PENDIDIKAN KADER ULAMA

Posted by Unknown on 02:06
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Indonesia terletak di Asia Tenggara, adalah memiliki kekuatan Ummat Islam terbesar di dunia, benarkah? Dari data statistik tahun 1960 diestimasi ummat Islam 94%, pada tahun 1981 malah menurun 88,17% dari total seluruh penduduk indonesia. Bahkan pada tahun 1988 menurut perkiraan dari jumlah 167 juta penduduk Indonesia, ummat Islam cuma 140 juta jiwa atau 83,8%.[1] Pertanyaannya berapakah jumlah ummat Islam di tahun 2015 ini?, jika melihat tahun 1988 saja menurun, patutkah kita memprediksi, bahwa jumlah ummat Islam lebih berkurang saat ini, meskipun secara kuwantitas sepertinya kelihatan banyak.
Untuk membina pendidikan umat Islam yang mayoritas ini mutlak dibutuhkan sosok yang memiliki keilmuan yang luas serta menyiapkan regenerasi pendidikan keulamaan, untuk melakukan itu sekurangnyaada dua aktivitas yakni : Pertama, menyampaikan pendidikan dan dakwah agama kepada seluruh lapisan masyarakat Islam melalui berbagai sarana dan media; baik secara langsung; ceramah, khutbah, diskusi publik, seminar, dan lain-lain, maupun media massa dan media elektronik. Kedua, melanjutkan dan menghidupkan kembalilembaga pendididkan pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara, untuk menjadi basis pendidikan dan pengajaranyang menjadi tradisi pendidikan kader Ulama (para santri).[2]
Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang paling akrab dilingkungan kita. Pesantren sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang tersebar luas di pelosok tanah air, telah banyak memberikan kontribusi dalam pembentukan kader pendidikan Ulama yang di harapkan perannya sebagai leader di tengah masyarakat.Kader didikan pesantren banyak yang menjadi panutan dan pimpinan bangsa di masa lalu, kini, dan mungkin saja di masa mendatang.[3]Fakta membuktikan bahwa lulusan pendidikan pesantren banyak yang mengambil peran partisipasi aktif dalam pembentukan pembangunan bangsa..
Ulama dan Santri memasuki abad ke-14 H/20 M dihadapkan pada turunnya rahmat Allah Yang Maha Kuasa, yakni berakhirnya penjajahan politik atas bangsa dan negara Indonesia.[4]Dampaknya, bangsa dan negara Indonesia yang terbebas dari penjajahan Kerajaan Protestan Belanda.Kemudian terbebas dari penjajahan Kekaisaran Shinto Djepang yang di tandai dengan penyerahanDjepang kepada Sekoetoe, 14 Agustus 1945, diikuti dengan Proklamasi 17 Agustus 1945.Proses terbebasnya dari penjajahan politik Barat dan Timur merupakan puncak keberhasilan perjuangan Ulama dan Santri yang berlangsung lama sejak Tahun 1511 M.”[5]Jadi memang sulit di bantah oleh pakar manapun, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan kader Ulama pada waktu itu, adalah pelopor dalam gerakan mengusir penjajah. Hal ini bisa di fahami,sulit diterima rasanya, sebuah bangsa yang rakyatnya mayoritas Islam di jajah oleh kelompok, golongan, bangsa dan agamaasing, karena pada hakikatnya penjajahan dalam bentuk apapun tidak dapat di terima dalam masyarakat Islam.[6] Dalam perjalanan waktu yang panjang, dan yang mejadi latar belakang problem pendidikan dilembaga-lembaga Islamadalah :
a.       Bangsa initerlalu lamadijajaholeh kolonial Protestan Belanda, sehingga baru usia 67 tahun dengan perjalanan dalam kondisi beban danbelenggukemiskinan, ketidak berdayaan, kebodohan ummat Islam, jadi untuk menemukan titik terangnya sistem pendidikan Isalm yang sempurna, masih perlu waktu yang panjang dan kesungguhan kaum muslimin.
b.      Pra kemerdekaan lembaga-lembaga Islam akan memulai lagi menata sistem pendidikan-nya,namun berhadapandengan persoalan lain, Keristenisasi, liberalisasi, sekulerisasi, fluralisasi serta dikotomisasi pendidikan.Kemudian perubahan peraturan dengan penyesuaian standar pendidikan nasional, misalnya peraturan Pemerintah Bab II, Pasal 2, Nomor 19 Tahun 2005 yang berbunyi bahwa, “Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) bertekad untuk melakukan standarisasi terhadap isi (kurikulum), proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, sarana, prasarana, pengelolaan, pembiyayaan, dan penilaian pendidikan.

B.       Rumusan Masalah
Krisis kemunduran pendidikan dunia Islam saat ini di tandai beberapa hal, antara lain : Pertama, ketidak lengkapan aspek materi, Kedua, Terjadinya krisis sosial dan budaya pada masyarakat, Ketiga,Hilangnya teladan yang baik (qudwah hasanah), fundamental keyakinan yang lurus dan benar (aqidah shahihah)dan nilai-nilai Islami.[7]Kaderisasi pendidikan Ulama menjadi persoalan paling penting saat ini, meskipun gairah kesadaran Islam sudah mulai tampak tumbuh pada sebahagian masyarakat Muslim, meskipun masih bersifat formalistis. Problem kaderisasi pendidikan Ulama hari ini, menurut penulis di tandai beberapa hal, antara lain,:Pertama,Rendahnya kesadaran Pendidikan Islam dalam komunitas keluarga masyarakat Muslim, karena persepsi pendidikan Islam hanya untuk orang-orang tertentu yang memiliki bakat dan minat untuk mempelajarinya. Kedua, Sikap materialisme yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap hidupnya, sehingga lulusan pendidikan keagamaan di pandang rendah untuk bersaing meraih kesuksesan materi dunia. Ketiga,memandang dikotomis pada pendidikan keagamaan (islam) dan umum. Keempat,Pengaruh pemikiran  fluralisme, liberalisme, demokratisme,HAM,persamaan gander, hal ini menjauhkan generasi Muslim pada hakikat pendidikan Islam yang sebenarnya.Keliama, Lemahnya ikatan persaudaraan pada pucuk pimpinan kaum muslimin (ukhwah islamiyah).Yang muncul saling ejek, saling hina, merendahkan satu sama yang lainnya.
Dengan kata lain untuk membahasakan kebanyakan generasi sekarang, jangankan berfikir untuk menempuh pendidikan kader ulama, untuk sekedar belajar islam dan melaksanakan yang wajib-wajib saja rasanya sulit di wujudkan. Sehingga timbul pertanyaan mendasar dalam makalah ini yang menjadi renungan ummat Islam bersama, ;
1.      Bagamana konsep Pendidikan Kader Ulama dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah?
2.      Apa solusi kaderisasiUlama di tengah tantangan sekulerisasi agama saat ini?
Dari pertanyaan mendasar inilah, masyarakat Islam harus bisa menghadirkan jawaban sebagai solusi keumatan, bukan saja untuk kepuasan dan analisis akademis semata, namun jauh lebih penting menyelesaikan problem ummat islam, guna mengejar ketertinggalan dari umat-umat lain. Kini Islam tak lagi menjadi agama yang disegani, sebagaimana dahulu semasa Rasulullah Saw.ajaran Islam dan segala bentuk pendidikan didalam-nya begitu disegani oleh siapapun, sehingga berabad-abad lamanya menguasai dunia.


BAB II
KAJIAN TEORITIS

Ada dua alasan pokok yang bisa disebutkan bahwa Al-Qur’an berperan besar melakukan proses pendidikan kepada ummat manusia. Pertama, Al-Qur’an menggunakan term علم mewakili dunia pendidikan.[8] Misalnya Al-Qur’an dalam termعلمdan derivasinya yang mencapai 823 kaliantara lain. Namun juga terdapat sekian ungkapan yang memiliki kesamaan makna seperti ألعقل, ألفكر, ألنّظر, ألبشر, ألتّدبّر, ألإعتبر dan ألذّكر, kataعالم yang juga merupakan akar kata dari علماء menurut para pakar di antaranya Raghib Al-Ashfahani bermakna pengetahuan akan hakikat sesuatu.[9]Surat pertama yang di turunkan mengajak seluruh manusia untuk meraih ilmu pengetahuan melalui pendidikan membaca.[10]Misalnya kataعلّمdalam QS. al-Alaq ayat 4-5 ;
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
“yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-Alaq:4-5).

 وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)

“.....Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat....” (QS. al-Baqarah:30-31)

Kata bahasaعلماءberasal dari akar kata علّم, يعلم  yang berarti mengetahui, secara bahasa, kata علماءadalah bentuk jamak dari kata عالمyang merupakan isim fa’il dari kata dasar علم(‘ilmu). Jadi عالمadalah orang yang berilmu. Danعلماءadalah orang yang memiliki kemampuan ilmu.Kemudian kata عالم bermakna suatu pengaruh, berbekas atau kemuliaan yang membedakannya dengan yang lain. Adapun kataعلماء dipahami sebagai orang yg memadukan kemapuan pengetahuannya dengan segala pengamalannya.[11]
Beberapa defisi tentang Ulama di antaranya menurut Syekh Nawawi al-Bantani :
العلماء هم العارفوان با لأحكام ألشّرعيّة التيّ عليها مدارصحّة الدّين اعتقاديّةكانت اوعمليّة (الشّفاءشرح ألأسماءالحسنى للشيخ محمّد ننوى البنتنى)
“Ulama adalah mereka yang mengetahui hukum-hukum syar’iyyah yang dengannya menguasai kebenaran agama baik secara keyakinan maupun secara pengamalan-nya (Syekh Nawawi al-Bantani dalam buku Asyifaa Syarah Asma’ul Husna).[12]
Menurut Syeikh al-Katib Ulama adalah :
العلماء يعاملون النّاس على حسب حلهم ويوافقون ويعلّمون أهل زمانهم ويعلّمون بإسراره (شيخ الكاتب)
“Ulam itu adalah orang yang berinteraksi dengan manusia (masyarakat) sesuai dengan kondisinya, menyesuaikan dan mengajari mereka sesuai dengan keberadaanya. Mengajari mereka dengan segala rahasia-nya”. (Syekh Aal-Katib).[13]
Menurut Ibnu Abbas yang di sampaikan Abi Syekh, Ulama adalah :
العالم باالرّحمن من عباده من لم يشرك به شيأ واهلّ حلا له وحرّم حرامه وحفظ وسيّته وأيقن أنّه ملآقيه ومحسب بعماله (رواه إبن الشيخ عن ابن عبّاس)
“Orang yang ‘alim terhadap ar-Rahman diantara hambanya adalah yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, menghalalkan apa yang di halalkna-Nya, serta mengharamkan apa yang di haramkan-Nya. Dan menjaga semua wasiat-Nya, dan orang yang meyakini bahwa ia akan menemui-Nya (nanti di akhirat), dan ia akan membuat perhitungan terhadap amal perbuatan-nya”. (Ibnu Abbas).[14]
Menurut Hasan al-Basri seorang Ulama adalah :
العالم من خشي الرّحمن باالغيب ورغب فيها رغب الله فيه وزهد فيها سخط الله فيه .(قاله حسن البسر)
“Orang ‘alim adalah orang yang takut kepada ar-Rahman (Allah) secara tidak nampak, dan mencintai terhadap apa yang di cintai-Nya, serta menjauhi apa yang di benci Allah kepadanya”. (Hasan al-Basri)”. [15]




