingin membangun
opini bahwa Islam yang datang ke Indonesia bukanlah Islam yang murni, seperti
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw., tetapi Islam yang telah
tercampur baur dengan ajaran-ajaran agama lainnya alias sinkretik. Itu pun
datangnya juga telat. Oleh karena sejak kedatangannya sudah sinkretik, maka
Islam tidak mengakar di jiwa orang-orang Indonesia. Islam tidak memberi
pengaruh yang berarti. Pemberi pengaruh yang dominan tetaplah agama-agama
pra-Islam, seperti Hindu, Budha, animisme, dan dinamisme. Begitu kurang lebih
jika kita cermati teori tersebut.
Dengan terbitnya buku Riwayat Kedatangan Islam
di Indonesia, Haji Agus Salim telah memulai penulisan historiografi Islam
Indonesia berdasarkan worldview Islam. Hal itu dilakukannya jauh sebelum adanya
Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan pada 1963. Meskipun
selanjutnya terbit historiografi Islam Indonesia yang lebih rinci dan lengkap,
namun seperti diungkapkan dalam pepatah Arab, “Al-fadhlu lil mubtadi’ wa in
ahsanal muttabi‘.” Artinya, kemuliaan itu bagi orang yang memulai
meskipun orang yang mengikutinya berbuat lebih baik.
Islamisasi dan Penjelajahan Bahari
Haji Agus Salim menyatakan
bahwa Islamisasi Nusantara bukanlah proses tanpa rencana yang dilakukan oleh
para pedagang dan penjelajah bahari 600 tahun setelah pengutusan Nabi Muhammad
saw. (sekitar abad ke-13 M), sebagaimana pendapat para orientalis. Sangat tidak
masuk akal jika agama Islam yang telah menyebar ke hampir seluruh negeri dan
dipeluk oleh mayoritas penduduk itu disiarkan dengan sambil lalu begitu saja. Pendapat
ini jelas salah. Para pedagang Arab dan India ratusan tahun lalu berbeda dengan
para pedagang Arab dan India yang datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M
dengan menumpang kapal-kapal Eropa untuk berniaga dan mencari kerja. Demikian menurut Haji Agus
Salim. (hlm. 10-11) Selain sebagai pedagang, orang-orang Arab dan India yang
datang ke Nusantara ratusan tahun yang lalu juga sebagai juru dakwah. Mereka secara
sengaja datang ke Nusantara membawa misi dakwah, sebagaimana orang-orang Eropa secara
sengaja datang membawa misi Kristen dengan membonceng kolonialisme.
Hubungan antara orang
Nusantara dengan orang Arab pun telah terjalin cukup lama. Haji Agus Salim
tidak menyebutkan sejak kapan hubungan itu terjalin. Akan tetapi, kita bisa
mengetahui dari keterangan Azyumardi
Azra bahwa kontak
paling awal antara kedua wilayah ini bermula sejak masa Phunisia dan Saba. (Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, hlm. 19) Jika hal itu benar, maka pada masa Nabi Sulaiman as telah ada
kontak antara orang Nusantara dengan orang Arab. Di dalam Al-Qur’an, yaitu
surat An-Naml, dikisahkan bagaimana Nabi Sulaiman mengajak pemimpin negeri
Saba’, Ratu Balqis, agar tunduk beribadah kepada Allah semata. Sang Ratu bahkan
dinikahi oleh Nabi Sulaiman. Kerajaan Saba’ berdiri pada 955 SM—115 SM.
Haji Agus Salim menjelaskan bahwa pada abad ke-8 M komunitas Muslim Arab di
Kanton Cina telah membangun gudang perniagaan. (hlm. 11) Meskipun mengalami
pasang surut, perdagangan antara Muslim Arab dan orang Cina tetap terjalin pada
abad-abad berikutnya. Jalan laut dari Jazirah Arab ke negeri Cina pasti melalui
Nusantara. Jalan itu bermula dari Laut Merah singgah ke Jedah, lalu ke tanah
Sindh dalam kerajaan Moghul, ke Hindustan (India) terus ke negeri Tiongkok.
