KEDUDUKAN AKAL
Posted by Unknown on 17:46
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Alhamdulillah segala puji kepada Allah swt yang telah
memberikan akal kepada manusia sehingga membedakannya dari hewan yang tidak
berakal, shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam yang menyerukan keimanan dan kebaikan kepada seluruh manusia.
Al quran adalah mukjizat Islam, dan tidaklah al quran
membuat kemajuan ilmu kecuali semakin dalam. Allah swt menurunkan nya kepada
Rasulullah saw untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya serta
memberi hidayah kepada jalan yang lurus, maka Rasulullah pun menyampaikannya
kepada para shahabat dan mereka adalah arab asli[1]. Yang
mana pada saat itu tidak memiliki pedoman hidup, hanya mengikuti dan meniru dari
apa yang diketahui oleh pendahulu mereka tanpa mengetahui asal nya dan
menjadikan hal-hal tersebut sebuah kebudayaan yang dipegang erat oleh mereka.
Meski pendahulu mereka adalah orang yang paling bodoh dan paling sesat, dan ini
adalah syubhat belaka untuk menolak kebenaran.[2]
Keadaan ini sebagaimana telah Allah subhanahu
wa ta’ala kabarkan dalam al-quran:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ
مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُون [البقرة : 170]
Yang artinya: dan ketika dikatakan kepada
mereka ikutilah apa yang telah Allah turunkan mereka berkata: (Tidak!) kami
mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami padahal nenek moyang
mereka tidak mengetahui (berakal) apapun dan tidak mendapat petunjuk. (Q.S
al-Baqoroh: 170.)
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ
وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
[الزخرف : 22]
Yang artinya: Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami
mendapati nenek moyang kami telah berada pada suatu agama dan kami mengikuti
jejak mereka. (Q.S az-Zukhruf: 22)
Sehingga keadaan ini membatasi ruang pikir
bagi akal karena hanya mengikuti tradisi yang diturunkan dari generasi ke
generasi. Sungguh pada keadaan yang demikian sangat merusak dan tidak
menghargai akal dan fungsinya, padahal akal memiliki kedudukan yang mulia dalam
Islam karena dengan akal maka terselamatlah diri daripada mengikuti hawa nafsu
yang sentiasa menyuruh untuk melakukan keburukan. Dan setiapperbuatanburukadalah yang akanmembawamanusiakeNerakaJahannam,
Allah berfirman :
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا
فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ [الملك : 10]
Yang artinya: Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".(Q.S. Al-Mulk: 10)
Seandainya para penghuni neraka memanfaatkan
akal mereka dan mendengarkan apa yang Allah swt berikan dari kebenaran maka
mereka tidak akan berada dalam kekufuran[3]. Akal yang dimanfaatkan dengan baikmampumemeliharamanusiadariapineraka.Islam
adalah agama yang sangatmemperhatikanperan danfungsiakalsecara optimal. Syarat untuk seseorang yang sah mendapat
beban taklif atau sebuah hukum yaitu mampu memahami (dengan perantara
atau tidak) sebuahkhithab taklif yang tertuju kepadanya, dan memiliki
gambaran tentangnya untuk kemudian dilaksanakannya. Kemampuan untuk memahami khitab
taklif tersebut tidak dapat
dilaksanakan kecuali dengan akal[4]. Sehingga
akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau
sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun
tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban
apapun.
Di dalam Islam, dalam menggunakan akal
mestilah mengikuti kaidah-kaidah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak
melewati batas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan
musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai musuh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً
مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ [آل عمران : 118]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kerana) mereka
tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari pada mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih
besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya
(dengan menggunakan akalmu). (Q.S.
Ali ‘Imran :118)
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana konsep akal dalam al-quran dan
sunnah?
2. Bagaimana implementasi konsep akal dalam alquran dan sunnah dalam
pendidikan?
BAB II
KAJIAN TEORITIS
1.
Akal
Akal berasal dari bahasa
arab yang berarti menahan dan mengekang[5], adapun
dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti daya pikir, jalan atau cara
melakukan sesuatu[6].
Yang berarti bahwa akal adalah sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang
terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Orang yang berakal adalah orang yang
mampu mengikat atau mengendalikan hawa nafsunya. Kemampuan seseorang untuk mengikat
hawa nafsu, akan menempatkan hawa nafsu pada posisi yang serendah-rendahnya,
sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya, ia akan mampu memahami wahyu
sebagai kebenaran. Orang yang tidak mampu menawan hawa nafsunya tidak akan mampu
mengendalikan dirinya.
Adapun pengertian akal
sendiri diungkapkan oleh para ulama diantaranya: Ibnu Taimiyah yang berkata:
“Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari
kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak
pada jisim yang nampak untuk akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang
mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada
berakal dengan ilmu.”
Sedangkan menurut Syaikh
Al Albani “Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang
mengekang dari mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin
bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti
kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.”[7]
2.
Al quran dan as sunnah
Al-quran dan sunnah adalah dua hal utama yang menjadi
sumber hukum dalam Islam, dari kedua hal inilah segala hukum Islam berawal.
Karena Al-quran adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW dengan perantara jibril yang mana membaca nya adalah suatu ibadah[8],
Allah SWT berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ
حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ [التوبة : 6]
Yang artinya: dan jika diantara kaum musyrikin ada
yang meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah sampai ia mendengar firman
Allah (Q.S. At-Taubah: 6)
Imam Ibnu katsir berkata dalam kitab tafsirnya maksud dari “Kalamullah”
adalah Al-quran[9]
Sedangkan as-sunnah adalah segala sesuatu yang berasal
dari Rasulullah SAW baik itu berupa perkataan, perbuatan atau ketentuan dari
Rasulullah SAW[10].
Dan sudah menjadi kewjiban bagi seluruh muslim untuk percaya dan melaksanakan
apa yang berasal dari Rasulullah SAW
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الحشر : 7]
Yang artinya: dan apa yang di berikan Rasul kepada kalian
maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah dan bertaqwalah
kepada Allah sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (Q.S. Al-Hasyr: 7)
Maka ketika terdapat sesuatu yang di muliakan dalam
al-quran dan as-sunnah, sudah pasti bahwa hal tersebut adalah hal yang mulia
tanpa ada sedikit pun keraguan. Dan jika terdapat hal yang di hinakan dalam
al-quran dan as-sunnah, maka pastilah hal tersebut adalah hal yang hina.
BAB III
KAJIAN TAFSIR
Islam sungguh amat sangat memuliakan akal dan
menjadikannya sesuatu yang bisa mengangkat derajat seseorang hal ini bisa kita
lihat dari bagaimana Allah SWT mengkhususkan orang-orang yang berilmu atau
menggunakan akalnya dengan sebagaimana mestinya.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ [الأنبياء : 7]
Yang artinya: maka bertanyalah kepada orang yang
berilmu jika kamu tidak mengetahui (Q.S. Al-Anbiya: 7)
Dari ayat ini kita mengetahui bahwasanya Allah
SWT memberikan suatu kedudukan tersendiri bagi para ulama yang menggunakan akal
nya dengan baik dan benar sebagai tempat rujukan bagi yang lainnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ [النساء : 59]
Yang artinya: wahai orang-orang yang beriman taatlah
kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul serta Ulil amri dari kalian.
(Q.S. An-Nisaa: 59).
Beberapa ulama diantaranya: Jabir bin ‘Abdullah, Mujahid,
Malik, dan Adh-Dhohak mentafsirkan ‘ulil amri’ dalam ayat ini adalah
ahlul quran dan ilmu, para faqih dan ulama.[11]Dari
ayat ini kita mengetahui bagaimana Allah memuliakan seseorang yang berilmu
dengan menjadikannya seseorang yang layak untuk ditaati. Begitulah kiranya
diterangkan dalam al-quran bagaimana akal dapat mengangkat derajat seseorang
apabila ia digunakan sebagaimana mestinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengabarkan dalam sunnahnya tentang bagaimana akal yang baik bisa mengangkat
dan memuliakan seseorang di hadapan Allah ‘azza wa jalla.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ. رواه لبخاري
Rasulullah SAW bersabda: “ Barangsiapa yang Allah
kehendaki baginya kebaikan Allah jadikan ia seorang faqih (‘alim)” HR. Al-Bukhari.
Meski sekilas, bila membaca arti hadits ini kita memahami
bahwa Allah akan menjadikan seseorang yang ia kehendaki baginya kebaikan
menjadi seorang faqih meski tanpa usaha.
Ibnu hajar mengatakan dalam menjelaskan hadits ini bahwa
ini menetapkan kebaikan bagi seseorang yang mempelajari agama[12]. Di
terangkan juga dalam as-sunnah betapa akal menjadi suatu ukuran bagi manusia
untuk diberikan kepadanya suatu tanggungan atau taklif.
أَنَّ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ
عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشُبَّ وَعَنْ الْمَعْتُوْهِ
حَتَّى يَعْقِلَ. رواه الترمذي.
Rasulullah SAW bersabda: suatu kewajiban itu terangkat
dari tiga orang yaitu seorang yang sedang tidur hingga ia terbangun, seorang
bayi hingga ia dewasa, dan dari orang yang hilang akal nya hingga ia berakal.
HR. At-Tirmidzi.
Jelas hadits ini menerangkan betapa pentingnya
kedudukan akal karena alasan dari diangkatnya suatu kewajiban dari ketiga orang
yang di maksud dalam hadits diatas adalah tidak adanya akal dari ketiga orang
tersebut.
Peran Al-Quran dalam mendidik akal.
Sesungguhnya Islam amat memperhatikan akal agar
senantiasa sesuai dengan fitrah yang diciptakan oleh Allah SWT dan juga selalu
mengawasi serta menolongnya. Maka Islam adalah agama yang menghargai akal juga
pemikiran, aqidah nya meletakkan akal bersama teks-teks wahyu sebagai landasan
utama dalam membangun sisi keimanan yang tidak bertentangan diantara keduanya.
Karena keduanya adalah pemberian dari Allah SWT sehingga tidak mungkin
bertentangan.
Sebagaimana bila kita perhatikan dalam ayat
Al-Quran akan banyak kita temukan ayat-ayat yang menyeru kepada akal agar
berfikir, sehingga akal terus terdidik agar menjadi tajam dan berjalan sesuai
dengan fitrah yang Allah SWT ciptakan. Berikut ini beberapa contoh dari ayat
Al-Quran yang mengarah kepada akal dengan tujuan mengarahkannya untuk
memperhatikan dan berpikir dalam hakikat keberadaan Allah SWT dan sifat Nya.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَكُمْ مِنْهُ
شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ (10) يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ
وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (11) وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ [النحل : 10 - 12]
Yang artinya: Dialah yang menurunkan air hujan dari
langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya menyuburkan
tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu(10). Dengan air hujan itu Dia
menumbuhkan untuk kamu tanaman-tanaman zaitun, kurma, anggur, dan segala macam
buah-buahannya sungguh yang demikian itu benar-benar terdapat tenda-tanda
kebesaran Allah bagi orang yang berfikir(11) dan Dia menundukkan malam dan
siang, matahari dan bulan untukmu, dan bintang-bintang dikendalkan dengan
perintahNya. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran
Allah bagi orang yang berakal.” (Q.S. An-Nahl: 10-12)
Dalam ayat ini terdapat suatu pendidikan bagi akal
manusia untuk melihat dan mentadabburi alam mulai dari hujan, tumbuhan dan
buah-buahan, begitu juga pergantian siang dan malam, pergerakan bulan dan
bintang bahwa betapa hebat nya semua peristiwa ini hal-hal ini tidaklah dapat
diketahui kecuali dengan menggunakan akal untuk berpikir. Semua ini adalah tanda
kebesaran Allah SWT bagi orang-orang untuk berfikir. Dalam ayat lain kita juga
bisa melihat bagaimana Al-Quran mendidik akal untuk berpikir
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا [ق : 6]
Yang artinya: apakah mereka tidak melihat
ke langit yang berada diatas mereka, bagaimana kami membangunnya” (Q.S. Qaaf: 6)
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ
كَيْفَ رُفِعَتْ [الغاشية : 17 ، 18]
Yang artinya: apakah mereka tidak melihat
kepada onta bagaimana diciptakan dan kepada langit bagaimana terangkat
(Q.S. Al-Ghaasiyah: 17-18).
Kedudukan akal terhadap Al-quran dan As-Sunnah
Begitu perhatiannya Allah SWT terhadap akal dibuktikan
dengan banyaknya ayat yang tertuju kepada akal untuk berfikir dan ayat-ayat
lainnya yang menunjukkan kemuliaannya. Tetapi meski demikian bukan berarti akal
menjadi segalanya dan ia menempati posisi paling atas. Penggunaan akal dalam
berpikir tidak boleh menjadi sebebas bebasnya tanpa pedoman, justru akal
semestinya mengikuti Al-quran dan sunnah dalam berfikir.Sebagai contoh dalam
surat Al-Ghaasiyah ayat 17-18 ketika Allah SWT memerintahkan untuk berfikir
tentang penciptaan onta dan langit, hal ini adalah untuk mengarahkan akal untuk
berpikir tentang siapa pencipta semua ini dan mengetahui serta menambah
keyakinan terhadap Allah SWT.
Tanpa diragukan lagi bahwa akal memiliki kelemahan dan tidaklah
sempurna, maka dari itu ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa di
pikirkan oleh akal
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ
إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي [الأعراف : 187]
Yang artinya: mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang
kiamat kapan terjadi, katakanlah sesungguhnya pengetahuan tentangnya ada pada
Tuhanku. (Q.S. Al-‘Araf: 187)
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ
رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلً [الإسراء : 85]
Yang artinya: dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang ruh katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku sedangkan kamu hanya di
berikan pengetahuan sedikit (Q.S. Al-Isra: 85)
Ayat ini diturunkan ketika ada sekelompok orang-orang
yahudi yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ruh dengan maksud hanya
untuk menguji saja, kemudian diturunkanlah ayat ini sebagai jawaban atas
pertanyaan mereka. Dan sekaligus juga menjelaskan bahwa ilmu yang diperoleh
oleh manusia hanyalah sedikit saja seperti tetesan dari lautan sehingga tidak
bisa menjangkau semua perkara yang salah satunya adalah ruh, yang mana ia
adalah perkara yang hanya diketahui Allah SWT saja.[13]
Dari ayat di atas dapat dipahami betapa terbatas nya akal
manusia sehingga banyak hal yang belum dapat dipahami secara baik, oleh karena
itu hendak nya manusia tidak menjadi sombong karena akal nya yang terbatas
melainkan menjalankan fungsi akal sesuai dengan petunjuk Al-quran dan
as-sunnah. Ada banyak hal yang akal tidak mampu untuk mempertimbangkan apakah hal
itu baik atau buruk bagi manusia
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [البقرة : 216]
Yang artinya: dan boleh jadi kalian membenci sesuatu sedangkan
itu baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu sedangkan itu buruk
bagi kalian. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui (Q.S.
Al-Baqoroh: 216)
Dalam menjalankan fungsi akal untuk berpikir kita tetap
harus berlandaskan kepada tauhid yang benar dan berhati-hati agar akal tidak
mengarah kepada sesuatu yang sesat.
عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ
بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
رواه أبو داود.
Dari ‘Ali bin abi thalib radliyallahu ‘anhuberkata kalau
saja perkara agama berdasarkan akal niscaya bagian bawah dari khuf yang lebih pantas untuk di basuh dari pada
bagian atasnya. Dan aku benar-benar melihat Rasulullah SAW membasuh bagian atas
dari khuf HR. Abu Daud
Meski akal memiliki fungsi dan peran yang
penting dalam Islam, tetapi kepercayaan dan kepatuhan terhadap perintah Allah
dan Rasul Nya tetaplah yang menjadi landasan pertama dalam Islam.
BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI
Al-Quran dan as-sunnah adalah dua pedoman
dasar bagi orang-orang yang beriman, maka dari keduanya lah segalanya berawal.
Adapun keterkaitan pembahasan kedudukan akal dalam Al-quran dan as-sunnah
dengan pendidikan banyak sekali diantaranya adalah sebagai berikut:
-
Pendidikan hendaknya bertujuan untuk mendidik
peserta didik memiliki fitrah alaminya sebagai manusia yang memiliki akal yang
baik sehingga ia menjadi manusia yang mulia. Sebagaimanaal-Quran dan as-sunnah
memuliakan akal dengan menjadikannya sesuatu yang bisa mengangkat derajat
manusia.
-
Metode dalam Al-quran dalam mendidik akal
manusia adalah dengan mengajak akal untuk berpikir dengan terarah. Hal ini
sangat penting sekali dalam pendidikan di mana masih banyak dari para pendidik
yang memberikan hal-hal yang instan kepada peserta didik sehingga tidak
memberikan ruang bagi akal nya untuk berlatih berpikir, ataupun sebaliknya para
pendidik yang hanya menyuruh peserta didik untuk berpikir untuk mencari suatu
perkara tanpa arahan yang baik sehingga peserta didik pun menjadi terlalu bebas
dan tidak terarah.
BAB V
KESIMPULAN
1. Akal memiliki kemuliaan dalam Al-Quran dan as-sunnah dengan menjadikannya
sesuatu yang bisa mengangkat derajat manusia, dan juga menjadikan akal tolak
ukur dalam Islam untuk memberika suatu kewajiban bagi seseorang serta
menjadikannya sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dari Allah SWT.
2. Al-Quran memiliki peran yang penting dalam mendidik akal karena banyak
sekali ayat dalam al-quran yang tertuju kepada akal agar berpikir dengan
memberikan arahan agar tidak meyelisihi kebenaran yaitu dengan mengarahkan nya
kepada keimanan.
3. Kedudukan akal terhadap al-quran dan as-sunnah tidak melebihi batasnya
karena akal manusia itu lemah dan memiliki batasan, sehingga akal harus
menjadikan al-quran dan as-sunnah landasan dalam proses berpikir dan jangan
sampai menyelisihi keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
As-sijistany, Abu daud sulaiman al-asy’ats, Sunan
abu daud, Daar al-kutub Beirut.
Al-atsqolany, Ibnu hajar,Fathul baari, Daar
al-ma’rifah, Beirut.
Al-qurtubi, syamsuddin,Al-jami’ li ahkaam
al-quran, maktabah syameela.
Ismail,Muhammad bin,Shahih al-bukhari, Daar
ibnu katsir, Beirut.
‘Isa,Muhammad bin, Al-jaami’ ash-shohih
sunan at-tirmidzi, Daar ihya at-turats al-‘araby Beirut.
Katsir, Ismail bin ‘umar bin, 1999, Tafsir
al-quran al-‘adzhim, Daar ath-thayyibah.
Mandzhur, Ibnul, Lisaanul ‘arob, Daarul
ma’arif, kairo.
Qotthon,Manna’, 2000, Mabahits fii ‘uluumil
quran, Al-ma’arif .
Qotthon, Manna’, 2007,Mabahits fii ‘ulumil hadits,
Wahbah.
Zaydan, Abdul karim, Al wajiiz fii ushul
fiqh, Nasyr ihsan.
KBBI online, http://kbbi.web.id/akal.
[1]Manna’ al qathan, mabahits fi ulumil quran, maktabah al ma’arif, 2000,
hal:5
[2]As sa’diy, taysiir al karim ar rahman fii kalaami al mannan, muassasah ar risalah,
2000, hal: 81.
[3]Lihat: Ibn katsir, tafsir al quran al adzhim, daar thayyibah, 1999, jilid 8
hal: 178.
[4]Abdul karim zaydan, al wajiiz fii ushul fiqh, nasyr ihsan, hal: 87.
[5]Ibnul mandzhur, Lisaanul ‘arob, daarul ma’arif, kairo, jilid 4 hal:
3046.
[6]KBBI online, http://kbbi.web.id/akal.
[8]Mabahits fii ‘uluumil quran, Manna’ qotthon, penerbit al-ma’arif tahun
2000, hal 17.
[9]Tafsir al-quran al-‘adzhim, Ismail bin ‘umar bin katsir, penerbit daar
ath-thayyibah tahun 1999, 8 jilid, jilid ke: 4 hal: 113.
[10]Mabahits fii ‘uluuil hadits, Manna’ qotthon, penerbit wahbah tahun 2007,
hal: 7.
[11]Al-jami’ li ahkaam al-quran, syamsuddin al-qurtubi, hal: 249.
[12]Fathul baari, Ibnu hajar al-atsqolany, penerbit daar al-ma’rifah
beirut 13 jilid, jilid: 1 hal: 164.
[13]Tafsir al-quran al-‘adzhim, Ismail bin
‘umar bin katsir jilid:5 hal:116.
Categories: Jurnal