BAB III
PEMBAHASAN MATERI
A.      Implementasi Pendidikan Kader Ulama.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (٧٩)
"tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi seharusnya (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,[16] karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali Imran: 79)
Karakter manusia ‘rabbaniyin’adalah sosokyang takut kepada Allah, dalam ayat lain orang itu di alamatkan kepada orang-orang berilmu (ulama), sebagaimana dalam QS. Fathir ayat 28 ;
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.[17] Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Faathir:28)
Ibnu Katsir dalam tafsir-nya mengatakan bahwa :
الخشية هي التى تحول بينك وبين معصيةالله . (تفسيرابن كثير)
“Rasa takut adalah perasaan yang menghalangi engkau untuk berbuat maksiat kepada Allah”.(Ibnu Katsir juz.3:553-554)
Surat Ali-Imran ayat 79 ini sebagai motifasi bagi gerakan mempersiapkan  pendidikan kaderUlama. Hal ini sangat beralasan karena kebutuhan figur Ulama yang mewarisi pendidikan ilmu, sebagai teladan yang bijak serta penerus kepemimpinan dan perjuangan Rosulullah Saw, dalam mendidik ummat Islam khususnya.
Dalam kontek perkembangan sosial bangsa Indonesia khususnya, dimana sedang berlangsung proses perubahan-perubahan sosial yang didorong oleh berbagai kegiatan pembangunan dalam bidang pendidikan dan teknologi, ekonomi dan industrialisasi, dibutuhkan sosok pemimpin dan  pendidik sosial keagamaan kaum muslimin, dengan memiliki persyaratan dan kualifikasi ilmu yang luas dan memadai untuk kebutuhan ummat, sosok itu antara lain ;[18]
1.      Memahami dan menghayati risalah, watak dan kebijakan pendidikan Islam yang membawa missi pembinaan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan peningkatan kualitas kehidupan manusia, baik secara material maupun secara spiritual.
2.      Mengenal, memahami situasi dan kondisi, perkembangan dan problematika sosial, pendidikan dan da’wah pada masyarakat Islam.
3.      Mampu menginterpretasikan dan mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam sesuai dengan perkembangan pendidikan intelektualitas pada masyarakat modern.
4.      Memiliki talenta kepemimpinan dalam membangun mental untuk memacu kemajuan ummat Islam di berbagai sektor.
Kriteria teladan ummat inilah yang mungkin sulit di wujudkan, pasca ditinggalnya oleh banyak Ulama besar di negri mayoritas Umat Islam terbesar.Sebab sesungguhnya Ulama merupakan sumber utama keamanan dan kebaikan bagi manusia, selain itu kesempurnaan dari Allah juga memberikan jaminan bahwa tidak akan mencabut ilmu dari para Ulama sehingga ia wafat. Dorongan untuk memperbanyak pendidikan kader ulama sangat jelas, karena kebutuhan terus menerus dan berdampak pada manfaat besar kepada pendidikan manusia dengan kehadiran Ulama beserta keutamaan penglihatan mereka dalam perkara agama. Dalam sebuah hadits Rosulullah Sawmengatakan bahwa ilmu itu akan hilang karena kewafatnya para Ulama pembawa ilmu tersebut, dalam sabdanya ;
عن عبدالله بن عمروبن العاص قال سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول إنّ الله لآيقبض العلم إنتزاعا ينتزعه من العباد ولكنيقبض العلم بقبض العلماء حتىّ إذا لم يبق عالمإتّخذالنّاس رؤوساجهّالا فسئلوافأفتوابغيرعلم فضلّووأضلّوا(روآه البخاري ومسلم والترمذىّ)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut (melenyapkan) ilmu dari manusia dengan sekaligus, melainkan Allah akan mencabut ilmu itu dengan wafatnya para Ulama, sehingga apabila tidak ada seorang alimpun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh (tentang syari’at islam), lalu mereka di tanya, dan mereka memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhori dan Muslim) 
Kesadaran ummat Islam atas kenyataan semakin sedikitnya jumlah Ulama besar yang “rasikhuna fil’ilmi”, mengagetkan dan mengkhawatirkan semua kalangan, karean jika dibandingkan dengan populasi pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan adanya sosok Ulama sebagai tokoh pendidik di tengah masyarakat sungguh berbanding jauh. Menyadari perekembangan arus globalisasi saat ini. Kekhawatiranakan demoralisasi akhlak manusia, di mana pendidikan telah tersekat-sekat, ada upaya dikotomisasi antara pendidikan agama dan umum, sehingga menjauhkan logika kesadaran pendidikan keilmuan ummat, bahwa sebenarnya semua ilmu dari sisi Allah Swt yang satu, yang tidak ada keterpisahan antara satu kutub ilmu dengan kutub ilmu yang lain.Ini semua mampu di jawab oleh Ulama rasikhun (luas wawasan dan ilmu), Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa {4} ayat 162 ;
لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا (١٦٢)
“tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar”.(QS. An-Nisaa {4}:162)
Sosok Ulama yang “rasikhuna fil’ilmi”(luas dan mendalam ilmu pengetahuannya)dengan tingkat pendalaman “tafakuh fiddin atau ulumuddin” (pemahaman dan ilmu agama)-nya mendalam,dengankepiawaian, penguasaan“batsul kutub”(mencari solusi masalah dari kitab-kitab maroji-reference book)-nya cukup luas dan banyak,  lalu pemahaman, wawasan, keluwesan dalam tingkat “batsul masa’il” (membahas studi kasus) dalam persoalan-persoalan keumatan bisa teratasi, terurai, serta sesuai dengan kaidah dan hukum-hukum syar’ie-nya,inilah sebenarnya gambaran Ulama yang dikatakan Nabi Saw, sebagai“waratsatul anbiyaa”(pewaris para Nabi)[19]. Dalam QS. Ali Imran (3) ayat 7 :
 وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ (٧)
“dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.(QS. Ali Imran{3}:7)
