Konsep Harta
Posted by Unknown on 01:17
Oleh: Hasnan Hanif
(Mahasiswa Pascasarjana Ulil Albab Univ. Ibn Khaldun Bogor Magister Ekonomi Islam)
BAB 1
PENDAHULUAN
(Mahasiswa Pascasarjana Ulil Albab Univ. Ibn Khaldun Bogor Magister Ekonomi Islam)
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pokok
permasalahan mendasar dari permasalahan ekonomi adalah bukan karena kelangkaan
sumber daya alam melainkan karena keserakahan umat manusia itu sendiri. Ia
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri sendiri.
Adalah Baqir
Al-Sadr telah membuat konsep ekonomi dengan bukunya yang fenomenal yaitu Iqtishaduna (ekonomi
kita) yang kemudian menjadi mazhab tersendiri. Menurut ia, perbedaan filosofi
akan berdampak pada perbedaan cara pandang dalam melihat permasalahan ekonomi.
Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia
yang tidak terbatas. Artinya adalah, manusia selagi mempunyai keinginan maka
keinginan itu mendorong mereka untuk memilikinya. Sementara sumber daya yang tersedia
untuk memenuhi keinginan mereka itu terbatas jumlahnya. Mazhab Baqir menolak
pernyataan ini, sebab Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas.
Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an [1]:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran. (Q.S Al-Qomar: 49)”
Dari
pernyataan di dalam bukunya tersebut telah mencuatkan nama Baqir Al-Sadr
sebagai teoritis kebangkitan Islam terkemuka. Pernyataan tersebut sangatlah
kontroversial karena Baqir Al-Sadr melihat dari sudut pandang wahyu. Allah SWT telah
menciptakan segala sesuatu dengan ukurannya. Allah yang maha kuasa tidak
mungkin membatasi ciptaanNya. Segala yang tersedia dibumi cukup untuk kebutuhan
manusia. Hanya saja manusia memiliki hawa nafsu dan menginginkan sumber daya (harta)
dengan serakah. Inilah yang menjadi penyebab kelangkaan sumber daya dalam ekonomi.
Pada saat ini
seringkali kita mengamati banyaknya masyarakat miskin yang tidak mempunyai
harta benda. Bahkan ada yang tergolong miskin absolut. Di Indonesia sendiri
masih terdapat masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri.
Baik itu kemiskinan yang terjadi di desa maupun di kota. Tentu kita bertanya –
tanya sesungguhnya apa yang terjadi ? mungkinkah faktor utamanya disebabkan
oleh kelangkaan sumber daya, ?. ataukah
ada faktor lain yang mempengaruhi kemiskinan.
Kemiskinan
merupakan masalah multidimensi yang kompleks. Yang tidak bisa dilihat hanya
dari satu dimensi. Kemiskinan tidak hanya terjadi pada negara berkembang bahkan
negara – negara maju walupun tidak sebesar negara berkembang.
Di Indonesia tercatat
penduduk miskin pada bulan September 2011 mencapai 29,89 juta orang. Yang
terdiri dari 11, 05 juta penduduk miskin di daerah perkotaan dan 18,97 juta
orang berada di daerah pedesaan[2].
Sisanya adalah masyarakat menengah keatas yang memiliki harta cukup bahkan
berlimpah. Harta tersebut hanya beredar diantara orang-orang kaya saja yang
menyebabkan gap antara si miskin dan si kaya. Yang kaya menjadi kaya dan
yang miskin tidak mempunyai kesempatan
untuk menaikkan status mereka.
Bahkan majalah
Forbes merilis orang terkaya di Indonesia sebanyak 40 orang pada tahun 2012. Total
kekayaan dari para konglomerat
yang terkaya di Indonesia di
Tanah Air itu diperkirakan mencapai US$ 88,6
Miliar atau Rp841,7 Triliun (kurs Rp9.500) [3].
Ini menunjukkan kepada kita dimana harta itu hanya
beredar diantara orang-orang kaya saja. Kalau disisihkan dari harta mereka
untuk didistribusikan kepada golongan miskin dapat kita pastikan sudah berapa
banyak yang masyarakat yang dapat keluar dari jerat kemiskinan.
Tidak itu saja
persoalan lain adalah masalah kepemilikan harta terdapat perbedaan yang tajam antara
teori ekonomi konvensional dengan teori ekonomi Islam terhadap kepemilikan
harta itu sendiri. Pertama, Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan
sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep kepemilikan harta. Pandangan
tentang kepemilikan harta berbeda antara sistem ekonomi Sosialis dengan sistem
ekonomi Kapitalis serta berbeda juga dengan sistem ekonomi Islam.
Kepemilikan
harta (barang dan jasa) dalam Sistem Sosialis dibatasi dari segi jumlah
(kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara (kualitas) memperoleh harta yang
dimiliki. Artinya dalam memperolehnya dibebaskan dengan cara apapun yang dapat
dilakukan. Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah
(kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya (kualitas)
tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu
kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta
dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara
tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada aturan halal dan haram). Demikian
juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta.
Dalam sistem ekonomi
Sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property), yang ada
hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata
kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah
menjadi kepemilikan individu.
Berbeda dengan
itu didalam Sistem Ekonomi Kapitalis dikenal kepemilikan individu (private
property) serta kepemilikan umum (public property). Perhatian Sistem
ekonomi Kapitalis terhadap kepemilikan individu jauh lebih besar dibandingkan
dengan kepemilikan umum. Tidak jarang kepemilikan umum dapat diubah menjadi
kepemilikan individu dengan jalan privatisasi. Berbeda lagi dengan Sistem
Ekonomi Islam, yang mempunyai pandangan bahwa ada kepemilikan individu (private
property), kepemilikan umum (public property) serta kepemilikan
negara (state property). Menurut Sistem ekonomi Islam, jenis kepemilikan
umum khususnya tidak boleh diubah menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan
individu.
Kedua, Perbedaan dalam hal konsep pengelolaan kepemilikan
harta, baik dari segi nafkah maupun upaya pengembangan kepemilikan. Menurut
sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, harta yang telah dimiliki dapat
dipergunakan (konsumsi) ataupun dikembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan
aspek halal dan haram serta bahayanya bagi masyarakat. Sebagai contoh, membeli
dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan,
bahkan upaya pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik minuman keras
dilegalkan dan tidak dilarang. Sedangkan menurut Islam harta yang telah
dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi) wajib
terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli,
mengkonsumsi barang-barang yang haram adalah tidak diperbolehkan. Termasuk juga
upaya investasi berupa pendirian pabrik barang-barang haram juga dilarang.
Karena itulah memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras
adalah sesuatu yang dilarang dalam sistem ekonomi Islam.
Di dalam Islam
harta sesungguhnya adalah milik Allah dan amanah yang diserahkan sepenuhnya
pengelolaan kepada manusia. Dalam ajaran Islam tidak dibenarkan manusia
memperoleh kekayaan sesuka hatinya tanpa diatur oleh seperangkat aturan.
Pengaturan diperlukan agar tidak terjadi gejolak sosial, kekacauan ditengah
masyarakat, dan kerusakan lingkungan. Islam mengakui hak-hak individu untuk
memiliki kekayaan akan tetapi setiap individu harus tunduk kepada batasan –
batasan agama agar kekayaan itu tidak membahayakan kepentingan bersama[4].
Merupakan fitrah
manusia didalam Islam untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu juga merupakan
fitrah manusia untuk memperoleh kekayaan dalam memenuhi kebutuhan. Hanya saja
dalam memperoleh harta tersebut tidak boleh sesukanya dan memanfaatkannya
sekehandak hati. Apabila dibiarkan begitu saja tentu kekayaan tersebut hanya
dimonopoli oleh orang – orag kaya saja
sedangkan orang – orang lemah akan binasa.
Harta dapat
menjadikan kebaikan dan keburukan. Orang yang menumpuk harta tanpa mengolahnya
dengan baik akan cenderung berfoya-foya, hidup mewah dan bakhil. Ketika ia
mengabaikan hak – hak kaum miskin yang terdapat dalam harta mereka maka ini
akan mengundang kecemburuan sosial. Kadang kita melihat banyak orang kaya
menghabiskan hartanya untuk hal-hal yang sebenarnya itu merupakan gaya hidup
seperti resepsi mewah, belanja keluar negeri. Padahal masih banyak orang yang
miskin yang butuh rasa kepedulian dari orang-orang kaya. Harta pun dapat
menjadi kebaikan sebagai penyuci jiwa manakala harta tersebut diberikan kepada
golongan yang tidak mampu. Maka, disinilah peran ekonomi Islam yang mengatur dari
kepemilikan harta, cara pengelolaan dan mendapatkannya. Ajaran tersebut
berlandaskan dari Al-Qur’an dan Hadits.
Pandangan
al-Qur’an terhadap harta dan kegiatan ekonomi dapat diuraikan dalam 5 hal: pertama,
pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, termasuk harta
benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia harus bersifat relatif,
sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuan Allah. Kedua, dari segi status harta dalam pandangan Islam,
ada 4 hal: 1) harta sebagai amanah (titipan) dari Allah. Harta sebagai
perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan
tidak berlebihan. 3) harta sebagai ujian keimanan. 4) harta sebagai bekal
ibadah. Ketiga, perolehan harta dapat dilakukan, antara lain melalui
usaha (a’māl ) atau mata pencaharian (ma’īsyah) yang halal dan
sesuai dengan aturan Allah secara sungguh-sungguh dan tidak boleh berputus asa.
Keempat dalam mencari harta, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti
melalui cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah:188), riba (Al-Baqarah:273-281),
perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (Al-Maidah: 90-91),
mencuri, merampok, tipu-menipu, suap-menyuap curang dalam takaran dan timbangan
(Al-Mutafifin:1-6). Kelima, harta yang diperoleh digunakan dan
diinfakkan secara berimbang, tidak kikir dan tidak pula boros, diutamakan
kerabat dan ketika berinfak jangan diikuti dengan celaan dan hinaan.
Dari sisi
lain, harta termasuk salah satu sendi kehidupan manusia di dunia ini, karna
tanpa harta, khususnya makanan, manusia tidak akan bertahan hidup. Oleh karena
itu Al-Qur’an memberikan pedoman tentang harta, pemilik harta, status harta,
bagaimana cara memperolehnya, cara memfungsikannya dan pedoman menginfakannya[5].
I.2. Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini akan membahas dua pokok permasalahan yaitu :
1.
Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan hadits terhadap konsep
harta ?
2.
Serta bagaimana implementasinya dalam teori ekonomi ?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1. Definisi Harta
Dalam kamus
Meriam Webster[6] kekayaan
diartikan sebagai “all material
objects that have economic utility; especially
:
the stock of useful goods having economic value in existence at any one time” terjemahannya adalah “semua benda material yang memiliki
utilitas/kegunaan ekonomi, terutama: stok barang berguna memiliki nilai ekonomi yang ada pada
satu waktu”.
Dari
pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam ekonomi kapitalis Harta
termasuk benda yang memiliki nilai atau utility/manfaat. dalam ekonomi
kapitalis juga disebutkan bahwa harta termasuk kedalam kepemilikan.kepemilikkan
dalam teori ekonomi ini sepenuhnya dikendalikan oleh individu. Individu
memiliki kebebasan dalam kepemilikan harta.
Ini juga
dikuatkan oleh Chaudory (2012), ia menyatakan Kepemilikan dalam ekonomi
kapitalis ini bersifat penuh kepada individu. Individu boleh mencari, memiliki
atau memisahkan hartanya dengan cara bagaimanapun juga yang dia inginkan. Hak
untuk memiliki harta secara tak terbatas itu dapat dapat mengarah kepada
konsentrasi kekayaan ditangan sedikit orang[7].
Dalam sistem
ekonomi liberal, manusia dibebaskan dalam memperoleh harta benda
sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara walaupun dengan cara mengeksploitasi
orang lain. Sistem ini akan menimbulkan jurang yang sangat dalam antaraorang
kaya dengan orang miskin.
Dalam Islam
harta dianggap sebagai bagian dari aktifitas dan tiang kehidupan yang dijadikan
Allah untuk membantu proses tukar – menukar (jual-beli), dan juga digunakan
sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan
melarang menahannya atau menimbunnya. Syari’at Islam mengandung kaidah – kaidah
umum yang mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses
pertukaran dengan barang lain.
Dalam kamus
arab – Indonesia, kata مَالٌ
berarti harta benda[8]. Pada
dasarnya al-maal (الْمَلُ)
itu adalah barang milik seperti emas, atau perak, tetapi kemudian kata al-maal
itu dipakai untuk semua jenis –jenis benda yang bisa dikonsumsi dan
dimiliki.
Didalam kamus al-muhith
dijelaskan bahwa maal itu adalah apa saja yang kamu miliki[9].
Sedangkan dalam Mu’jam al-wasith, maal itu adalah segala sesuatu
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan,
bangunan, uang, dan hewan. menurut Ajaran Islam Allah SWT adalah sebagai
pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Dia adalah pemberi
rezeki.
II.1.1. Menurut Hanafiyah
Harta secara
etimologi, al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong
atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan
sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik
dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.
“Segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika
diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dapat
dimanfaatkan”[10].
Definisi ini
dikemukakan oleh ulama hanafiyah. Dalam definisi ini tersirat bahwa manfaat
tidak termasuk harta, karena manfaat termasuk milik.
Sedangkan
ulama jumhur, selain ulama hanafiyah mengatakan harta adalah segala sesuatu
yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau
melenyapkannya.
Dalam
kandungan kedua definisi diatas, ada perbedaan pendapat mengenai konsep harta.
Menurut jumhur ulama, harta itu tidak saja termasuk materi melainkan juga
termasuk manfaat dari suatu benda sedangkan ulama hanafiyah berpendapat
sebaliknya harta itu hanya bersifat materi, sedangkan manfaat termasuk dalam
pengertian milik.
II.1.2. Menurut Wahbah Zuhaili
Dalam (Dimyauddin Djuwaini: 2008). Secara
linguistik, al-mal didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang dapat
mendatangkan ketenangan dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya
(fi’il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti: komputer, kamera
digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya, ataupun berupa manfaat, seperti
kendaraan, pakaian, ataupun tempat tinggal[11].
Berdasarkan
definisi diatas, sesuatu itu akan dikatakan sebagai al-mal, jika memenuhi
2 kriteria ;
·
Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga
pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya
kebutuhan tersebut, baik bersifat materi ataupun immateri.
·
Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan
manusia. Konsekuensinya jika tidak bisa/belum dimiliki, maka tidak bisa
dikatakan sebagai harta (al-mal). Misalnya burung yang terbang
diangkasa, ikan yang berada didasar lautan atau barang tambang yang berada di
perut bumi.
II.1.3. Pendapat Mayoritas Ulama
Menurut
mayoritas ulama fiqh, al-mal adalah segala sesuatu yang memiliki nilai,
dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk menanggung atau
menggantinya. Imam Syafi’i juga mengatakan, al-mal dikhususkan pada
sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi
yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini al-mal haruslah sesuatu yang
dapat merefleksikan sebuah nilai finansial dalam arti ia bisa diukur dalam
satuan moneter. Wahbah Zuhaili dalam (Dimyauddin Djuwaini; 2008)[12].
Al-Isfahānī mendefinisikan al-mal summiya mālan likaunihī mailan
abadan wa zailan. Harta dikatakan mal, karena selamanya cenderung
kepadanya dan akan hilang. Terkadang diartikan dengan ‘aradan:
barang-barang selain emas dan perak. Yusuf Al-Qardhowi menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia
untuk menyimpan dan memilikinya. Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn ‘Asyur,
bahwa harta itu pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah
pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki. Sedangkan Mustafa
Zarqa memberikan definisi yang lebih lengkap, bahwa harta adalah segala sesuatu
yang konkret bersifat material yang mempunyai nilai dalam pandangan manusia[13].
Dari berbagai
definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa harta adalah segala sesuatu
yang dimiliki berupa materil dan dapat digunakan dalam menunjang kehidupan (wasilah
al-hayah), seperti tempat tinggal, kendaraan, barang-barang perlengkapan,
emas, perak, tanah, binatang, bahkan berupa uang, atau sesuatu yang mempunyai
nilai dalam pandangan manusia.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1. Allah Hakekat Pemilik Harta
Sesungguhnya
harta adalah amanah dari Allah. Islam mempunyai pandangan dalam konsep harta
bahwa kepemilikan mutlak harta itu adalah milik Allah, syari’ah mengatur
kepemilikan harta sehingga manusia tidak berhak memiliki harta secara mutlak.
Ayat yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain:
Surah Ali-Imran
: 109:
“Dan milik Allah-lah apayang ada
dilangit dan apa yang ada dibumi, dan hanya kepada Allah segara urusan
dikembalikan”. (Ali-Imran:109)
Surah Al-Maidah : 17
“Dan milik Allah-lah kerajaan dilangit dan bumi dan apa
yang ada diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dia kehendaki. Dan Allah
maha kuasa atas segala sesuatu. ” (Al-Maidah: 17).
Kedua ayat itu
memberikan isyarat dengan jelas bahwa kepemilikan mutlak seluruh yang ada di
jagat raya dan segala yang apa ada di dalamnya adalah milik Allah. Termasuk di dalamnya
adalah, seperti bumi, langit, manusia, hewan, tumbuhan, air dan udara, dataran
kering di planet ini, semua makhluk hidup yang berakal maupun yang tidak
berakal.
Sekalipun milik
Allah, namun sarana dan prasarana ini, diperuntukkan bagi kepentingan dan
kelangsungan hidup manusia, seperti terlukis dalam firman-Nya, Surah Al-Baqarah
: 29 ;
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di
bumi untukmu kemudian Dia menuju kelangit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi
tujuh langit. Dan Dia Maha Mengatahui segala sesuatu. (Al-Baqarah : 29)”.
Alam semesta
beserta isinya diciptakan sebagai sarana untuk kelangsungan hidup manusia.
Pengertian lafal khalaqa lakum menurut para ulama adalah segala apa yang
ada dibumi pada dasarnya dapat digunakan oleh manusia, kecuali jika ada dalil
yang melarangnya. Namun demikian, beberapa ulama berpendapat sebaliknya, bahwa
segala sesuatu boleh jadi dilarang terkecuali ada dalil yang membolehkannya
untuk menggunakannya[14].
Menurut
An-Nawawi lafal huwal-lazī kholaqalakum berarti memberi manfaat dalam
kehidupan dunia dan agama untuk menunjukkan keberadaan manusia dan memperbaiki
jasmani dan tubuhnya[15].
Ar- rāzī menafsirkan lain, bahwa tanah yang kita diami merupakan satu kesatuan,
termasuk bumi baik bagian permukaan maupun apa yang terdapat di dalam bumi,
seperti barang – barang tambang maupun hasil bumi. Sementara menurut
az-Zamakhsyarī, yang dimaksud dengan bumi adalah yang dibawah, sebagaimana
ketika disebut langit berarti yang diatas. Adapun mengenai tanah, sudah
dijelaskan oleh beberapa kalangan yang menyatakan bahwa ia haram untuk dimakan,
namun tanah pada dasarnya dapat dimanfaatkan[16].
At-Tabarī
dalam tafsirnya, ada 3 makna dari kalimat khalaqa lakum mā fil-ardi jamī’an,
yaitu 1) bumi dan segala isinya diperuntukkan demi kepentingan dan manfaat bagi
manusia; 2) dari sisi agama menunjukkan Kemahakuasaan Allah, dan dari sisi
dunia merupakan tempat mencari harta atau rezeki serta layak untuk dihuni; 3)
bumi ini merupakan sarana untuk taat kepada Allah dan menunaikan perintahnya. [17]
Hamka menjelaskan
pangkal ayat 109 dari Surat Al-Imran. Ia mengatakan: “Di semua langit dan
bintang – gemintangnya dan beberapa rahasia langit yang lain, diatas dataran
bumi sampai kepada kulitnya yang
dibawah, semuanya tuhan yang empunya, tuhan yang mengatur”. Lebih lanjut
diujung ayat 109 “dan kepada Allahlah akan dikembalikan segala urusan” (ujung
ayat 109). Hamka menjelaskan bahwa, hanya kepada Allahlah tempat kembali, Dia tidak sekali-kali berlaku zalim
kepada hamba-hambaNya. Maka kalau telah kembali kepada tuhan jangan disalahkan,
periksalah apalagi yang belum beres dalam pekerjaan kita[18]”.
Dalam
hadits Abu daud disebutkan bahwa;
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al
Lu`lui telah mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy
Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus
telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami
Abu Khidasy dan ini adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat
Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah berperang
bersama Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam tiga kali, aku mendengar beliau
bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal rumput, air dan
api." (HR. Abu Daud)
Para ahli hukum Islam mengidentifikasikanya : al-mā’ yaitu air yang
mengalir di sungai dan di lautan, al-kala’ yaitu hutan, padang rumput,
atau tanah yang tak bertuan dan tak terpakai, sedang an-nar adalah
sumber energi berupa api, listrik dan sebagainya. Semuanya sebagai kebutuhan
pokok masyarakat, yang harus dikuasai oleh negara, kerajaan, atau yang
mempunyai otoritas dan kekuasaan dalam
suatu wilayah[19].
Dari ungkapan ayat dan hadits diatas dapat dipahami bahwa pesan moral yang
terkandung dari kedua ayat dan hadits tersebut diatas ; pertama, sarana dan
prasarana hidup ini (wasilah al-hayāh) diperuntukkan untuk kesejahteraan
dan kemakmuran manusia. Kedua, semua orang berhak untuk mendapatkan fasilitas
dan kemudahan tersebut. Ketiga, tidak boleh diskriminatif dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber harta tersebut. Keempat, tidak boleh ada hak monopoli yang
diberikan kepada individu, perorangan, suku, agama, dan golongan dalam
mendapatkan dan mencari harta dari sumbernya, yaitu bumi dan segala sarana dan
prasarana yang ada didalamnya. Kelima, sumber – sumber harta berupa air, rumput
dan api pada hakikatnya milik bersama dan semua orang berhak untuk
mendapatkannya, tidak boleh sekelompok orang menguasai secara semena-mena[20].
Jadi, Allah
SWT telah memberikan panduan di dalam firmannya tentang kepemilikan harta, agar
umat manusia sadar dan insaf harta itu hanya milik Allah dan manusia diberikan
hak untuk mengelolanya secara baik untuk kemaslahatan hidup di dunia dan di
akhirat. Begitu juga Allah memperingatkan agar jangan sampai memiliki harta
dengan serakah dengan melanggar yang sudah disyariatkan.
III.2. Status Harta
III.2.1. Harta Merupakan Titipan dan Amanah.
Sekalipun
harta merupakan milik dan ciptaan Allah, tetapi Allah memberi hak kepada
manusia untuk menggunakan dan memanfaatkan
sebagai titipan dan amanah dan sekaligus mendistribusikan harta yang
diperoleh kepada yang berhak[21],
seperti dalam firmanNya dalam surah al-Hadid/57:7:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan
RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu dan yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang – orang yang beriman di antara kamu dan
menafkakan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (al-hadid:7)
Kata mustakhlafina
dari ayat tersebut menurut Az-Zamakhsary : “Bahwa harta yang ada pada tangan
kamu sekalian adalah harta Allah yang diciptakan dan dikembangkanNya untuk
kalian. Allah memberikan harta tersebut dan mengizinkan untuk kamu nikmati. Allah
menjadikan kalian sebagian khalifah-khalifah yang mampu mengelola harta. Karena
itu harta bukanlah milik kalian. Posisi kalian sebagai harta itu hanya sebagai
‘wakil dan pemegang amanat’. Karenanya infakkanlah harta itu pada hak-hak Allah.
Ringankanlah tanganmu untuk menginfakkannya, sebagaimana seseorang menginfakkan
harta orang lain dengan ringan[22].
Az-Zamakhsyarī,
Ar-Rāzī menganggap orang kaya sebagai pemilik harta sementara dan hanya sebagai
penjaga gudang – gudang Allah. Sedang orang fakir dan miskin adalah keluarga Allah.
Seperti dalam ungkapannya : “Sesungguhnya orang – orang fakir adalah ‘keluarga’
Allah”. Karenanya harta yang ada ditangan orang-orang kaya adalah harta Allah[23].
Sedangkan Ibn ‘Arabī dalam tafsirnya mengatakan bahwa kekayaan itu merupakan
nikmat yang dianugerahkan kepada seseorang. Sebagai tanda syukur dan terima
kasih pada-Nya harus diinfakkan untuk orang-orang fakir, miskin, dhuafa, dan
yang tidak berhasil dalam kehidupan ini[24].
Hamka dalam
tafsirnya Al-Azhar menjelaskan bahwa Surat Al-Hadid turun di Madinah dimana
umat masyarakat Islam disadarkan kembali akan kewajibannya dalam alam dunia
ini. Ia menjelaskan juga bahwa harta benda dan kemegahan dunia adalah materi
dan tidak sebanding dengan perjuangan jihad di jalan Allah. Menurut Hamka keutamaan
jihad di jalan Allah pahalanya lebih besar ketimbang nilai dari harta di dunia.
Harta benda wajib dinafkahkan agar hidup ini bernilai. Lebih lanjut hamka
mengatakan makna Surat Al-Hadid ayat 7 adalah harta benda yang kita punya
selama di dunia bukanlah milik kita. Karena kita datang ke dunia tidak membawa
apa-apa. Harta tersebut diberikan kepada kita agar kita dapat memanfaatnya. Bagaimanapun banyaknya harta benda tentu tidak
akan dibawa ke dalam kubur. [25]
Dari ayat
tersebut Hamka menerangkan bahwa keimanan yang tebal kepada Allah dan kepada
Rasul, harus terbukti dengan kesudian menafkahkan harta benda yang ada pada
kita. Karena orang yang beriman kepada Allah selalu yakin bahwa Allah tidak
akan membuat dirinya terlantar dalam hidup. Harta yang ada pada kita adalah
pemberian Allah. Sebagai umat muslim kita mesti percaya bahwa harta tersebut
datangnya dari Allah SWT.
Dari berbagai
penafsran para ulama dapat ditarik kesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada di
jagat raya ini dan termasuk apa yang ada di dalamnya, mutlak dan murni hanya
milik Allah SWT. Manusia hanya diberi amanat, mandat dan kekuasaan sebagai
wakil untuk mendistribusikan kepada yang berhak dan kurang beruntung dalam
kehidupan ini. Pemilik harta hendaklah tidak boleh bakhil terhadap hartanya
karena harta tersebut merupakan titipan Allah kepada hambaNya.
III.2.2. Harta Sebagai Perhiasan Dunia
Sudah menjadi
naluri manusia mencintai harta, wanita dan anak-anak. Semua itu adalah
kesenangan di dunia yang akan dimintai pertanggung jawabannya. Ini seperti
disebutkan dalam surat Āli ‘Imrān : 14
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak dan kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga)”. (Āli ‘Imrān:14)
Abdulah Yusuf Ali
memberikan komentar tentang ayat ini: ayat ini menyebutkan karunia Allah berupa
kecintaan kepada 7 hal, yaitu wanita, anak-anak, harta berupa emas, perak dan
kuda pilihan (kendaraan), binatang ternak, sawah ladang (pertanian). Semuanya
merupakan nikmat yang dirasakan pada saat hidup di dunia. Terdapat beberapa
alasan mereka dicintai. Wanita dicintai karena cantiknya. Putra - putri
merupakan simbol kekuatan dan kebanggaan, kekayaan yang berlimpah merupakan
kemewahan, kuda dan ternak sebagai ukuran kekayaan zaman dahulu dapat
diqiyaskan pada zaman modern ini dengan kendaraan dan pertanian. Pada zaman
zaat ini, makna dari al-khail al-musawwamah dapat diperluas
pengertiannya dengan kendaraan yang bermacam-macam model dan jenisnya. Hewan
berupa : unta, kerbau, sapi, dan kambing. Investasi dibidang pertanian : tanah,
sawah, ladang, kebun luas atau dalam bentuk properti. Semua yang disebutkan
diatas merupakan perhiasan di dunia yang merupakan kebanggaan dari seseorang.[26]
Setiap kehidupan
manusia tidak dapat dipisahkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena itu
merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai manusia. Apalagi fitrah manusia
cenderung kepada kesenangan duniawi dan kepemilikan harta duniawi. Secara
fitrah manusia tidak bisa mengingkari nalurinya dalam upaya memperoleh kekayaan
dan memanfaatkannya sebagai perhiasan hidup.
Hamka
menjelaskan surat Ali-Imran :14 turun manakala ada utusan – utusan Nasrani dari
Najran itu datang dengan memakai pakaian indah-indah bahkan salib yang terbuat
dari emas yang diberikan Raja Romawi yang berkuasa di timur yang berkedudukan
di Syam pada masa itu, yaitu Raja Heraclius. Sebagian penulis sejarah Nabi ada
yang meriwayatkan mereka yang menerima perhiasan itu mengakui dengan kebenaran
kerasulan Nabi tapi mereka enggan mengikuti risalah yang dibawa Nabi takut
perhiasan yang mereka dapai ditarik kembali oleh Raja Heraclius kalau mereka
menukar agama mereka.[27]
Lebih lanjut
ia menafsirkan pangkal ayat 14:
‘diperhiaskan
bagi manusia kesukaan kepada barang yang diingin’.
arti“Zuyinna
nya diperhiaskan. Maksudnya, segala barang yang diingini itu ada baiknya dan
ada buruknya, tetapi apabila keinginan telah timbul, yang kelihatan hanya
eloknya saja dan lupa akan buruk dan susahnya. Kata kedua adalah hubb, artinya
kesukaan atau cinta. Kata ketiga adalah syahwat, keinginan-keinginan yang
menimbulkan selera yang menarik nafsu buat mempunyainya”.
Hamka
menjelaskan ada 6 kategori yang sangat
disukai dan diingin manusia. berikut Kategori tersebut yang diringkas dari buku
tafsir Al Azhar adalah sebagai berikut[28]
:
i.
Perempuan
Keinginan
kepada perempuan adalah didasarkan pada syahwat kalau tidak berarti laki-laki
itu sakit. Allah telah mentakdirkan laki-laki mengingini perempuan sebagai
hikmat untuk menyambung kehidupan. Tetapi kalau syahwat laki-laki tidak
terkendali maka zinalah yang terjadi. Hamka menjelaskan juga di dalam ayat ini
tidak disebutkan yang sebaliknya, bahwa perempuan tergila-gila kepada
laki-laki. Perempuan yang tergila-gila kepada laki-laki ditiadakn saja karena
sangat jarang itu ialah perempuan yang tidak beres. Hamka beralasan umumnya
pada perempuan hanyalah kesetiaan dan penyerahan diri dan kelemah-lembutan
itulah yang membuat laki-laki terpesona. Ia menambahkan bahwa perempuan
mempunyai syahwat. Tetapi latar belakang syahwat perempuan dikarenakan insting
atau naluri hendak mengasuh anak.
ii.
Anak Laki-laki
Di ayat ini
disebut banin di tonjolkan, karena kesukaan ingin mempunyai anak. Terutama
mempunyai anak laki-laki. Hamka menjelaskan karena anak laki-laki adalah
penyambung keturunan. Pada zaman jahiliyah orang tidak suka kalau lahir anak
perempuan. Mereka malu mendapat anak perempuan muka mereka menjadi hitam bila
orang mengabarkan mereka mendapat anak perempuan. Maka di dalam ayat ini masih
dibayangkan bahwa keinginan mendapat anak laki-laki lebih utama bagi mereka
ketimbang mereka mendapat anak perempuan.
iii.
Berpikul Emas dan Perak.
Yaitu
kekayaan. Manusia mempunyai keinginan untuk kaya. Didalam ayat disebut emas dan
perak karena memang ukuran standar kekayaan adalah emas dan perak. Meskipun
kita hidup dengan uang kertas pasti didukung dengan emas. Bahkan keinginan
manusia terhadap emas itu tidak terbatas. Sehingga Nabi SAW pernah bersabda:
“Kalau adalah bagi anak adam dua buah lembah dari pada
emas, masihlah dia menginginkan yang ketiga. Tapi tidaklah yang memenuhi perut
anak Adam, selain tanah. Dan Allah akan memberi taubat kepada orang yang
taubat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari hadits Ibn Abbas)
Keinginan harta tidaklah terbatas. Padahal hidup itu
sendiri terbatas. Kalau manusia tidak membatasi seleranya, sampai matinya ia
tidak akan merasa puas dengan yang ada.
iv.
dan Kuda Kendaraan yang Diasuh
Di zaman
dahulu kuda sangat diistimewakan dalam hal perawatan sampai zaman sekarangpun
masih tetap. Apalagi mempunyai kuda yang tangkas dan kencang berlarinya. Pada
zaman sekarang ini mundurlah kuda sebagai kendaraan yang dipingit dan naiklah mobil
dan motor. Perlengkapan modern itu sekarang bukan lagi menjadi barang mewah
melainkan sudah menjadi kebutuhan.
v.
Binatang-Binatang Ternak
Hitungan
kekayaan bukan saja dari kendaraaan mewah tapi juga binatang – bintang ternak.
vi.
dan Sawah –Ladang
Di dalam ayat
ini menjelaskan kekayaan pertanian dihiaskan bagi manusia, sehingga
kadang-kadang seluruh tenaga dan kegiatan mereka curahkan untuk mencapainya.
Dan mereka lupa akan tujuan yang hakiki. Oleh sebab itu tuhan berfirman
memberikan peringatan dengan lanjutan “yang demikian itulah perhiasan hidup di
dunia” tegasnya bahwa semua itu adalah perhiasan hidup di dunia yang tidak
kekal.
III.2.3. Harta Sebagai Fitnah Ujian dan Keimanan
Harta itu
bukan sesuatu yang buruk dan bukan pula siksaan, sebagaimana anggapan sebagian
manusia. Ia juga bukan ukuran bagi ketinggian derajat pemiliknya, atau
keutamaan dan kesalehan sebagaimana anggapan orang. Ia merupakan nikmat dari Allah
yang dengannya Dia menguji pemiliknya, apakah bersyukur atau kufur. Karena itu Allah
SWT menyebut harta sebagai ‘fitnah’
ujian dan cobaan.
Allah berfirman dalam Surat Al-Anfal : 28 :
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah cobaan. Dan sungguh, di sisi Allah pahala yang besar”.
(Al-Anfal:28)
Ibn Asyur dalam
tafsirnya memberikan pengertian “fitnah” yaitu kegoncangan hati serta
kebingunannya, akibat situasi yang tidak sejalan dengan suasana yang menghadapi
situasi itu. Sedang Az-Zuhaili memberikan makna fitnah itu dalam 3 dampak yang
akan dimunculkan ; 1) dapat mendorong seseorang untuk berbuat yang haram 2)
enggan menunaikan hak-hak Allah 3) dapat melakukan perbuatan tercela dan
dosa.
III.2.4. Harta Sebagai Bekal Keimanan
Harta yang
dimiliki seseorang seyogyanya digunakan untuk ibadah dalam bentuk melaksanakan
perintah Allah SWT melalui kegiatan zakat. Seperti dalam firmanNya, Surah
At-Taubah 103 :
“Ambilah zakat dari harta mereka,
guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya do’amu itu menumbuhkan (ketentraman) jiwa bagi mereka. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (AT-Taubah:103).
Ibn Katsir menjelaskan
Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya agar dia mengambil sedekah dari
sebagian harta mereka untuk mensucikan dan membersihkan mereka. Hal ini
sebagaimana diriwayatkan oleh Ats-Sauri dan Waki’i dari Abu Hurairah, dia
berkata : Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan
mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian mengembang-biakkannya bagimu
sebagaimana kamu mengembang-biakkan anak kuda sehingga sedekah sesuap pun
menjadi sebesar gunung uhud.[29]”
III.3. Cara Memperoleh Harta
Berusaha dan bekerja dengan sungguh – sungguh.
Bekerja adalah
fitrah dan sekaligus merupakan identitas manusia, sehingga bekerja yang
didasarkan dan didorong oleh semangat iman, bukan saja menunjukkan kepribadian
pribadi muslim tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai khalifah
dimuka bumi ini. Mencari rezeki direalisasikan dalam bentuk kerja dan usaha
merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang dikenal dengan istilah amal
sholeh.
Amal soleh
dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 351 kali. Yang memberikan isyarat pentingnya
beramal, bekerja, dan beraktivitas sehingga terbentuk dan terciptalah kemajuan
dan peradaban. Islam telah mengajarkan sejak dahulu kepada umatnya untuk
bersungguh – sungguh bekerja dan berdisiplin dan bersungguh – sunguh mencari
rezeki berupa harta termasuk berupa bagian dalam ibadah. [30]
Setiap muslim
wajib mencari rezeki halal. Baik itu ia berikan kepada dirinya, istri, anak,
orang tua ataupun kerabatnya. Berdasarkan Hadits Nabi SAW :
Artinya:
“mencari yang halal itu adalah wajib bagi setiap orang Islam.” (HR.Ibnu
Mas’ud)
Hadits
tersebut menjelaskan. Pertama, mencari rezeki halal merupakan kewajiban
bagis etiap pribadi muslim. Kedua, tingkat kewajiban mencari rezeki
halal, merupakan kewajiban kedua setelah menunaikan kewajiban ibadah yang
sifatnya murni. Ketiga, mencari rezeki halal sama halnya dengan jihad,
namun jihad disini bukan jihad mengangkat senjata untuk mebela agama atau
negara , namun jihad mencari nafkah untuk memperjuangkan kehidupan anak, istri
dan keluarga[31].
Dalam
Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan untuk berusaha dan bekerja
bersungguh-sungguh. Allah berfirman dalam Surat Al – Mulk : 15 :
Artinya : “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang
mudah dijelajahi di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan
hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (Al-Mulk:15)
Menurut Quraish Shihab, paling tidak ada dua pesan moral : 1) ayat ini
menjelaskan bumi dimudahkan Allah untuk dihuni manusia, antara lain dengan
menciptakannya berbentuk bulat, akan tetapi meskipun demikian kemanapun kakinya
melangkah ia akan mendapatkan bumi terhampar; 2) dimana – mana ia akan
mendapatkan sumber makanan atau rezeki. Kata ɀalūlan terambil dari akar
kata ɀalala yang berarti rendah/hina dalam bentuk ɀalūan berarti
penurut, ditundukkan sehingga menjadi mudah, menurut Al-Isfahani bermakna tiada
kesulitan.[32]
Jadi, Allah SWT menjadikan bumi ini sebagai sarana penopang dan penunjang
hidup bagi manusia, sarana – sarana tersebut dijadikan oleh Allah dengan maksud
agar mudah dikelolah oleh manusia.
Sedangkan
Ibn Katsir menafsirkan ayat diatas
“Allah telah menundukkan bumi untuk mereka dan memudahkannya sehingga
menjadi tempat menetap yang tentram bagi manusia agar manusia dapat melancong
ke berbagai penjuru bumi yang diinginkan manusia agar bisa membawa berbagai
hasil usaha. Usaha tersebut tidak akan mendapatkan manfaat melainkan karena
allah telah memudahkannya bagimu”[33].
Itulah
kemudahan yang diberikan Allah kepada umat muslim untuk mencari rezeki yang
halal, sehingga usaha mencari rezeki pun bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
BAB IV
IMPLEMENTASI KONSEP HARTA DALAM AKTIVITAS EKONOMI MIKRO
Harta (maal) merupakan nikmat Allah apabila harta
tersebut digunakan untuk kebaikan di jalan Allah. Namun demikian, pentingnya
harta dalam kehidupan tidak boleh manusia memanfaatkannya seenaknya, untuk
hal-hal yang tidak mendatangkan keridhoan Allah SWT ataupun menjadikan uang itu
sesembahan selain Allah.
Al-Qur’an dan Hadits sudah memberikan aturan tentang
Harta (maal) baik itu tentang kepemilikannya, penggunaannya,
pengelolaannya dan pendistribusiannya. Allah pun mengancam bagi orang – orang
yang menyalahgunakan harta (maal).
VI.1. Larangan Menimbun Harta
Penimbunan
harta dilarang dalam Islam dengan jelas dan eksplisit, dan siapapun yang menimbun
harta serta tidak dibelanjakannya di jalan Allah diancam dengan siksaan yang
pedih. Penimbunan harta adalah kejahatan yang besar, karena sama artinya dengan
menutup aliran harta yang telah Allah anugerahkan dari sikaya kepada simiskin
yang benar-benar memerlukannya. Oleh karena itu Islam melarang penimbunan harta
dan sebaliknya menolong sirkulasi harta diantara semua bagian masyarakat. Berikut adalah ayat Al-Qur’an
dan Hadits Nabi.
“Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya” (Q.S Al-Hasyar:7).
Ayat tersebut
mengancam orang yang menimbun harta dengan siksa yang pedih di dunia dan di
akhirat.
Berbeda dengan
sistem ekonomi kapitalis dimana kepemilikan harta adalah mutlak milik individu.
Terjadinya monopoli harga pasar karena pemerintah tidak boleh ikut campur.
Kalaupun ada peran pemerintah itu hanya terbatas. Sehingga dengan sangat mudah
sebagian orang memainkan harga dan terjadilah penumpukan harta hanya dikalangan
tertentu saja.
Begitu juga
dengan sistem ekonomi sosialis pada saat ini, dimana pemerintah mengatur
seluruh aktivitas ekonomi masyarakat dan masyarakat mendapatkan hak yang sama.
Kesamaan dalam segala hal. Setiap orang diberikan sesuatu yang sama seperti
yang diberikan kepada orang lain. Ringkasnya aliran sosialisme ini berusaha
untuk menuju kesamaan (equity) secara riil diantara individu. Adakalanya
kesamaan didalam jasa, alat-alat produksi atau kesamaan secara mutlak.
Taqyuddin An-Nabhani
menjelaskan sistem ini melanggar fitrah manusia, karena manusia mempunyai
karakter fitrah yang berbeda – beda tingkat kekuatan tubuh dan akalnya.
Termasuk berbeda – beda tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Sehingga
kesamaan diantara mereka tidak mungkin dapat terjadi. Termasuk dalam penggunaan
kekayaan tentu mereka tidak bisa sama mempergunakannya. Sedangkan penghapusan
pemilikan khusus secara total bertentangan dengan fitrah manusia[34].
Penimbunan
harta dikutuk oleh Islam dengan ancaman siksa yang pedih, karena perputaran
harta itu merupakan keharusan. Dilarangnya penimbunan harta itu tidak hanya
memaksa harta yang ditimbun itu keluar dari peti simpanannya melainkan juga
menjamin alirannya kesaluran – saluran investasi sehingga akhirnya akan sampai
pada distribusi.
Dalam sebuah
hadits disebutkan “Abu Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah biasa tidak
menyimpan apapun juga untuk besok”. (HR Tirmidzi). Inti dari larangan menimbun
harta karena kegiatan menimbun harta itu menghalangi dan membuntu beredarnya
harta di masyarakat dan menjadikan harta itu terkonsentrasi ditangan sedikit
orang. Itu sama dengan menjadikan harta itu tersia-siakan dan akibatnya
menyengsarakan hidup banyak orang. Oleh karena itulah, hukuman yang diancamkan
kepada penimbun harta itu amat pedih[35].
Zakat mencegah
penimbunan kekayaan dan mendorong peredaran dan sirkulasinya. Orang yang
menimbun hartanya mengetahui bahwa hartanya itu akan habis dimakan zakat. oleh
karenanya ia tidak akan membiarkannya tertimbun menganggur; sebaliknya mereka
akan mengedarkannya dengan cara menginvestasikan ataupun membelanjakannya.
Dengan demikian, konsumsi dan investasi akan memiliki multiplier effect
terhadap pertumbuhan pendapatan nasional. Lebih lanjut, pajak seperti halnya
zakat, dikutip dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin dan hal ini akan
meningkatkan daya beli dan karena itu akan meningkatkan pembelian mereka akan
barang dan jasa. Kaum industrialis akan memproduksi lebih banyak untuk memenuhi
meningkatnya permintaan tersebut. Selanjutnya meningkatnya permintaan dan
penawaran akan mendorong industrialisasi dan selanjutnya memperluas penyerapan
tenaga kerja di dalam perekonomian.
Membayar zakat
dan sedekah tidak saja membersihkan harta melainkan juga membersihkan jiwa
manusia. Harta adalah sesuatu yang disukai dan siapapun juga dan setiap orang
ingin memilikinya. Dengan mendorong orang untuk membayar zakat dan sedekah dari
sebagian hartanya. Islam mendorong semangat berkorban, cinta, kebaikan hati dan
kerjasama. Al-Qur’an menyatakan ‘perumpamaan orang –orang yang membelanjakan
hartanya karena mencari keridhoaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka,
seperti sebuah kebun yang terletak didataran tinggi yang disiram oleh hujan
lebat. Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya maka hujan gerimis pun memadainya. Dan Allah maha melihat apa yang
kamu perbuat” (Q.S Al-Baqarah 265).
Membayar zakat
dan sedekah membersihkan jiwa manusia dari keburukan seperti rakus, kikir,
mementingkan diri sendiri dans sebagainya. Inilah yang menjadikan landasan
motivasi umat muslim untuk berzakat membantu sesama karena ingin mendapatkan
keridhoan dan pahala dari Allah SWT.
VI.2. Pengelolaan Harta Melalui Baitul Mal
Baitul Mal
adalah pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang
menjadi hak kaum muslimin. Tiap harta yang menjadi hak kaum muslimin, sementara
pemiliknya tidak jelas, maka harta tersebut merupakan hak baitul mal. Baitul
mal sebagai pengambangan harta berfungsi sebagai melakukan kegiatan pengembangan
usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro dan makro terutma dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan kegiatan ekonominya[36].
VI.2.1. Sumber Pemasukan Baitul Mal
Taqiyyuddin
an-nabhani menjelaskan pemasukan bagi baitul mal adalah fa’i, ghanimah, anfal,
kharaj, jizyah, ushr, khums, nikaz, tambang, serta harta zakat. Hanya saja harta zakat diletakan
pada kas khusus baitul mal dan didistribusikan khusus kepada 8 asnaf yang telah
disebutkan di didalam al-qura’an[37].
VI.2.2. Prinsip Pengelolaan Harta Baitul Mal
Pengeluaran
atau penggunan harta baitul mal menurut uraian Taqiyuddin an-nabhani ditetapkan
berdasarkan 6 kaidah berikut, yang didasari dengan tatacara pengelolaan harta[38]:
-
Harta yang mempunyai kas khusus dalam baitul mal.
Ialah bersumber dari zakat dan didistribusikan khusus
kepada 8 asnaf. Apabila dalam baitul mal tadi tidak ada harta dari bagian zakat
maka tidak ada seorang pun dari ke 8 asnaf tadi yang berhak menerima harta dari
baitul mal.
-
Harta yang diberikan baitul mal untuk menanggulangi
terjadinya kekurangan, serta melaksanakan kewajiban jihad.
Misalnya, nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil,
serta nafkah untuk keperluan jihad. Hak mendapatkan pemberian untuk keperluan
ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut, jadi hak tersebut
adalah hak yang bersifat tetap baik harta tersebut ada maupun tidak ada dalam
baitul mal.
-
Harta yang diberikan baitul mal sebagai suatu pengganti
/kompensasi (badal/ujrah)
Yaitu, harta yang menjadi hak orang – orang yang telah
memberikan jasa, seperti gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, dan tenaga
edukatif. Hak mendapatkan pemberian ini tidak ditentukan berdasarkan adanya
harta tersebut, jadi hak tersebut merupakan hak yang bersifat tetap, baik harta
tersebut ada maupun tidak ada di baitul mal. Apabila harta tersebut ada, maka
seketika itu wajib diberikan. Apabila tidak ada maka negara wajib
mengusahakannya. Dengan cara memungut harta kepada kaum muslimin.
-
Harta yang dikelola baitul – mal yang bukan sebagai
pengganti/kompensasi (badal/ujrah), tetapi yang digunakan untuk kemaslahatan dan
kemanfaatan secara umum. Misalnya, sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah
rumah sakit, dan sarana-sarana lainnya. Hak ini bersifat tetap. Apabila ada harta
di baitul mal wajib disalurkan untuk keiatan tersebut.
-
Harta yang disalurkan baitulmal karena adanya unsur
kedaruratan.seperti panceklik/kelaparan, angin topan, gempa bumi atau serangan
musuh. Ini merupakan hak tetap yang harus segera disalurkan. Kalaupun tidak ada
maka wajib memungut harta kaum muslimin.
BAB V
KESIMPULAN
Harta adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa materiil
dan dapat digunakan dalam menunjang kehidupan. dalam Islam kepemilikan harta
secara mutlak adalah Allah SWT, dan manusia diberi wewenang dalam memiliki,
mengelola, memanfaatkannya. Status harta dapat dibagi menjadi 4 hal yaitu :
harta merupakan titipan dan amanah, harta sebagai hiasan hidup di dunia, harta
sebagai fitnah ujian dan harta sebagai bekal ibadah.
Cara memperoleh harta adalah dengan sungguh- sungguh
dalam bekerja, tidak mengenal putus asa dan tidak boleh menempuh usaha
terlarang dalam memperolehnya.
Didalam Islam dilarang keras menimbun harta. Penimbunan
harta dikutuk dan diancam siksa yang pedih. Karena menyebabkan tersendatnya
perputaran harta diantara masyarakat yang tidak mampu.
Baitul mal adalah wadah dimana harta dapat dikelola dengan baik
secara Islami dan didistribusikan kepada yang menerima. Baitul mal adalah
penunjang kegiatan aktivitas ekonomi mikro dan makro. Pemasukan baitul mal
dari fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, ushr, khums, nikaz, tambang,
serta harta zakat. Prinsip pengelolaan baitul
mal adalah dengan menggunakan prinsip Islam yang menerapkan cita-cita dan
nilai-nilai Islam (salam/keselamatan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan).
DAFTAR PUSTAKA
Amalia,
Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok. Gramata Publishing.
Chalil,
Zaki Fuad. 2009. Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam.
Jakarta. Penerbit. Erlangga.
Chaudry,
Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi
Islam Prinsip Dasar. (Penj Suherman Rosyidi). Jakarta. Kencana.
Departemen
Agama RI Badan Litbang dan Diklat. 2009. Tafsir Al-Qur’an Tematik.
Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Jakarta.
Djuwaini,
Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta. Penerbit. Pustaka
Pelajar.
Hamka.
Tafsir Al-Azhar. Jilid 1. 2003. Pustaka Nasoional PTE LTD Singapura.
Singapura.
Mahmud
Yunus. 1989. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta. Penerbit. Hidakarya Agung.
Majdudin
Bin Yaqub Al-Feirus. 1952Al-Kamus Al-Muhith. Kairo. Abadi Haladi.
Muhammad
Nasib A-Rifa’i. 1999. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. Jilid dua. (Penj; Shihabudin). Jakarta. Penerbit Gema
Insani Press.
Nasrun
Haroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta. Penerbit : Gaya Media Pratama..
[1]Nurul Huda, Dkk. 2012. Keuangan Publik Islami.
Jakarta. Penerbit Kencana.
Taqyuddin
An-Nabhani. 2009. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.
Risalah Gusti. Surabaya.
Badan Pusat
Statistik. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2012. Jumlah Penduduk Miskin September 2012
Mencapai 28,59 Juta Orang www.bps.go.id No. 06/01/Th.
XVI, 2 Januari 2013. diakses pada
tanggal 5 Februari 2013.
Iwan Kurniawan. Daftar 40 orang Terkaya di
Indonesia http://bisnis.news.viva.co.id
di akses pada tanggal 5 Februari 2013.
2 Badan Pusat Statistik. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2012. Jumlah Penduduk Miskin September 2012 Mencapai
28,59 Juta Orang www.bps.go.id No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013. diakses pada tanggal 5 Februari 2013.
[3] Iwan Kurniawan. Daftar 40 orang Terkaya
di Indonesia http://bisnis.news.viva.co.id
di akses pada tanggal 5 Februari 2013.
[4] Zaki Fuad
Chalil. Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam. Jakarta.
Penerbit. Erlangga. 2009. Hlm. 156.
[5] Departemen Agama
RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al-Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi
Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009. hlm. 01.
[7] Muhammad sharif
chaudry. Sistem ekonomi islam prinsip dasar. (penj. Suherman rosyidi). Jakarta.
Penerbit: Kencana. 2012. Hlm. 356.
[10] Ibn Abidin Dalam (Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah.
Jakarta. Penerbit : Gaya Media Pratama. 2007. Hlm. 73).
[11] Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.
Yogyakarta. Penerbit. Pustaka Pelajar. 2008. Hlm. 18.
[13] Departemen Agama
RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al-Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi
Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009. hlm. 02.
[14]M. Quraish Sihab dalam (Departemen Agama
RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al- Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi
Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009. hlm. 06.)
[15]An Nawawi dalam Tafsir Al-Quran Tematik
Departemen Agama RI. 2009. Hlm 6.
[16]Az-zamsyaksary dalam Tafsir Al-Quran
Tematik Departemen Agama RI. 2009. Hlm. 6
[17]At-tabari dalam dalam Tafsir Al-Quran
Tematik Departemen Agama RI. 2009. Hlm. 6
[18] Hamka. Tafsir
al-azhar. Pustaka nasoional PTE LTD Singapura. Singapura. 2003. Jilid 1.
Hlm. 885.
[25] Hamka. Tafsir
Al-Azhar..Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. Singapura. 2003. Jilid 9.
Hlm. 7156
[28] HAMKA tafsir al-azhar jilid 2..Pustaka nasional PTE LTD singapura. Singapura.
2003. Hlm. 720-724
[29]Muhammad Nasib A-Rifa’i Ringkasan
Tafsir Ibn Katsir. (Penj; Shihabudin). Jakarta. Penerbit Gema Insani Press.
1999. Jilid dua Hlm. 660.
[30]Departemen
Agama RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al- Qur’an Tematik. Pembangunan
Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009.
hlm. 17
[33]Muhammad Nasib A-Rifa’i Ringkasan
Tafsir Ibn Katsir. (Penj; Shihabudin). Jakarta. Penerbit Gema Insani Press.
1999. Jilid dua Hlm. 766.
[34]Taqyuddin An-Nabhani. Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya. 2009. Hlm.
39.
[35]Muhammad Sharif Chaudry. Sistem Ekonomi
Islam Prinsip Dasar. (Penj Suherman Rosyidi).. Jakarta. Kencana. 2012. Hlm.
37
[36]Nurul Huda, dkk. Keuangan Publik Islami.
Jakarta. Penerbit Kencana. 2012. Hlm.
285.
[37]Taqiyuddin An-Nabhani. Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif. Perspektif Islami. (Penj: Munawar Ismail). Surabaya.
Risalah gusti. 2009.
[38]Taqiyuddin An-Nabhani:2009.hlm.264-269.
Categories: Jurnal