Politik Ekonomi Islam
Posted by Unknown on 01:19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kegagalan
kapitalisme sudah menjadi rahasia umum. Menurut Zainuddin Ali, kegagalan
kapitalisme ini karena ia tidak mampu digunakan untuk menciptakan kesejahteraan
secara menyeluruh. Bahkan menciptakan kesenjangan antara negara-negara maju
dengan negara-negara berkembang, sehingga tampak yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin melarat. Terjadi kondisi ketidakseimbangan dan penumpukan
kekayaan di tangan segelintir kelompok. Salah satu alasan yang menyebabkan
ketidakseimbangan tersebut adalah akibat kegagalan asumsi-asumsi yang digunakan
oleh pakar ekonomi kapitalisme dalam pembangunan ekonomi berdasarkan sistem
kapitalisme itu sendiri. Hal ini akibat diabaikannya nilai-nilai moral dan
etika yang bersumber dari ajaran agama dalam aktivitas perekonomian.[1]
Lebih jauh Ali menemukan dan
menganalisis berbagai asumsi yang dibangun kapitalisme dan ketidaksesuaiannya
dengan realitas yang menunjukkan bahwa kapitalisme telah gagal:[2]
Pertama, dalam sistem kapitalisme tercipta keselarasan antara kepentingan
individu (individual interest) dengan kepentingan-kepentingan itu.
Asumsi tersebut mengalami kegagalan karena pada praktiknya, sistem ekonomi
kapitalisme lebih mengagungkan pemenuhan hak dan kepentingan individu dari
kepentingan masyarakat. Selain itu, mengatasnamakan hak asasi, sehingga setiap
individu berhak untuk mengeksploitasi segala sumber daya negara tidak memiliki
hak untuk mengekang setiap individu di dalam menjalankan berbagai aktivitasnya.
Keadaan ini diperparah oleh tidak adanya nilai moral yang mengarahkan aktivitas
ekonomi dari setiap individu.
Kedua, dalam sistem
kapitalisme, preferensi individual merupakan cerminan dari prioritas sosial.
Setiap kejadian dalam sistem sekuler terjadi berdasarkan nilai-nilai
kegunaan/manfaat, sehingga pemanfaatan sumber daya yang ada hanya untuk
memenuhi kebutuhannya saja. Asumsi ini mengalami kegagalan karena ternyata
penggunaan segala sumber daya yang terbatas itu tidak mencerminkan kebutuhan
sosial secara umum, melainkan hanya mencerminkan pemenuhan kebutuhan kelompok
bagi yang kaya (the have) saja, yang terkadang hanya mencerminkan nilai
prestasinya. Sebagai contoh dapat diungkapkan: konsumsi mobil mewah yang
berlebihan, penumpukan kendaraan sebagai pameran kekayaan.
Ketiga, terwujudnya
distribusi pendapatan dan kekayaan secara merata. Padahal, pada kenyataannya
justru sebaliknya, pendapatan dan kekayaan tidak terdistribusikan secara adil
dan merata.
Keempat, tingkat harga yang
terjadi mencerminkan urgency of wants. Hal ini dilandaskan kepada
anggapan bahwa kesediaan konsumen tanpa memandang kaya dan miskin untuk
membayar harga pasar mencerminkan kepentingan kebutuhannya. Akan tetapi, asumsi
ini pun tidak sesuai, karena walaupun setiap anak sama-sama membutuhkan susu,
namun kemampuan keluarga kaya berbeda dengan keluarga miskin. Bahkan Arthur
Okun menyatakan bahwa kelompok kaya akan mampu memberi makan binatang
piaraannya lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok miskin yang memberi
makan anaknya.
Kelima, adanya struktur pasar persaingan sempurna, yaitu setiap
individu/perusahaan dapat bebas keluar masuk pasar tanpa adanya rintangan.
Asumsi ini pun gagal karena pada kenyataannya struktur pasar yang terbentuk
adalah imperfectcompetition, yaitu pasar dikuasai oleh industri besar
ataupun perusahaan-perusahaan multinasional. Kegagalan asumsi-asumsi di atas
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan market strategy dan
membuktikan ketidakmampuan sistem tersebut dalam memperlihatkan perubahan
struktural radikal yang diperlukan untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi
berdasarkan prinsip keadilan dan stabilitas.
Selain
itu, menurut Abdurrahman Al-Maliki, sistem ekonomi kapitalis menjadikan
peningkatan pendapatan nasional sebagai landasan politik ekonominya (bukan pendapatan
per individu). Selanjutnya, ketika tampak kerusakan dan kezaliman akibat
diterapkannya sistem ini, maka dibuatlah beberapa hukum terkait dengan kaum
buruh, pegawai, dan fakir miskin yang dinamakan dengan jaminan sosial dan
keadilan sosial serta asuransi sosial. Tujuannya untuk meringankan kezaliman
yang menimpa mereka serta untuk menambal kerusakan dan kebrobrokan sistem ini.
Dengan demikian, jaminan yang terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis ini bukan
dasar sistemnya dan bukan perkara yang esensial. Akan tetapi, merupakan
hukum-hukum yang dibuat belakangan yang dimaksudkan untuk menambal
keburukannya.[3]
Akan
tetapi, kegagalan kapitalisme bukanlah alasan utama umat Islam menggunakan
sistem ekonomi Islam, karena alasan utamanya adalah karena kesadaran akan
hubungan dengan Allah[4] yang
telah memerintahkan umat Islam untuk memperhatikan dan menjadikan al-Quran dan
Hadis sebagai pedoman dan solusi, bukan mengikuti asumsi dan konsep politik
ekonomi kapitalisme yang keliru dan telah terbukti gagal. Karena itulah, perlu
diketaui konsep politik ekonomi dalam pandangan al-Quran dan Hadis tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah sebelumnya, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagaimana
berikut:
1.
Bagaimana
konsep politik ekonomi dalam pandangan al-Quran dan Hadis?
2.
Bagaimana
implementasi politik ekonomi menurut al-Quran dan Hadis dalam teori ekonomi?
BAB II
KAJIAN
TEORITIS
A.
Definisi Politik Ekonomi
Politik ekonomi terdiri dari kata politik dan ekonomi. Kata politik
mulanya berasal dari bahasa Yunani dan Latin politicos atau politicus
yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis
yang berarti kota.[5]
Dalam kamus Littre sebagaimana dikutip Hamid, politik adalah ilmu memerintah
dan mengatur negara. Sedangkan dalam kamus Robert, politik adalah seni
memerintah dan mengatur masyarakat manusia.[6]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
negara atau terhadap negara lain. Juga dalam arti kebijakan, cara bertindak
(dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[7]
Adapun menurut Asad, politik adalah menghimpun kekuatan,
meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan; mengawasi dan mengendalikan
kekuatan; dan menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara
dan institusi lainnya. Sedangkan Catlin mendefinisikan politik sebagai studi
tentang kontrol, yaitu tindakan kontrol manusia atau kontrol masyarakat.[8]
Dari definisi politik yang berbeda tersebut dapat
ditarik benang merah bahwa politik sebagai pengaturan urusan masyarakat oleh
kekuasaan negara maupun oleh masyarakat itu sendiri.[9]
Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan sitilah siyasah,
seperti dalam buku-buku ulama salaf dikenal dengan siyasah syar’iyah.
Sedangkan kata siyasah itu sendiri berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan
yang berarti qama ‘alaihi wa radhaha wa addabaha yang berarti
mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya.[10]
Rasulullah sallallahu ‘alahi wa sallam menggunakan kata politik (تَسُوْسُ) dalam sabdanya:
كَانَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْل تَسُوْسُهُمُ
الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَ إِنَّهُ لاَ نَبِيَّ
بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
Dulu Bani Israil diurusi (urusannya) oleh para nabi (tasusuhumul
anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantikanya. Tidak
ada nabi setelahku. Akan tetapi, akan ada banyak khalifah (HR Bukhari dan Muslim).
Jelaslah bahwa istilah politik atau siyasah itu
makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Dengan demikian, politik
berarti pengaturan urusan masyarakat.
Adapun ekonomi (economy) berasal dari bahasa
Latin: oikonomia. Oikonomia berasal dari kata oikos yang
berarti rumah tangga dan nomos yang berarti mengatur. Jadi, secara
literal ekonomi artinya mengatur rumah tangga. Sedangkan dalam literatur bahasa
Arab, ekonomi dikenal dengan iqtishadi yang berasal dari kata iqtashada-yaktashidu-iqtishadan
yang berarti niat, maksud, tujuan, jalan yang lurus, penghematan,
kesederhanaan.[11]
Secara terminologi, istilah ekonomi mempunyai konotasi
mengurus harta kekayaan, baik dengan memperbanyak kuantitasnya maupun menjamin
pengadaannya. Dalam konteks ini, dibahas dalam ilmu ekonomi. Adakalanya
mengurus harta kekayaan tersebut bukan memperbanyak kuantitasnya maupun
menjamin pengadaannya, tetapi terkait dengan mekanisme pendistribusiannya.
Dalam konteks ini, dibahas dalam sistem ekonomi.[12]
Dari definisi politik dan ekonomi sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa politik ekonomi adalah pengaturan urusan masyarakat dalam
harta kekayaan.
Adapun menurut an-Nabhani, politik ekonomi (economic policy, kebijakan ekonomi) adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk
memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia.[13]
Dari berbagai definisi yang ada dapat ditarik simpulan
bahwa politik ekonomi adalah pengaturan, kebijakan, atau strategi ekonomi
berdasarkan hukum tertentu yang digunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan
urusan manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa politik ekonomi Islam
adalah pengaturan, kebijakan atau strategi ekonomi berdasarkan hukum Islam
(syariah) yang digunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan urusan manusia.[14]
B.
Politik Ekonomi Islam
Sebagaimana telah disebutkan bahwa politik ekonomi Islam adalah
pengaturan, kebijakan atau strategi ekonomi berdasarkan hukum Islam (syariah)
yang digunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan urusan manusia. Adapun politik
ekonomi Islam menurut an-Nabhani adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua
kebutuhan primer (basic needs) tiap orang dengan pemenuhan secara
menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
skunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai orang yang
hidup dalam sebuah masyarakat (society) yang memiliki (life style)
tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif
sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang
tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primer (basic
needs)-nya dengan pemenuhan secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam
memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
skunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat
yang sama, Islam memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam
interaksi tertentu, yang dilaksanakan
dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan (life style) tertentu pula.[15]
Politik ekonomi Islam selalu mengacu kepada problem utama ekonomi,
yakni jaminan terpenuhinya semua kebutuhan primer (basic needs) tiap
individu masyarakat serta kemungkinan setiap individu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sekundernya. Politik ekonomi Islam tidak ditujukan untuk
sekadar meningkatkan GNP. Akan tetapi, agar setiap individu rakyat terpenuhi
kebutuhan-kebutuhan primernya, sekaligus jika memungkinkan mereka dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya.[16]
Islam
memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas
yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang
sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primer (basic needs)-nya
dengan pemenuhan secara menyeluruh. Baru, berikutnya Islam memandangnya dengan
kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan skunder dan tersiernya
sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam
memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme
tertentu, sesuai dengan life style tertentu pula.[17]
Oleh
karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan
taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan
terjamin-tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut. Politik
ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran manusia
dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut
dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya hak hidup tiap orang.
Akan tetapi, politik ekonomi Islam adalah semata-mata merupakan pemecahan
masalah utama yang dihadapi tiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai
dengan interaksi-interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan
untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya di dalamlife
style tertentu. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tentu berbeda dengan
politik ekonomi yang lain.[18]
Islam,
ketika mensyari'atkan hukum-hukum ekonomi kepada manusia, Islam telah
mensyari'atkan hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Sedangkan pada saat
mengupayakan terjamin-tidaknya hak hidup serta tercapai-tidaknya suatu
kemakmuran, Islam telah menjadikan semuanya harus direalisasikan dalam sebuah
masyarakat yang memiliki life style tertentu. Karena itu, Islam
memperhatikan hal-hal yang menjadi tuntutan masyarakat, pada saat melihat
terjamin-tidaknya kehidupan serta mungkin-tidaknya tercapainya suatu kemakmuran.
Islam, bahkan, telah menjadikan pandangannya kepada apa yang dituntut oleh
masyarakat sebagai asas dalam memandang kehidupan dan kemakmuran.[19]
Oleh
karena itu, hukum-hukum syara' telah menjamin tercapainya pemenuhan
seluruh kebutuhan primer (basic needs) tiap warga negara Islam secara menyeluruh, seperti sandang, papan
dan pangan. Caranya adalah dengan mewajibkan bekerja bagi tiap laki-laki yang
mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer (basic
needs)-nya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi
tanggungannya. Kalau orang tersebut sudah tidak mampu bekerja, maka Islam
mewajibkan kepada anak-anaknya serta ahli warisnya --untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primernya. Atau, bila yang wajib menanggung nafkahnya tidak
ada, maka baitul mal-lah
yang wajib memenuhinya.[20]
Dengan
demikian, Islam telah menjamin tiap orang secara pribadi, untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia dalam kapasitasnya sebagai
manusia, yaitu pangan, sandang, dan papan.
Islam juga mendorong orang tersebut agar bisa menikmati rizki yang halal serta
mengambil hiasan hidup di dunia sesuai dengan kemampuannya. Islam juga melarang
negara untuk mengambil harta orang tersebut sebagai pajak, meski hal itu
merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin, selain dari sisa pemenuhan
kebutuhan-kebutuhannya, yang memang dia penuhi secara langsung dalam standar
hidupnya yang wajar, meskipun hal itu merupakan kebutuhan skunder atau
tersiernya.
Oleh karena itu, Islam telah menjamin terpenuhinya hak hidup tiap
orang secara pribadi serta memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk
memperoleh kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama, Islam telah
membatasi pemerolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
primer (basic needs) serta kebutuhan skunder dan tersiernya dengan
ketentuan yang khas, termasuk menjadikan interaksi orang tersebut sebagai
interaksi yang mengikuti life style yang khas pula.[21]
Berikut
ini merupakan garis-garis besar politik ekonomi Islam:[22]
1.
Negara
khilafah mendistribusikan pendapatan bersih (profit) dari kepemilikan umum
kepada individu-individu rakyat dalam bentuk zatnya atau dalam bentuk pelayanan
sejak mereka lahir.
2.
Negara
khilafah memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok kaum fakir (pangan, papan, dan
sandang) dengan cara menyediakan lapangan kerja bagi orang yang mampu di antara
mereka; dan dengan cara memberi bagi orang yang tidak mampu atau yang tidak
mendapatkan pekerjaan. Negara khilafah memberi mereka dari harta zakat, harta kepemilikan
umum, dan dari harta milik negara yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
mereka.
3.
Negara
khilafah memberi sebagian kecil orang kaya dari harta milik negara dan tidak
diberikan kepada sebagian besar dari orang-orang kaya. Hal ini untuk mewujudkan
keseimbangan di tengah masyarakat dan memperkecil perbedaan kepemilikan harta
di antara masyarakat.
4.
Negara
khilafah memberi utang tanpa riba dari berbagai direktorat baitul mal kepada
mereka yang membutuhkan di bidang pertanian, industri, dan perdagangan.
5.
Negara
khilafah melarang semua muamalah batil. Apabila terdapat akad yang tidak
memenuhi syarat-syarat akad dan syarat-syarat sah seperti perusahaan
multinasional, perseroan terbatas, perusahaan asuransi, dan lain-lain.
6.
Negara
khilafah melarang jual beli, perdagangan dalam dan luar negeri terhadap
komoditas yang tidak dimiliki dan belum diserahterimakan seperti yang
berlangsung di bursa saham. Negara juga melarang tanjusy, yaitu
spekulasi untuk mendongkrak harga.
7.
Negara
khilafah melarang pertukaran emas, perak, dan seluruh jenis mata uang yang
tanpa serah terima dalam pertukaran dua jenis yang berbeda; dan yang tanpa
serah terima dan kuantitas yang semisal untuk pertukaran dua jenis yang sama,
sebagaimana yang terjadi di pasar-pasar saat ini.
8.
Negara
khilafah melarang kartu kredit yang bersifat ribawi, melarang beredarnya
surat-surat berharga dan obligasi yang bersifat ribawi, dan melarang
perdagangan saham yang batil.
9.
Direktorat-direktorat
kontrol dan supervisi melakukan kontrol dan pengetatan bagi setiap orang yang
ceroboh, rusak, penipu, penimbun, orang yang memperdagangkan harta haram,
penjudi, pelaku kecurangan atau koruptor. Kemudian penerapan sistem ini dalam
negara khilafah tidak akan berubah dan berganti menurut perubahan pemikiran dan
selera penguasa. Sebaliknya sistem ini merupakan sistem yang telah diwajibkan
oleh Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam), diterapkan dengan dorongan
ketakwaan dan keadilan syariat, dalam negara yang melakukan pengurusan harta
bukan negara pemungut harta. Jika semua politik ekonomi Islam di atas
dilakukan, maka sistem ini akan benar-benar menjadi sistem yang mampu menjamin
kehidupan ekonomi yang aman, adil, dan bebas krisis.
Penerapan politik ekonomi Islam tentu membutuhkan dana. Dana
tersebut dikelola oleh baitul mal sebagai mengatur penerimaan dan pengeluaran
negara (mengatur APBN).[23]
Sebagai lembaga negara yang mandiri, terpisah dari lembaga negara
lainnya, dan langsung berada di bawah khalifah, baitul mal dipimpin oleh
seorang wali al-kharaj yang
menjadi pelaksana harian baitul mal. Ia membawahi divisi penerimaan, divisi pengeluaran
dan wali baitul mal wilayah yang berkedudukan di wilayah (provinsi).[24]
Tata kelola anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: 1.
kaidah pengalokasian belanja negara, 2. pos pembiayaan belanja wajib, dan 3.
kaidah mendapatkan pembiayaan belanja wajib. Lebih jauh akan diuraikan dalam
bab V Implementasi.
BAB III
PEMBAHASAN
Landasan Politik Ekonomi Islam dalam al-Quran dan Hadis
Landasan
politik ekonomi Islam sumber utamanya dari al-Quran, sedangkan Hadis merinci
keglobalan penjelasan dalam al-Quran tersebut.
Allah SWT
berfirman:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ
مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ
مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya (QS.
Al-Hasyr: 7).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan bahwa maksud ayat di
atas menjelaskan tentang makna fai’, sifat, dan hikmahnya. Fai’ adalah
segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui
peperangan dan tanpa mengerahkan kuda dan unta.[25]
Menurutnya Ali
Al-Shabuni, penggalan ayat (مَاأَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى) maksudnya
adalah sesuatu yang Allah jadikan ghanimah bagi Rasul dari harta-harta
orang-orang kafir tanpa peperangan. Ibnu Abbas berkata: “yakni harta orang
kafir (Yahudi) bani Quraizhah, Nadhir, Fadak, dan Khaibar”. Maksud (فَلِلَّهِوَلِلرَّسُولِ) bahwa hukumnya milik Allah
yang Dia tetapkan menurut kehendak-Nya, bagi Rasul untuk kepentingan beliau
sendiri dan kemaslahatan kaum muslim. Maksud (وَلِذِيالْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ), yakni untuk orang terdekat
Rasul dari bani Hasyim, Abdul Muthalib, bagi anak yatim, bagi orang-orang
miskin yang membutuhkan dan fakir, (وَابْنِ
السَّبِيلِ) yakni bagi orang asing dalam perjalanannya, berkata dalam
at-tashil:
Makna “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu”, jelas Ibnu Katsir rahimahullah, yakni
Kami (Allah) jadikan pengaturan harta fai’ ini agar pemanfaatannya tidak
hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai
kehendak dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta sedikitpun tersebut
kepada fakir miskin.[26]
Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’di
rahimahullah menjelaskan bahwa dalam ayat di atas Allah menetapkan
ketentuan dan hanya membatasi harta fai’ untuk golongan-golongan yang
telah ditetapkan. Adapun maksud “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang kaya di antara kalian”, yakni beredar dan menjadi kekhususan di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Sebab andai Allah ta’ala
tidak menetapkan ketentuan di atas, tentu hanya orang-orang kaya saja yang akan
memutar uang dan orang-orang lemah tidak akan mendapatkan sedikit pun, yang
akhirnya akan menimbulkan kerusakan yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala.[27]
Ali Al-Shabuni menjelaskan maksud (كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ) yakni agar harta itu tidak dinikmati oleh yang mampu saja
tanpa dinikmati oleh fuqara, orang yang membutuhkan, dengan besarnya kebutuhan
fuqara terhadap harta, Imam Qurthubi berkata: yang kami lakukan itu agar para
pemimpin dan orang-orang kaya di antara mereka tidak membagi harta tanpa
memperhatikan mereka, yakni fuqara dan dhuafa, karena kaum
jahiliyah jika mendapatkan harta rampasan perang, pemimpin mereka mengambil
seperempat bagian bagi dirinya dan memilih harta itu sekehendaknya. Para
mufasir berkata: sesungguhnya Rasul membagi harta bani Nadhir untuk kaum
Muhajirin yang ketika itu mereka dalam keadaan fakir, dan beliau tidak
memberikan harta itu kepada kaum Anshar sedikit pun karena mereka ketika itu
dalam keadaan mampu (berkecukupan). Maka, sebagian kaum Anshar berkata: Kami
berhak (memiliki andil) atas harta fai’ itu. Maka Allah menurunkan ayat ini (وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ), yakni yang diperintahkan oleh Rasul, maka penuhilah
(laksanakanlah) dan yang ia larang, maka tinggalkanlah (jauhilah), karena
sesungguhnya ketika beliau memerintahkan kalian pada setiap perkara yang baik
maslahat dan melarang melarang setiap keburukan dan kerusakan (fasad). Para
mufasir berkata: ayat itu meskipun diturunkan berkaitan dengan masalah fai’,
tetapi sebetulnya umum dalam setiap hal yang diperintahkan Rasul atau
dilarangnya dari perkara perkara wajib, sunnah, mubah atau haram, termasuk
dalam masalah fai dan masalah lainnya.[28]
Menurut Sayyid Tahir, ayat ini mengandung prinsip umum tentang pemberantasan konsentrasi kekayaan atau dengan kata lain menjaga
ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang dapat ditoleransi.[29]
Merujuk pada ayat ini, Zaki Fuad Chalil menjelaskan bahwa konsentrasi kekayaan
dan harta pada seseorang atau kelompok orang kaya (kapitalis) tidak dibenarkan
sama sekali. Islam melarang hal itu dilakukan karena kekuatan terpusat secara
lahiriah akan mengendalikan kehidupan orang banyak, menjadi penentu harga
barang, dan menjadi pengatur hidup manusia. Orang miskin selalu diliputi rasa
curiga dengan kekayaan yang dimiliki orang kaya. Kecemburuan sosial semacam ini
merupakan benih awal yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis, dan
dapat mengancam keutuhan tatanan masyarakat. Demikian pula halnya dengan harta
kekayaan apabila tidak tersebar secara
merata dalam masyarakat dan terkonsentrasi pada segelitir kelompok tertentu
akan mempercepat timbulnya berbagai gejolak dan ekses negatif lainnya yang
disebabkan oleh ketidakmerataan, dan eksploitasi yang terjadi.[30]
Hal yang sama juga bermakna bahwa apabila harta kekayaan
terkonsentrasi pada seseorang akan menghambat pertumbuhan ekonomi karena
kekayaan yang ada tidak dimanfaatkan sebagai modal usaha membantu mereka yang
membutuhkan sehingga menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan di tengah
masyarakat di samping meningkatnya pengangguran, karena terbatasnya kesempatan
berusaha.[31]
Dalam menjelaskan kedudukan fai’ sebagai sumber penerimaan negara di samping
sumber penerimaan negara lainnya (zakat dan ghanimah) dan juga
keterangannya tentang politik distribusinya, Jabirah bin Ahmad Al-Haritsi mengutip
perkataan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu:[32]
“... kemudian dia (Umar radhiyallahu ‘anhu) membaca ayat, “sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin...
(At-Taubah: 60) sampai akhir ayat. Lalu
dia berkata: “Ini zakat bagi mereka”. Kemudian dia membaca ayat, “ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
seperlimanya untuk Allah, Rasul, ...(Al-Anfal: 41) sampai akhir ayat. Lalu
dia berkata: “ini (ghanimah) bagi mereka”. Kemudian dia membaca, “apa
saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-nya yang berasal
dari penduduk kota-kota ... (Al-Hasyr: 7) sampai akhir ayat. Kemudian dia
berkata: “Ini fai’ untuk mereka. Lalu dia membaca ,“(juga) bagi para fuqara
yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman ...” (al-Hasyr: 8) sampai
akhir ayat. Lalu dia berkata:”mereka adalah sahabat muhajirin!” Kemudian dia
membaca, “dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah
beriman sebelum mereka...”(Al-Hasyr: 9) sampai akhir ayat. Lalu dia
berkata: “Mereka adalah orang-orang Anshar!” Kemudian dia membaca:” Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:
“Ya Tuhan kami, berilah ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami....” (al-Hasyr: 10) sampai akhir ayat. Lalu
dia berkata: “ayat fai’ ini mencakup seluruh manusia, dan tidak tersisa
seorang pun dari kaum muslimin melainkan dia memiliki hak dalam harta ini
(baitul mal), kecuali sebagian orang yang kamu miliki dari hamba-hamba sahaya
kamu. Karena itu, jika aku hidup, insya Allah, tidak akan tersisa seorang pun
dari kaum muslimin melainkan akan datang kepadanya haknya, hingga penggembala
kambing di Sarwahimyar pun datang kepadanya haknya, dan dia tidak berkeringat
keningnya,”
Dalam atsar tersebut, Umar radhiyallahu ‘anhu menyebutkan
tiga kelompok harta, yaitu zakat, ghanimah, dan fai’. Pembagian zakat adalah
delapan kelompok manusia yang disebutkan dalam surat At-Taubah: 60 berikut:
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. at-Taubah:
60).
Ghanimah dibagikan
kepada mereka yang telah ditentukan oleh surat al-Anfal: 41 berikut:
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang[613], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat
rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di
hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu (al-Anfal:
41).
Fai’ yang darinya
dilakukan “pemberian”. Pemberian di sini secara terminologi adalah sesuatu yang
diberikan pemerintah (imam) dari baitul mal kepada rakyatnya karena keberhakan
mereka sesuai dengan yang ditetapkan kepada mereka dalam catatan negara yang
diberikan kepada mereka dalam waktu tertentu.[33]
Dalam hadits Abu Daud disebutkan:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ اللُّؤْلُؤِيُّ أَخْبَرَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ
حِبَّانَ بْنِ زَيْدٍ الشَّرْعَبِيِّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَرْنٍ وَ حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ
حَدَّثَنَا أَبُو خِدَاشٍ وَهَذَا لَفْظُ عَلِيٍّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ
الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ غَزَوْتُ مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا أَسْمَعُهُ يَقُولُ
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah
mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy Syar'i dari
seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada
kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan
kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini
adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah berperang bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tiga kali, aku mendengar beliau bersabda:
"Orang-orang Muslim bersekutu dalam tiga hal; rumput, air, dan api" (HR. Abu Daud).
Redaksi senada terdapat dalam Hadis lain:
عَنْأَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: لاَ يُمْنَعُ المَالُ وَ النَّارُ وَالكَلاَءُ
Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
“Tidak akan pernah dilarang air, padang rumput, dan api".
Juga dalam redaksi lain:
قَالَالنَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ
وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Bahwasannya Nabi bersabda: “Manusia itu berserikat dalam tiga hal; air,
padang rumput, dan api” (HR. Ibnu Majah).
Para ahli hukum Islam mengidentifikasikanya: al-mā’
yaitu air yang mengalir di sungai dan di lautan, al-kala’ yaitu hutan,
padang rumput atau tanah yang tak bertuan dan tak terpakai, sedang an-nar
adalah sumber energi berupa api, listrik, dan sebagainya. Semuanya sebagai
kebutuhan pokok masyarakat yang harus dikuasai oleh negara atau yang mempunyai
otoritas dan kekuasaan dalam suatu wilayah.[34]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ
رِزْقِهِ
Dialah yang menjadikan
bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebahagian dari rezki-Nya (al-Mulk: 15).
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung (QS al-Jumuah: 10).
Menurut
Abdurrahman al-Maliki, kedua ayat tersebut menunjukkan kebolehan kepemilikan
dan berproduksi bagi setiap individu.[35]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
قَالَ :" لاَ يَحِلُّ مَالُ
امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلا بِطِيبِ نَفْسِهِ
Diriwayatkan dari Anas bahwasannya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidak halal (mengambil) harta milik orang Islam, kecuali
atas kerelaan darinya” (HR. Ahmad).
Masih menurutnya, Hadis ini
menunjukkan bahwa syara’ mengharamkan negara dan lainnya menguasai harta benda
individu rakyat dengan kekuasaannya dan dengan alasan apa pun.[36]
Dari ungkapan ayat dan Hadis di
atas dapat dipahami bahwa pesan )moral( yang terkandung dari ayat-ayat dan Hadis-hadis tersebut di atas; pertama, sarana dan
prasarana hidup ini (wasilah al-hayāh) diperuntukkan untuk kesejahteraan
dan kemakmuran manusia. Kedua, semua orang berhak untuk mendapatkan fasilitas
dan kemudahan tersebut. Ketiga, tidak boleh diskriminatif dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber harta tersebut. Keempat, tidak boleh ada hak monopoli yang
diberikan kepada individu, perorangan, suku, agama, dan golongan dalam
mendapatkan dan mencari harta dari sumbernya, yaitu bumi dan segala sarana dan
prasarana yang ada di dalamnya. Kelima, sumber – sumber harta berupa air,
rumput, dan api pada hakikatnya milik bersama dan semua orang berhak untuk
mendapatkannya, tidak boleh sekelompok orang menguasai secara semena-mena.[37]
Jadi, Allah SWT telah memberikan panduan di dalam
firmannya tentang kepemilikan harta, agar umat manusia sadar dan insaf harta
itu hanya milik Allah dan manusia diberikan hak untuk mengelolanya secara baik
untuk kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Begitu juga Allah
memperingatkan agar jangan sampai memiliki harta dengan serakah dan melanggar ketentuan yang telah disyariatkan.
Lebih
jauh Taqiyudin an-Nabhani menjelaskan bahwa Islam telah menjadikan ide dasar
ekonominya berpijak pada upaya untuk menjalankan aktivitas perekonomian dengan
berpegang kepada perintah dan larangan Allah yang didasarkan pada kesadaran
adanya hubungan manusia dengan Allah. Dengan kata lain, Islam telah menjadikan
ide yang dipergunakan untuk membangun pengaturan urusan kaum muslimin dalam
suatu masyarakat dalam kehidupan ini adalah menjadikan aktivitas perekonomian
tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh hukum-hukum syara',
sebagai suatu aturan agama. Islam juga telah menjadikan pengaturan urusan
rakyat atau mereka yang memiliki kewarganegaraan atau menjadikan aktivitas
perekonomian tersebut, terikat dengan hukum-hukum syara' sebagai suatu
perundang-undangan, sehingga mereka diberi kebolehan sesuai dengan apa yang
telah diperbolehkan oleh Islam kepadanya yang mereka juga terikat dengannya.[38]
Dengan
demikian nampaklah, bahwa politik ekonomi Islam tersebut telah dibangun dengan
berpijak kepada asas terpenuhinya kebutuhan tiap orang sebagai individu yang
hidup dalam suatu masyarakat (society) tertentu, serta asas bekerja
untuk mendapatkan kekayaan dalam rangka memenuhi apa saja yang bisa memuaskan
kebutuhan. Maka, politik ekonomi Islam tersebut sebenarnya berdiri di atas satu
konsep, yaitu menjalankan tindakan ekonomi berdasarkan hukum syara' yang
diterapkan oleh tiap orang dengan dorongan ketakwaan kepada Allah serta
dilaksanakan oleh negara, dengan melalui pembinaan dan pengundang-undangan
hukum syara' (yang bersumber dari al-Quran dan Hadis).[39]
BAB IV
IMPLEMENTASI POLITIK EKONOMI DALAM KEBIJAKAN FISKAL
Sebagaimana disebutkan
dalam pembahasan sebelumnya, kunci permasalahan ekonomi terletak pada
distribusi kekayaan yang adil, maka yang harus dijelaskan adalah metode untuk
menciptakan distribusi kekayaan yang adil melalui kebijakan fiskal, sebagaimana
Allah firmankan dalam QS. al-Hasyr [59]: 7 ("… Supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …").
Dalam Islam, kebijakan
fiskal hanyalah salah satu mekanisme untuk menciptakan distribusi ekonomi yang
adil. Karenanya kebijakan fiskal tidak akan berfungsi dengan baik bila tidak
didukung oleh mekanisme-mekanisme lainnya yang diatur melalui syariat Islam,
seperti mekanisme kepemilikan, mekanisme pemanfaatan dan pengembangan
kepemilikan, dan mekanisme kebijakan ekonomi negara. Dengan kata lain, syariat
Islam harus diterapkan secara menyeluruh (kaffah) tanpa dipilah-pilah
(parsial) agar syari'ah mechanism dapat dengan sempurna mengatur
distribusi ekonomi yang adil. Adapun peranan kebijakan fiskal sebagai salah
satu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian merupakan konsekuensi
logis dari kewajiban syariat sebagai jawaban atas salah satu realitas yang
menunjukkan bahwa tidak semua warga negara memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang dalam ekonomi konvensional dikenal sebagai masalah
"eksternalitas" dan kegagalan pasar (market failure).[40]
Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, politik ekonomi yang mendasari kebijakan fiskal Islam adalah
menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu secara menyeluruh dan
mendorong mereka memenuhi berbagai kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai
dengan kadar kemampuannya. Menurut al-Maliki kebutuhan pokok yang disyariatkan
oleh Islam terbagi dua. Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap
individu secara menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi pangan (makanan), sandang
(pakaian) dan papan (tempat tinggal). Kedua, kebutuhan-kebutuhan pokok
bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini adalah keamanan,
kesehatan, dan pendidikan.[41]
Dari politik ekonomi
ini dapat dijabarkan arah kebijakan fiskal Islam sebagai berikut:[42]
Pertama, negara Islam melihat permasalahan kemiskinan yang harus dipecahkan adalah
kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara.
Kedua, negara Islam menempatkan masalah kemiskinan sebagai masalah ekonomi yang
krusial dan mendesak untuk dipecahkan.
Ketiga, kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan secara langsung diarahkan
kepada individu, yakni setiap warga negara yang masuk katagori miskin.
Keempat, kebijakan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ditujukan kepada seluruh
warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status
sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal berupa jaminan
pemenuhan akan pangan, sandang, dan papan khusus ditujukan kepada warga negara
miskin yang kepala keluarga dan ahli warisnya tidak mampu lagi memberikan
nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Sedangkan warga
negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara.
Selanjutnya intervensi negara dalam pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan,
kesehatan, dan pendidikan (public utilities) secara cuma-cuma ditujukan
kepada seluruh warga negara tanpa memandang apakah warga tersebut dari golongan
kaya atau tidak. Artinya dalam katagori ini subsidi diberikan kepada seluruh
rakyat.
Kelima, negara memahami bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan
kekayaan dan meningkatkan kekayaan yang dimilikinya asalkan diperoleh dengan
jalan yang dibenarkan syara'. Karena itu, negara Islam melakukan
intervensi dengan tujuan mendorong warga masyarakat memperoleh kekayaan yang
dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya secara ma'ruf
sesuai dengan kemampuan warga itu sendiri. Bentuk-bentuk intervensi ini
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, sumber daya manusia, sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi warga masyarakat setempat. Maksudnya pola kebijakan
yang diterapkan tidak pukul rata dan tidak sentralistik, tetapi bersifat bottom
up sesuai kondisi dan harapan warga masyarakat setempat. Intinya pola
kebijakan yang diterapkan ditujukan untuk mencapai kemaslahatan warga
masyarakat.
Keenam, intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan fiskal adalah kebijakan
makro ekonomi. Kebijakan pada level makro ini harus diturunkan (dijabarkan) ke
dalam level mikro yang bersentuhan langsung dengan aktivitas ril ekonomi
masyarakat. Karena itu, agar efek fiskal berdampak positif bagi peningkatan
taraf hidup masyarakat secara luas dan menyeluruh, pemerintah harus
mengembangkan pola-pola kebijakan (skema) mikro yang bottom up dengan
menyesuaikannya dengan potensi, kondisi, dan aspirasi warga masyarakat. Dari
sisi permodalan negara dapat mengembangkan pola pinjaman tanpa bunga, subsidi,
atau pola patnership seperti mudharabah dan musyarakah. Di
sisi lain negara juga harus menyediakan infrastruktur, sarana, dan prasarana
yang menunjang kegiatan produksi, jasa, dan perdagangan masyarakat, seperti
listrik, sarana komunikasi, jalan umum dan sarana transportasi, serta bangunan
pasar. Juga negara harus memberikan kemudahan akses bahan baku, menyediakan
informasi dan membantu pemasaran, termasuk memperkerjakan tenaga ahli dan
konsultan untuk melatih dan membentuk jiwa wirausaha (interprenurship)
ataupun keahlian teknis bagi para pekerja.
Ketujuh, negara harus mampu menjalankan politik pertanian dan politik industri
yang sesuai tuntutan syara' untuk mencapai kemandirian ekonomi. Sebab
penguasaan dua pilar perekonomian ini sangat menentukan kekuatan ekonomi
nasional dari segi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan
pasokan alat-alat pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian, dan
pasokan mesin-mesin pabrik dan industri.
Kedelapan, negara Islam wajib mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang
sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
berbagai kepentingan dan urusan masyarakat terpenuhi dengan lancar.
Kesembilan, agar pejabat dan aparatur negara (termasuk tenaga ahli yang dikontrak
pemerintah) dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, dan juga
supaya kewenangan yang mereka miliki tidak disimpangkan untuk kepentingan
pribadi dan kelompok, maka negara wajib memberikan santunan dan gaji yang layak
kepada mereka.
Kesepuluh, sebagaimana yang
dipaparkan Zallum bahwa kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi dalam tataran
ekonomi, tetapi juga untuk pertahanan dan keamanan, serta penyebaran agama
Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena itu kebijakan fiskal Islam juga
difokuskan untuk mendukung dan menjaga kesinambungan (sustainability) dakwah
islamiyah dan jihad fi sabilillah.
Penerapan politik ekonomi Islam tentu membutuhkan dana yang besar.
Itulah peran penting baitul mal. Baitul mal adalah bagian dari struktur sistem
pemerintahan khilafah islamiyah yang bertugas mengatur penerimaan dan
pengeluaran negara (APBN) sesuai syariah Islam untuk menyejahterakan rakyat
secara menyeluruh, orang per orang.[43]
Sebagai lembaga negara yang mandiri, terpisah dari lembaga negara
lainnya, dan langsung berada di bawah khalifah, baitul mal dipimpin oleh
seorang wali al-kharaj yang
menjadi pelaksana harian baitul mal. Ia membawahi divisi penerimaan, divisi pengeluaran
dan wali baitul mal wilayah yang berkedudukan di wilayah (provinsi).[44]
Tata kelola anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: 1.
kaidah pengalokasian belanja negara, 2. pos pembiayaan belanja wajib, dan 3.
kaidah mendapatkan pembiayaan belanja wajib. Penjelasannya sebagaimana berikut:[45]
1. Kaidah pengalokasian
belanja negara.
Ditinjau dari jensi harta, pos-pos penerimaan negara khilafah
terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama terdiri bagian fai’ dan kharaj yang menghimpun pemasukan dari ghanimah,
fai’, anfal, khumus anfal, kharaj, jizyah,
harta milik negara, ‘usr[46], harta ilegal penguasa, pejabat dan pegawai sera harta yang
diperoleh dengan tindakan curang lainnya, khumus barang temuan dan
tambang yang jumlahnya terbatas, harta waris yang tidak ada ahli warisnya,
harta orang murtad, dan harta dari pungutan dharibah. Bagian kedua adalah bagian pemilikan umum yang
menghimpun pemasukan dari hasil-hasil pengelolaan harta milik umum. Bagian ketiga, bagian
shadaqah atau zakat yang menghimpun harta zakat.
Perbedaan jenis harta ketiga bagian penerimaan negara itu,
memberikan batasan kepada khalifah dalam melakukan kebijakan keuangan negara.
Batasan pertama, khalifah tidak boleh mencampuradukkan
ketiga bagian penerimaan tersebut baik dari sisi pencampuran harta maupun dari
sisi administrasi pembukuan.
Batasan kedua, khalifah tidak diperkenankan
mengalokasikan anggaran ke pos-pos yang memang tidak memiliki hak terhadap
bagian penerimaan tertentu.
Batasan ketiga, pelebaran alokasi pembiayaan dari suatu
bagian penerimaan negara ke pos-pos pengeluaran yang dibiayai oleh bagian penerimaan
negara lainnya dibolehkan jika ada kondisi-kondisi tertentu yang memenuhi ketentuan
syariah, misalnya kas baitul mal kosong atau tidak mencukupi untuk membiayai
belanja wajib yang sifatnya mendesak, kecuali bagian zakat yang memang sudah
dibatasi alokasi pembelanjaannya oleh syariah yang tidak boleh dilanggar.
Berdasarkan ketiga batasan tersebut, maka alokasi penerimaan
baitul mal adalah sebagai berikut:
a.
Bagian Fai’ dan Kharaj mengalokasikan untuk pos-pos
pengeluaran berikut: seksi dar al-khilafah,
seksi mashalih
ad-dawlah, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat serta
seksi anggaran belanja negara, pengendalian umum dan badan pengawas keuangan.
b.
Bagian Kepemilikan umum dialokasikan
pada pos-pos pengeluaran seksi kepemilikan umum. Kemudian seiring dengan
meluasnya tanggung jawab negara dan bertambahnya perkara-perkara yang harus
disubsidi, maka alokasinya diperluas pada pos-pos berikut: seksi dar al-khilafah, seksi mashalih ad-dawlah/pelayanan
publik, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat/bencana alam, dan
seksi anggaran belanja negara, pengendalian umum dan badan pengawas.
c.
Bagian Shadaqah. Alokasi pengeluaran negara dari sektor ini didasarkan pada QS
at-Taubah ayat 60. Fungsi negara dalam sektor ini adalah menarik zakat dari
orang-orang yang telah wajib zakat. Kemudian oleh negara, harta zakat yang
terkumpul di baitul mal disalurkan kepada 8 (delapan) golongan yang berhak
menerimanya yaitu orang fakir, orang miskin, para‘amilin zakat, mualaf, budak,
orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil.
2. Kemutlakan pembiayaan
belanja wajib
Anggaran belanja wajib merupakan anggaran pada pos-pos pengeluaran
negara yang menurut syariah wajib ada (mutlak), artinya negara (pemerintah) wajib
memenuhi belanja tersebut. Menurut an-Nabhani, pos-pos belanja negara yang
masuk kategori wajib, pembiayaanya tidak bergantung pada ada-tidaknya kas di
pos penerimaan negara yang menutupinya. Jika sumber-sumber penerimaan rutin
tidak mampu membiayainya, sementara diperkirakan pos-pos belanja wajib tersebut
bila tidak dibiayai dapat menimbulkan bencana bagi masyarakat, maka negara
harus mencari jalan agar secepatnya pos belanja tersebut tertutupi.
Secara garis besar Abdul Qadim Zallum membagi pos belanja wajib dalam 6
kategori, yaitu pembiayaan: (1) Jihad dan semua perangkat yang diperlukan untuk
jihad. Pembiayaan ini disebut juga belanja pertahanan keamanan, (2) Industri
militer dan industri strategis serta pabrik-pabrik penunjangnya, (3) Santunan
fakir-miskin dan ibnu sabil, (4) Santunan para pejabat negara,
pembayaran gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru dan dosen dan
lain-lainnya yang pekerjaan melayani masyarakat, (5) Untuk kepentingan dan
kemaslahatan hidup umat yang sifatnya sangat dibutuhkan seperti rumah sakit,
sekolah, universitas, jalan raya, air bersih, listrik, masjid, bandara dan
lain-lain, (6) Untuk keadaan darurat (bencana).
3. Kaidah pembiayaan belanja
wajib
Kebijakan fiskal Islam bersandar pada prinsip mendahulukan
anggaran wajib dan mewajibkan negara mengadakan sumber-sumber pembiayaan
anggaran belanja wajib. Namun, jika semua sumber keuangan yang dimiliki negara
telah dialokasikan ke belanja wajib tetapi
belum mencukupi, maka kewajiban tersebut beralih menjadi kewajiban seluruh
rakyatnya. Ada 5 (lima) langkah
pokok yang dapat ditempuh negara dalam mencari solusi pembiayaan belanja wajib
yang tidak dapat dipenuhi oleh sumber-sumber penerimaan dari harta milik
negara, yaitu:
a.
Memperluas
pemasukan dari sumber-sumber kepemilikan umum, misalkan: jalur lintas pipa dan
serat optik laut, penyewaan jaringan satelit yang tidak membahayakan keamanan
negara dan letak Indonesia yang strategis memungkinkan Selat Malaka dan
beberapa tempat lainnya sebagai pelabuhan dan bandara transit dengan
menghasilkan pendapatan yang tidak sedikit.
b.
Mengutamakan
pengalokasian harta zakat untuk
fakir-miskin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah di pos belanja wajib.
c.
Seandainya
langkah pertama dan kedua belum dapat menutupi belanja wajib, pemerintah dapat
memobilisasi rakyatnya agar menginfakkan sebagian hartanya untuk mengatasi
kekurangan anggaran.
d.
Negara
meminjam dana kepada masyarakat (yang bebas riba, tidak menyebabkan kehinaan
dan ketundukan kepada orang kafir) baik dari individu maupun perusahaan swasta,
tentunya akan dikembalikan ketika negara dalam kondisi surplus.
e.
Jika
belum juga mencukupi, maka negara dapat memungut dharibah dari kaum
muslim laki-laki yang kaya dari kelebihan harta mereka.
Lebih jauh sebagai implementasi terkait dengan pendanaan, dapat
dijelaskan gambaran struktur dan postur APBN Khilafah (APBNK) untuk Indonesia
sebagai berikut:[47]
1.
Penerimaan
Secara numerik, penerimaan APBNK untuk Indonesia dapat dirinci
berdasarkan masing-masing bagian sebagaimana dalam tabel 1. Sementara bagian fai
dan kharaj serta bagian shadaqah
tidak dimasukkan dahulu.
Tabel 1 Besaran Penerimaan
Penerimaan
|
Jumlah pemasukan (dalam juta dinar)
|
Bagian Kepemilikan Umum
|
|
-Minyak
|
121,5
|
-Gas
|
178,9
|
-Batubara
|
127,5
|
-Emas & mineral logam lainnya
|
33,5
|
-BUMN kelautan
|
48,9
|
-Hasil hutan
|
666,0
|
Jumlah Total Penerimaan
|
1176,3
|
Dari tabel tersebut diperoleh data
bahwa APBNK melalui minyak sebesar 121.500.000 dinar, gas sebesar 178.900.000
dinar, batubara sebesar 127.500.000 dinar, emas dan mineral logam lainnya
sebesar 33.500.000 dinar, BUMN kelautan sebesar 48.900.000 dinar, dan hasil
hutan sebesar 666.000.000 dinar. Total penerimaan APBNK sebesar 1.176.300.000
dinar. Jika dikurskan dengan mata uang rupiah, maka total penerimaan APBNK
adalah 2.000.000 x 1.176.300.000 dinar = Rp 2.352.600.000 (dua ribu tiga ratus
lima puluh dua triliun enam ratus miliar rupiah).[48]
Jumlah ini akan lebih besar lagi jika bagian fai’ dan kharaj serta
bagian shadaqah dimasukkan dalam penerimaan.
2.
Pengeluaran
Untuk pengeluaran yang dibutuhkan oleh APBNK ini dapat diuraikan
dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Besaran Pengeluaran
Pengeluaran
|
Jumlah pengeluaran (dalam juta dinar)
|
Pengentasan
Kemiskinan 50% penduduk
|
167,9
|
Kompensasi
|
|
-Layanan
hankam & jihad
|
41,7
|
-layanan
pemerintahan dan peradilan
|
30,8
|
-layanan
pendidikan
|
180,0
|
-layanan
kesehatan
|
55,8
|
Maslahat
vital (infrastruktur dan fasilitas umum)
|
143,1
|
Cadangan
kebencanaan dan perang
|
33,3
|
Maslahat
lainnya
|
13,2
|
Jumlah
total pengeluaran
|
666
|
Dari
tabel tersebut terdapat angka pembiayaan yang dibutuhkan oleh APBNK untuk
Indonesia. Pengentasan kemiskinan 50% penduduk sebesar 167.900.000 dinar,
layanan hankam dan jihad sebesar 41.700.000 dinar, layanan pemerintahan dan
peradilan sebesar 30.800.000 dinar, layanan pendidikan sebesar 180.000.000
dinar, layanan kesehatan sebesar 55.800.000 dinar, maslahat vital
(infrastruktur dan fasilitas umum) sebesar 143.100.000 dinar, cadangan
kebencanaan dan perang 33.300.000 dinar, maslahat lain-lain sebesar 13.200.000
dinar. Total pengeluaran APBNK sebesar 666.000.000 dinar atau setara dengan Rp
2.000.000 x Rp 666.000.000 = Rp 1.332.000.000 (satu juta tiga ratus tiga puluh
dua triliun rupiah).
Desain APBNK ini berbeda dengan APBN
Indonesia (yang memiliki peluang markup atau penganggaran ganda sangat
besar). Pada hitungan APBNK untuk Indonesia ini, surplus jumlah total
penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia dengan cepat.
APBNK untuk Indonesia ini sekaligus menggambarkan bahwa Indonesia ke depan
bukan saja akan hidup makmur dan sejahtera, tetapi bebas dari penjajahan
kapitalis sekuler dan Indonesia akan bangkit menjadi negara adi daya baru.[49]
Dengan demikian, penting bagi
Indonesia menerapkan APBN Khilafah ini jika sungguh-sungguh ingin menjadi
negara besar, makmur dan sejahtera, dan terbebas dari penjajahan negara
kapitalis.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari
rumusan dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
1.
Politik
ekonomi dalam pandangan al-Quran dan Hadis terutama mengacu pada QS al-Hasyr: 7
mengenai pembagian harta secara merata dan perintah untuk memenuhi semua aturan
yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan (termasuk dalam Hadis untuk merinci
keglobalan al-Quran).
2.
Implementasi
politik ekonomi berdasar al-Quran dan Hadis dalam teori ekonomi dapat dilihat
dalam kebijakan fiskal negara Islam yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan
setiap individu secara adil sebagamana berikut:
a.
Aspek
kebijakan
1)
Negara
harus melihat permasalaha kemiskinan yang dipecahkan adalah kemiskinan yang
menimpa setiap individu bukan kemiskinan secara umum yang menimpa negara.
2)
Negara
Islam menempatkan kemiskinan sebagai permasalahan krusial yang mendesak untuk
dipecahkan.
3)
Kebijakan
untuk memecahkan masalah kemiskinan diarahkan secara langsung kepada individu,
yakni warga negara yang masuk kategori miskin.
4)
Kebijakan
menjamin kebutuhan pokok ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang
agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Hanya saja intervensi
melalui kebijakan fiskal berupa pemenuhan pangan, sandang, papan khusus
ditujukan kepada keluarga miskin yang ahli warisnya tidak mampu lagi memberi
nafkah yang memadai. Adapun jaminan pelayanan keamanan, kesehatan, dan
pendidikan secara cuma-cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa
memandang kaya atau miskin.
5)
Setiap
warna negara berhak mendapatkan kekayaan dan meningkatkan kekayaan yang
dimilikinya asal diperoleh dengan jalan yang sesuai syariah.
6)
Intervensi
negara dalam kebijakan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi dan pada level
mikro bersentuhan langsung dengan aktivitas sektor ril.
7)
Negara
harus mampu menjalankan politik pertanian dan industri untuk mencapai
kemandirian ekonomi.
8)
Negara
harus mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan
oleh warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
9)
Negara
wajib member gaji dan santunan (tunjangan) yang layak bagi pejabat dan aparatur
negara (termasuk tenaga ahli yang dikontrak pemerintah) agar dapat memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat dan menggunakan kewenangan yang mereka miliki
untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
10)
Kebijakan
fiskal selain dalam tataran ekonomi juga berfungsi dalam tataran pertahanan dan
keamanan serta dakwah (penyebaran Islam) ke seluruh penjuru dunia atau untuk
kesinambungan dakwah dan jihad.
b.
Aspek
Dana
Dalam aspek
dana ini dilaksanakan oleh baitul mal sebagai pengelola APBN. Tata kelola anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: (1)
kaidah pengalokasian belanja negara, (2) pos pembiayaan belanja wajib, dan (3)
kaidah mendapatkan pembiayaan belanja wajib.
B.
Saran
1.
Kepada
pemerintah
Mengingat
kewajiban dan pentingnya penerapan konsep politik ekonomi Islam, maka baiknya
pemerintah menerima dan menjadikan politik ekonomi Islam sebagai politik
ekonomi dalam bernegara.
2.
Kepada
civitas akademik
Politik ekonomi Islam perlu diteliti lebih jauh agar dapat
dijelaskan, dikembangkan, dan diimplementasikan dengan lebih baik dalam
kehidupan.
3.
Kepada
masyarakat
Politik ekonomi Islam perlu dipahami dan disadari oleh masyarakat
sebagai suatu kewajiban yang agung dari Allah SWT yang wajib dipenuhi, karena
jika tidak akan menyengsarakan kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haritsi,
Jabirah bin Ahmad, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab, Jakarta: Khalifa,
2003.
Ali,
Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Alim,
Akhmad, Studi Islam IV Islamisasi Ilmu Ekonomi, Bogor: Pustaka
al-Bustan, 2012.
Al-Maliki,
Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, Bangil: al-Izzah. Terjemahan oleh
Ibnu Sholah, Bangil: al-Izzah, 2001.
Al-Rifai’, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Jilid dua, Penerjemah Shihabudin, Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 1999.
Al-Sa’di,
Abdurrahman bin Nashir , Tafsir Al-QuranJilid 7, Jakarta: Darul Haq,
2012.
Al-Shabuni,
Muhammad Ali, Shafwatu al-Tafasir, Kairo: Dar al-Shabuni, tt.
An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif
Islam. Risalah Gusti: Surabaya, 2000.
Chalil, Zaki Fuad, Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi
Islam, Jakarta: Erlangga, 2009.
Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir
Al-Qur’an Temati, Pembangunan Ekonomi Umat, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, 2009.
Hamid,
Tijani Abd. Qadir, Pemikiran Politik dalam al-Quran, Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Kartikasari,
Endah, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang, Bogor: al-Azhar Press,
2010.
Kurnia,
M.R., dkk., Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif, Bogor:
al-Azhar Press, 2004.
Muttaqin,
Hidayatullah, Politik Ekonomi
Kebijakan Fiskal Islam, makalah.
Rivai,
Veithzal, dkk., Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi
Aksara, 2012.
Shihab,
M. Quraish, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan, 2003.
Sholahuddin,
Muhammad, “Politik Ekonomi Negara Khilafah”, al-wa’ie, XII, (5-31Juli,
2012).
Suma, Muhammad Amin, Menggali
Akar Mengurangi Serat Ekonomi & Keuangan Islam. Tangerang:
kholam Publishing, 2008.
[1]Zainuddin Ali, Hukum
Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, cet. ke-1, hlm. 29.
[2]Ibid.
[3]Abdurrahman
Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: al-Izzah. Terjemahan oleh Ibnu
Sholah, Bangil: al-Izzah, 2001, cet. ke-
1, hlm. 159.
[4]Taqiyuddin
An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur
Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 25.
[5]M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan, 2003, cet. ke-14, hlm. 416.
[6]Tijani Abd.
Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2001,
cet. ke-1, hlm. 3.
[7]http://kbbi.web.id
[8]M.R. Kurnia,
dkk.,Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif, Bogor: al-Azhar
Press, 2004, cet. ke-1, hlm. 3.
[11]Muhammad Amin
Suma, Menggali Akar Mengurangi Serat Ekonomi & Keuangan Islam.
Tangerang: kholam Publishing, 2008, cet. ke-1, hlm. 45 dan 47-48.
[12]Hafidz
Abdurrahman, Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam, Bogor: Al-Azhar Press,
2011, cet. ke-1, hlm. 44.
[13]Taqiyuddin
An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur
Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 52.
[14]Sedangkan
ekonomi politik adalah ilmu maupun pengetahuan yang menyangkut studi tentang hubungan timbal balik
yang saling mempengaruhi antara faktor ekonomi dan faktor politik (Rachmat
Hidayat, “Ekonomi Politik 1”, makalah).
[16]Endah
Kartikasari, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang, Bogor: al-Azhar
Press, 2010, cet. ke-1, hlm. 46.
[17]Taqiyuddin
An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur
Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 52-53.
[19]Ibid.
[22]Veithzal Rivai,
dkk., Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012,
cet. ke-1, hlm. 482-484.
[23]Muhammad
Sholahuddin, “Politik Ekonomi Negara Khilafah”, al-wa’ie, XII,
(5-31Juli, 2012), hlm. 15.
[25]Muhammad Nasib
Al-Rifai’, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4,
Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 647. Harta fai’, menurut Imam Al-Mawardi mencakup kharaj, jizyah,
usyur dan seperlima ghanimah yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya
(Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara
dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000,
hlm. 249).
[26]Muhammad Nasib
Al-Rifai’, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4,
Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 647.
[27]Abdurrahman bin
Nashir Al-Sa’di, Tafsir Al-QuranJilid
7, Jakarta: Darul Haq, 2012, hlm. 219.
[28]Muhammad Ali
Al-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir, Kairo: Dar al-Shabuni, tt., hlm.
350-351.
[29]Sayyid Tahir
dalam Monzer Khaf, Lesson in Islamic Economic, IRTI & IDB, 1998,
hlm. 427.
[30]Zaki Fuad
Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga, hlm. 48.
[32]Jabirah bin
Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab, Jakarta: Khalifa,
2003, hlm. 255.
[35]Abdurrahman
Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: al-Izzah. Terjemahan oleh Ibnu
Sholah, Bangil: al-Izzah, 2001, cet. ke-
1, hlm. 41.
[38]Taqiyuddin
An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur
Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 59-60.
[41]Ibid.
[43]Muhammad
Sholahuddin, “Politik Ekonomi Negara Khilafah”, al-wa’ie, XII,
(5-31Juli, 2012), hlm. 15.
[46]‘Usr
diambil dari ahli dzimmi sebesar setengah ‘usr dan dari orang
Islam setiap 40 dirham sebanyak satu dirham (seperempat ‘usr (Akhmad Alim, Studi
Islam IV Islamisasi Ilmu Ekonomi, Bogor: Pustaka al-Bustan, 2012, hlm.
122 dan Tim Penulis Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariat Islam,
2002, hlm. 219).
[47]Dimodifikasi
dari Endah Kartikasari, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang,
Bogor: al-Azhar Press, 2010, cet. ke-1, hlm. 46.
[48]Asumsi 1 dinar
= Rp 2.000.000 (dibulatkan). Sedangkan Kurs dinar (1 dinar) = Rp 2.378.000
(Republika (Jakarta), 22 Maret 2013, hlm.15).
[49]Endah
Kartikasari, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang, Bogor: al-Azhar
Press, 2010, cet. ke-1, hlm. 140.
Categories: Jurnal