Saat ini sosok Ulama seperti yang di sebutkan tadi nyaris tidak ada, karean telah banyak yang wafat, kalaupun ada hanya segelintir Ulama saja yang tersisa, itupun kalah populer oleh Ulama-ulama pragmatis yang hampir sama dengan watak para politisi, targetnya hanya gengsi dan kekuasaan, amat jauh dari kesan mendidik ummat, target idealisme-nya bukan untuk pendidikan ummat, akan tetapiuntuk kepentingan pribadi dan kelompok-nya masing-masing, sungguh mengkhawatirkan.Al-Qur’an mengistilahkan Ulama ini dengan “ulama bani isra’il” sebagai kebalikan dari “Ulama Rasikhun” QS. As-Syuraa ayat 197
 أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ (١٩٧)
“dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?”.(QS.As-Syu’araa:197)
Disisi lain missionaris nasrani sangat agresif dalam mempersiapkan kader-kader mereka, pada tahun 1988 saja populasi mereka hanya 13 juta, mampu mempersiapkan kader missionarisnya 3000 pastur/pendeta yang di persiapkan dengan matang.[20]Kita bisa mengkalkulasikan dengan perkembangan dan segala kemajuannya, berapa banyak kader-kader mereka saat ini yang telah di persiapkan, mungkin puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan lebih. Wallahu’alam.
Dari rentang perjalanan sejarah bangsa Indonesia, faktor kelangkaan pendidikan kaderUlama itu memang sangat beralasan, ditandai oleh tiga pase keadaan, antara lain ; (1). Pase pertama,Pada masa perang kemerdekaan antara tahun (1945-1950), pondok-pondok pesantren yang menjadi pusat pendidikan kader Ulama, berubah menjadi markas-markas perjuangan sehingga tidak sedikit para Ulama yang gugur menjadi syuhada sehingga pesantren kehilangan tenaga pembina dan pendidik-nya. (2). Pase kedua, pasca kemerdekaan diera orde baruantara tahun (1950-1998) tidak sedikit Alim Ulama turut ambil bagian dalam pembangunan negara, banyak yang duduk di posisi eksekutif, legislatif, pegawai negri dan suwasta, sehingga meninggalkan profesi tenaga pendidik baik di lembaga pesantren, maupun di tengah masyarakat. (3) Pase ketiga,perkembangan pasca reformasi tepatnya antara tahun (2005-2009), terjadi pembaharuan kurikulum pendidikan dalam ilmu keagamaan,orientasinya pada pendidikan tenaga-tenaga administratif yang kemudian mendapat civil-effect menjadi pegawai negri, dampaknya sebahagian besar pondok pesantren telah menyesuaikan dirinya, sehingga tidak lagi sebagai lembaga pendidik kader Ulama.
Oleh karena itu usaha regenerasi pendidikan kader ulama telah lama terhenti, karena sebahagian besar pesantren-pesantren, perguruan-perguruan tinggi Islam tidak mampu lagi mengarahkan bidang ‘ulumuddin’ yang berorientasi pada pendidikan Ulama, hanya sekedar pemenuhan pada tenaga-tenaga kepegawaian yang telah di singgung tadi. Baru pada tahun 1973 tercetus kembali untuk memikirkan calon-calon Ulama, ide ini di prakarsai “Nadwatul Ma’ahidil Islamiyah” ada pemikiran untuk merintis “Ma’had A’liy” (pesantren tinggi pendidikan calon Ulama) yang rintisan-nya baru di wilayah Jawa Barat, pendidikannya punhanya berlangsung 2,5 tahun. Para pimpinan rintisan Ma’had A’liyadalah UlamaJawa Barat antara lain ; KH. R. Abdullah Bin Nuh (pesantren al-Ghazali Bogor), KH. Hasan Natsir (mantan Dubes), KH Drs Yusuf Iskandar (mantan Dekan Fak.Ushuludin IAIN Bandung), dan KH Bahrum Effendi (pesantren al-Azhar Bogor).Dari Ma’had A’liy rintisan ini kemudian berkembang konsep dan gagasan untuk program yang lebih luas lagi, maka disempurnakanlah melalui berbagai diskusi, seminar, lokakarya serta musyawarah yang sangat serius dan panjang.
Pada akhir tahun 1987 telah berdiri 10 Ma’had A’liy yang tersebar di berbagai wilayah, berarti 15 tahun kemudian pendidikan kader Ulama secara terstruktur dan terencana bisa di laksanakan. 10 Ma’had Aliy tersebut adalah ;[21] 1). Ma’had Aliy Miftahulhuda Manonjaya Tasikmalaya Jawa Barat; 2). Ma’had Aliy Darul Arqam Asyafi’iyah jakarta; 3).Ma’had Aliy Bangil Jawa Timur; 4). Ma’had Aliy Al-Wathoniyah Jawa Tengah; 5). Ma’had Aliy Daurah Dirasat Islamiyah Sumatra utara; 6). Ma’had Aliy Sumatra Barat; 7). Ma’had Aliy Darunnajah Jakarta; 8). Ma’had Aliy At-Taqwa Bekasi Jawa Barat; 9). Ma’had Aliy Syamsul Ulum PUI Sukabumi Jawa Barat; dan 10). Pesantren Ulil Albab UIKA bogor.
Kemudian pada tanggal 1 Muharram 1408 H/ 26 Agustus 1987 membentuk badan bernama “المجلس الإستشار أللإندونيسى للمعاهدالعليّة الإسلاميّة”yaitu “Majlis Pembina Ma’had A’liy Islamiah Indonesia”,[22]untuk mengkoordinasikan dengan berbagai tugas yang diembannya antara lain sebagai berikut :
a.       Melanjutkan usaha pendidikan kader ulama agar menjadi masalah bagi ummat islam secara menyeluruh.
b.      Memantapkan pola dan program pendidikan Ma’had A’liy berdasarkan bahan-bahan yang di himpun oleh BKSPPI.
c.       Menyempurnakan, menseragamkan dan memperluas pendidikan Ma’had A’ly ke pondok-pondok pesantren seluruh Indonesia.
d.      Membantu dan memimpin dibukanya pendidikan Ma’had A’liy tingkat daerah (regional) sekurang-kurangnya di dukung 10 pesantren didaerah tersebut.
e.       Membuka pendidikan Ma’had A’liy program jangka pendek dengan pola pendidikan terbuaka (semacam kursus) untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan asatidzah dan da’i yang ada ditengah masyarakat.
f.       Membuka pendidikan Ma’had A’liy tingkat nasional, untuk mencapai keseragaman pemahaman, penghayatan, penyebaran pendidikan Islam.
g.      Menghimpun dan mengusahakan pendanaan dengan pola kerjasama baik dalam dan luar negri, pada waktu itu oleh DDII dan YP3I.

B.       Pergeseran Paradigma Pendidikan Nasional
Namun ternyata pasca reformasi tahun 2005-2009 di mana secara gelobal menuntut adanya perubahan orientasi pendidikan, maka munculah paradigma baru dalam Standar Nasional Pendidikan, sebagai acuan nasional oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), dirumuskanlah komponen pendidikan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik peserta didik, manajemen pengelolaan,  sarana prasarana, pembiyayaan, sistem komunikasi, lingkungan dan evaluasi pendidikan.[23]Sistem pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, harus mampu menyesuaikan dengan visi pendidikan pendidikan nasional. Karena dinilai visi pendidikan Islam belum mampu mentransformasikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan zaman, oleh kareannya harus ada perubahan. Dengan demikian tamatan pendidikan Islam tidak hanya berkiprah pada sektor-sektor marginal dan terpinggirkan, melainkan dapat berkiprah disektor yang lebih luas dan di perhitunkan orang. Artinya lulusa pendidikan Islam seharusnya tidak hanya berenang pada kolam yang sempit, namun harus mampu berenang di luasnya samudera”.[24]
Paradigma baru pendidikan nasional secara teruraiitu antara lain sebagai berikut:
1.        Dari segi visi, bahwa pendidikan harus diarahkan pada upaya penyiapan masa depan bangsa, agar mampu berkompetisi di era gelobal. Sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
2.        Dari segi misi, bahwa pendidikan harus ;a). Perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, b). membantu dan memfasilitasi potensi semua anak bangsa secara utuh dari usia dini dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, c). meningkatkan kesiapan kualitas proses pendidikan untuk optimalisasi kepribadian yang bermoral, d). Meningkatka profesionalitas dan akuntabilitas pendidikan sebagai pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalama, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan gelobal, e). Pemberdayaan peren serta masyarakat berdasarkan prinsip otonomi daerah.
3.        Dari tujuan, bahwa pendidikan harus disertai ; a). pengamalan (to do), b). menginternalisasi (to be), menggunakan bagi kepentingan masyarakat (to life to gether). Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Ruslan العلم بلا عمل كشّجر بلا ثمرilmu tanfa amal bagaikan pohon tak berbuah”.
4.        Dari segi kurikulum, bukan saja yang tertulis di atas kertas, namun mengadopsi kurikulum teraktual, yaitu aktivitas yang mempengaruhi kognitif, afektif, psikomotorik.
5.        Dari segi pendidik, bahwa guru, dosen atau tenaga pendidik bukan lagi dianggap satu-satunya sumber informasi. Peran dan fungsi pendidik selain seorang informan saat ini, juga sebagai motivator, katalisator, dinamisator, fasilitator dan inovator yang menciptakan kondisi bagi terjadinya proses pembelajaran bagi peserta didik. 
6.        Dari segi peserta didik, ia sebagai mitra dalam kegiatan belajar mengajar, yang harus di perlakukan secara adil, manusiawi, egaliter, demokratis, dll.
7.        Dari proses belajar mengajar, pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenagkan, menantang, memotifasi peserta didik untuk berpartisifasi aktif.
8.        Dari segi lingkungan, tidak hanya terbatas di ruang kelas saja, melainkan melihat dari lingkungan gelobal yang dapat di akses melalui bantuan teknologi informasi.
9.        Dari segi sarana prasarana, bukan di tentukan pada status kepemilikannya, melainkan oleh kemungkinan menggunakannya. Untuk itu sarana prasarana yang ada pada lingkungan masyarakat memungkinkan di dayagunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
10.    Dari segi manajemen, bahwa kegiatan pendidikan harus dikelola dengan pendekatan manajemen bisnis, yang memberikan pelayanan memuaskan bagi para pelanggan, sebagaimana yang di jumpai pada  ‘Manajemen mutu terpadu’ (Total Qulity Management).
11.    Dari segi pendanaan, pendidikan saat ini harus di nilai investasi jangka panjang, kemampuan menggali, mengembangkan dan memanfaatkan dana secara transparan, efisien dan akuntabel, merupakan sebuah kebijakan yang harus di lakukan.[25]
Jadi berdasarkan uraian paradigma pendidikan nasional diatas, maka proses pendidikan kader Ulama yang berada pada tingkat pendidikan Ma’had-ma’had A’liy yang tersebar disejumlah wilayah Indonesia banyak mengalami perubahan, ikut menyesuaikan dengan paradigma pendidikan nasional tersebut. Oleh karenanyadapat kita kemukakan beberapa catatan untuk sekedar meng-evaluasi lembaga-lembaga pendidikan Islam, adalah ;
a.         Bahwa perkembangan dunia pendidikan saat ini bergerak dengan sangat cepat, seluruh komponen pendidikan harus terus-menerus ber-inovasi dan berkembang sebagaimana paradigma baru yang terus berkembang.
b.        Lembaga pendidikan Isalm khususnya, memiliki peluang yang sama untuk berkambang, sepanjang masing-masing lembaga Islam mampu merespont secara positif terhadap paradigma baru tersebut.
c.         Sumber daya manusia pada lembaga pedidikan Islam harus mampu bersaing dalam melaksanakan paradigma baru. Untuk itu pengembangan SDM merupakan sesuatu yang mutlak dan perlu terus di lakukan oleh lembaga pendidikan Islam.

C.      Pendidikan Kader Ulama Sebagai Azas Amal Jama’ie
Dalam ajaran Islam ada kewajiban-kewajiban keagamaan kaum muslimin antara lain; Pertama,Fardhu A’in, yaitu kewajiban indipidu atau perorangan yang harus dilaksanakan dalam setiap situasi, kondisi, dimanapun, kapanpun, setiap saat; seperti memantapkan keimanan dengan segala rukunnya, melaksanakan rukun Islam, menjauhi kemaksiatan, dan sebagainya. Kedua, Fardhu Kifayah, yaitu kewajiban yang di laksanakan secara bersama-sama, gotong royong, tanggung renteng, dalam lapisan sosial masyarakat muslim; misalnya melaksanakan ibadah secara berjamaah, mengurus jenazah, membina anak yatim-piatu, mengurus dan me’menej zakat, infaq, shadaqoh dan wakaf, menghilangkan kebodohan, itu semu terlaksana atas prinsip ukwah Islamiah, persamaan, persatuan, keadilan, musyawarah dan gotong royong. Ketiga,Fardhu A’mmah/Wajibat Ahliyah, kewajiban yang bersifat umum, setiap muslim atau kelompok muslim hidup pada lingkungan sosial yang heterogen, tidak boleh eksklusif, ia terikat dengan kewajiban-kewajiban umum dalam kaidah-kaidah keguyuban bersama; misalnya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa dan negara, membina dan memelihara kemaslahatan umum, diatas prinsip-prinsip ‘kesatuan kemanusiaan’ (wahdatul insaniah), ta’aruf (saling mengenal dan berbuat kebaikan), tasamuh (toleransi), keadilan, dan amar ma’ruf nahyi munkar. Kalo dilihat dari ketiga kewajiban tadi bahwa partisipasi amal sosial kaum muslimin sebagai implementasi ‘fardhu kifayah’ bahwa pendidikan kader Ulama wajib dipertahankan keberadaanya untuk kepentingan umumkaum muslim, yaitu dalam rangka melaksanakan program syari’at sebagaimana QS. Al-Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (١٢٢)
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)
Ibnu Katsir dalam tafsinya mengomentari ayat ini dengan memberi  penjelasan bahwa pengecualian bagi orang-orang  yang ‘tafaquh fiddien’, dibolehkan-nya tidak ikut berangkat berperang semua karena alasan itu.[26] Ibnu Abbas mengomentari bahwa, tidak sepatutnya semua kaum muslimin ikut berperang meninggalkan Nabi Saw.[27]
Pogram pendidikan kader ulama merupakan ‘fardhu kifayah’ (kewajiban jamaah), maka akan berdosa seluruh ummat Islam apabila tidak ada yang melaksanakanya dengan baik. Pendidikan kader Ulama dinilai sebagai amal sosial bagi pembangunan, bidang kegiatannya mencakup lima program Syari’at Islam, yaitu ;
a.         حفظ الدّين, artinya memelihara, membina dan harmonisasi kehidupan keagamaan serta ketertiban kehidupan sosial,
b.        حفظ العقل, artinya memelihara kesehatan akal dan meningkatkan intelektual dan kecerdasan ummat.
c.         حفظ النّفس, artinya memelihara keselamatan jiwa dan pembinaan nilai-nilai kejiwaan,
d.        حفظ النّسل, artinya pembinaan pendidikan kader-kader/generasi pelanjur,
e.         حفظ المال, artinya memelihara dan pemerataan kesejahteraan material
Lalu ketika di pertanyakan, lembaga mana yang bertanggung jawab saat ini untuk menyelenggarakan pendidikan kader Ulama, untuk menjaga keberlangsungan syari’at diatas? Siapa pengambil kebijakan yang diberikan wewenang hak penggunaan anggarantersebut? kalou dilihat dari relevansi dan persyaratan-nya saat ini banyak lembaga keumatan yang bisa difungsikan, namun sejauh mana keberanian mengambil keputusan ketika seseorang dalam memimpin lembaga tersebut, namun juga tidak menabrak aturan-aturan, tupoksi yang ada didalamnya, dan jugamengemban amanah yang dipegang-nya dalam penyaluran dana ummat yang sudah dilembagakan tersebut, lembaga-lembaga yang kompeten yang seharusnya mengambil peran dalam pendidikan kadel Ulama adalah ; 1). Majlis Ulama Indonesia (MUI), 2). Departemen Agama melalui Dirjen Kepesantrenan dan Madrasah 3). Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), 3). Ormas-ormas Islam (NU, Muhamadiyah, DDII, dll), 4). Lembaga-lembaga Zakat yang dibuat sebagai pengelola dan penyalur. Lembaga-lembaga ini menurut penulis sudah sangat cukup dalam memenuhi kewajiban Syari’at untuk pembentukan pendidikan kader Ulama sebagai salah satu fardhu kifayah ummat Isalm Indonesia. Wallahu Alam.
D.      Kriteria dan Fungsi Pendidikan Kader Ulama
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ (٢٦٩)
“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS. Al-Baqarah {2}:269)
Kriteria Ulamasebagai “waratsatul anbiya”adalah orang yang diberikan ‘hikmah’ (kefahaman yang mendalam tentan al-Qur’an dan as-Sunnah) memiliki tugas dan kewajiban yang amat berat di tengah-tengah masyarakat. Al-Qur’an sebagai sumber ilmu utama yang meneguhkan dan menundukan hati para Ulama, namun tetap yang memberikan petunjuk hidayah hanya Allah Swt, sebagaimana Firman-Nya :
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٥٤)
“dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj:54)
Dengan demikian ulama sebagai orang yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, ia mewarisi kefahamannya itu sebagai peneruslangkah perjuangan Rosulullah Saw,sebagaimana dalam haditsnya Riwayat Ibnu Adi dari Ali Bin Abi Thalib :
ألعلماء مصابيح الأرض وخلفاءالأنبياء وورثتى وورثةالأنبياء .(رواهإبنأدّىمنعلىإبنأبىطالب)
“Ulama itu merupakan pelita (penerang) di muka bumi, pengganti para nabi, pewaris-ku, dan pewaris para Nabi”. (HR Ibnu ‘Adi dari Ali Bin Abi Thalib).
Kemudian kata Rasulullah ada dua macam iri hati yang di perbolehkan dalam syari’at, Sebagaimana Ibnu Mas’ud RA meriwayatkan sabda-nya :
قال رسول الله صلَى الله عليه وسلّم : لاحسد إلآفثنتين؛ رجل آتاه الله مالا فسلّطه الله على هلكته فى الحقّ، ورجل آتاه الله الحكمة، فهويقضي بهاويعلّمها.(متّفق عليه)
“Bersabda Rasulullahi Saw, : “Tidak boleh ada cita-cita untuk mendapatkan ni’mat seperti orang lain kecuali dalam dua hal : terhadap orang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudiania pergunakan untuk membela kebenaran, dan terhadap seorang yang dikaruniai ilmu pengetahuan kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya”.(HR. Muttafaq Alaih)
Segala tingkah laku dan perbuatan ulama tersebut tidak boleh keluar dari ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan Hadis Nabi.[28]Konsekuensi dari kedudukannya sebagai ahli waris Nabi maka amat dianjurkan mengajarkan dan mendidik umat. Jaminan bagi para Ulama pendidik ini kata Nabi Saw dalam hadits Riwayat Abu Hurairah ra dikatakan ;
أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ؛ قال ؛ من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من اجورهم شيئا .(رواه مسلم)
“Bahwasanya Rosulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mengajak orang pada suatu petunjuk (kebaikan) maka ia mendapatkan pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”.(HR)
Dalam hubungannya sebagai ahli waris para nabi, ulama mempunyai fungsi dan tanggung jawab sebagai berikut:
1.        Sumber suri tauladan (uswatun hasanah), sikap lemah lembut, berlapang dada(shabar),dalam pengamalan dan penerapan tata nilai pendidikan Islam, baik pada dirinya, keluarga dan masyarakat. Membawa kemajuan dan kebahagiaanya, serta memelihara, membina dan memdidik pada keutuhan dan kesatuan ummat. Sebagaimana dalam QS. Al-Araf {7} ayat 199 ;
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)
jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-Araf {7} ayat 199).
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٥٤)
“dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”.(QS. Al-Hajj {22}:54).

2.      Selalu ber-inovasi pada perbaikan dan tarap hidup masyarakat, menanamkan pengertian, meningkatkan pendidikan dan pengetahuan, menumbuhkan keyakin pada pedidikan Islam, serta membimbing ummat pada jalan Allah dalam pengamalan-nya ;
 قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf {12}:108)

Hadits Rosululullah Riwayat Abdullah bin Amr bin Ash RA bahwa Nabi Saw bersabda:
أنّ البيّ صلىّ الله عليه وسلّم قال ؛ بلّغوا عنّى ولو آية، وحدَثواعن بنى إسرائيل ولاحرج، ومن كدب عليّ متعمدا فاليتبوّأ مقعده من النّار.(رواه البخاريّ)
“Sampaikanlah apa yang kamu dapatkan daripadaku walaupun hanya satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil dengan tiada terbatas. Barangsiapa dengan sengaja berdusta atas namaku maka hendaknya ia bersiap-siap untuk menentukan tempatnya di dalam neraka”. (HR. Bukhori)

3.        Melayani konsultasi keagamaan (religious counseling)dalam bidang rohani, akidah, syariah, dan akhlak, menuntaskan probem-solving pada masyarakat, meneliti, merencanakan dan meng-arahkan hidup masyarakat menurut tuntunan pendidikan ajaran Islam.
 ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥)

serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. An-Nahl {16}:125)
Sementara orang yang tidak peduli, enggan memberikan pendidikan agama kepada ummat dan bahkan menjauhinya padahal ia termasuk orang  faham dan banyak tau tentang ilmu agama maka kata Rosulullah Saw dalam hadits Abu Hurairah mengatakan:
من سئل عن علم فكتمه، ألجم يوم القيامة بلجام منالنّار.(رواه أبو داود والترمذيّ،وقال؛حديث حسن)
“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya, maka ia nanti pada hari kiamat akan dikendalikan dengan tali kendali dari api neraka.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini Hasan).

4.        Ulama yang lebih mengetahui ajaran Islam menjadi pelopor dalam menegakkan kebenaran. Menjaga, mengawasi, memelihara, memperbaiki dan membina tata nilain Islam pada kehidupan masyarakat (amar ma’ruf nahyi munkar)
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(QS. Ali Imran {3}:110)
Ummat terbaik adalah muslim yang mencari pendidikan agama yang shahih, kemudian mengajarkannya, implementasi sosialnya tinggi, lingkungan dan pendidikan keluarganya tidak terabaikan, sehingga melahirkan generasi yang shalih dan shalihah Rasulullah Saw mengatakan dalam hadits-nya:
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلآمن ثلاث؛ صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد يدعو له.(روه مسلم)
“Apabila anak adam (manusia) itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara ; 1. Sedekoh jariah, 2. Ilmu yang bermanfaat, 3. Anak yang shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

BAB IV
KESIMPULAN
Al-Munawwar menegaskan bahwa sebagai pewaris para Nabi, maka kader ulama mengemban beberapa fungsi sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, yaitu: pertama, kader ulama harus mengemban misi ‘tabligh’ (menyampaikan pesan-pesan agama) yang menyentuh hati dan merangsang pengalaman, misalnya Q.S. an-Nisa ayat 63 :
 أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا (٦٣)
"mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka".  (QS. an-Nisaa:63)
Kedua, kader ulama harus berfungsi sebagai ‘tibyan’ (menjelsakan masalah-masalah agama berdasarkan kitab suci) secara transparan, misalnya Q.S. al-Nahl ayat 44 :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan”. (QS. an-Nahl: 44)
Ketiga, kader ulama harus ‘tahkim’ (menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama dalam memutuskan perkara) dengan bijaksana dan adil, mislanya Q.S. al-Baqarah ayat 213 :
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٢١٣)
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri....”. (QS. al-Baqarah: 213)
 Keempat, kader ulama menjadi perekat umat sebagai ‘uswah hasanah’ (menjadi teladan yang baik) dalam pengamalan agama, misalnya Q.S. al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (Qs. al-Ahzab:21)
Jadi pengertian ulama perspektif al-Qur’an yang dipahami lewat teks dan konteksnya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT, baik yang ‘Qauliyah’ maupun ‘Kauniyah’ yang bisa mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah dan memiliki sifat taat dan khasyyah (takut) pada-Nya, sesuai antara ilmu dan amalnya serta ikhlas dalam beramal.
Sedangkan pengertian ulama perspektif Hadits lewat interpretasi para ulama salaf lebih sempit dari perspektif al-Qur’an di atas, karena hanya membatasi pada orang-orang yang mengusai ayat-ayat qauliayah saja. Maka penulis lebih mendukung pengertian ulama perspektif al-Qur’an, bahkan bila perlu wilayah kepemimpinan ulama tidak terbatas sebagai pemimpin spritual tapi juga pemimpin negara, minimal sebagai pemimpin non formal pada sebuah wilayah.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad,Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah tafsir al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta 2001.
Hasan Basri, Tubagus, Mempertahankan Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pengkaderan Ummat, Makalah, 1418 H/1997 M
Majlis Pembina Ma’had A’liy, “Proyek Proposal Pembangunan  Ma’had A’liy (Pesantren Tinggi pendidikan Calon Ulama), 1988.  
Mansur Suryanegara,  Ahmad, Api Sejarah 2, Sekapur Sirih, Salamadani Cetakan III, Bandung, 2010/Dzulqaidah 1431 H
Muhammad Yusuf, Ahmad, Ensiklopedi Tematis, Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, Widia Cahaya, Jakarta, 2009.
Nata, Abudin, Persepektif Islam tentang Strategi pembelajaran, (Kencana Prenada media Group, 2009, cetakan ke.1.)
Syafri, Ulul Amri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Rajawali Press, 2014.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam,Rosdakarya, Bandung, 2013.
.


[1] Lihat, Master Plan Ma’had A’liy, “Proyek Proposal Pembangunan  Ma’had A’liy (Pesantren Tinggi pendidikan Calon Ulama)”, 1988. Hal. 1-2.
[2]Lihat, M. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
[3]Tb.Hasan Basri, Mempertahankan Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pengkaderan Ummat, Makalah, 1418 H/1997 M
[4] Lihat , Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Sekapur Sirih, Salamadani Cetakan III, Bandung, 2010/Dzulqaidah 1431 H
[5] Ibid
[6]Lihat,  Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Rosdakarya, Bandung, 2013 M
[7] Ulul Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Rajawali Press, 2014. Hal.1
[8]Ulil Amri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an, Rajawali Press, 2014, Hal.58
[9]Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah tafsir al-Qur’an , Pustaka Firdaus, Jakarta 2001 M.),
[10] Ulil Amri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an,Rajawali Press,2014, Hal.57
[11] Ibid
[12] KH.TB Hasan Basri, Makalah : Mempertahankan Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pengkaderan Ulama 1418 H/1997 M.
[13] Ibid
[14]Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
[15] Ibid
[16]Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.
[17]Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
[18]Dokumen Proposal,  Proyek Pembangunan Ma’had Aly (Pesantren Tinggi Pendidikan Calon Ulama), Majlis Pembina Ma’had Aly Indonesia, 11 Rojab 1408/29 Pebruari 1988, Hal. 5
[19] Ibid. Hal. 6
[20] Ibid. Hal. 6
[21] Ibid. Hal. 8
[22] Ibid. hal. 8
[23]Abudin Nata, Persepektif Islam tentang Strategi pembelajaran, (Kencana Prenada media Group, 2009, cetakan ke.1.) Hal. 16
[24] Ibid. Hal. 17
[25]Abudin Nata, Persepektif Islam tentang Strategi pembelajaran, (Kencana Prenada media Group, 2009, cetakan ke.1.) Hal. 24
[26] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. 4. Hal.
[27] Ibid. Hal
[28]Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Cet. II; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.
Categories: