PENDIDIKAN AKIDAH

Posted by Unknown on 17:25
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Islam lahir dengan membawa akidah ketauhidan dan melepaskan manusia ikatan berhala di samping benda-benda lain yang posisinya hanyalah sebagai makhluk Allah SWT.Ketauhidan yang membawa manusia kepada kebebasan sejati terhadap apapun yang ada,baik benda, budaya, pemikiran, menuju kepada ketundukan kepada Allah SWT. Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme atau suatu kepercayaan akan kekuatan batu akik, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan.Sementara mereka tetap mengaku masih sebagai orang Islam yang mereka merasa perbuatan itu tidak mengurangi kualitas keislamanya.
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُھمْ بِاللَّهِ إِلا وَھمْ مُشْرِكُونَ
Artinya: Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)”.(QS: Yusuf: 106)
.
Selain budaya keyakinan yang menyimpang, budaya perkelahian, atau yang sering disebut tawuran kini sering terjadi di kalangan pelajar, bukan saja antar pelajar setingkat SMU, tapi juga sudah melanda ke tingkat SMP, bahkan ke kampus-kampus.Yang lebih menyedihkan adalah sebagian orang mengatkan bahwa perkelahian adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi.Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat.Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus[1].
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, selain kasus kekerasan seksual terhadap anak, kasus paling menonjol dan banyak menyita perhatian publik di tahun 2014 adalah kasus tawuran pelajar. ” Ternyata kasus kekerasan antar pelajar belum juga sirna di negeri ini.Bahkan, semakin hari semakin menjadi-jadi.Nyawa para pelajar hilang dalam hitungan detik. Aksi anarkis yang melibatkan pelajar di Ibukota sangat mengkhawatirkan," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dalam konferensi pers catatan akhir tahun Komnas PA 2014 di kantornya, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (30/12/2014)[2].
Masalah lain yang melanda pelajar saat ini adalah gaya hidup anti malu, hal ini lahir dari pola hidup masyarakat barat yang individualis. Gencarnya serangan budaya Barat melalui media massa menggoda remaja untuk menanggalkan rasa malu. Stempel anak gaul menuntut mereka untuk lebih bebas berekspresi, bebas berbusana, dan bebas berperilaku. Karena mereka menganggap, perasaan malu itu bikin kita tidak produktif dan tidak gaul.
Kebebasan pelajar sudah sangat memprihatinkan, masuknya budaya luar kini makin susah dibendung dengan kemajuan teknologi informatika yang sudah mengarah pada hal-hal yang negatif. Kenakalan pelajar saat ini tidak lagi menjangkit siswa-siswa SMP/SMA saja tetapi sudah masuk ranah sekolah dasar.
Gaya hidup anti malu ini bahkan sudah menjurus pada kebebasan seksual, Berdasarkan beberapa data, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan perawan saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2 persen di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Aborsi dilakukan sebagai jalan keluar dari akibat dari perilaku seks bebas[3].
Untuk mencegah dan menuntaskan penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas pendidikan agama (akidah) yang benar. Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan saat ini telah terbukti gaga. Sistem pendidikan sekuler memiliki asas pemisahan atau pengurangan materi keagamaan dalam kurikulum pendidikan. Asas pemisahan ini yang kemudian setiap siswa bahkan mahasiswa hanya mendapat jatah pelajaran agama secara global sekitar 2 jam setiap minggunya. Hal ini menyebabkan pengajaran akidah nyaris tidak disinggung dalam kurikulum pendidikannya, padahal akidah merupakan bagian tertinggi dari ajaran Islam, yang berperan penting membentuk pribadi-pribadi tangguh dan berakhlak mulia.


B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep pendidikan Akidah  dalam Al-Qur’an?
2.    Bagaimana Pendidikan Akidah dalam membentuk akhlak?














BAB II
KAJIAN TEORITIS

1.      Pengertian Akidah
Akidah menurut bahasa (etimologi) berasal dari kata al’aqdu yang berarti ikatan, at-taustsiiqu  yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan  ar-rabthu biquwwah  yang artinya mengikat dengan kuat.[4]
            Sedangkan menurut istilah (terminologi), akidah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat pada-Nya, beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, takdir baik dan buruk, dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip agama (ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’  dari salafush-shalih,  serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliah yang telah ditetapkan meurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’salafush-shalih[5]
Berdasarkan pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan oleh seorang muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang wajib dipegangi sebagai sumber keyakinan yang mengikat. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Anfal ayat 2-4[6].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ -٢- الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ -٣- أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ -٤-
Artinya:” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada tuhanlah mereka bertawakkal”.
            Ruang lingkup akidah adalah: Beriman pada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kita-NYa, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir (qahla’ dan qadar.[7] Inilah akidah yang merupakan kesatuan yang tidak akan berubah-ubah karena pergantian zaman atau tempat, tidak pula berganti-ganti karena perbedaan golongan atau masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan ideologi selain Islam yang sering mengalami perubahan-perubahan. Firman Allah SWT dalam surat Asy-Syua’ra ayat 13.
Tujuan utama dari akidah adalah memberikan pendidikan yang baik dalam menempuh jalan kehidupan, mensucikan jiwa lalu mengarahkannya kejurusan yang tertentu untuk mencapai puncak dari sifat-sifat yang tinggi dan luhur. Menempuh jalan yang dilandasi oleh pendidikan yang murni dan utama yang dilakukan oleh seseorang dengan melalui penanaman akidah adalah suatu saluran terbesar yang paling tepat dalam memperoleh cita-cita pendidikan terbaik,[8]  yaitu: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.  Kebahagaian dunia adalah sebagai sarana untuk mencapai kebahagian di akhirat (al-Ghazali).[9]
            Kata akidah memiliki nama lain yang sepadan dengannya. Diantara nama-nama tersebut adalah:
a.    Al-Iman, karena akidah membahas rukun iman, sebagaimana telah dibahas di atas.
b.   Tauhid, karena pembahasannya berkaitan dengan pengesaan kepada Allah di dalam rububiyyah, uluhiyyah,  danasma wa shifat.
c.    As-Sunnah, karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw dan para sahabat di dalam masalah akidah.
d.   Ushuluddin, karena dalam kajian akidah dibicarakan tentang ushul (rukun-rukun iman, rukun-rukun Islam, dan masalah-masalah yang qath’i, serta yang menjadi kesepakatan para ulama.
e.    Al-Fiqhul Akbar, karena berhubungan dengan masalah ushul  yang besar, yaitu pengesaan Allah.
f.    Asy-Syar’iah,  karena akidah adalah landasan utama dalam syari’a.[10]

2.      Pengertian Akhlak
Menurut etimologi bahasa Arab adalah jama’ dari Khuluk bentuk masdar dari akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan  yang memiliki arti perangai (as-sajiyah), kelakuan, tabiat, atau watak dasar, kebiasaan (ath-thabi’iah), atau kelaziman (al-‘adat), peradaban yang baik (al-muru’ah), dan agama (ad-din).[11]
Sedangkan menurut terminologi, pengertian akhlak adalah:
·       Menurut Ibnu Maskawaih : Menurutnya akhlak ialah "hal li nnafsi daa'iyatun lahaa ila af'aaliha min ghoiri fikrin walaa ruwiyatin" yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan[12].
·       Menurut Abu Hamid Al Ghazali : Akhlak ialah sifat yang terpatri dalam jiwa manusia yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan senang dan mudah tanpa memikirkan dirinya serta tanpa adanya renungan terlebih dahulu. 
·       Menurut Ahmad bin Mushthafa : Akhlak merupakan sebuah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan, dimana keutamaan itu ialah terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan yakni kekuatan berpikir, marah dan syahwat atau nafsu.
·       Menurut Muhammad bin Ali Asy Syariif Al Jurjani : Akhlak merupakan sesuatu yang sifatnya (baik atau buruk) tertanam kuat dalam diri manusia yang darinyalah terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa berpikir dan direnungkan.
Dalam Al-Qur'an surat Al-Qolam ayat 4 dikatakan bahwa "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada diatas budi pekerti yang agung". Dan dalam sebuah haditspun dikatakan bahwa " Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". 
Sehingga jelas bagi umat Islam di seluruh alam berpatokan pada akhlaknya nabi Muhammad SAW. Akhlak terpuji yang ada dalam diri Rasulullah SAW patut kita jadikan contoh dan suri tauladan yang baik.Ada dua sumber yang harus dijadikan sebagai pegangan hidup yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah yang keduanyapun dijadikan sumber akhlak islamiyah. Jika manusia telah berakhlakul karimah atau akhlak yang baik, mulia, terpuji InsyaAllah hidupnya akan jauh lebih baik. 
Secara garis besar akhlak dibagi menjadi dua: yaitu akhlak al-karimah  (akhlak terpuji), akhlak yang baik dan benar menurut syariat Islam, dan akhlak al-madzmumah ( akhlak tercela), akhlak yang tidak baik dan tidak benar menurut syariat Islam.
Sedangkan ruang lingkup akhlak adalah: pertama, akhlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Akhlak pada Allah merupakan sikap atau perbuatan manusia yang seharusnya sebagai makhluk pada Khalik, sikap ini banyak tertuang dalam al-qur’an, seperti  tidak mempersekutukan-Nya (QS. An-Nisa : 116), bertawakkal pada-Nya (QS. Ali Imron : 159), mensyukuri nikmat-nikmat-Nya (QS. Al-Baqarah :152), dan lain sebagainya.
            Kedua,  akhlak pribadi dan keluarga yang  mencakup bahasan sikap dan profil Muslim yang mulia.  Memperlakukan  sesama, termasuk pada keluarga dengan baik dan merupakan indikator kuatnya keimanan seseorang (QS. An-Nisa: 36).
            Ketiga, akhlak bermasyarakat dan muamalah yang didalamnya mencakup hubungan antar manusia. Akhlak ini mengatur konsep hidup seorang muslim dalam berinteraksi sosial dalam segala bidang terhadap sesama, baik muslim maupun non muslim, dalam tataran local maupun global.[13]
            Lafadzyaa ayyuha al-ladzina amanu”  secara tidak langsung merupakan metode Allah dalam membentuk karakter, khususnya untuk orang beriman. Karena keimanan seseorang tidak hanya dilihat dari aspek ibadahnya saja kepada Allah (hablum mina Allah), tapi juga aspek hubungannya dengan sesama (hablum mina An-nas), sebagaimana hal ini dapat dilihat dalam hadits-hadits Nabi SAW:
أكْمَلُ المُؤمِنِينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik diantara mereka akhlaknya.”(HR Tirmidzi, ia berkata: hadis hasan shahih)
(( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بالله وَاليَومِ الآخرِ ، فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ ، فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَسْكُتْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, hendaknya ia tidak menyakiti tetangganya, barangisiapa yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan dari Abu Suraikh sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa salla bersabda, “Demi Allah belum beriman (secara sempurna), demi Allah belum beriman, demi Allah belum beriman. Beliau melanjutkan, “Orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari, no. 5670)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma sesungguhnya Rasulullah sallallahu alihi wa sallam melewati seseorang dari kalangan Anshar, dia menasehati saudaranya tentang rasa malu. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dia, karena rasa malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Bukhari, no. 24 dan Muslim, no. 36)


BAB III
KAJIAN TAFSIR
ôs)s9ur $oY÷s?#uä z`»yJø)ä9 spyJõ3Ïtø:$# Èbr& öä3ô©$# ¬! 4 `tBur öà6ô±tƒ $yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî ÓÏJym ÇÊËÈ   øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ   $uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ   bÎ)ur š#yyg»y_ #n?tã br& šÍô±è@ Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ   ¢Óo_ç6»tƒ !$pk¨XÎ) bÎ) à7s? tA$s)÷WÏB 7p¬6ym ô`ÏiB 5AyŠöyz `ä3tFsù Îû >ot÷|¹ ÷rr& Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÷rr& Îû ÇÚöF{$# ÏNù'tƒ $pkÍ5 ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ì#ÏÜs9 ׎Î7yz ÇÊÏÈ   ¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ   Ÿwur öÏiè|Áè? š£s{ Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC 9qãsù ÇÊÑÈ   ôÅÁø%$#ur Îû šÍô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ  
 12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus[1181] lagi Maha mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun. Ibnu Jarir berkata bahwa Khalid ar-Rib’i mengatakan bahwa Lukman adalah seorang budak dari Habsyi (Ethiopia) dan tukang kayu[14]. Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan pengabdian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuan dalam mendidik anak secara Islami.
Anaknya bernama An’am. Anak dan istri lukman kedua kafir, dan Lukman terus mendakwahi mereka sampai keduanya masuk Islam.[15]
Ya Bunayya,  itulah panggilan Lukman kepada anaknya, yaitu panggilan yang lembut dan penuh kasih sayang. Hal ini menunjukan kecintaan Lukman terhadap anaknya. Metode pendidikan yang diajarkan Lukman adalah kasih sayang, bukan kebencian atau paksaan. Hal inilah yang menjadikan pesan yang disampaikan menjadi mudah diterima dan menghujam ke dalam hati.
Laa Tusyrik Billah, pendidikan yang pertama dan utama yang diberikan Lukman kepada anaknya adalah pendidikan akidah yang menjadi pondasi dari keimanan dan amal. Membebaskan diri dari perbuatan syirik adalah sebagai bentuk akhlak tertinggi pada Allah. Iman yang bebas dari syirik berarti tidak mensandingkan Allah yang maha Agung dan sempurna dengan makhluk yang hina dan penuh dengan kekurangan
Pesan agung yang disampaikan Lukman dengan cara yang agung kepada anaknya adalah bukti Lukman benar-benar telah diberi hikmah.
Inna Syirka la dzulmun ‘adzim, Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Abdullah berkata: “Ketika turun surat al-an’am ayat 82 ‘orang-orang beriman tidak mencapuradukan iman mereka dengan kedzaliman (syirik),hal tersebut membuat keresahan terhadap para Sahabat Rasulullah saw, dan mereka bertanya: ‘Siapakah diantara kami yang tidak mencapurkan keimanannya dengan kedzaliman? Lalu Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya bukan demikian yang dimaksud, apakah engkau tidak mendengar perkataan Lukman: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar” (HR. Muslim dari hadits al-A’masy).[16]
Ayat di atas merupakan nasihat larangan berbuat syirik, dan Lukman memberikan alasan atas larangan tersebut, bahwa kemusyrikan adalah kedzaliman yang paling besar. Pernyataan Lukman tentang hakikat ini diperkuat dengan dua tekanan, pertama, mengawalinya dengan larangan berbuat syirik dan alasannya, kedua, dengan huruf inna (sesungguhnya) dan huruf laa (benar-benar).
Nasihat ini merupakan nasihat yang bebas dari segala syubhat dan jauh dari prasangka. Karena sesungguhnya perkara tauhid dan larangan berbuat syirik adalah merupakan perkara mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak ada maksud lain dibalik semua itu melainkan untuk kebaikan semata-mata. Inilah yang akan mempengaruhi jiwa dalam segala tindakan.
Tentu masih banyak lagi cara Islami dalam mendidik anak berdasarkan ayat-ayat atau hadits Rasulullah saw yang lain. Namun paling tidak, pesan Luqman ini bukan sekedar pesan biasa umumnya seorang bapak kepada anaknya, namun merupakan pesan yang penuh dengan sentuhan kasih sayang dan sarat dengan muatan ideologis, tersusun berdasarkan skala prioritas dari pesan agar mengesakan Allah dan tidak mempersekutukannya yang semua ini akan berdampak pada ibadah dan akhlak (ayat 14 sampai 19 nya). Inilah prinsip ajaran Islam, yaitu akidah, ibadah dan akhlak.
Demikian nasehat dan pesan Luqman dalam mendidik anaknya yang didahului oleh pendidikan akidah tentang keEsaan Allah dan pengetahuanNya yang absolut yang akan melahirkan sikap mawas diri, hati-hati dan muraqabatullah dalam bersikap dan bertindak. Kekuatan dan kemantapan akidah tersebut akan terespon dan termanifestasikan dalam berakhlak dan berperilaku kepada orang lain, terutama sekali terhadap kedua orang tua. Sungguh satu upaya  yang serius dari seorang Luqman yang bijak untuk mendekatkan dan memperkenalkan seorang anak sejak dini dengan RabbNya yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan lahir dan bathin, serta menjadikannya  memiliki tingkat imunitas dan pertahanan diri yang kokoh menghadapi beragam godaan kehidupan yang dirasa kian melalaikan dan menjerumuskan.
Pada ayat 12 disebutkan Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah pada lukman” yaitu perkataan yang benar , ketajaman dalam berfikir, dan kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan.[17] Hal ini menunjukkan bahwa Lukman adalah sosok yang pantas untuk menjadi pendidik, yaitu memiliki kedekatan dengan Allah, kecerdasaan, dan akhlak yang baik. Pendidik yang baik Menurut Al-Ghazali, yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya[18].
Nasihat Luqman kepada putranya yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik (ayat 13). Imam ash Shobuni menafsirkan lâ tusyrik billâh dengan menyatakan, “Jadilah orang yang berakal; jangan mempersekutukan Allah dengan apa pun, apakah itu manusia, patung, ataupun anak[19].” Beliau menafsirkan inna asy-syirka lazhulm[un] ‘azhîm dengan menyatakan, “Perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan tindak kezhaliman yang nyata.  Karena itu, siapa saja yang menyerupakan antara Khalik dengan makhluk,  tanpa ragu-ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk ke dalam golongan manusia yang paling bodoh. Sebab, perbuatan syirik  menjauhkan seseorang dari akal sehat dan hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat  zalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.”
Dua ayat berikutnya (14 dan 15) menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pemeliharaan keduanya, terutama ibu. Dia  telah mengandungnya sejak janin di dalam kandungan; setiap bertambah usia dan besar janin, semakin bertambah lemahlah dia dan semakin bertambah sulit pula (untuk bergerak). Demikian pula ketika melahirkan, seorang ibu dengan susah-payah mengeluarkan bayinya dari rahimnya.Setelah itu, ibu menyusui bayinya selama dua tahun.  Ibnu katsir mengatakan bahwa setelah wasiat mentauhidkan dan menyuruh hanya ibadah pada Allah diiringi dengan berbakti pada orang tua[20], seperti dalam surat 4: 36, 17: 23. Hal ini menunjukkan bahwa akidah yang benar harus dibuktikan pula dengan akhlak yang baik pada sesama, terutama orang tua.Ungkapan hamalathu ummuhu wahn[an] ‘alâ wahnin wa fishâluhu fî ‘âmayni adalah untuk menjelaskan bahwa hak ibu lebih besar daripada bapak. Akan tetapi, rasa syukur kepada Allah harus di atas segalanya.  Sebab, kepada-Nya- lah tempat kembali seseorang, termasuk kedua orangtuanya.  Allah-lah yang memberi balasan yang baik kepada orang yang berbuat baik dan balasan yang buruk kepada orang yang berbuat buruk. Karena itu, sekalipun keduanya telah bersusah-payah memeliharamu, kalau mereka mengajakmu pada kekufuran dan perbuatan syirik,  janganlah kamu mengikutinya, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Hanya saja, sekalipun demikian, engkau tetap menggauli mereka dengan baik serta senantiasa berlaku sopan dan hormat kepada mereka.
Yang  harus diikuti adalah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku dengan iman (tauhid), taat,  dan amal shalih. Tempat kembali semua makhluk adalah  Allah. Allahlah yang membalas segala perbuatan hamba-Nya. Kemudian, di akhir ayat dijelaskan tentang keluasan dan kelengkapan ilmu Allah sehingga  Dia mengetahui apa saja yang telah dilakukan hamba-Nya.  Penggambaran yang demikian membangkitkan wijdan (naluri beragama) yang ada pada diri manusia.
Ayat berikutnya (16, 17, 18, dan 19) kembali mengungkapkan nasihat Luqman kepada putranya. Luqman mengajarkan kepada putranya bahwa jika ada perbuatan (dosa dan maksiat) walau seberat dan sekecil biji sawi pun dan berada di tempat yang tersembunyi—di dalam batu, di langit, atau di bumi—kelak Allah akan mendatangkan balasannya pada Hari Kiamat.  Sebab, Allah Mahahalus dan Mahatahu.  Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, bagaimanapun kecilnya, sehingga seekor semut yang melata di malam yang gelap-gulita pun tidak akan luput dari pengetahuan-Nya. Selanjutnya, Luqman mengajarkan kepada putranya tentang kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada Allah. Kewajiban pertama: mendirikan shalat.  Ibnu Katsir menafsirkan aqim ash- shalah dengan melaksanakannya tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat, dan rukun-rukunnya.Sedangkan ash-Shabuni menambahkan, yaitu dengan memelihara kekhusyukannya.  Kewajiban kedua: amar makruf nahi mungkar, yakni memerintahkan kepada manusia untuk melakukan setiap kebaikan dan keutamaan serta melarang  mereka dari setiap perbuatan buruk.  Kewajiban ketiga: bersabar, yakni bersabar terhadap gangguan, rintangan, ujian, bahaya, dan bencana yang menimpa karena menjalankan amar makruf nahi mungkar.  Ibn Abbas berkata, “Di antara hakakat iman adalah bersabar.”
Setelah pelaksanaan kewajiban, pengajaran Luqman yang berikutnya berupa larangan berakhlak buruk, yakni larangan berpaling dari manusia karena sombong dan menganggap rendah yang lain, serta larangan  berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sebab, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.  Tentang sifat sombong yang tercela tersebut, Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 37:
وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan dapat sampai setinggi gunung.(QS al-Isra’: 37).
Pengajaran selanjutnya adalah perintah berakhlak baik, yakni sederhana dalam berjalan; tidak terlampau cepat dan terburu-buru; tidak juga terlampau lambat dan bermalas-malasan; kemudian melunakkan suara (bila berbicara), tidak berteriak-teriak tanpa ada perlu, karena seburuk-buruk suara adalah suara kedelai. Penyerupaan suara ini dengan keledai menjadi konsekuensi logis keharaman dan ketercelaannya yang sangat keras.


BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI

Pelajaran awal dan dasar yang harus ditanamkan oleh orangtua kepada anaknya adalah akidah.  Di antaranya, pemahaman agar tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun,  karena perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan merupakan tindak kezaliman yang nyata, bahkan termasuk dosa besar yang kelak pelakunya akan di azab oleh  Allah pada Hari Kiamat.  Hal ini seiring dengan sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a. 8 Bacakanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. (HR al-Hakim).
Islam sangat memperhatikan pendidikan anak, sehingga diceritakan kisah Lukman dan anaknya. Yang perlu kita tiru dari kisah lukman dalam mendidik anak ialah:
1.      Menanamkan keimanan kepada anak didik sejak dini untuk selalu beriman pada Allah, dan melarang untuk mempersekutukanNya. Hal ini bisa dilakukan diantaranya dengan mengajarkan pada anak didik untuk selalu memulai dengan mengucapkan basmallah dalam setiap pekerjaannya, dan mengakhirinya dengan hamdallah. Selain itu juga, menanamkan untuk selalu berdoa kepada Allah dan menjelaskan tentang pentingnya berdoa, sehingga tertanam dalam jiwa anak didik untuk hanya bergantung pada Allah saja.
2.      Menanamkan pada anak didik agar senantiasa menghindari perbuatan dzalim, baik kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain.
3.      Guru untuk selalu berusaha menyampaikan sumber ilmu yang disampaikannya, yaitu al-Qur’an dan hadits yang shohih, sehingga tertanam dalam jiwa anak didik kecintaan pada keduanya. Hal ini akan berimplikasi pada akidah, ibadah, dan akhlak yang lurus dan benar.
4.      Pengajaran dengan menggunakan metode dialog yang penuh kasih sayang, saling menghargai.
Selain itu,  perlu juga memperhatikan komponen-komponen pendidikan. Menurut Abbudin Nata ada enam komponen di dalam mendidik anak, yaitu[21]:
1.      Komponen pendidik, dalam hal ini adalah orang tua dalam keluarga dan guru di sekolah diusahakan memiliki hikmah, (sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang hikmah).
2.      Komponen anak didik (murid) yang harus diperlakukan dengan baik dan kasih sayang.
3.      Komponen lingkungan yang kondusif dan nyaman.
4.      Komponen materi (kurikulum) pendidikan yang dalam ayat-ayat di atas mencakup materi pendidikan tentang keimanan atau akidah yang kokoh, ibadah, dan akhlak mulia, antara lain memuliakan orang tua, menjauhi perbuatan mungkar dan sombong serta pendidikan tentang kerendahan hati.
5.      Komponen hubungan, pendekatan dalam proses belajar mengajar, dalam hal ini mengembangkan pola hubungan yang harmonis, demokratis, menghargai pendapat orang lain, manusiawi, berorientasi pada kebenaran ilmiah dan professional.
6.      Komponen metode, yang dalam hal ini bisa dengan cara dialog, (dialog argumentatif, dialog deskriptif), ibrah dan mauizhahi, demonstrasi, ceramah, dan targhib dan Tarhib.




BAB V
KESIMPULAN

Sesungguhnya akhlak yang baik hanya akan lahir dari kesadaran mentauhidkan Allah SWT dengan segala konsekuensinya. Sungguh menjadi hal yang paling terpenting dalam kurikulum pendidikan adalah pengajaran tauhid yang benar sebelum mengajarkan ilmu-ilmu yang lainnya.
Pesan pertama Lukman adalah larangan untuk mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah akhlak yang paling tercela diantara semua akhlak tercela, sebab ketika mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya perbuatan tersebut menyamakan atau mensejajarkan Allah  sang Khalik dengan makhluk. Ketika manusia sudah tidak berakhlak pada Allah yang telah menciptakannya dan memenuhi segala kebutuhannya, bagaimana akhlaknya kepada selain Allah. Oleh karena itu, ketika akhlak sesorang kepada Allah (mentauhidkan-Nya) sudah baik dan benar, maka dapat dipastikan akhlak kepada yang lainnya akan baik dan benar juga.
Tauhid bagaikan akar dalam sebatang pohon, jika akarnya kuat dan kokoh, maka batang pohon tersebut pun akan menjadi kuat dan kokoh. Konsekuensi logis dari akar dan dan batang yang kokoh akan melahirkan buah yang baik. Buah itulah akhlak dalam iman.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa kekuatan iman berbanding lurus dengan kebagusan akhlak. Hal ini bisa dilihat dalam hadits-hadits beliau:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ    قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Hakim, Shahihul Jaami’ no. 1230)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu yang banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga. Beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik,” dan Beliau pun ditanya tentang sesuatu yang banyak memasukan manusia ke dalam neraka. Beliau menjawab: “Dua buah lubang, yaitu mulut dan kemaluan”
Alqamah berkata dari Ibnu Mas’ud, dalam hadits marfu: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dzarrah dari kesombongan. Dan tidak akan masuk neraka orang yang didalam hatinya terdapat seberat biji dzarrah dari keimanan.


DAFTAR PUSTAKA

Alim, Akhmad Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014
Ash-Shabuni, Muhammad Ali shofwah At-Tafasir, Darul Fikr, jilid 2
Lawi, Amin Abu Ushul At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Riyadh: Daar ibnu Al-Jauzy
Muhammad, bin Abdullah bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj, Pustaka Imam Asy-Syafi’i,, 2008
Nata, Abuddi Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta, rajawali pers, 2009)
Nata, Abuddin Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta꞉ PT. RajaGrafindo Persada, 2000)
Sabiq, Sayid, Aqidah Islam, Bandung: Diponegoro, 1976
Safri, Ulil Amri Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014
http://www.kpai.go.id/artikel/tawuran-pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan/















                [1] Devit Setyawan, Tawuran Pelajar Memprihatikan Dunia Pendidikan, http://www.kpai.go.id, diakses 20 Desember 2015
[2] Wahyu Aji, Tawuran Pelajar Jadi Kekerasan Anak Paling Menonjol Tahun 2014, http://www.tribunnews.com, diakses 20 Desember 2015
[3]     Sugiharto, Seks Bebas Dikalangan Remaja, Pelajar, dan Mahasiswa Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup, https://sugiartoagribisnis.wordpress.com, diakses 20 Desember 2015
[4]Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, cet 1, hal: 186
[5] Ibid, hal: 187
[6] Lihat Amin Abu Lawi, Ushul At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Riyadh: Daar ibnu Al-Jauzy, hal: 77-79
[7] Sayid Sabiq, Aqidah Islam, Bandung: Diponegoro, 1976, cet 2, hal: 16-17
[8] Ibid, hal: 19-20
[9] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet 1, hal 86
[10] Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, cet 1, hal: 187-188
[11] Ulil Amri Safri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, cet 2, hal :72
[12] Amin Abu Lawi, Ushul At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Riyadh: Daar ibnu Al-Jauzy, hal: 97
[13] Op. cit, hal: 80-81
[14] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj, Pustaka Imam Asy-Syafi’i,, 2008, cet 1, hal: 202
[15]  Abu al-Qosim Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘An Hakoiki ghowamidhi wa ‘Uyuuni al-Aqoowilifi Wujuhi al-Ta’wiil, Riyadh: maktabah al-abikan, juz 5, 1998, cet 1, hal: 11
[16] Op. cit, jilid 7, hal 205
[17] Muhammad Ali Ash-Shabuni, shofwah At-Tafasir, Darul Fikr, jilid 2, hal:491
[18] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta꞉ PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet 1, hal 95-96
[19] Op.cit
[20] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj, Pustaka Imam Asy-Syafi’i,, 2008, cet 1, hal: 204
[21] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta, rajawali pers, 2009), hlm: 203-204

Categories: