Krisis Ekonomi

Posted by Unknown on 00:56
Oleh: Muhammad Idris
(Mahasiswa Pascasarjana Ulil Albab Univ. Ibn Khaldun Bogor Magister Ekonomi Islam)




BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar  Belakang
Dalam beberapa dekade, fakta empiris menunjukkan bahwa tidak ada satupun  negara muslim yang berstatus negara berkembang memiliki rezim moneter konvensional yang stabil. Krisis demi krisis terus terjadi  dan  berulang, seperti di tahun  1930, 1940, 1950, 1960  1970, 1980, 1997 dan 2001. Krisis ekonomi menjadi momok bagi setiap negara di dunia. Tidak kurang dalam tempo 100 tahun kita telah berjumpa krisis ekonomi selama 4 kali dalam skala global. Ini belum krisis ekonomi dalam skala lebih kecil yang terjadi setiap tahunnya (inflasi, deflasi, penurunan nilai mata uang dan lain-lain) di berbagai belahan duna.[1]

Dewasa ini umat Islam lebih sering di pandang sebelah mata dalam menghadapi problem ekonomi karena kemampuannya tidak representatif dalam membangun kekuatan ekonomi. Padahal umat Islam adalah penduduk mayoritas yang justru langsung bersentuhan dengan problem ekonomi bangsa.
Dalam perkembangannya, sistem ekonomi yang berkembang pada saat ini malah memperkeruh dan menimbulkan banyak krisis seperti: Inflasi, Krisis Moneter Global, Kelaparan Kelangkaan Bahan Bakar, Kemiskinan bertambah dan kriminalitas bermunculan dimana- mana. Ini semua di sebabkan sistem ekonomi yang dianut sekarang ini  telah lepas dari ruh Islamiyah yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah.[2]
Selama beberapa abad wacana ekonomi dunia lebih banyak di dominasi oleh kaukus ekonomi, yaitu kapitalis dan sosialis. Dengan klaim-klaim universalitasnya telah merambah keseluruh negara di dunia ini, termasuk negara – negara yang berbasis Islam.[3]
Dunia Islam sendiri tidak bisa berbuat banyak karena powernya sendiri telah di renggut oleh “tangan – tangan” kaum imperialis. Akibatnya, mau tidak mau, masyarakat Islam harus dengan lapang dada menerima sistem ekonomi yang telah berkembang secara universal. Dan berbagai interpretasipun bermunculan yang hanya sekedar menyelaraskan Islam dengan universalitas sistem ekonomi itu. Meskipun pada akhirnya itu semua menjadi bumerang bagi umat Islam sendiri. Karena sistem ekonomi, khususnya kapitalis dan sosialis yang selama ini di terapakan di negara Islam terbukti tidak bisa meningkatkan taraf hidup umat Islam malah sebaliknya membelit kehidupan mereka. Sistem kapitalis telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik materiil maupun spiritual.[4]
Negara Indonesia adalah merupakan salah satu negara besar di dunia, yang bisa dikatakan sistem ekonominya sangat timpang, hal ini di sebabkan oleh struktur ekonomi yang strategis di kuasai oleh kaum feodal dan masyarakat modern yang menerapkan sistem konvensional (Ribawi). Sebagian orang membumbung ke atas dengan kekayaan yang melimpah, sementara sebagian yang lain terperosok ke jurang kemelaratan yang dideritanya. Hal ini telah menyebabkan ketimpangan persaingan ekonomi yang semakin tajam. Dalam hal ini sumber daya ( SDM ) dan modal yang kuat semakin diuntungkan, sedangkan ( SDM ) dan modal yang kecil akan menjadi korbannya. Akhirnya, sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa diatas penderitaan orang lain yang nota bene mayoritas dari masyarakat kecil.[5]
Maka dalam hal ini berlaku hukum yang kuat memakan yang lemah, dalam tatanan ekonomi bangsa kita. Maka dalam kondisi ini yang lebih di untungkan kaum atau kelompok yang memiliki modal yang besar. Padahal untuk memperbaiki sistem perekonomian yang timpang ini, tidak hanya sekedar meningkatkan produksi kekayaan saja, tetapi bagaimana mendistribusikan secara optimal. Dengan kata lain, pendistribusian secara adil dan merata adalah cara yang paling efektif dalam menanggulangi krisis ekonomi dikalangan masyarakat. Sebab, peningkatan produksi tidak akan meningkankan taraf hidup tanpa di imbangi dengan pendistribusian kekayaan secara adil dan merata. Seperti yang termaktub dalam ayat  Al-Qur’an surat Ar- Rahman :
 وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (٧) أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (٨) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ  وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (٩)
(7). Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). ( 8). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.  (9). Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.[6]

Dalam hal inilah, penggalian terhadap nilai – nilai dasar Islam yang telah tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah harus segera dilakukan mengingat betapa besar perhatian Islam dalam urusan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

B.        Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.    Bagaimana konsep Al-Qur’an dan sunnah dalam menghadapi krisis ekonomi yang melanda ?
2.    Bagaimana implementasi konsep Al-Qur’an dan sunnah dalam kegiatan berekonomi?
BAB II
KAJIAN  TEORITS
Pasti kita pernah mendengar istilah krisis ekonomi, lalu apa sebenarnya pengertian krisis ekonomi? Definisi krisis ekonomi adalah istilah yang digunakan pada bidang ekonomi dan mengacu pada perubahan drastis. Kemerosotan dalam kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan depresi, sebagai  akibat dari kepekaan dalam kegiatan ekonomi bebas.[7] Sedangkan dalam kamus bahasa inggris adalah long-term economic state characterized by unemployment and low prices and low levels of trade and investment.[8]
Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: "Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi".
Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidak seimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan proverti), sehingga potret ekonomi dunia seperti ekonomi balon (bublle economy). Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.[9]
Robin Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis:Understanding the Global Economic Crisis (2000), mengatakan “bahwa globalisasi - khususnya dalam financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam pasar uang dengan kegiatan spekulasi untuk menumpuk kekayaan mereka tanpa kegiatan produksi yang riil”. Sedangkan menurut Cristofarm Buarque seorang ekonom Brazil dalam bukunya The End of Economic: Ethics and The Disorder of Progress yang mengatakan “penyebab krisis ekonomi yang terjadi disebabkan oleh pandangan yang terletak pada pengabaian nilai-nilai sosial dan etika”.[10] Ditambah lagi oleh ekonom yang bernama Amitai Etzioni yang mengatakan “bahwa krisis terjadi karena paradigma neoklasik yang bersifat individualistis, rasionalistis, dan utilitarian yang telah mengakar yang diterpakan tidak saja di dunia ekonomi, melainkan juga ke pada hubungan-hubungan sosial”.[11]
Mansour Fakih, dalam buku terakhirnya “Bebas dari Neoliberalisme” mengajukan pertanyaan yang cukup menggigit, kenapa kita miskin. Bagi Mansoer Fakih, kemiskinan bukanlah takdir. Kemiskinan terjadi bukan semata-mata karena kebodohan, kemalasan, atau karena lemahnya sumberdaya manusia. Kita, menurut Mansour, “dimiskinkan” oleh sebuah kebijakan sistematik. Kebijakan yang membuat kita miskin itu adalah “Neoliberalisme”. Neoliberalisme lebih lanjut merupakan ideologi dibalik munculnya fenomena globalisasi. Dari kacamatanya yang Marxis, Mansour melihat globalisasi sebagai kelanjutan pola dominasi para pemilik modal, orang-orang kaya, terhadap orang lemah.
              Sementara menurut Monzer Kahf penyebab krisis ekonomi yang melanda adalah salah satu kemalasan dan kealfaan manusia dalam usahanya untuk mengambil manfaat manfaat sebesar-besarnya dari anugerah Allah, baik dari sumber manusiawi maupun dari sumber alami.[12]
.           Menurut Friedman (1982) sebagaimana yang dikutip Umer Chapra attributed the unprecedentedly erratic behavior of the US economy to the behavior of interest rates. Tingginya volatilitas dari interest rate mengakibatkan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam financial market sehingga investor tidak berani untuk melakukan investasi-investasi jangka panjang. Akibat dari ketidak pastian ini menggiring borrower maupun lender lebih mempertimbangkan pinjaman maupun investsi jangka pendek yang pada gilirannya membuat investasi-investasi jangka pendek yang berbau spekulasi lebih manarik, sehingga masyarakat lebih senang mengambil keuntungan pada pasar-pasar komoditi, saham dan valuta asing. Keadaan tersebut membuat pasar-pasar tersebut semakin aktive dan memanas yang merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan ekonomi dunia saat ini.[13]
              Sementara itu, menurut para pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan)dan sektor riel yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor keuangan berkembangcepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riel. Bahkan ekonomi kapitalis, tidak mengaitkan sama antara sektor keuangan dan sektor riil.
              Terjadinya krisis ekonomi dalam persepktif Islam tidak terlepas dari praktek-praktek ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti perilaku  riba (dalam makna yang luas), monopoli, korupsi, dan tindakan malpraktek lainnya. Bila pelaku ekonomi telah terbiasa bertindak di luar tuntunan ekonomi Ilahiah, maka tidaklah berlebihan bila krisis ekonomi yang melanda kita adalah suatu malapetaka yang sengaja diundang kehadirannya akibat ulah tangan jahil manusia sendiri.[14]
              Hal ini seperti disinyalir Allah SWT dalam Surat Ar-Rum ayat 40: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mareka kembali (ke jalan yang benar)".
Kejahilan manusia ini terjadi tidaklah terlepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri ketimbang kemaslahatan umat sehingga mareka tidak mahu mendengar panduan Ilahi, seperti disebutkan dalam dua ayat berikut ini: "...Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi Allah dengan berbuat kerusakan" (Q.S. Al-Baqarah: 60)."....dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan"(Q.S. Asy-Syu'ara: 183) ".
Melakukan praktek ekonomi yang bertentangan dengan syari'at Islam seperti disebutkan dalam ayat-ayat di atas merupakan suatu tindakan yang tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga akan merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi umat secara menyeluruh. Karena setiap aturan Ilahiah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi umat baik di dunia mahupun di akhirat kelak.[15]
Sebaliknya, pelanggaran syari'at Islam baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak, pasti akan mengundang malapetaka (ganjaran setimpal) langsung atau tidak langsung dari Allah swt. Krisis ekonomi adalah merupakan salah satu contoh malapetaka atau cobaan Tuhan terhadap makhluk-Nya yang telah terlalu jauh melaksanakan aktivitas ekonomi menyimpang  dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, seperti melegalkan riba merajelala berlaku di tengah-tengah ekonomi umat.

           




BAB III
PEMBAHASAN

Dalam konteks pergeseran pemikiran tentang landasan pembangunan secara konvensional yang materialis mengabaikan agama, pemikiran Islam memberikan harapan besar dan menjawab tantangan atau memenuhi kecenderungan baru untuk melakukan koreksi asumsi pembangunan ekonomi saat ini. Sistem nilai dan etika yang ditawarkan oleh Islam sangat berbeda dengan etika nilai yang diusung oleh kapitalisme dan sosialisme. Ketiadaan aspek spiritual yang transenden tampaknya merupakan sifat dasar yang membedakan.[16]

A.        Penyebab krisis ekonomi menurut Al-Qur’an dan Sunnah

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(Al-Baqoroh:275)

Ayat ini merupakan ayat madaniyah, yakni diturunkan setelah hijrah nabi ke madinah tentang keharaman riba dan perbedaannya dengan jual beli. Kemudian Allah menganjurkan umatnya untuk bersedekah dan tidak membebani mereka yang sedang susah untuk membayar uang dari tambahan dari pokok utang.
Ibnu katsir menjelaskan bahwa maksud ayat adalah mereka yang makan harta riba tidak akan bangkit dari kubur melainkan seperti berdirinya orang gila dan syaitan merasukinya. Ibnu abbas juga mengatakan bahwa pemakan harta riba akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan gila dan dirasuki oleh syaitan. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haitam.[17]
Imam Qatadah  berkata:“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta riba.”[18]
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu hurairoh  bahwa rosulloh SAW bersabda :
أتيت ليلة أسري بي علي قوم بطونهم كالبيوت, فيها الحيات ترى
من خارج  بطونهم,فقلت : من هؤلاء يا جبريل ؟ قال : هؤلاء
أكلة الربا. 
Pada malam aku ( rosulloh ) di isro’kan, aku melewati sebuah kaum diman perut   mereka seperti rumah, didalamnya terdapat ular – ular yang dapat dilihat dari luar perut mereka, kemudian aku bertanya : Siapa mereka ini wahai ya rosulloh? Ia menjawab: “ Mereka ini adalah pemakan riba.”(HR Ibnu Majah).

 Ibnu abbas juga mengatakan dalam tafsirnya bahwa pemakan harta riba akan dibangkitkan dari kubur melaiakan seperti berdirnya orang  gila didunia.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ   أَعْمَى (١٢٤) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (١٢٥)

Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (125).  Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam Keadaan buta, Padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?"(Toha: 124-125).

Maksud ayat  وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي menerangkan yaitu mereka menentang perintah-Ku dan apa yang telah saya turunkan kepada Rosul-Ku, ia juga berpaling serta mengambil petunjuk selain petunjukKU. sedangkan yang dimaksud dengan kehidupan sempit diartikan kehidupan yang sempit didunia sehingga tidak ada kelapangan didada, dadanya terasa sempit dan menyesakkan karena kesesatanya, walaupun secara lahiriyah senang memakai baju sesuka hatinya, makan dan bertempat sesukanya, namun selam hatinya tidak tulus menerima petunjuknya niscya ia akan mengalami kegoncangan, keraguan. Yang demikian itu dalam merupakan dalam kesempitan hidup.[19]
Sedangkan Ali bin Abi thalhah meriwayatkan dari Ibun Abbas, ia berkata : yaitu hidup sengsara, sedangkan Adh – Dhahah  mengatakan yaitu perbuatan jahat dan rizki yang buruk. Hal itu juga sama dikemukan oleh oleh Ikrimah dan malik Bin Dinar. Sedangkan Al Bazzar meriwayatkan dari Abi Hurairoh dari Nabi SAW, beliau berkata :yaitu azab kubur” ( Sanad hadist ini jazid )
Mujahid Abu shaleh, As suddi : yakni tidak ada hujjah baginya, sedangkan Ikrimah mengatakan: dibutakan matanya dari segala sesuatu kecuali api neraka jahanam. Mungkin hal itu berarti bahwa ia akan dibangkitkan dan dihimpun menuju neraka dalam keadaan duta mata dan hatinya. Seperti firman Allah dalam surat Al- Isro’ ayat 97.[20]
Itulah Akibat orang – orang yang telah berpaling dari ayat – ayat Allah dan memperlakukannya  seperti  orang yang belum pernah mendengarnya setelah disampaikan   kepadamu,  kamu  berpaling,  mengabaikannya,  maka seperti pula lah kami memperlakukan  orang yang melupakan, karena balasan yang setimpal baginya.
Sedangkan menurut Hadits hadits riwayat al-Thabarani dari Ibn Abbas penyebab krisis sebagai berikut :
حَدَّثَنا مُحَمَّد بن عَلِي الْمَرْوَزِي ثَنَا أبُو الدَّرْداء عَبْد العَزِيْز بن المنيب حدثني إسحاق بن عبد الله بن كيسان حدثني أبي عن الضحاك بن مزاحم عن مجاهد وطاوس عن بن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  خَمْسٌ بِخَمْسٍ: مَا نَقَضَ قَومٌ العَهْدَ إِلاَّ سُلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوُّهُمْ وَمَا حَكَمُوْا بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ الله إِلاَّ فَشَا فِيْهِمُ الفَقْرُ وَلاَ ظَهَرَتْ فِيْهِمُ الفَاخِشَةُ إِلاَّ فَشَا فِيْهِمُ المَوتُ وَلاَ طَفَّفُوْا المِيْكَالَ إِلاَّ مُنِعُوْا النَّبَاتَ وَأُخِدُوْا بِالسِّنِيْنَ وَلاَ مَنَعُوْا الزَّكَاةَ إِلاَّ حُبِسَ عَنْهُمُ القَطْرُ.
Lima (perkara dibalas) dengan lima (perkara): (1) suatu kaum tidak menyalahi janji melainkan musuhnya dimenangkan atas mereka, (2) mereka tidak menghukumi dengan selain yang diturunkan oleh Allah melainkan merata kefakiran, (3) tidak terang-terangan perzinaan pada mereka, melainkan merata kematian pada mereka, (4) mereka tidak mengurangi takaran/timbangan melainkan dihalangi tumbuh-tumbuhan dan dikenai tahun-tahun paceklik, dan (5) mereka tidak menahan zakat melainkan ditahan hujan dari mereka. (Hr. Thabrani).[21]
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani melalui jalur muhammad bin Ali al-Marwazi, Abu Darda Abd al-Aziz bin al-Munib, Ishaq bin Abd Allah bin Kiysan, dari ayahnya, dari al-Dlahak bin Muzahim, dari Mujahid dan Thawus, dari Ibnu Abbas. Oleh As-Suyuthi dikutip dalam kitabnya Al-Jami’ushshaghir pada bab الخاء  sebagai hadits urutan ke 3945, dengan memberikan penilaian sebagai hadits shahih. Ali Bin Ahmad al-Azizi, memberikan penilaian sesuai dengan al-Suyuthi. Sedangkan  Nashiruddin Al-Bani menilainya sebagai hadits Hasan.
Hadits yang diterima dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Thabrani ini mengandung makna bahwa lima pelanggaran akan mengakibatkan lima bencana krisis. Lima pelanggaran itu adalah : yaitu menyalahi janji, mengakibatkan krisis kepemimpinan, menetapkan hukum tidak bersumber pada hukum Allah, mengkaibatkan krisis ekonomi, perzinahan atau penyimpangan seksual, mengakibatkan krisis hidup sehingga banyak kematian baik karena banyak penyakit atau pun pembunuhan, curang dalam timbangan dan ukuran, mengakibatkan paceklik yang berkepanjangan sehingga menimbukan krisis atau rawan pangan, dan  menahan harta zakat, mengakibatkan krisis air.
Sedang dari ayat lain:
عَرَضْنَا الأمَانَةَ إِنَّا عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا     وَحَمَلَهَا الإنْسَان إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا (٧٢)
 Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.( Al- Ahzab :72).

Sedangkan dalam ayat lain disebutkan :
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ (٦١)
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."

Dan dalam hadits yang berbunyi :
وثلاث مهلكات : شح مطاع , وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه
Ada tiga perkara yang merusak, yaitu kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan, dan kagum terhadap dirinya sendiri(ujub).(HR Al-bazzar}

Sifat kikir yang kelewat batas samapai kebakhilan terhadap sendiri juga merupakan sikap tercela pada hal Allah sangat menyukai bukti kenikmatanNYA terlihat pada hambnaya. Barang siapa kikir terhadap dirinya dan keluarganya pasti lebih kikir terhadap kerabatnya, orang miskin, anak yatim serta yang lainnya. Imam at- Thobari berkata:”Nafkah dimulai dari keluarga dirinya sendiri. Memberi nafkah kepada pribadi termasuk kewajiban yang besar dibanding keluarga, tidak dibenarkan seseorang menghidupi orang lain dengan merusak dirinya sendiri.”[22]
Dari pemaparan diatas krisis yang melanda saat ini  yaitu menyalahi janji, mengakibatkan krisis kepemimpinan, menetapkan hukum tidak bersumber pada hukum Allah, perzinahan atau penyimpangan seksual, mengakibatkan krisis hidup sehingga banyak kematian baik karena banyak penyakit atau pun pembunuhan, curang dalam timbangan dan ukuran, mengakibatkan paceklik yang berkepanjangan sehingga menimbukan krisis atau rawan pangan, dan  menahan harta zakat, mengakibatkan krisis air.

B. Konsep Al-Qur’an dan sunnah dalam menanggulangi krisis
Islam mengambil suatu kaidah terbaik antara dua pandangan yang ekstrem (kapitalis dan komunis) dan mencoba membentuk keseimbangan di antara keduanya ( kebendaan dan rukhaniah).[23] Keberhasilan sistem ekonomi Islam tergantung pada seberapa jauh penyesuaian yang dapat di perlukan kebendaan dan keperluan ruhani atau etika yang diperlukan oleh manusia. Sumber pedoman ekonomi Islam  adalah Al-Qur’an dan sunah Rosul, yaitu:
Pertama : pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat sementara dan relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya)
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ (٧)
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya (1456). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Al Hadid: 7)

(1456). Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.

Firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat:284
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٨٤)
284. kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqoroh : 284)
Dari ayat diatas dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan Allah dalam: Esa dalam kekuasaan-Nya,  Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini. Allah Esa dalam memiliki seluruh makhluk, maksutnya hanya Allah sajalah yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam ini, tidak ada sesuatu pun yang bersekutu dengan Dia.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata: “Tatkala Allah menurunkan ayat ini kepada Rosul, maka sahabat merasa bebannya bertambah berat, lalu mereka menghadap Rosulloh dan berkata: “Kami telah dibebani dengan pekerjaan yang sanggup kami kerjakan seperti sholat, puasa, jihad, sedekah, dan kini turun pada ayat ini yang kami tidak sanggup melaksanakannya. Maka Rosulloh bersabda: “Apakah kamu hendak mengatakan seperti perkataan ahli kitab sebelum kamu, mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami durhaka.”Katakanlah; “Kami dengar dan kami taat, kami memohon ampunan-Mu.[24]
Sedangkan dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rosululloh bersabda
(لا تزول قدماء عبد بوم القيامة حتى يسأل عن أربع عن عمره أفناه وعن جسده فيما أبلاه وعن ماله من أين إكتسبه وفيما وضعه وعن علمه ماذا عمل فيه )  
Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal yaitu usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dia pergunakan.

Kedua : status harta yang dimiliki oleh manusia adalah sebagai amanah dari Allah, manusia hanya pemegang amanah karena manusia tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dan juga harta sebagai perhiasan hidup yang mungkin manusia bisa untuk menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Seperti firman Allah :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (١٤)
14. dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(Ali-Imron:14)

   (186) Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.[25]

Ketiga : pemilikan harta dapat diakukan antara lain melalui dengan usaha atau mata pencarian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang mendorong umat Islam bekerja mencari nafkah secara halal
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (١٥)
15. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. ( Al Mulk:15)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (٢٦٧)
267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.( Al Baqoroh : 267)

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad yang berbunyi“ Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka seperti mujahid dijalan Allah. “ Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh thobroni “Mencari rizki yang halal adalah kewajiban yang lain”.
Keempat : dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan Allah dengan segala ketentuannya-Nya, melupakan sholat dan zakat, dan memusatkan kekayaan pada kelompok tertentu. Seperti firman Allah :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)
 Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.(al-Hasyr:7)

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (١)حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (٢)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu(1598), 2. sampai kamu masuk  ke dalam kubur. ( at-Takaatsur : 1-2 )

(1598)Maksudnya: Bermegah-megahan dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya telah melalaikan kamu dari ketaatan. Dan keinginan manusia untuk untuk bermegah-megah dalam soal dunia, sering melalaikan manusia dari tujuan hidupnya. [26]

Kelima: dilarang menempuh menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjuadian, berjual beli dengan barang haram, curang dalam timbangan melalui dengan cara yang bathil dan merugikan orang lain.
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١)الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢)وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣)أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤)لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥)يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (٦)
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang(1561). 2. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(3). Dan apabila mereka menakar atau   untuk orang lain, mereka mengurangi.(4). Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,.(5). pada suatu hari yang besar, 6. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?(Al-Muthofifin:1-6)

(1561). Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.[27]
            Ayat ini berisi tentang ancaman-ancaman  bagi orang-orang yang merugikan orang lain dalam timbangan, ukuran dan takaran catatan kejahatan manusia di catumkan di dalam sijiiin sedangkan catatan kebaikan manusia di catat di dalam ‘illiyyiin yaitu balasan dan macam-macam kenikmatan bagi orang yang berbuat baik.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( Al maidah : 38 )

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)
188. dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.( Al Baqoroh:188)

Yakni kalian mengetahui kebatilan apa yang kalikan dakwakan dan kalian palsukan apa yang kalian ucapkan. Qotadah mengatakan”ketahuilah wahai anak adam, bahwa keputuusan tadi  tidak menghalalkan apa yang kamu haramkan dan tidak pula membenarkan apa yang kamu haramkan.
            Maka dari konsep yang ditawarkan dalam rangka mencegah terjadinya krisis adalah: didalam mencari rizki didasari rasa keimanan ke pada Allah, memegang amanah, mencari rizki yang disyariatkan oleh agama, tidak melupakan Allah disaat mencari rizki, dilarang menempuh usaha yang dilarang agama.















BAB IV
IMPLEMENTASI AL –QUR’AN DAN SUNNAH DALAM KEHIDUPAN BEREKONOMI

Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi robbani dan insani. Disebut ekonomi robbani karena syarat dengan arahan dan nilai – nilai Ilahiyah. Dikatakan ekonomi insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia.[28] Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang muslim, apakah ia seorang pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang teguh pada tuntunan Allah.
A. Keadilan Sosial
            Islam menganggap umat manusia didunia adalah keluarga, karenanya, semua anggota keluarga ini adalah sama derajatnya dihadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan antara kaya dan miskin, dan tidak pula membedakan antara yang putih dan hitam. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketaqwaannya, ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada sesama manusia.[29] Firman Allah;

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٧٣)
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah (108). tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Al-Baqoroh:173)

                (108) Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah. Ayat ini mengandung prinsip  ganda yaitu mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang oleh Allah. Haram menurut ayat ini termasuk juga daging sembelihan yang menyebut nama Allah dan selain Allah. Pelarangan dikaitkan dengan dengan yang dimaksut  berbahaya bagi jiwa, terkait dengan moral dan spiritual (mempersekutukan Allah).[30]
Rosulloh bersabda :
إن الله لا ينظر إلى صوركم و أموالكم ولكن إنما ينظر إلى أعمالكم وقلوبكم
(Sesungguhnya Allah tidak melihat pada wajah dan kekayaanmu, tapi  pada hati dan perbuatan ( yang ikhlas ).” ( HR Ibnu Majah)

Sifat – sifat tersebut cerminan dari ketakwaan seseorang, perlakuan adil akan membawa kesejahteraan, karena kesejahteraan rakyat sangat bergantung pada diberlakukannya hukum Allah dan dihilangkan ketidakadilan.

B. Keadilan Ekonomi
            Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi individu dalam masyarakat dan dihadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut, keadialan sosial kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat. Isalam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain. Seperti firman Allah
وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ (١٨٣)
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.(asy-Syuaraa: 183)

                Konsep keadialan ekonomi dalam Islam mangharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak atau bagian orang lain.

Rosulloh mengingatkan dalam haditsnya :
( قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيها الناس اتقوا الظلم فإنه ظلمات يوم القيامة
Wahai manusia, takutlah akan kezaliman ( ketidakadilan ) sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada Hari Pembalasan nanti.”( HR Imam Ahmad)[31]

Dan sabda Nabi :                                                                                            
 وعن أببى هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا يمنع الماء والنار والكلأ
Dari abu hurairoh bahwasanya nabi Muhammad bersabda : tidak akan pernah dilarang  air, padang rumput, dan api ( untuk siapapun )

                Peringatan akan ketidakadilan dan eksploitasi ini dimaksudkan untuk melindungi hak – hak individu dalam masyarakat, dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama agama Islam.

C. Keadilan Distribusi Pendapatan
            Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat, berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadapa persaudaraan dan keadilan sosiaol-ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan cara yang ditekankan oleh Islam yaitu: menghapus monopoli kecuali pemerintah, untuk bidang tertentu, menjamin hak untuk kesempatan dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun konsumsi. Melaksanakan amanah at-takaful al-ijtima’i atau sosial economic security insurance di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu. Seperti firman Allah :
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (٣٢ (
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.( az- Zukhruf : 32)


Dan sabda Nabi yang berbunyi :
إن الله يحب العبد التقي الخفي

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, kaya, lagi  menyembunyikan ( simbol-simbol kekayaannya).” ( HR Muslim)

            Jika seluruh ajaran Islam (termasuk pelaksanaan syariah serta norma keadilan) diterapkan, kesenjangan kekayaan serta pendapatan yang mencolok tidak akan terjadi dalam masyarakat.
                Maka dari implementasi dapat kita ambil kesimpulan bahwa Al-quran dan sunnah telah memberikan aturan atau rambu-rambu didalam mencari penghidupan yaitu: mengedepankan ukhuwah islamiyah tidak ada perbedaan antara sikaya dan simiskin didalam menggunakan sumber alam yang ada,  perlakuan yang sama bagi individu dalam masyarakat dan dihadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi, menjamin hak untuk kesempatan dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun konsumsi. Melaksanakan amanah at-takaful al-ijtima’i atau sosial economic security insurance di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.




BAB V
PENUTUP

Mengakhiri makalah ini, penulis mengetahkan kesimpulan dari seluruh pembahasan, disertai dengan saran-saran yang bisa diharapkan memberikan yang diharapkan.

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa penyebab terjadinya krisis ekonomi adalah  praktek ribawi yang  diterapkan dalam aktivitas perekonomian, masih banyak para  pelaku ekonom melanggar janji, melanggar hukum Allah, tidak berlaku adil didalam mencari penghidupan, kecurangan dalam timbangan dan ukuran, menahan harta zakat.
            Dan dalam Al-Qur’an juga telah memberikan arahan-arahan terhadap umatnya didalam urusan didunia, dimana umat islam harus saling menjaga ukhuwah yang tidak membedakan antara satu dengan yang lain, pengakuan yang sama bagi individu dalam masyarakat  dihadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi, menjamin hak untuk kesempatan dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun konsumsi. Melaksanakan amanah at-takaful al-ijtima’i atau sosial economic security insurance di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.
B.  Saran-saran
Berdasarkan pembahasan ini, maka penulis mengajukan beberapa saran yang diharapakan dapat memberikan masukan khususnya bagi penulis dan umumnya masyarakat, maka saran-saran penulis sebagai berikut:
1.    Untuk pemerintah
Diharapkan bagi siapa saja yang duduk ditampuk kepemimpinan nasional, baik itu menteri, anggota DPR selaku pemegang kebijakan, hendaknya mau menyadari masalah-masalah nyata yang ada, lalu secepat mungkin mengatasinya, kalau memang mereka para pemimpin benar-benar ingin melaksanakan tugas mulia sebagai mana yang diamanatkan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. 
2.    Untuk  Kampus (Akademik)
Diharapkan setiap lembaga pendidikan untuk turut serta mengembangkan dan mempopulerkan ilmu ekonomi Islam secara komprehensif dengan menawawarkan kurikulum  dan silabus yang diajarkan pada lembaga-lembaga internasional, dan juga mengintegrasikan ilmu ekonomi, fiqih, ushul fiqh, dan tentunaya Al-Qur’an dan sunnah sehingga para lulusannya mampu menggali sendiri sumber-sumber referensi ilmiah klasik dan modern.
3.    Masyarakat Umum
Dan untuk masyarakat umum khususnya umat Islam untuk lebih berhati-hati dan berusaha meningkatkan kesadaran ditengah kehidupan global yang sedang krisis ini, untuk mengembalikan segala problematika kehidupan pada nilai-nilai Islam. Ini dikarenakan karakteristik Islam yang kaya dengan hukum dasar ekonomi yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
















DAFTAR PUSTAKA

Agama  RI, Departemen, Al-Qur’an Terjemahan, Jakarta: Depag RI, 1999 
Ash-Shirbini, Muhammad. Khatib,  Al-Mu’jam al-Iqtishod al-Islami. Beirut: Dar Alamil Kutub, 1985
Al-Thabarani, Sulaiman ibn Ahmad Abu al-Qasim,  al-Mu’jam al-Kabir, XI h.45
At Thobroni, Al mu’jam Al ausath li at Thobroni, hadist no 5610
Afzalurrahman, Economic Doctrines in Islam, terj. Doktrin Ekonomi Islam,( Jakarta: Dana Bahkti Waqaf  Yogyakarta, 1995
Antonio, Muhammad  Syafi’i, M.Ec. Islamic Banking Dari Teori Ke Praktek,
Jakarta: Gema Insani, 2001
Buchari. Andi, M.M. Islamic Economic: Ekonomi  Syariah Bukan OPSI, Tetapi SOLUSI !, Jakarta: Sinar Grafika, 2009   
Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga  Kontemporer, Depok: Gramata Desain 2002 
Engglish Dictionary
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’an al- ‘Azhim, Dar Thayyibah li Ansyr wa At-Tawi’, Juz 1
Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta : Maktabah ar- Riyadh 2001.
Manan,  Abdul, Teori dan Praktek dasar-dasar Ekonomi Islam, Surabaya: Media Nusantara, 2002
Nawawi, Ismail, MPA., M.Si. Pembangunan  Dalam  Perspektif  Islam, Surabaya : Putra Media Nusantara,2109
Poerwadarminta, Kamus  Umum  Indonesia,  Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Rohwer J, Asia Rising,  Why America will Prosper  as Asia’s  Economic Boom, New York, Simon and Schuster, 1995
Website:www.tafseer.info





[1] J. Rohwer , Asia Rising Why America will Prosper  as Asia’s  Economic Boom, New York, Simon and Schuster, 1995
[2]  Said  Sa’ad  Marthon,  Ekonomi Islam:Di Tengah Krisis Ekonomi Global,  (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), hlm. 17
[3]   Euis Amalia,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam : Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer ( Depok : Gramata Desain 2002 ) hlm. 297
[4]  Andi Buchari,  Islamic Economic : Ekonomi  Syariah Bukan OPSI, Tetapi SOLUSI !, Jakarta : Sinar Grafika, 2009  hlm 268 
[5]  Ibid., hlm. 269
[6]  Al-Qur’an Terjemahan  Departemen  Agama  RI
[7]  WJS. Poerwadarminta, Kamus  Umum  Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1976 ).
[8]  Engglish Dictionary
                [9] http://www.pesantrenvirtual.com/index. diakses pada Jum”at,23 Februari 2013, pukul 13.30.

[10]  Lihat,”Crisis in Economy and or Economics”oleh Wilfred Beckermen, New York, New Statesmen(London,23 January 1976).
[11]  Amitay Et Zioni, The Moral Dimension: Toward a new Economic( New York, McMillan,1988) hlm. ix
[12]  Euis Amalia, Sejarah Islam,................,hlm. 312
 [13] Umer Chapra, Masa Depan............hlm 149
[14] Fazlur Rahman, Economic Doctrines in Islam, terj. Doktrin Ekonomi Islam,( Jakarta:Dana Bahkti Waqaf Yogyakarta, 1995), hlm. 30

[15]  Ibid,........hlm.56
[16]   H. Ismail Nawawi,  Pembangunan  Dalam  Perspektif  Islam ( Surabaya : Putra Media Nusantara,2i09), hlm. 56
[17]  Ibnu  Katsir, Tafsir Al-Qur’an al- ‘Azhim ( Dar Thayyibah li Ansyr wa At-Tawi’), Juz 1, hlm 708

[18]  Lihat Al-Kaba’ir, Imam Adz-Dzahabi, hal. 53).

[19]   Ibid.............., Juz 16, hlm 424
[20]  Ibid.,.........., hlm. 425
[21]  Al-Thabarani, Sulaiman  Ibnu  Ahmad  Abu al-Qasim,  al-Mu’jam al-Kabir, XI h.45
[22]  At Thobroni, Al mu’jam Al ausath li at Thobroni, hadist no 5610
[23]  H. Andi Buchari, M.M. Islamic Economic.........,hlm. 257
[24]  Ibid.,....., hlm. 170
[25]  Al-Qur’an Tejemahan, Departemen Agama RI, Jakarta:Depag RI, 1999
[26]  Website:www.tafseer.info
[27]  Ibid, Al-Qur’an Terjemahan Depag
[28]  Andi Buchari, M.M. Islamic Economic : Ekonomi  Syariah......,hlm 94
[29]  Muhammad  Syafi’i Antonio, M.Ec. Islamic Banking Dari Teori Ke Praktek
( Jakarta : Gema Insani, 2001)  hlm. 16
[30]  Abdul Manan, Teori dan Praktek dasar-dasar Ekonomi Islam (Surabaya: Media Nusantara, 2002), hlm. 65
[31]  Muhammad. Khatib Ash-Shirbini,  Al-Mu’jam al-Iqtishod al-Islami. Beirut: Dar Alamil Kutub, 1985
Categories: