PENDIDIKAN KADER ULAMA
Posted by Unknown on 02:06
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia terletak
di Asia Tenggara, adalah memiliki kekuatan Ummat Islam terbesar di dunia,
benarkah? Dari data statistik tahun 1960 diestimasi ummat Islam 94%, pada tahun
1981 malah menurun 88,17% dari total seluruh penduduk indonesia. Bahkan pada tahun
1988 menurut perkiraan dari jumlah 167 juta penduduk Indonesia, ummat Islam cuma
140 juta jiwa atau 83,8%.[1]
Pertanyaannya berapakah jumlah ummat Islam di tahun 2015 ini?, jika melihat
tahun 1988 saja menurun, patutkah kita memprediksi, bahwa jumlah ummat Islam
lebih berkurang saat ini, meskipun secara kuwantitas sepertinya kelihatan
banyak.
Untuk membina
pendidikan umat Islam yang mayoritas ini mutlak dibutuhkan sosok yang memiliki
keilmuan yang luas serta menyiapkan regenerasi pendidikan keulamaan, untuk
melakukan itu sekurangnyaada dua aktivitas yakni : Pertama, menyampaikan
pendidikan dan dakwah agama kepada seluruh lapisan masyarakat Islam melalui berbagai
sarana dan media; baik secara langsung; ceramah, khutbah, diskusi publik,
seminar, dan lain-lain, maupun media massa dan media elektronik. Kedua, melanjutkan dan
menghidupkan kembalilembaga pendididkan pesantren, sebagai lembaga pendidikan
tertua di Nusantara, untuk menjadi basis pendidikan dan pengajaranyang
menjadi tradisi pendidikan kader Ulama (para santri).[2]
Pesantren adalah
lembaga pendidikan keagamaan yang paling akrab dilingkungan kita. Pesantren sebagai komunitas dan sebagai
lembaga pendidikan yang tersebar luas di pelosok tanah air, telah banyak
memberikan kontribusi dalam pembentukan kader pendidikan Ulama yang di harapkan
perannya sebagai leader di tengah masyarakat.Kader didikan pesantren banyak
yang menjadi panutan dan pimpinan bangsa di masa lalu, kini, dan mungkin saja
di masa mendatang.[3]Fakta
membuktikan bahwa lulusan pendidikan pesantren banyak yang mengambil peran
partisipasi aktif dalam pembentukan pembangunan bangsa..
Ulama dan Santri memasuki abad ke-14 H/20
M dihadapkan pada turunnya rahmat Allah Yang Maha Kuasa, yakni berakhirnya
penjajahan politik atas bangsa dan negara Indonesia.[4]Dampaknya,
bangsa dan negara Indonesia yang terbebas dari penjajahan Kerajaan Protestan
Belanda.Kemudian terbebas dari penjajahan Kekaisaran Shinto Djepang yang di
tandai dengan penyerahanDjepang kepada Sekoetoe, 14 Agustus 1945, diikuti
dengan Proklamasi 17 Agustus 1945.Proses terbebasnya dari penjajahan politik
Barat dan Timur merupakan puncak keberhasilan perjuangan Ulama dan Santri yang
berlangsung lama sejak Tahun 1511 M.”[5]Jadi
memang sulit di bantah oleh pakar manapun, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan kader Ulama pada waktu itu, adalah
pelopor dalam gerakan mengusir penjajah. Hal ini bisa di fahami,sulit diterima
rasanya, sebuah bangsa yang rakyatnya mayoritas Islam di jajah oleh kelompok, golongan,
bangsa dan agamaasing, karena pada hakikatnya penjajahan dalam bentuk apapun tidak dapat di
terima dalam masyarakat Islam.[6] Dalam perjalanan
waktu yang panjang, dan yang mejadi latar belakang problem pendidikan dilembaga-lembaga Islamadalah
:
a.
Bangsa initerlalu
lamadijajaholeh kolonial Protestan Belanda, sehingga baru usia 67 tahun dengan
perjalanan dalam kondisi beban danbelenggukemiskinan, ketidak berdayaan,
kebodohan ummat Islam, jadi untuk menemukan titik terangnya sistem pendidikan
Isalm yang sempurna, masih perlu waktu yang panjang dan kesungguhan kaum
muslimin.
b.
Pra kemerdekaan lembaga-lembaga
Islam akan memulai lagi menata sistem pendidikan-nya,namun berhadapandengan persoalan
lain, Keristenisasi, liberalisasi, sekulerisasi, fluralisasi serta dikotomisasi
pendidikan.Kemudian perubahan peraturan dengan penyesuaian standar pendidikan
nasional, misalnya peraturan Pemerintah Bab II, Pasal 2, Nomor 19 Tahun 2005
yang berbunyi bahwa, “Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan
(BNSP) bertekad untuk melakukan standarisasi terhadap isi (kurikulum), proses,
kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, sarana, prasarana,
pengelolaan, pembiyayaan, dan penilaian pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Krisis kemunduran pendidikan dunia Islam saat ini di
tandai beberapa hal, antara lain : Pertama, ketidak lengkapan aspek materi, Kedua, Terjadinya krisis sosial dan budaya pada
masyarakat, Ketiga,Hilangnya teladan yang baik (qudwah
hasanah), fundamental keyakinan yang lurus dan benar (aqidah shahihah)dan nilai-nilai Islami.[7]Kaderisasi
pendidikan Ulama menjadi persoalan paling penting saat ini, meskipun gairah
kesadaran Islam sudah mulai tampak tumbuh pada sebahagian masyarakat Muslim,
meskipun masih bersifat formalistis. Problem kaderisasi pendidikan Ulama hari
ini, menurut penulis di tandai beberapa hal, antara lain,:Pertama,Rendahnya kesadaran Pendidikan Islam dalam komunitas keluarga
masyarakat Muslim, karena persepsi pendidikan Islam hanya untuk orang-orang
tertentu yang memiliki bakat dan minat untuk mempelajarinya. Kedua, Sikap materialisme yang sangat
kuat dalam mempengaruhi sikap hidupnya, sehingga lulusan pendidikan keagamaan di
pandang rendah untuk bersaing meraih kesuksesan materi dunia. Ketiga,memandang dikotomis pada
pendidikan keagamaan (islam) dan umum. Keempat,Pengaruh pemikiran fluralisme, liberalisme, demokratisme,HAM,persamaan
gander, hal ini menjauhkan generasi Muslim pada hakikat pendidikan Islam yang
sebenarnya.Keliama, Lemahnya ikatan persaudaraan pada pucuk pimpinan
kaum muslimin (ukhwah islamiyah).Yang muncul saling ejek, saling hina,
merendahkan satu sama yang lainnya.