Jalan laut ke Timur itu disebutkan dalam buku-buku sejarah Arab sebagai
berikut. Sesudah menyusuri pantai anak benua India sampai di Kulan (Quilon)
Malabar, masuk ke lautan besar di sebelah timur Ceylon ke pulau-pulau Nikobar,
kira-kira 15 hari pelayaran dari Ceylon. Dari situ ke ujung utara pulau Sumatra
(wilayah Aceh) terus melalui Selat Malaka ke Kedah, lalu ke selatan sampai di
Palembang menyeberang ke pulau Jawa, menyusur pantai utara pulau Jawa, balik
lagi ke utara, 15 hari di laut sampai ke Campa (Kamboja). Dari situ kembali menyusuri pantai
melalui Indocina sampai ke pesisir Cina. Di situ perjalanan sepanjang pesisir pulang pergi
menghabiskan waktu selama dua bulan. Baliknya sampai ke Aceh menghabiskan waktu
40 hari. Di situ berhenti beberapa lama menantikan musim angin baik, lalu
berlayar pula selama 40 hari. Demikianlah perjalanan tersebut setiap tahunnya.
Setiap kali pergi maupun pulang, pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan Sumatra pasti
disinggahi.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang-orang Arab, Persia,
dan India yang telah masuk Islam dan berdomisili di sebelah barat Nusantara
telah mengenal negeri dan orang-orang kita sejak pertama kali kapal-kapal
mereka melakukan penjelajahan bahari untuk berdagang ke wilayah Timur. Dalam
kitab tarikh Murûj Adz-Dzahab karya Al-Mas‘udi, seorang penjelajah
bahari dan sejarawan yang meninggal pada 246 H (957 M), telah disebutkan
mengenai kerajaan Mataram kuno di Jawa pada zaman pemerintahan Airlangga yang
wilayah kekuasaannya sampai ke tanah Sunda. Kata Al-Mas‘udi, “Sangat luas
wilayah kerajaan Raja Jawa itu. Bala tentaranya tidak terhitung banyaknya. Dua
tahun habis waktu jika kita hendak menjelajahi wilayah kerajaannya. Sangat
melimpah pula berbagai hasil tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan yang wangi dan
minyak wangi. Kapur barus, cengkeh, dan cendana datang dari negeri itu dan lainnya. Di
sebelah sana kerajaan itu terbentang lautan besar, jalan ke negeri Cina.” (hlm.
13-14)
Islamisasi Jawa dan Runtuhnya Majapahit
Dalam sejarah Jawa,
tersebarnya agama Islam dihubungkan dengan jatuhnya kerajaan Majapahit dan
berdirinya kerajaan Islam Demak. Konon pada 1400 Çaka (1478 H) ibu kota Majapahit dikalahkan dan dihancurkan
oleh bala tentara Islam. Cerita ini menimbulkan prasangka seolah-olah agama
Islam dikembangkan di Nusantara dengan kekuatan senjata, yaitu dengan
menjatuhkan kerajaan pribumi. Islam baru berkembang sesudah runtuhnya kerajaan
Majapahit.
Haji Agus Salim menyatakan
bahwa hal ini tidak benar. Banyak orang salah dalam memahami antara tersiarnya
agama Islam dengan berdirinya kerajaan Islam. Padahal kedua perkara ini tidak
sama. Menurut Haji Agus Salim, jejak awal Islam di Jawa telah ada sejak zaman
Raja Airrlangga (1019—1042 M). Ini artinya dakwah Islam telah digulirkan sejak
beratus tahun sebelum berdirinya kerajaan Majapahit pada 1216. (hlm. 16-17)
Majapahit tidak runtuh
pada 1478 M. Pada tahun ini ibu kota Majapahit diserang oleh Girindrawardhana,
raja Hindu dari Keling. Sesudah
dikalahkan, ibu kota kerajaan itu dipindahkan. Dengan dipindahkannya istana
beserta pejabat dan pegawai kerajaan, tentulah negeri itu tidak dapat lagi
melindungi penduduknya. Akibatnya, lama kelamaan mereka turut pindah dari situ.
Ada yang mengikuti raja baru. Ada yang mengasingkan diri ke Tengger. Ada pula
yang menyeberang ke Bali. (hlm. 19)
Haji Agus Salim mengutip
keterangan dari Encyclopædie van Nederlandsch-Indië (hlm. 196) bahwa seorang pelaut Portugis,
Pigafetta, memberitahukan bahwa pada 1463 Çaka (1541) kerajaan Majapahit masih
berdiri. Jadi, anggapan bahwa tahun 1400 Çaka adalah tahun runtuhnya Majapahit
akibat serangan tentara Islam adalah salah. Cerita ini menyebar dari berita para penjelajah
bahari Portugis. (hlm. 19-20)
Ironisnya, sampai sekarang masih banyak orang mempercayai cerita dusta yang
mendeskriditkan Islam ini.
Categories: Artikel