Sanksi Bagi Koruptor
Posted by Unknown on 23:10
Islam, sebagai agama wahyu, mengemban amanah menjaga kemaslahatan manusia
dan sekaligus sebagai rahmat seluruh alam (rahmatan lil alamin) yang
relevan pada setiap zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan).
Dalam rangka mewujudkan hal itu, Islam menetapkan aturan hukum (syari'ah).
Aturan ini dibuat dengan tujuan utama mewujudkan dan memelihara lima
sasaran pokok yang populer dengan istilah al-maqashid al-syar'iyyah,
yaitu: memelihara agama (hifdz al-din), memelihara jiwa (hifdz
al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara kehormatan atau
keturunan (hifdz al-nasl), dan memelihara harta (hifdz al-mal).
Kelima maqashid syar'iyyah tersebut, jika terlaksana dengan baik,
maka akan tercapai kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (fii al-dunya
hasanah, wa fii al-akhirah hasanah). Sebaliknya, segala tindakan yang
mengancam keselamatan salah satu dari kelima hal pokok tersebut, Islam
menganggapnya sebagai tindak kejahatan (jarimah) yang terlarang. Karena
itu, pelakunya dikenakan hukuman atau sanksi baik yang bersifat
duniawi
dan/atau ukhrawi. Hukuman ukhrawi berupa siksa neraka yang disesuaikan dengan
kejahatannya. Hukuman duniawi adalah hukuman yang diputuskan dan dilaksanakan
hukumannya di dunia. Dalam hal ini ada dua kemungkinan, jika secara jelas (sharih)
ditegaskan nash, maka disebut qishash, diyat dan had. Jika tidak secara tegas (ghair
sharih) disebutkan nash, maka disebut ta’zir , yang mana sanksi
hukumannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Korupsi (al-ikhtilas) merupakan salah satu tindak kejahatan harta,
yaitu memakan harta manusia dengan cara yang batil (QS. 2:188), atau lebih
spesifik lagi, korupsi termasuk dalam kategori ghulul (penghianatan wewenang)
(QS.3:161), di mana pelakunya menyalahgunakan harta negara, perusahaan, atau
masyarakat, demi kepentingan pribadinya.
Meskipun nash tidak secara langsung menjelaskan had atau kifaratnya,
bukan berarti pelaku korupsi bebas dari hukuman. Akan tetapi, had tersebut
berpindah menjadi ta’zir yang kebijakannya diserahkan kepada hakim (ulil
amri). Tentunya kebijakan tersebut tidak serta merta berdasarkan pada
kepentingan hawa nafsunya, tetapi harus memperhatikan ketentuan yang berlaku
dalam hukum Islam yang berasaskan atas keadilan. Berat-ringannya hukuman
tergantung pada besar-kecilnya nilai nominal uang, material, dan bentuk lainnya
yang dikorupsi dan dampak yang ditimbulkannya.
Memasukkan hukuman korupsi dalam kategori ta’zir, hal itu
dikarenakan harta yang dicuri merupakan harta yang syubhat (harta negara/baitul
mal) dan merupakan harta milik umum. Dalam hal ini, Rasulallah Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam menegaskan idzraul hudud bisyubuhat, artinya
tanggalkan hudud dengan adanya syubhat. (HR.Al-Baihaqi).
Hukuman ta’zir bagi koruptor sangat bervariasi mulai dari pemberian
teguran, tasyh'ir (di-blow up lewat media massa), denda (gharamah
maliyah), cambuk (jilid), pemboikotan (hajr), penjara (sijn),
pengasingan (taghrib), bahkan hukuman mati (qatl) sekalipun.
Menurut Ibn Abidin, hukuman ta’zir tidak ada ketetapan khusus. Dengan
demikian, ta’zir diserahkan pada kebijakan hakim sesuai dengan kejahatan
yang dilakukan oleh mujrim. (Ibn Abidin, Rad Al-Mukhtar Ala Al-Durar Al-Mukhtar,
hlm.119).
Pendapat yang sama juga sebagaimana ditegaskan Ibn Taimiyah bahwa batas
minimal hukuman ta’zir tidak dapat ditentukan. Intinya adalah semua
hukuman yang menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan atau
perbuatan dan diasingkan. Kadang-kadang seseorang dihukum ta’zir dengan
memberinya nasehat atau teguran, menjelekkannya dan menghinakannya.
Kadang-kadang seseorang dihukum ta’zir dengan mengusirnya dengan
meninggalkan negerinya sehingga ia bertaubat. Sebagaimana nabi pernah mengusir
tiga orang yang berpaling, mereka itu adalah Ka'ab bin Malik, Maroroh bin Rabi'
dan Hilal bin Umaiyyah. Mereka berpaling dari Rasulullah pada perang Tabuk.
Karena itu, nabi memerintahkan untuk mengasingkan mereka, kemudian nabi
memaafkan mereka setelah turun ayat-ayat al-Quran tentang diterimanya taubat
mereka. Dan kadang-kadang hukuman ta’zir berbenuk pemecatan dari dinas
militer bagi prajurit yang melarikan diri dari medan perang, karena melarikan
diri dari medan perang merupakan dosa besar. Begitu pula pejabat apabila
melakukan penyimpangan maka ia diasingkan. (lihat Ahmad Fathi Bahansi, al-Mas'uliyah
al-Jinaiyyah al-Islamy, hlm.23)
Sanksi ta’zir tersebut dimaksudkan menghapus dosa (jawabir)
bagi pelakunya (mujrim) dan menyadarkannya dari perbuatan maksiat yang
telah dilakukannya (ta'dib). Di samping itu, ta’zir juga
berfungsi sebagai pencegah (zawajir) agar masyarakat tidak melakukan hal
yang sama. Tentunya pelaksanaan ta’zir ini dibarengi dengan pengembalian
hak adami yang pernah dirampasnya kepada pemiliknya (baik individu, organisasi,
perusahaan maupun negara). Jika telah rusak atau hilang, maka diganti sesuai
dengan nilainya. Hak adami tidak gugur dengan taubat sebelum pelakunya
mengembalikan hak tersebut atau meminta kehalalannya. (Nawawi, Riyadhusshalihin,
hlm.31).
Jika para koruptor lolos dari pengadilan dunia, sesungguhnya Ia tidak akan
pernah lolos dari pengadilan Allah Ta’ala di akhirat kelak (QS.40:16-17) dan
tentunya pelakunya tergolong dalam kategori muflis (orang yang bangkrut). Hal
itu sebagaimana ditegaskan dalam hadist nabi yang terdapat dalam Shahih Muslim
dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Tahukah kalian siapa muflis itu?” Mereka menjawab, “Muflis dari
kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan barang.”
Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Muflis dari umatku
adalah orang yang hadir di Hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan
zakat. Sementara dia telah mencela ini, menuduh ini, makan harta ini, membunuh
ini dan memukul ini, maka kebaikannya diberikan kepada mereka yang pernah
didzalimi hak-haknya. Jika kebaikannya telah habis sebelum dia menunaikan apa
yang wajib dia tunaikan, maka keburukan mereka (orang-orang yang pernah
didzalimi) diambil dan ditimpakan kepadanya. Kemudian dia dilemparkan ke dalam
neraka.” Wallahu a'lam bi shawab.[]
Categories: Artikel