Dengan kata lain
untuk membahasakan kebanyakan generasi sekarang, jangankan berfikir untuk
menempuh pendidikan kader ulama, untuk sekedar belajar islam dan melaksanakan yang
wajib-wajib saja rasanya sulit di wujudkan. Sehingga timbul pertanyaan mendasar dalam makalah
ini yang menjadi renungan ummat Islam bersama, ;
1. Bagamana konsep Pendidikan Kader Ulama dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Dari pertanyaan mendasar inilah, masyarakat Islam harus bisa menghadirkan
jawaban sebagai solusi keumatan, bukan saja untuk kepuasan dan analisis
akademis semata, namun jauh lebih penting menyelesaikan problem ummat islam,
guna mengejar ketertinggalan dari umat-umat lain. Kini Islam tak lagi menjadi
agama yang disegani, sebagaimana dahulu semasa Rasulullah Saw.ajaran Islam dan
segala bentuk pendidikan didalam-nya begitu disegani oleh siapapun, sehingga berabad-abad
lamanya menguasai dunia.
BAB
II
KAJIAN
TEORITIS
Ada dua alasan pokok yang bisa disebutkan bahwa
Al-Qur’an berperan besar melakukan proses pendidikan kepada ummat manusia. Pertama,
Al-Qur’an menggunakan term علم mewakili dunia
pendidikan.[8]
Misalnya Al-Qur’an dalam termعلمdan derivasinya yang mencapai 823 kaliantara
lain. Namun juga terdapat sekian ungkapan yang memiliki kesamaan makna seperti ألعقل, ألفكر, ألنّظر, ألبشر, ألتّدبّر, ألإعتبر dan ألذّكر, kataعالم yang juga merupakan
akar kata dari علماء menurut para pakar
di antaranya Raghib Al-Ashfahani bermakna pengetahuan akan hakikat sesuatu.[9]Surat
pertama yang di turunkan mengajak seluruh manusia untuk meraih ilmu pengetahuan
melalui pendidikan membaca.[10]Misalnya
kataعلّمdalam QS. al-Alaq ayat 4-5 ;
الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
“yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-Alaq:4-5).
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ
يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ
لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا
ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)
“.....Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. dan Dia
mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat....” (QS. al-Baqarah:30-31)
Kata bahasaعلماءberasal dari akar kata علّم, يعلم yang berarti mengetahui, secara bahasa, kata علماءadalah bentuk jamak dari kata عالمyang merupakan isim fa’il dari kata dasar
علم(‘ilmu). Jadi عالمadalah orang yang berilmu. Danعلماءadalah orang yang memiliki kemampuan
ilmu.Kemudian kata عالم bermakna suatu
pengaruh, berbekas atau kemuliaan yang membedakannya dengan yang lain. Adapun
kataعلماء dipahami sebagai orang yg
memadukan kemapuan pengetahuannya dengan segala pengamalannya.[11]
Beberapa defisi tentang Ulama di
antaranya menurut Syekh Nawawi al-Bantani :
العلماء هم
العارفوان با لأحكام ألشّرعيّة التيّ عليها مدارصحّة الدّين اعتقاديّةكانت اوعمليّة
(الشّفاءشرح ألأسماءالحسنى للشيخ محمّد ننوى البنتنى)
“Ulama adalah mereka yang mengetahui hukum-hukum
syar’iyyah yang dengannya menguasai kebenaran agama baik secara keyakinan
maupun secara pengamalan-nya (Syekh Nawawi al-Bantani dalam buku Asyifaa Syarah
Asma’ul Husna).[12]
Menurut Syeikh al-Katib Ulama adalah :
العلماء يعاملون النّاس على حسب حلهم ويوافقون ويعلّمون أهل زمانهم ويعلّمون
بإسراره (شيخ الكاتب)
“Ulam itu adalah orang yang berinteraksi dengan
manusia (masyarakat) sesuai dengan kondisinya, menyesuaikan dan mengajari
mereka sesuai dengan keberadaanya. Mengajari mereka dengan segala rahasia-nya”.
(Syekh Aal-Katib).[13]
Menurut Ibnu Abbas yang di sampaikan Abi
Syekh, Ulama adalah :
العالم باالرّحمن من عباده من لم يشرك به
شيأ واهلّ حلا له وحرّم حرامه وحفظ وسيّته وأيقن أنّه ملآقيه ومحسب بعماله (رواه
إبن الشيخ عن ابن عبّاس)
“Orang yang ‘alim
terhadap ar-Rahman diantara hambanya adalah yang tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun, menghalalkan apa yang di halalkna-Nya, serta mengharamkan apa
yang di haramkan-Nya. Dan menjaga semua wasiat-Nya, dan orang yang meyakini
bahwa ia akan menemui-Nya (nanti di akhirat), dan ia akan membuat perhitungan terhadap
amal perbuatan-nya”. (Ibnu Abbas).[14]
Menurut Hasan al-Basri seorang Ulama
adalah :
العالم من خشي الرّحمن باالغيب ورغب فيها رغب الله فيه وزهد فيها سخط الله
فيه .(قاله حسن البسر)
“Orang ‘alim adalah
orang yang takut kepada ar-Rahman (Allah) secara tidak nampak, dan mencintai
terhadap apa yang di cintai-Nya, serta menjauhi apa yang di benci Allah
kepadanya”. (Hasan al-Basri)”. [15]
BAB III
PEMBAHASAN MATERI
A. Implementasi Pendidikan Kader Ulama.
مَا كَانَ
لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ
يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا
رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ
تَدْرُسُونَ (٧٩)
"tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah
berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada
manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah." akan tetapi seharusnya (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani,[16]
karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya”. (QS. Ali Imran: 79)
Karakter manusia ‘rabbaniyin’adalah sosokyang takut kepada Allah,
dalam ayat lain orang itu di alamatkan kepada orang-orang berilmu (ulama), sebagaimana
dalam QS. Fathir ayat 28 ;
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.[17]
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Faathir:28)
Ibnu Katsir dalam tafsir-nya mengatakan
bahwa :
الخشية هي التى تحول بينك وبين معصيةالله . (تفسيرابن
كثير)
“Rasa takut adalah perasaan yang menghalangi engkau
untuk berbuat maksiat kepada Allah”.(Ibnu Katsir juz.3:553-554)
Surat Ali-Imran ayat 79 ini sebagai motifasi bagi gerakan mempersiapkan pendidikan kaderUlama. Hal ini sangat
beralasan karena kebutuhan figur Ulama yang mewarisi pendidikan ilmu, sebagai
teladan yang bijak serta penerus kepemimpinan dan perjuangan Rosulullah Saw,
dalam mendidik ummat Islam khususnya.
Dalam kontek
perkembangan sosial bangsa Indonesia khususnya, dimana sedang berlangsung
proses perubahan-perubahan sosial yang didorong oleh berbagai kegiatan
pembangunan dalam bidang pendidikan dan teknologi, ekonomi dan industrialisasi,
dibutuhkan sosok pemimpin dan pendidik
sosial keagamaan kaum muslimin, dengan memiliki persyaratan dan kualifikasi ilmu
yang luas dan memadai untuk kebutuhan ummat, sosok itu antara lain ;[18]
1. Memahami dan menghayati risalah, watak dan kebijakan pendidikan Islam yang
membawa missi pembinaan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan peningkatan
kualitas kehidupan manusia, baik secara material maupun secara spiritual.
2. Mengenal, memahami situasi dan kondisi, perkembangan dan problematika
sosial, pendidikan dan da’wah pada masyarakat Islam.
3. Mampu menginterpretasikan dan mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam
sesuai dengan perkembangan pendidikan intelektualitas pada masyarakat modern.
4. Memiliki talenta kepemimpinan dalam membangun mental untuk memacu kemajuan
ummat Islam di berbagai sektor.
Kriteria
teladan ummat inilah yang mungkin sulit di wujudkan, pasca ditinggalnya oleh
banyak Ulama besar di negri mayoritas Umat Islam terbesar.Sebab sesungguhnya
Ulama merupakan sumber utama keamanan dan kebaikan bagi manusia, selain itu kesempurnaan
dari Allah juga memberikan jaminan bahwa tidak akan mencabut ilmu dari para
Ulama sehingga ia wafat. Dorongan
untuk memperbanyak pendidikan kader ulama sangat jelas, karena kebutuhan terus
menerus dan berdampak pada manfaat besar kepada pendidikan manusia dengan
kehadiran Ulama beserta keutamaan penglihatan mereka dalam perkara agama. Dalam
sebuah hadits Rosulullah Sawmengatakan bahwa ilmu itu akan hilang karena kewafatnya
para Ulama pembawa ilmu tersebut, dalam sabdanya ;
عن عبدالله بن
عمروبن العاص قال سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول إنّ الله لآيقبض العلم
إنتزاعا ينتزعه من العباد ولكنيقبض العلم بقبض العلماء حتىّ إذا لم يبق عالمإتّخذالنّاس
رؤوساجهّالا فسئلوافأفتوابغيرعلم فضلّووأضلّوا(روآه البخاري ومسلم والترمذىّ)
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mencabut (melenyapkan) ilmu dari manusia dengan sekaligus,
melainkan Allah akan mencabut ilmu itu dengan wafatnya para Ulama, sehingga
apabila tidak ada seorang alimpun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin
yang bodoh (tentang syari’at islam), lalu mereka di tanya, dan mereka
memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan”. (HR.
Bukhori dan Muslim)
Kesadaran ummat
Islam atas kenyataan semakin sedikitnya jumlah Ulama besar yang “rasikhuna
fil’ilmi”, mengagetkan dan mengkhawatirkan semua kalangan, karean jika
dibandingkan dengan populasi pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan adanya
sosok Ulama sebagai tokoh pendidik di tengah masyarakat sungguh berbanding
jauh. Menyadari perekembangan arus globalisasi saat ini. Kekhawatiranakan
demoralisasi akhlak manusia, di mana pendidikan telah tersekat-sekat, ada upaya
dikotomisasi antara pendidikan agama dan umum, sehingga menjauhkan logika
kesadaran pendidikan keilmuan ummat, bahwa sebenarnya semua ilmu dari sisi Allah
Swt yang satu, yang tidak ada keterpisahan antara satu kutub ilmu dengan kutub
ilmu yang lain.Ini semua mampu di jawab oleh Ulama rasikhun (luas
wawasan dan ilmu), Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa {4} ayat 162 ;
لَكِنِ الرَّاسِخُونَ
فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا (١٦٢)
“tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di
antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah
diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan
orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan Kami berikan kepada mereka
pahala yang besar”.(QS.
An-Nisaa {4}:162)
Sosok Ulama yang “rasikhuna fil’ilmi”(luas dan mendalam ilmu
pengetahuannya)dengan tingkat pendalaman “tafakuh fiddin atau ulumuddin”
(pemahaman dan ilmu agama)-nya mendalam,dengankepiawaian, penguasaan“batsul
kutub”(mencari solusi masalah dari kitab-kitab maroji-reference book)-nya
cukup luas dan banyak, lalu pemahaman,
wawasan, keluwesan dalam tingkat “batsul masa’il” (membahas studi kasus)
dalam persoalan-persoalan keumatan bisa teratasi, terurai, serta sesuai dengan
kaidah dan hukum-hukum syar’ie-nya,inilah sebenarnya gambaran Ulama yang
dikatakan Nabi Saw, sebagai“waratsatul anbiyaa”(pewaris para Nabi)[19].
Dalam QS. Ali Imran (3) ayat 7 :
وَالرَّاسِخُونَ
فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلا أُولُو الألْبَابِ (٧)
“dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal”.(QS. Ali Imran{3}:7)
Saat ini sosok Ulama seperti yang di sebutkan tadi nyaris tidak
ada, karean telah banyak yang wafat, kalaupun ada hanya segelintir Ulama saja yang
tersisa, itupun kalah populer oleh Ulama-ulama pragmatis yang hampir sama
dengan watak para politisi, targetnya hanya gengsi dan kekuasaan, amat jauh
dari kesan mendidik ummat, target idealisme-nya bukan untuk pendidikan ummat,
akan tetapiuntuk kepentingan pribadi dan kelompok-nya masing-masing, sungguh
mengkhawatirkan.Al-Qur’an mengistilahkan Ulama ini dengan “ulama bani
isra’il” sebagai kebalikan dari “Ulama Rasikhun” QS. As-Syuraa ayat 197
أَوَلَمْ
يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ (١٩٧)
“dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi
mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?”.(QS.As-Syu’araa:197)
Disisi lain missionaris
nasrani sangat agresif dalam mempersiapkan kader-kader mereka, pada tahun 1988
saja populasi mereka hanya 13 juta, mampu mempersiapkan kader missionarisnya
3000 pastur/pendeta yang di persiapkan dengan matang.[20]Kita
bisa mengkalkulasikan dengan perkembangan dan segala kemajuannya, berapa banyak
kader-kader mereka saat ini yang telah di persiapkan, mungkin puluhan ribu,
ratusan ribu, atau bahkan lebih. Wallahu’alam.
Dari rentang
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, faktor kelangkaan pendidikan kaderUlama
itu memang sangat beralasan, ditandai oleh tiga pase keadaan, antara lain ;
(1). Pase pertama,Pada masa perang kemerdekaan antara tahun (1945-1950),
pondok-pondok pesantren yang menjadi pusat pendidikan kader Ulama, berubah
menjadi markas-markas perjuangan sehingga tidak sedikit para Ulama yang gugur
menjadi syuhada sehingga pesantren kehilangan tenaga pembina dan pendidik-nya.
(2). Pase kedua, pasca kemerdekaan diera orde baruantara tahun
(1950-1998) tidak sedikit Alim Ulama turut ambil bagian dalam pembangunan
negara, banyak yang duduk di posisi eksekutif, legislatif, pegawai negri dan
suwasta, sehingga meninggalkan profesi tenaga pendidik baik di lembaga
pesantren, maupun di tengah masyarakat. (3) Pase ketiga,perkembangan
pasca reformasi tepatnya antara tahun (2005-2009), terjadi pembaharuan
kurikulum pendidikan dalam ilmu keagamaan,orientasinya pada pendidikan
tenaga-tenaga administratif yang kemudian mendapat civil-effect menjadi
pegawai negri, dampaknya sebahagian besar pondok pesantren telah menyesuaikan
dirinya, sehingga tidak lagi sebagai lembaga pendidik kader Ulama.
Oleh karena itu
usaha regenerasi pendidikan kader ulama telah lama terhenti, karena sebahagian
besar pesantren-pesantren, perguruan-perguruan tinggi Islam tidak mampu lagi
mengarahkan bidang ‘ulumuddin’ yang berorientasi pada pendidikan Ulama, hanya
sekedar pemenuhan pada tenaga-tenaga kepegawaian yang telah di singgung tadi.
Baru pada tahun 1973 tercetus kembali untuk memikirkan calon-calon Ulama, ide
ini di prakarsai “Nadwatul Ma’ahidil Islamiyah” ada pemikiran untuk
merintis “Ma’had A’liy” (pesantren tinggi pendidikan calon Ulama) yang
rintisan-nya baru di wilayah Jawa Barat, pendidikannya punhanya berlangsung 2,5
tahun. Para pimpinan rintisan Ma’had A’liyadalah UlamaJawa Barat antara lain ;
KH. R. Abdullah Bin Nuh (pesantren al-Ghazali Bogor), KH. Hasan Natsir (mantan
Dubes), KH Drs Yusuf Iskandar (mantan Dekan Fak.Ushuludin IAIN Bandung), dan KH
Bahrum Effendi (pesantren al-Azhar Bogor).Dari Ma’had A’liy rintisan ini
kemudian berkembang konsep dan gagasan untuk program yang lebih luas lagi, maka
disempurnakanlah melalui berbagai diskusi, seminar, lokakarya serta musyawarah
yang sangat serius dan panjang.
Pada akhir tahun
1987 telah berdiri 10 Ma’had A’liy yang tersebar di berbagai wilayah, berarti
15 tahun kemudian pendidikan kader Ulama secara terstruktur dan terencana bisa
di laksanakan. 10 Ma’had Aliy tersebut adalah ;[21]
1). Ma’had Aliy Miftahulhuda Manonjaya Tasikmalaya Jawa Barat; 2). Ma’had Aliy
Darul Arqam Asyafi’iyah jakarta; 3).Ma’had Aliy Bangil Jawa Timur; 4). Ma’had
Aliy Al-Wathoniyah Jawa Tengah; 5). Ma’had Aliy Daurah Dirasat Islamiyah
Sumatra utara; 6). Ma’had Aliy Sumatra Barat; 7). Ma’had Aliy Darunnajah
Jakarta; 8). Ma’had Aliy At-Taqwa Bekasi Jawa Barat; 9). Ma’had Aliy Syamsul
Ulum PUI Sukabumi Jawa Barat; dan 10). Pesantren Ulil Albab UIKA bogor.
Kemudian pada
tanggal 1 Muharram 1408 H/ 26 Agustus 1987 membentuk badan bernama “المجلس الإستشار أللإندونيسى للمعاهدالعليّة الإسلاميّة”yaitu
“Majlis Pembina Ma’had A’liy Islamiah Indonesia”,[22]untuk
mengkoordinasikan dengan berbagai tugas yang diembannya antara lain sebagai
berikut :
a. Melanjutkan usaha pendidikan kader ulama agar menjadi masalah bagi ummat
islam secara menyeluruh.
b.
Memantapkan pola dan program pendidikan Ma’had
A’liy berdasarkan bahan-bahan yang di himpun oleh BKSPPI.
c.
Menyempurnakan, menseragamkan dan memperluas
pendidikan Ma’had A’ly ke pondok-pondok pesantren seluruh Indonesia.
d.
Membantu dan memimpin dibukanya pendidikan
Ma’had A’liy tingkat daerah (regional) sekurang-kurangnya di dukung 10
pesantren didaerah tersebut.
e.
Membuka pendidikan Ma’had A’liy program jangka
pendek dengan pola pendidikan terbuaka (semacam kursus) untuk meningkatkan
keterampilan dan kemampuan asatidzah dan da’i yang ada ditengah masyarakat.
f.
Membuka pendidikan Ma’had A’liy tingkat
nasional, untuk mencapai keseragaman pemahaman, penghayatan, penyebaran
pendidikan Islam.
g.
Menghimpun dan mengusahakan pendanaan dengan
pola kerjasama baik dalam dan luar negri, pada waktu itu oleh DDII dan YP3I.
B.
Pergeseran Paradigma Pendidikan Nasional
Namun ternyata
pasca reformasi tahun 2005-2009 di mana secara gelobal menuntut adanya
perubahan orientasi pendidikan, maka munculah paradigma baru dalam Standar
Nasional Pendidikan, sebagai acuan nasional oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN PT), dirumuskanlah komponen pendidikan yang terdiri dari visi,
misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik peserta didik,
manajemen pengelolaan, sarana prasarana,
pembiyayaan, sistem komunikasi, lingkungan dan evaluasi pendidikan.[23]Sistem
pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, harus mampu
menyesuaikan dengan visi pendidikan pendidikan nasional. Karena dinilai visi
pendidikan Islam belum mampu mentransformasikan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan zaman, oleh kareannya harus ada perubahan. Dengan demikian tamatan
pendidikan Islam tidak hanya berkiprah pada sektor-sektor marginal dan
terpinggirkan, melainkan dapat berkiprah disektor yang lebih luas dan di
perhitunkan orang. Artinya lulusa pendidikan Islam seharusnya tidak hanya
berenang pada kolam yang sempit, namun harus mampu berenang di luasnya samudera”.[24]
Paradigma baru
pendidikan nasional secara teruraiitu antara lain sebagai berikut:
1.
Dari
segi visi, bahwa pendidikan harus diarahkan pada
upaya penyiapan masa depan bangsa, agar mampu berkompetisi di era gelobal.
Sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah.
2.
Dari
segi misi, bahwa pendidikan harus ;a). Perluasan
dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh
rakyat Indonesia, b). membantu dan memfasilitasi potensi semua anak bangsa
secara utuh dari usia dini dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, c).
meningkatkan kesiapan kualitas proses pendidikan untuk optimalisasi kepribadian
yang bermoral, d). Meningkatka profesionalitas dan akuntabilitas pendidikan
sebagai pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalama, sikap dan nilai
berdasarkan standar nasional dan gelobal, e). Pemberdayaan peren serta
masyarakat berdasarkan prinsip otonomi daerah.
3.
Dari
tujuan, bahwa pendidikan harus disertai ; a). pengamalan (to do), b).
menginternalisasi (to be), menggunakan bagi kepentingan masyarakat (to
life to gether). Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Ruslan العلم بلا عمل كشّجر بلا ثمر“ ilmu tanfa amal bagaikan pohon tak berbuah”.
4.
Dari segi kurikulum, bukan saja yang tertulis
di atas kertas, namun mengadopsi kurikulum teraktual, yaitu aktivitas yang
mempengaruhi kognitif, afektif, psikomotorik.
5.
Dari segi pendidik, bahwa guru, dosen atau
tenaga pendidik bukan lagi dianggap satu-satunya sumber informasi. Peran dan
fungsi pendidik selain seorang informan saat ini, juga sebagai motivator,
katalisator, dinamisator, fasilitator dan inovator yang menciptakan kondisi
bagi terjadinya proses pembelajaran bagi peserta didik.
6.
Dari segi peserta didik, ia sebagai mitra
dalam kegiatan belajar mengajar, yang harus di perlakukan secara adil,
manusiawi, egaliter, demokratis, dll.
7.
Dari proses belajar mengajar, pembelajaran
dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenagkan, menantang, memotifasi
peserta didik untuk berpartisifasi aktif.
8.
Dari segi lingkungan, tidak hanya terbatas di
ruang kelas saja, melainkan melihat dari lingkungan gelobal yang dapat di akses
melalui bantuan teknologi informasi.
9.
Dari segi sarana prasarana, bukan di tentukan
pada status kepemilikannya, melainkan oleh kemungkinan menggunakannya. Untuk
itu sarana prasarana yang ada pada lingkungan masyarakat memungkinkan di
dayagunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
10.
Dari segi manajemen, bahwa kegiatan pendidikan
harus dikelola dengan pendekatan manajemen bisnis, yang memberikan pelayanan
memuaskan bagi para pelanggan, sebagaimana yang di jumpai pada ‘Manajemen mutu terpadu’ (Total Qulity
Management).
11.
Dari segi pendanaan, pendidikan saat ini harus
di nilai investasi jangka panjang, kemampuan menggali, mengembangkan dan
memanfaatkan dana secara transparan, efisien dan akuntabel, merupakan sebuah
kebijakan yang harus di lakukan.[25]
Jadi berdasarkan
uraian paradigma pendidikan nasional diatas, maka proses pendidikan kader Ulama
yang berada pada tingkat pendidikan Ma’had-ma’had A’liy yang tersebar
disejumlah wilayah Indonesia banyak mengalami perubahan, ikut menyesuaikan
dengan paradigma pendidikan nasional tersebut. Oleh karenanyadapat kita
kemukakan beberapa catatan untuk sekedar meng-evaluasi lembaga-lembaga
pendidikan Islam, adalah ;
a.
Bahwa perkembangan dunia pendidikan saat ini
bergerak dengan sangat cepat, seluruh komponen pendidikan harus terus-menerus
ber-inovasi dan berkembang sebagaimana paradigma baru yang terus berkembang.
b.
Lembaga pendidikan Isalm khususnya, memiliki
peluang yang sama untuk berkambang, sepanjang masing-masing lembaga Islam mampu
merespont secara positif terhadap paradigma baru tersebut.
c.
Sumber daya manusia pada lembaga pedidikan
Islam harus mampu bersaing dalam melaksanakan paradigma baru. Untuk itu
pengembangan SDM merupakan sesuatu yang mutlak dan perlu terus di lakukan oleh
lembaga pendidikan Islam.
C. Pendidikan Kader Ulama Sebagai Azas Amal Jama’ie
Dalam ajaran
Islam ada kewajiban-kewajiban keagamaan kaum muslimin antara lain; Pertama,Fardhu
A’in, yaitu kewajiban indipidu atau perorangan yang harus dilaksanakan
dalam setiap situasi, kondisi, dimanapun, kapanpun, setiap saat; seperti
memantapkan keimanan dengan segala rukunnya, melaksanakan rukun Islam, menjauhi
kemaksiatan, dan sebagainya. Kedua, Fardhu Kifayah, yaitu
kewajiban yang di laksanakan secara bersama-sama, gotong royong, tanggung
renteng, dalam lapisan sosial masyarakat muslim; misalnya melaksanakan ibadah
secara berjamaah, mengurus jenazah, membina anak yatim-piatu, mengurus dan me’menej
zakat, infaq, shadaqoh dan wakaf, menghilangkan kebodohan, itu semu terlaksana
atas prinsip ukwah Islamiah, persamaan, persatuan, keadilan, musyawarah
dan gotong royong. Ketiga,Fardhu A’mmah/Wajibat Ahliyah, kewajiban
yang bersifat umum, setiap muslim atau kelompok muslim hidup pada lingkungan
sosial yang heterogen, tidak boleh eksklusif, ia terikat dengan
kewajiban-kewajiban umum dalam kaidah-kaidah keguyuban bersama; misalnya
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa dan negara, membina dan
memelihara kemaslahatan umum, diatas prinsip-prinsip ‘kesatuan kemanusiaan’ (wahdatul
insaniah), ta’aruf (saling mengenal dan berbuat kebaikan), tasamuh (toleransi),
keadilan, dan amar ma’ruf nahyi munkar. Kalo dilihat dari ketiga kewajiban tadi
bahwa partisipasi amal sosial kaum muslimin sebagai implementasi ‘fardhu
kifayah’ bahwa pendidikan kader Ulama wajib dipertahankan keberadaanya
untuk kepentingan umumkaum muslim, yaitu dalam rangka melaksanakan program
syari’at sebagaimana QS. Al-Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
(١٢٢)
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (At-Taubah :
122)
Ibnu Katsir
dalam tafsinya mengomentari ayat ini dengan memberi penjelasan bahwa pengecualian bagi
orang-orang yang ‘tafaquh fiddien’,
dibolehkan-nya tidak ikut berangkat berperang semua karena alasan itu.[26]
Ibnu Abbas mengomentari bahwa, tidak sepatutnya semua kaum muslimin ikut berperang
meninggalkan Nabi Saw.[27]
Pogram
pendidikan kader ulama merupakan ‘fardhu kifayah’ (kewajiban jamaah),
maka akan berdosa seluruh ummat Islam apabila tidak ada yang melaksanakanya
dengan baik. Pendidikan kader Ulama dinilai sebagai amal sosial bagi pembangunan,
bidang kegiatannya mencakup lima program Syari’at Islam, yaitu ;
a.
حفظ الدّين, artinya memelihara, membina
dan harmonisasi kehidupan keagamaan serta ketertiban kehidupan sosial,
b.
حفظ العقل, artinya memelihara
kesehatan akal dan meningkatkan intelektual dan kecerdasan ummat.
c.
حفظ النّفس, artinya memelihara
keselamatan jiwa dan pembinaan nilai-nilai kejiwaan,
d.
حفظ النّسل, artinya pembinaan
pendidikan kader-kader/generasi pelanjur,
e.
حفظ المال, artinya memelihara dan
pemerataan kesejahteraan material
Lalu ketika di
pertanyakan, lembaga mana yang bertanggung jawab saat ini untuk menyelenggarakan
pendidikan kader Ulama, untuk menjaga keberlangsungan syari’at diatas? Siapa
pengambil kebijakan yang diberikan wewenang hak penggunaan anggarantersebut? kalou
dilihat dari relevansi dan persyaratan-nya saat ini banyak lembaga keumatan
yang bisa difungsikan, namun sejauh mana keberanian mengambil keputusan ketika
seseorang dalam memimpin lembaga tersebut, namun juga tidak menabrak
aturan-aturan, tupoksi yang ada didalamnya, dan jugamengemban amanah yang
dipegang-nya dalam penyaluran dana ummat yang sudah dilembagakan tersebut, lembaga-lembaga
yang kompeten yang seharusnya mengambil peran dalam pendidikan kadel Ulama adalah
; 1). Majlis Ulama Indonesia (MUI), 2). Departemen Agama melalui Dirjen
Kepesantrenan dan Madrasah 3). Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), 3). Ormas-ormas
Islam (NU, Muhamadiyah, DDII, dll), 4). Lembaga-lembaga Zakat yang dibuat sebagai
pengelola dan penyalur. Lembaga-lembaga ini menurut penulis sudah sangat cukup
dalam memenuhi kewajiban Syari’at untuk pembentukan pendidikan kader Ulama
sebagai salah satu fardhu kifayah ummat Isalm Indonesia. Wallahu Alam.
D. Kriteria dan Fungsi Pendidikan Kader Ulama
يُؤْتِي
الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ (٢٦٩)
“Allah
menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS. Al-Baqarah {2}:269)
Kriteria Ulamasebagai
“waratsatul anbiya”adalah orang yang diberikan ‘hikmah’
(kefahaman yang mendalam tentan al-Qur’an dan as-Sunnah) memiliki tugas dan
kewajiban yang amat berat di tengah-tengah masyarakat. Al-Qur’an sebagai sumber
ilmu utama yang meneguhkan dan menundukan hati para Ulama, namun tetap yang
memberikan petunjuk hidayah hanya Allah Swt, sebagaimana Firman-Nya :
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ
قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
(٥٤)
“dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu,
meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman
dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk
bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj:54)
Dengan demikian
ulama sebagai orang yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, ia mewarisi
kefahamannya itu sebagai peneruslangkah perjuangan Rosulullah Saw,sebagaimana
dalam haditsnya Riwayat Ibnu Adi dari Ali Bin Abi Thalib :
ألعلماء مصابيح
الأرض وخلفاءالأنبياء وورثتى وورثةالأنبياء .(رواهإبنأدّىمنعلىإبنأبىطالب)
“Ulama itu merupakan pelita (penerang) di muka bumi, pengganti para
nabi, pewaris-ku, dan pewaris para Nabi”. (HR Ibnu ‘Adi dari Ali Bin Abi
Thalib).
Kemudian kata
Rasulullah ada dua macam iri hati yang di perbolehkan dalam syari’at, Sebagaimana
Ibnu Mas’ud RA meriwayatkan sabda-nya :
قال رسول الله
صلَى الله عليه وسلّم : لاحسد إلآفثنتين؛ رجل آتاه الله مالا فسلّطه الله على
هلكته فى الحقّ، ورجل آتاه الله الحكمة، فهويقضي بهاويعلّمها.(متّفق عليه)
“Bersabda Rasulullahi Saw, : “Tidak boleh ada
cita-cita untuk mendapatkan ni’mat seperti orang lain kecuali dalam dua hal :
terhadap orang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudiania pergunakan untuk
membela kebenaran, dan terhadap seorang yang dikaruniai ilmu pengetahuan
kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya”.(HR. Muttafaq Alaih)
Segala tingkah
laku dan perbuatan ulama tersebut tidak boleh keluar dari ketentuan yang
terdapat dalam Alquran dan Hadis Nabi.[28]Konsekuensi
dari kedudukannya sebagai ahli waris Nabi maka amat dianjurkan mengajarkan dan
mendidik umat. Jaminan bagi para Ulama pendidik ini kata Nabi Saw dalam hadits Riwayat
Abu Hurairah ra dikatakan ;
أنّ
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ؛ قال ؛ من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور
من تبعه لا ينقص ذلك من اجورهم شيئا .(رواه مسلم)
“Bahwasanya Rosulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa yang mengajak orang pada suatu petunjuk (kebaikan) maka ia
mendapatkan pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya dengan tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun”.(HR)
Dalam
hubungannya sebagai ahli waris para nabi, ulama mempunyai fungsi dan tanggung
jawab sebagai berikut:
1.
Sumber suri tauladan (uswatun hasanah),
sikap lemah lembut, berlapang dada(shabar),dalam pengamalan dan
penerapan tata nilai pendidikan Islam, baik pada dirinya, keluarga dan
masyarakat. Membawa kemajuan dan kebahagiaanya, serta memelihara, membina dan
memdidik pada keutuhan dan kesatuan ummat. Sebagaimana dalam QS. Al-Araf {7}
ayat 199 ;
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)
“jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-Araf {7} ayat
199).
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ
قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
(٥٤)
“dan agar orang-orang yang telah
diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu
mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah
pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”.(QS.
Al-Hajj {22}:54).
2.
Selalu ber-inovasi pada perbaikan dan tarap
hidup masyarakat, menanamkan pengertian, meningkatkan pendidikan dan
pengetahuan, menumbuhkan keyakin pada pedidikan Islam, serta membimbing ummat
pada jalan Allah dalam pengamalan-nya ;
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci
Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf {12}:108)
Hadits Rosululullah Riwayat Abdullah bin Amr bin Ash RA bahwa Nabi Saw
bersabda:
أنّ البيّ صلىّ الله عليه وسلّم قال ؛ بلّغوا عنّى ولو آية، وحدَثواعن بنى
إسرائيل ولاحرج، ومن كدب عليّ متعمدا فاليتبوّأ مقعده من النّار.(رواه البخاريّ)
“Sampaikanlah apa yang kamu dapatkan
daripadaku walaupun hanya satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil
dengan tiada terbatas. Barangsiapa dengan sengaja berdusta atas namaku maka
hendaknya ia bersiap-siap untuk menentukan tempatnya di dalam neraka”. (HR.
Bukhori)
3.
Melayani konsultasi keagamaan (religious
counseling)dalam bidang rohani, akidah, syariah, dan akhlak, menuntaskan
probem-solving pada masyarakat, meneliti, merencanakan dan meng-arahkan hidup
masyarakat menurut tuntunan pendidikan ajaran Islam.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
(١٢٥)
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(QS. An-Nahl {16}:125)
Sementara orang yang tidak peduli, enggan memberikan pendidikan
agama kepada ummat dan bahkan menjauhinya padahal ia termasuk orang faham dan banyak tau tentang ilmu agama maka
kata Rosulullah Saw dalam hadits Abu Hurairah mengatakan:
من سئل عن علم فكتمه، ألجم يوم القيامة بلجام منالنّار.(رواه أبو داود
والترمذيّ،وقال؛حديث حسن)
“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya,
maka ia nanti pada hari kiamat akan dikendalikan dengan tali kendali dari api
neraka.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini
Hasan).
4.
Ulama yang lebih mengetahui ajaran Islam
menjadi pelopor dalam menegakkan kebenaran. Menjaga, mengawasi, memelihara,
memperbaiki dan membina tata nilain Islam pada kehidupan masyarakat (amar
ma’ruf nahyi munkar)
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik”.(QS. Ali Imran {3}:110)
Ummat terbaik adalah muslim yang mencari pendidikan agama yang
shahih, kemudian mengajarkannya, implementasi sosialnya tinggi, lingkungan dan
pendidikan keluarganya tidak terabaikan, sehingga melahirkan generasi yang
shalih dan shalihah Rasulullah Saw mengatakan dalam hadits-nya:
إذا
مات ابن آدم انقطع عمله إلآمن ثلاث؛ صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد يدعو
له.(روه مسلم)
“Apabila anak adam (manusia) itu meninggal dunia maka terputuslah
segala amalnya kecuali tiga perkara ; 1. Sedekoh jariah, 2. Ilmu yang
bermanfaat, 3. Anak yang shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
BAB IV
KESIMPULAN
Al-Munawwar
menegaskan bahwa sebagai pewaris para Nabi, maka kader ulama mengemban beberapa
fungsi sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, yaitu: pertama, kader ulama
harus mengemban misi ‘tabligh’ (menyampaikan pesan-pesan agama) yang menyentuh
hati dan merangsang pengalaman, misalnya Q.S. an-Nisa ayat 63 :
أُولَئِكَ الَّذِينَ
يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ
لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا (٦٣)
"mereka
itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka.
karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka". (QS. an-Nisaa:63)
Kedua, kader ulama harus berfungsi sebagai ‘tibyan’ (menjelsakan
masalah-masalah agama berdasarkan kitab suci) secara transparan, misalnya Q.S.
al-Nahl ayat 44 :
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan
supaya mereka memikirkan”. (QS.
an-Nahl: 44)
Ketiga, kader ulama harus ‘tahkim’ (menjadikan al-Qur’an sebagai
sumber utama dalam memutuskan perkara) dengan bijaksana dan adil, mislanya Q.S.
al-Baqarah ayat 213 :
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ
مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٢١٣)
“Manusia
itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab
yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang
yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri....”. (QS. al-Baqarah:
213)
Keempat, kader ulama menjadi
perekat umat sebagai ‘uswah hasanah’ (menjadi teladan yang baik) dalam
pengamalan agama, misalnya Q.S. al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
"Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”. (Qs.
al-Ahzab:21)
Jadi pengertian
ulama perspektif al-Qur’an yang dipahami lewat teks dan konteksnya adalah
orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT, baik yang
‘Qauliyah’ maupun ‘Kauniyah’ yang bisa mengantarkan manusia kepada pengetahuan
tentang kebenaran Allah dan memiliki sifat taat dan khasyyah (takut) pada-Nya,
sesuai antara ilmu dan amalnya serta ikhlas dalam beramal.
Sedangkan
pengertian ulama perspektif Hadits lewat interpretasi para ulama salaf lebih
sempit dari perspektif al-Qur’an di atas, karena hanya membatasi pada
orang-orang yang mengusai ayat-ayat qauliayah saja. Maka penulis lebih
mendukung pengertian ulama perspektif al-Qur’an, bahkan bila perlu wilayah
kepemimpinan ulama tidak terbatas sebagai pemimpin spritual tapi juga pemimpin
negara, minimal sebagai pemimpin non formal pada sebuah wilayah.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad,Ilmu Pendidikan
Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah
tafsir al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta 2001.
Hasan Basri, Tubagus, Mempertahankan
Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pengkaderan Ummat, Makalah, 1418 H/1997 M
Majlis Pembina Ma’had A’liy, “Proyek
Proposal Pembangunan Ma’had A’liy
(Pesantren Tinggi pendidikan Calon Ulama), 1988.
Mansur Suryanegara, Ahmad, Api Sejarah 2, Sekapur Sirih,
Salamadani Cetakan III, Bandung, 2010/Dzulqaidah 1431 H
Muhammad Yusuf, Ahmad, Ensiklopedi
Tematis, Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, Widia Cahaya, Jakarta, 2009.
Nata, Abudin, Persepektif Islam tentang Strategi pembelajaran,
(Kencana Prenada media Group, 2009, cetakan ke.1.)
Syafri, Ulul Amri, Pendidikan
Karakter Berbasis Al-Qur’an, Rajawali Press, 2014.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam,Rosdakarya,
Bandung, 2013.
.
[1] Lihat, Master
Plan Ma’had A’liy, “Proyek Proposal Pembangunan Ma’had A’liy (Pesantren Tinggi pendidikan
Calon Ulama)”, 1988. Hal. 1-2.
[2]Lihat, M.
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara,
1994.
[3]Tb.Hasan Basri,
Mempertahankan Kehadiran dan Kepribadian
Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pengkaderan Ummat, Makalah, 1418 H/1997 M
[4] Lihat , Ahmad
Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2,
Sekapur Sirih, Salamadani Cetakan III, Bandung, 2010/Dzulqaidah 1431 H
[5] Ibid
[6]Lihat, Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Rosdakarya, Bandung, 2013 M
[7] Ulul Amri
Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis
Al-Qur’an, Rajawali Press, 2014. Hal.1
[8]Ulil Amri, Pendidikan
Karakter Berbasis al-Qur’an, Rajawali Press, 2014, Hal.58
[9]Ahmad
Asy-Syirbashi, Sejarah tafsir al-Qur’an
, Pustaka Firdaus, Jakarta 2001 M.),
[10] Ulil Amri, Pendidikan
Karakter Berbasis al-Qur’an,Rajawali Press,2014, Hal.57
[11] Ibid
[12] KH.TB Hasan
Basri, Makalah : Mempertahankan Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren
Sebagai Lembaga Pengkaderan Ulama 1418 H/1997 M.
[13] Ibid
[14]Yang dimaksud
dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan
kekuasaan Allah.
[15] Ibid
[16]Rabbani ialah
orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.
[17]Yang dimaksud
dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan
kekuasaan Allah.
[18]Dokumen
Proposal, Proyek Pembangunan Ma’had
Aly (Pesantren Tinggi Pendidikan Calon Ulama), Majlis Pembina Ma’had Aly
Indonesia, 11 Rojab 1408/29 Pebruari 1988, Hal. 5
[19] Ibid. Hal. 6
[20] Ibid.
Hal. 6
[21] Ibid.
Hal. 8
[22] Ibid.
hal. 8
[23]Abudin Nata, Persepektif
Islam tentang Strategi pembelajaran, (Kencana Prenada media Group, 2009,
cetakan ke.1.) Hal. 16
[24] Ibid. Hal. 17
[25]Abudin Nata, Persepektif
Islam tentang Strategi pembelajaran, (Kencana Prenada media Group, 2009,
cetakan ke.1.) Hal. 24
[26] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Jilid. 4. Hal.
[27] Ibid. Hal
[28]Hasyim, Umar.
Mencari Ulama Pewaris Nabi. Cet. II; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.
Categories: Jurnal