PENDIDIKAN AKHLAK
Posted by Unknown on 02:08
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Prof. A. Tafsir menyayangkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
merupakan core Pancasila sebagai filsafat Indonesia, dan telah turun
dengan sempurna dalam UUD 45 namun tidak turun secara sempurna ke dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2013 sebagai bentuk operasional setelah
konstitusi. Dimana keimanan dan ketakwaan tidak menjadi landasan pokok
pendidikan. Sehingga core Ketuhanan YME tidak sampai secara turun
temurun hingga Petunjuk Teknis (JUKNIS) yang kadang-kadang bentuk operasional
terakhir dari suatu aturan.[1]
Sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia,
seyogyanyalah menjadikan keimanan dan ketakwaan – dalam hal ini kepada Allah
swt. Tuhan Yang Maha Esa – sebagai inti dan landasan utama pendidikan sebagai
usaha memberantas krisis yang terjadi di negara ini. Penerapan tersebut bisa
dilakukan walau Indonesia bukan negara Islam sebagaimana Arab Saudi dsb. karena
dalam Islam tidak ada pertentangan antara agama dengan negara sebagaimana
diisyaratkan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa: “…sebenarnya dalam sejarah
Islam memang tak ada pertentangan antara kekuasaan agama (teokrasi) dengan
kekuasaan temporal (sekuler), yakni seperti antara gereja dengan negara.”[2]
Pendidikan adalah sumber mata air murni yang menyediakan kejernihan
pada saat masyarakat mengalami situasi keruh. Sehingga pendidikanlah sebagai
benteng terakhir dari krisis multidimensi yang sedang dialami oleh masyarakat
saat ini.[3]
Tak terkecuali dunia pendidikan Islam pun saat ini mengalami krisis yang
menyebabkan kemunduran. Di antara penyebab kemunduran tersebut adalah
ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan krisis
budaya, serta hilangnya qudwah hasanah, akidah shahihah, dan
nilai-nilai Islami.[4]
Melalui pendidikan mental al-Akhlaq al-Karimah, permasalahan
krisis yang terjadi di hampir setiap sektor saat ini akan mampu terurai dan
mengembalikan kebudayaan dan peradaban yang telah terkikis. Perihal tersebut
ditegaskan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa: “…Kebudayaan Islam lahir atas
dasar rohani, yang mengajak manusia pertama kali dapat menyadari hubungannya
dengan alam dan tempatnya dalam alam ini dengan sebaik-baiknya. Kalau kesadaran
demikian sudah sampai ke batas iman, maka imannya itu mengajaknya agar tetap
terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan hatinya selalu, mengisi
jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip yang lebih luhur –
prinsip-prinsip harga diri, persaudaraan, cinta kasih, berbakti dan bertakwa.[5]
Agama dan kebudayaan yang telah dibawa oleh Muhammad Saw. kepada
umat manusia melalui wahyu Allah sudah begitu terpadu sehingga tidak dapat lagi
dipisahkan.[6]
Sehingga dalam memaknai akhlaq al-karimah, Dr. Ulil Amri Syafri
menyimpulkan bahwa akhlak adalah merupakan sikap yang melekat pada seseorang
berupa ketaatan pada aturan dan ajaran syariat Islam yang tercermin dalam
berbagai amal, baik amal batin seperti zikir, berdo’a, maupun amalan lahir
seperti kepatuhan pelaksanaan ibadah dan sikap tata krama berinteraksi dengan
orang lain.[7]
Sikap-sikap tersebut yang melekat pada setiap individu harus
ditumbuhkan dan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum syariat agama Islam karena
pada hakikatnya, akhlak adalah hukum syariat yang mana di antaranya adalah yang
wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram sebagaimana pembagian hukum yang lima
dalam ilmu fiqih.[8]
Sehingga tujuan utama pendidikan, yakni dekat dengan Allah swt. dan sebagai
bekal hidup di akhirat kelak dapat tercapai. Sebagaimana definisi pendidikan
menurut al-Imam al-Ghazali bahwa pendidikan anak adalah pendidikan agama
dan moral, yang berbasis pada kesederhanaan dan zuhud dari
kenikmatan-kenikmatan dunia hingga terbebas darinya. Dan tujuan utamanya adalah
mendekatkan diri kepada Allah swt. serta persiapan untuk kehidupan akhirat.[9]
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka perlu
perlu dirumuskan batasan pembahasan yang berkenaan dengan pembentukan al-akhlaq
al-karimah berdasarkan syariat agama islam. Untuk itu, pertanyaan berikut
perlu dijawab sebagai upaya realisasi pendidikan islami.
1.
Bagaimana
metode pembentukan akhlak berdasarkan syariat agama Islam?
2.
Apa
saja yang dapat dilakukan sebagai upaya pembentukan akhlak?
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.
Pengertian
Metode
Secara harfiyah metode berasal dari bahasa Yunani,
yaitu meta
meta yang
berarti menuju, dan hodos yang berarti jalan atau cara tertentu. Metodos berarti menuju jalan atau cara tertentu.[10]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), metode berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar
tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[11]
Secara
sepintas, definisi yang terdapat dalam KBBI, kata metode ekuivalen dengan cara.
Ini tidak seluruhnya salah, sebagaimana penjelasan Ahmad Tafsir: “… pengertian
metode secara tepat, dapat kita lihat penggunaan kata metode dalam bahasa
Inggris. Dalam bahasa Inggris ada kata way
dan ada kata method. Dua kata ini sering diterjemahkan cara dalam bahasa
Indonesia. Sebenarnya yang lebih layak
diterjemahkan cara adalah kata way itu, bukan method. Metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian
“cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.” Ungkapan “paling
tepat dan cepat” itulah yang membedakan method dengan way (yang juga berarti cara) dalam bahasa Inggris.[12]
Dalam dunia pendidikan, selain kata metode dan cara, strategi juga sering didengar. Kata tersebut sering disandingkan dengan kata pembelajaran. Sehingga metode dan strategi juga seolah satu hal yang searti. Wina Sanjaya menjelaskan, “strategi
pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan
metode adalah upaya mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam
kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.”[13]
Berdasarkan uraian di atas maka metode dapat
diartikan sebagai cara kerja bersistem yang paling tepat dan cepat sebagai
upaya mengimplementasikan sesuatu yang telah direncakan agar tercapai secara
optimal.
B.
Akhlak
Islam dan Ruang Lingkupnya
Secara
bahasa, akhlak belarasal dari bahasa Arab yaitu akhläq adalah bentuk
plural dari khulqu dan khuluq mempunyai arti kehormatan,
kebiasaan, watak alami, budi pekerti, kelakuan.[14] Mujiddu
ad-Din al-Fairuz Abadi dalam kamus al-Muhith menambahkan makna khuluq
dengan ad-Din yang berarti agama.
Sedangkan
secara istilah, akhlaq adalah suatu kondisi jiwa yang kokoh dimana
setiap perbuatan timbul tanpa pemikiran dan gagasan.[15]
Hal serupa juga disampaikan oleh Dr. Adian Husaini pada sesi perkuliahan Islamic
Worlview di fakultas pascasarjana, universitas Ibnu Khaldun Bogor, 19
November 2015, bahwa akhlak adalah sikap yang melekat pada seseorang yang
dilakukan tanpa berpikir lagi. Khuluq juga berarti keadaan jiwa yang
mendorong kepada pekerjaan tanpa pemikiran dan pertimbangan.[16]
Selain itu, menurut Imam Al-Ghozali: “Aklak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa seseorang yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang dan mudah,
tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.”[17]
Dari
pengertian di atas, akhlak adalah sikap, kebiasaan yang melekat pada diri
seseorang yang pada dasarnya timbul secara alami dan diwujudkan dalam tingkah
laku. Di samping sikap dan amal lahir, akhlak juga meliputi sikap dan amal
batin pada seseorang (yang dilakukan hatinya).[18]
Dari
beberapa definisi akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari khuluq di
atas ditemukan kata khuluq yang berderivasi dengan kata khaliq (pencipta)
dan makhluq (yang diciptakan, makhluk), sehingga tuntutan berakhlak
harus didasarkan pada norma-norma yang telah digariskan Al-Khaliq dan
kepentingan makhluk. Dalam arti teknis, akhlak sama dengan etika atau moral.
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani, ethos (watak, susila,
adat) dan mores (adat kebiasaan).
Secara terminologi, etika adalah ilmu yang menjelaskan tentang arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa etika dapat membuat manusia
menjadi baik, tetapi hanya bisa memperlihatkan kepada manusia apa itu kebaikan
dan apa itu keburukan. Dengan kata lain, etika tidak akan berguna selama tidak
ada kehendak pada diri seseorang untuk menjalankan perintah-perintah Allah
serta menjauhi larang-larang-NYA.
Adapun moral adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk
menentukan batas dari sifat, perangai, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk. Kata moral sering digunakan
untuk memberikan batasan terhadap perbuatan seseorang dengan ketentuan baik
atau buruk.
Akan tetapi akhlak (etika) Islam berbeda dengan akhlak (etika)
non-Islam, atau akhlak (moral) non-Islam, karena akhlak Islam adalah produk
dari keyakinan Muslim atas kemahaesaan Allah dengan segala konsekuensinya,
yaitu tauhid. Perbedaan ini terdapat pada tinjauan sumber atau landasan
yang dipakai. Akhlak bersumber pada kebenaran wahyu Allah, sedangkan etika atau
moral berdasarkan kepada kebudayaan yang dilandasi hasil pemikiran manusia.
Selain itu, dari tinjauan objek pembahasan, akhlak membahas masalah “benar” dan
“salah”, atau “haqq” dan “bathil”, sehingga dapat diketahui mana yang
termasuk “ma’ruf” (baik), dan mana yang “munkar” (buruk).
Sedangkan etika membahas antara “baik” dan “buruk”. Selain itu, dari segi masa
berlakunya, karena berbeda sumber dan landasannya, maka akhlak berlaku umum,
menyeluruh (totalitas), dan universal, tidak terikat oleh waktu dan tempat
(kebudayaan/adat yang berlaku); sedangkan etika terikat oleh waktu dan tempat
dan adat kebiasaan.[19]
Akhlak
bukanlah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri terpisah dari agama (syari’at),
melaikan merupakan bagian dari agama, atau sesuatu yang dilahirkan oleh agama.[20]
Dimana ajaran agama Islam pada garis besarnya terdiri atas tiga bidang, yatiu: aqidah,
syari’at, dan akhlaq.[21]
Akidah
atau keimanan adalah aspek kesadaran seseorang sebagai hamba Allah, merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan seorang muslim. Sehingga, akidah
atau keimanan menuntut pembuktian dalam bentuk ibadah, baik secara khas (mahdhah)
maupun dalam arti luas (mu’amalah), serta pencerminannya dalam bentuk
akhlak. Dengan demikian, baik ibadah, mu’amalah maupun akhlak, ketiga-tiganya
bertolak dari akidah. Antara ibadah, mu’amalah, dan akhlak, satu dengan lainnya
saling berhubungan secara korelatif dan tak dapat dipisahkan. Dari penjelasan
tersebut, segala aspek sistem sosial kemasyarakatan Islam (mu’amalah),
sosial, politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seni,
satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan karena kesemuanya itu merupakan
pencerminan ibadah dan akhlak yang berakar pada aqidah Islam.[22]
C.
Kriteria
Akhlak Terpuji
Kriteria
akhlak yang terpuji (akhlaq al-karimah) atau al-fadhilat dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1)
Bijaksana
(hikmah); kemampuan jiwa (spiritual) untuk membedakan yang benar (haq)
dari yang salah (bathin). Kebijaksanaan merupakan hasil dari kekuatan
ilmu berdasarkan ketentuan syara’ dan akal sehat, yang dapat memelihara nafsu syahwat,
dan sifat angkara murka (ghadhabiyat).
2)
Berani
(syaja’ah): keadaan daya ghadhab yang tunduk kepada akal dalam
semua aktivitasnya, melahirkan sifat-sifat yang positif, seperti: dermawan,
suka menolong, berterus terang, tahan uji, mampu menahan amarah, dan tidak
lekas jemu.
3)
Suci
hati (‘iffah): daya nafsu yang terpimpin, yang menimbulkan sifat murah
hati, maluu berbuat yang tercela, toleransi, merasa cukup (qana’ah), dan
sederhana (wara’).
4)
Adil
(‘adalah): kemampuan jiwa (spiritual) untuk mengendalikan diri dari
sifat yang melampaui batas (zhulm) dan sifat teraniaya (inzhilam).
Demikian pula kemampuan dalam mengharmonisasikan sifat-sifat bijaksana (hikmah),
berani (syaja’ah), dan suci hati (‘iffah).
D.
Profil
Akhlak Terpuji
Setiap Muslim harus menampilkan akhlaq al-karimah yang
bersumber pada Tauhid, sebagai berikut:
1)
Tingkah
lakunya di manapun dan dalam keadaan apapun tidak luput dari penglihatan Allah.
2)
Siapapun
dapat menyembunyikan diri dari penglihatan manusia, tetapi tidak dari
penglihatan Allah swt.
3)
Siapapun
dapata ditipu, tetapi Allah tidak.
4)
Kita
dapat lari dari kejaran polisi, tetapi tidak dapat dari Allah.
5)
Dalam
kehidupannya seseoarang mungkin dapat bebas dari pengadilan duni, tetapi tidak
dari pengadilan Allah.
6)
Seseorang
dapat dinilai dari segi lahirnya, tetapi Allah menilai dari segala segi
termasuk niatnya.[23]
E.
Aktualisasi
Akhlak Terpuji[24]
1.
Akhlak
kepada Allah
Akhlak
kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Allah sebagai khalik, di
antaranya adalah:
a.
Cinta
kepada Allah
Bagi
seorang mukmin, cinta kepada Allah adalah hal yang pertama dan utama sekali,
dan Allah harus lebih dicintai dari segala sesuatu. Bila seseorang mencintai
Allah, maka tentu ia akan berusaha untuk melakukan segala yang disukai Allah
dan meninggalkan semua yang tidak disukai-Nya. Cinta kepada Allah ini bersumber
dari iman, sebagaimana firman Allah.
… وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى
الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman Amat
sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim
itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan
itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal).” (QS.
Al-Baqarah [2]:165)
b.
Ridha
kepada Allah
Sejalan
dengan cintanya kepada Allah, seorang Muslim harus bersikap ridha dengan
segala aturan dan ketentuan-Nya. Artinya, dia harus dapat menerima dengan
sepenuh hati (ikhlas), tanpa penolakan sedikit pun, segala sesuatu yang datan
dari Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan, maupun
petunjuk-petunjuk lainnya. Ia akan melaksanakan semua perintah, meninggalkan
semua larangan, dan mengikuti semua petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Firman
Allah:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ …
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka….” (QS. Al-Ahzab [33]:36)
c.
Tawakkal
kepada Allah
Tawakkal
atau berserah diri (secara ikhlas) adalah membebaskan hari dari
segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala
sesuatunya kepada-Nya. Seorang muslim hanya boleh bertawakkal kepada Allah
semata sebagaimana firman-Nya:
قُلْ
لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Artinya: “Katakanlah: "Sekali-kali tidak
akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah
pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal." (QS.
At-Taubah [9]:51)
2.
Akhlak
kepada Manusia
Akhlak
terhadap manusia terbagi kepada:
a.
Akhlak
terhadap diri sendiri
Keberadaan
seorang manusia di muka bumi menunjukkan posisinya sebagai makhluk yang dengan
akalnya ia menyadari bahwa dirinya di samping sebagai makhluk individu ia pun
merupakan bagian dari alam yang diciptakan Tuhan, yang tunduk kepada hukum alam
(sunnah Allah), sehingga mau tak mau ia harus hidup berdasarkan
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Itulah sebabnya ia harus
menjadi hamba Allah yang baik, dengan memelihara kesucian dirinya dengan jalan
beribadah kepada Allah, dan sekaligus memelihara dirinya dari perbuatan dosa.
Firman Allah:
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا
Artinya: “Peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahriim [66]:6)
b.
Akhlak
terhadap keluarga
Akhlak
terhadap keluarga pada garis besarnya meliputi sikap-sikap suami kepada istri,
sikap istri kepada suami, sikap orang tua terhadap anak, dan sebaliknya sikap
anak terhadap orang tua.
c.
Akhlak
terhadap tetangga
Tetangga
sebagai lingkungan masyarakat terdekat mendapat perhatian khusus dalam ajaran
Islam. Beberapa hadis mengingatkan:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ
Artinya: “Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka janganlah menyakiti
tetangganya.”
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Artinya: “Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka muliakanlah tetangga.”
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ مَنْ بَاتَ وَ شَعْبَانَ وَ جَارَهُ تَعْبَانَ وَ جَوْعًا
Artinya:
“Tidak beriman seseorang yang makan kenyang dan tidur nyenyak, padahal
tetangganya kelaparan dan tidak dapat tidur.”
d.
Akhlak
terhadap masyarakat luas
Dalam
suatu masyarakat harus tercipta rasa aman, saling mempercayai, tidak sombong,
tidak menyinggung perasaan, tidak menghina, tidak memfitnah, tidak dendam,
tidak kikir, dan suka kerja sama dalam kebaikan, dan harga-menghargai atas
pendapat yang berbeda. Jika setiap individu telah mempunyai kemauan baik ke
arah itu, maka paling tidak akan dapat mengekang setiap gejolak yang dapat
menimbulkan hal-hal buruk, dan sebaliknya mendorong setiap usaha yang
menghasilkan kemaslahatan bersama.
3.
Akhlak
kepada Lingkungan
Akhlak
terhadap lingkungan tidak terlepas dari dari fungsi manusia sebagai khalifah
fi ‘l-ardh. Kekhalifahannya menuntut adanya hubungan antara manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan alam sekitarnya. Kekhalifahan mengandung arti,
pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujaun
penciptaannya.[25]
Lingkungan
hidup yang berupa alam sekitar, baik berupa udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan lainnya merupakan prasarana kehidupan yang harus tetap terpelihara
keasriannya. Itulah sebabnya Islam melarang, bahkan mengutuk orang-orang yang
melakukan kegiatan yang merusak lingkungan. Di antara ungkapan ayat Al-Qur’an
yang menyangkut lingkungan hidup:
مَا
قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا
فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
Artinya: Apa saja yang kamu tebang dari pohon
kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas
pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak
memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).”
Demikianlah
akhlak Islam yang menyangkut lingkungan hidup memperlihatkan bahwa Islam adalah
agama rahmatan lil-‘alamin. Hal yang demikian didasarkan pada suatu
ketentuan bahwa secara fungsional seluruh makhluk satu sama lain saling
berhubungan dan saling membutuhkan. Punah dan rusaknya salah satu bagian dari makhluk
Tuhan itu akan berdampak negatif bagi makhluk hidup lainnya.[26]
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kajian
Tafsir
Sebagaimana
telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa secara garis besar, ajaran agama
Islam terdiri atas tiga bidang: aqidah, syari’at, dan akhlaq, maka
ketiga bidang tersebut haruslah berpedoman pada sumber-sumber yang menjadi
landasan ajaran agama Islam juga. Berkenaan dengan metode pendidikan akhlak
maka yang menjadi sumber pendidikan Islami menurut Amin Abu Lawi ada tiga,
yakni: al-qur’an al-karim, al-sunnah al-nabawiyah, dan turats
al-salaf.[27]
Pendapat
tersebut sejalan dengan pemaparan Akhmad Alim bahwa, dalam tataran konseptual,
metodologi pendidikan Islam, selalu berlandaskan pada aspek-aspek yang
terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri yang bersumber dari Al-Qur’an, dan
Sunnah, serta dapat didukung oleh ijtihad dan kajian pemikiran ulama-ulama Islam yang
kompoten dalam bidang-bidangnya yang kesemuanya itu terkumpul dalam khasanah
keilmuan Islam shohihah, yaitu turats.[28]
Terdapat
banyak metode pembentukan akhlak yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satunya
adalah metode yang Allah swt. ajarakan dalam surah Al-Ahzab ayat 21 sebagai
berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللهَ وَ الْيَوْمَ الآخِرَ وَ ذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]:21)
‘Uqbah bin Hassan al-Hajari dari Malik bin Anas dari Nafi’ dari
Ibnu ‘Umar (sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu) berkata: Rasulullah saw. dalam keadaan lapat; al-Khatib Abu
Bakar Ahmad menyebutkannya dan berkata: telah menyendiri ‘Uqbah bin Hassan dari
malik, dan saya belum pernah menulis kecuali sanad ini.[29]
Dalam kitab tafsir Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an dijelaskan bahwa
ayat tersebut di atas adalah celaan bagi orang-orang yang berpaling dari
peperangan. Yang mana diterangkan bahwa sahnya Rasulullah saw. sungguh memiliki
suri teladan bagi kalian yang mana telah mengorbankan jiwanya untuk menolong
agama Allah ketika keluar menuju perang Khandaq.[30]
Lebih lanjut Al-Qurthubi menjelaskan, al-uswah berarti ma
yutaassa bihi atau ma yuta’azza bihi yang berarti apa-apa yang
diteladani atau hal-hal yang diikuti. Maka sepantasnyalah Rasulullah saw.
Menjadi model bagi kita dalam segala perbuatannya, dan perangai beliau.
Sebagaimana Rasulullah diriwayatkan terluka pada bagian wajahnya, gigi bagian
depannya patah, Hamzah, pamannya meninggal dunia, menderita kelaparan, namun
tak pernah ditemukan kecuali dalam keadaan bersabar, berserah diri, bersyukur
dan ridha kepada apa yang diberikan oleh Allah swt.[31]
Pada ayat ini, Allah juga memperingatkan orang-orang munafik bahwa
sebenarnya mereka dapat memperoleh teladan yang baik dari Nabi saw. Rasulullah
saw. adalah seorang yang kuat imannya, berani, sabar, tabah menghadapi segala
macam cobaan, percaya dengan sepenuhnya kepada segala ketentuan-ketentuan Allah
dan beliaupun mempunyai akhlak yang mulia. Jika mereka bercita-cita ingin
menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan akhirat, tentulah
mereka akan mencontoh dan mengikuti Nabi. Tetapi perbuatan mereka tidak
mengharapkan keridhaan Allah dan segala macam bentuk kebahagiaan hakiki itu.[32]
Sedangkan Abu Ja’far al-Thobari menafsirkan ayat ini
dengan kalimat perintah, “teladanilah dan tetaplah bersama Rasulullah dalam
keadaan apapun!”[33].
Hal ini merangkan bahwa segala aspek yang dimiliki Rasulullah adalah
pencerminan dari segala sesuatu dan telah sempurna untuk dijadikan contoh.
Pernyataan ini sebagaimana firman Allah swt.
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.
Allah
swt. menerangkan dalam ayat ini bahwa sahnya Nabi Muhammad saw. benar-benar
berbudi yang agung yaitu adab, moral, akhlak yang sesuai dengan Al-Qur’an yang
dibimbing dan dibentuk langsung oleh Allah swt. yaitu dengan Islam dan
syari’atnya.[34]
Dari keterangan ini jelaslah bahwa segala yang ada pada diri Rasulullah saw. adalah
suri tauladan bagi seluruh umat manusia tanpa terkecuali sesuai dengan ajaran
yang dibawanya yaitu Islam.
Pada
penggalan ayat berikutnya, Allah ta’ala menjelaskan bahwa Rasulullah selaku
model juga bagi yang hanya mengharap akan balasan dari Allah swt. pada hari
akhirat kelak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Al-Baidhowi, liman
kana yarjullaha wal yaumal akhir, pahala dari Allah swt yakni perjumpaan
denga-Nya dengan segala kenikmatan hari akhirat.[35]
Hal ini sejalan dengan keterangan Allah ta’ala bahwa ayat ini
adalah landasan pokok dalam meneladani Rasulullah saw. dalam perkataan,
perbuatan maupun perangai. Untuk itu Allah memerintahkan kepada manusia untuk
meneladani Rasulullah saw. dalam hal kesabaran, keteguhan hati, tegar,
kesungguhan, dan ketetapan dengan petunjuk Allah swt. Hari akhirat juga
termasuk di dalamnya adalah mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan hukum
Allah dan penuh harap hanya kepada-Nya, yang hanya mengharap kepada cita-cita
dengan penuh ketakutan (khauf).[36]
Orang mukmin adalah orang yang takut kepada Allah swt. dengan
seluruh anggota badannya, sebagaimana dikatakan Al-Faqih Abu Al-Layts, bahwa
tanda ketakutan kepada Allah swt. itu terdapat pada tujuh hal. Di antaranya
sebagai berikut:[37]
1.
Lidahnya, ia mencegahnya dari berkata dusta, menggunjing,
menfitnah, menipu, dan perkataan yang tidak berguna.
2.
Kalbunya, ia mengeluarkan dari dalam kalbunya rasa permusuhan,
kedengkian, dan hasud kepada teman.
3.
Pandangannya, ia tidak memandang makanan, minuman, pakaian, dan
sebagainya yang diharamkan.
4.
Perutnya, ia tidak memasukkan ke dalam perutnya makanan yang
haram, sebab hal itu merupakan dosa besar.
5.
Tangannya, ia tidak menjulurkan tangannya kepada sesuatu yang
haram.
6.
Kakinya, ia tidak berjalan untuk kemungkaran kepada Allah. Sebaliknya,
ia berjalan dalam ketaatan dan keridhaan-Nya serta dalam bergaul dengan para
ulama dan orang-orang shaleh.
7.
Ketaatannya, ia menjadikan ketaatannya semata-mata untuk mencari
keridhaan Allah swt. serta takut akan riya’ dan kemunafikan.
Selain itu, Allah juga menjelaskan, dzakarallaha katsiraa, bahwa
mengharap hanya kepada Allah juga beriringan dengan senantiasa mengingat
kepada-Nya. Yang pada akhirnya akan mengharuskan kepada kewajibannya untuk
menjalankan perintahnya serta ta’at kepda hukum-hukum-Nya.[38]
Syari’at-syari’at
tersebut terlah terkonsep rapih dalam Agama Islam. Agama penyempurna
ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Islam disyariatkan dalam
rangka mewujudkan salam (keselamatan, kesejahteraan, kedamaian) atau maslahat
(kebaikan, kesejahteraan, kebahagiaan) dalam kehidupan manusia, baik di
dunia maupun di akhirat, yang dilandasi pengabdian kepada Allah[39].
BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTATIF
Dalam pembentukan akhlak khususnya kepada peserta didik dibutuhkan
beberapa hal pokok sebagai core pendidikan, di antaranya:
1.
Metode keteladanan/model (Uswatun Hasanah)
Abdullah Nashih Ulwan mengutip sebagian perkataan Imam Al-Ghozali
dalam bukunya Ihya al-‘Ulum al-Din mengenai pembiasaan anak berperangai
baik atau jahat sesuai dengan kecenderungan dan nalurinya, ia mengatakan: “anak
adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang
sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan seprerti
dibiarkannya binatang, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah
dengan upaya pendidikan dan mengajari akhlak yang baik…”.[40]
Dari perkataan tersebut, memelihara dan mengajari akhlak tidak
cukup dengan menyampaikan pengetahuan tentang akhlak saja akan tetapi haruslah
dengan keteladanan. Yaitu sebuah cara dengan memberikan contoh yang baik (uswah
hasanah) dalam setiap ucapan dan perbuatan kepada anak didik.
Konsep keteladanan dalam sebuah pendidikan sangatlah penting untuk
menemukan hasil yang maksimal. Jika seorang pendidik jujur, dapat dipercaya,
berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan agama, maka dalam diri anak akan terbentuk pribadi yang
jujur, terbentuklah akhlak mulia, berani, mejauhkan diri dari segala perbuatan
yang munkar. Begitu juga sebaliknya, jika sifat pendidika selalu
berbohong, khianat, atau durhaka, maka anak yang dididik tidak akan jauh
berbeda dari sifat pendidiknya.[41]
Untuk itu, selaku praktisi pendidikan maka sepantasnyalah seorang
guru harus menjadi model bagi peserta didiknya. Sebagaimana rasulullah saw.
menjadi model dan panutan bagi seluruh umat. Nabi Muhammad diutus untuk
menyempurnakan akhlak al-karimah.
2.
Tidak pamrih
Sebagaimana diterangkan dalam surah al-ahzab ayat 21 bahwa sahnya
meneladani rasul dalam hal ini harus dilandasi dengan keimanan yang utuh.
Percaya bahwa Nabi saw. adalah utusan Allah yang mengajarkan syari’at Allah
kepada seluruh umat manusia untuk kebahagiaan di dunia lebih-lebih di akhirat.
Oleh karena itu, seyogyanyalah pendidikan menjadi lahan untuk mencari bekal
sebanyak-banyaknya untuk kehidupan akhirat kelak. Sehingga seorang pendidikan
maupun peserta didik haruslah melandaskan proses pendidikan yang ditempuhnya
semata-mata hanya mengharap balasan dari Allah swt.
3.
Tekun beribadah
Seorang pendidik, pada posisinya sebagai model dan figur dalam
pendidikan maka harus senantiasa mengingat Allah dalam artian taat kepada
syariat-Nya. Hal ini harus diamalkan dalam segala gerak-gerik seorang pendidik
sehingga peserta didik kelak tertular dengan kebiasaan dalam hal peribadatan.
4.
Metode pembiasaan
Dalam
membentuk akhlak peserta didik dengan pembiasaan-pembiasaan akan dapat
memasukan unsur-unsur positif dalam diri anak yang sedang tumbuh, karena
kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah terbentuk pada diri seorang anak akan
merasa ringan untuk mengerjakan apa-apa yang telah menjadi kebiasaanya.
Pembiasaan ini khususnya dalam hal pengamalan syariat agama Islam karena
peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni, keutamaan-keutamaan
budi pekerti, spiritual dan etika gama yang lurus.[42]
Untuk
itu, dalam sebuah lembaga pendidikan, seluruh komponen dan stokeholder seyogyanya
menetapkan aturan-aturan disiplin yang mengacu dan mengarah kepada penegakan
syariat agama Islam, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Hal ini dapat
dilakukan dengan shalat berjama’ah tepat waktu, membaca al-qur’an di awal jam
pertama tiap harinya, shalat dhuha pada jam istirahat, menjenguk kawan yang
terkena musibah, saling berucap salam ketika bertemu. Ataupun dalam keluarga
dapat juga dilakukan pembiasaan dengan tadarrus al-qur’an bersama antara
maghrib dan isya, membiasakan memanggil saudara yang tua dengan kakak, dan yang
muda dengan adik, dan sebagainya khusunya yang menjadi pokok kewajiban yaitu arkan
al-islam.
BAB IV
KESIMPULAN
Beberapa
metode yang telah diuraikan sebelumnya bersifat pokok dan mendasar, sehingga
setiap pendidik dalam peran apapun harus memiliki kemauan yang kuat untuk
menjalankan syariat agama Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah
dalam rangka menjadi teladan bagi peserta didiknya. Keteladanan ini minimal
tercerminkan dalam hal ketaatan beribadah, dan tidak pamrih dalam segala
perbuatan (ikhlas). Dan yang sangat mendasar dalam pembentukan akhlak adalah
dengan pengamalan rukun islam yang menjadi pokok syariat agama Islam.
Dalam
hal pengamalan rukun Islam tentunya tidak cukup dengan pengajaran teoritis saja
akan tetapi harus dijabarkan dalam bentuk aturan disiplin sehari-hari dalam
rangka pembiasaan. Hal ini diharapkan agar sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
“kebiasaan baik” yang sering kali terasa berat, menjadi ringan melalui proses
penerapan disiplin. Kebiasaan baik yang terbentuk nantinya akan menjadi
perangai dan watak pada peserta didik hingga akhirnya membentuk akhlak yang
muliah (akhlaq al-karimah) berdasarkan tuntunan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Sutrisno, Ushul at-Tarbiyah, Ponorogo: Darussalam, 2011
Al-Baidhowi,
Al-Qhodi Nashir al-Din Abi Sa’id Abdillah bin Umar, Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil, Bairut: Daar al-Rasyid,
juz 3
Al-Damasyqi,
Abu al-Fida’ Isma’il bin Katsir al-Qursyi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, Cet.
II, Daar al-Thayyibah, 1999 (Maktabah Shameelah)
Al-Qurthubi,
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, Al-Jami’ Li Ahkamil al-Qur’an,
Muassasatu al-Risalah, Juz 17
Al-Ghozali,
Abu Hamid, Ihya Ulum ad-Din, Mauqi’ al-Waraq (Maktabah Shameelah)
__________,
Menyingkap Hati, Menghampiri Ilahi
At-Thobari, Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan fi ta’wil
al-Qur’an, Cet. I, Muassatu al-Risalah: 2000 (Maktabah Shameelah)
Fananie,
Zainuddin, Pedoman Pendidikan Modern, Fanani Center, 2010
Haekal,
Muhammad Husain, Hayat Muhammad, diterjemahkan oleh, Ali Audah, dengan
judul, Sejarah Hidup Muhmmad, Jakarta: Litera AntarNusa, 2014
Kusumamihardja,
Supan, dkk., Studi Islamika, Bogor: IPB, 1977
Lawi,
Amin Abu, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Riyadh: Daar Thayyibah
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline 1.5
Miskawȋh,
Abu ‘Ali Ahmad Bin Muhammad Bin Ya’qub (Wafat 421 H.), Tahdzibu al-Akhlaq wa
at-Tathiru al-A’raq, Maktabatu al-Tsaqofatu al-Diniyah (Maktabah Shameelah)
Nata,
Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Saleh,
E. Hassan, I.S.L.A.M. The Misunderstood Religion, Jakarta: Audi Grafika,
2009
Sanjaya,
Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2006
Syafri,
Ulil Amri, Pendidikan Karakter Berbasisi Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali
Pers, 2014
Tafsir,
Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012
Ulwan,
Abdullah Nashih, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. III, Jilid 2,
Semarang: CV. Asy Syifa’, 1981
Tafsir Kitab Al
Qur’an, tafsirmanusia.blogspot.co.id diakses pada tanggal 11-12-2015 pukul
09.00 wib.
[1] Lihat Prof. Dr. Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012,
hal.74-76
[2] Muhammad
Husain Haekal, Hayat Muhammad, diterjemahkan oleh, Ali Audah, dengan
judul, Sejarah Hidup Muhmmad, Jakarta: Litera AntarNusa, 2014, hal. 607
[3] Lihat KH.
R. Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, Fanani Center, 2010,
hal. viii
[4] Lihat Ulil Amri
Syafri, Pendidikan Karakter Berbasisi Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers,
2014, hal. 1
[6] Muhammad Husain Haekal, Hayat Muhammad, op.,
cit., hal. 603
[7] Ulil Amri
Syafri, op., cit., hal. 75
[8] Lihat
Amin Abu Lawi, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Riyadh: Daar Thayyibah,
hal. 56-57
[9] Sutrisno
Ahmad, Ushul at-Tarbiyah, Ponorogo: Darussalam, 2011, hal. 2
[10] Akhmad Alim, Tafsir
Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, hal. 92
[11] Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Offline 1.5
[12] Ahmad Tafsir, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, hal. 9
[13] Lihat. Wina
Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2006, hal. 126
[14] Al-Muhith,
Al-Munjid, Al-Munawwir, KBBI Offline 1.5
[15] Amin Abu Lawi,
op., cit., hal. 56
[16] Abu ‘Ali Ahmad
Bin Muhammad Bin Ya’qub Miskawȋh (Wafat 421 H.), Tahdzibu al-Akhlaq wa
at-Tathiru al-A’raq, Maktabatu al-Tsaqofatu al-Diniyah, hal. 41 (Maktabah
Shameelah)
[17] Abu Hamid
Al-Ghozali, Ihya Ulum ad-Din, Mauqi’ al-Waraq, hal. 253 (Maktabah Shameelah)
[18] E. Hassan
Saleh, I.S.L.A.M. The Misunderstood Religion, Jakarta: Audi Grafika,
2009. Hal 359
[19] Disadur dari ibid.,
hal. 357-358
[20] Ibid.
[22] Lihat, ibid.,
hal. 360-363
[23] Supan
Kusumamihardja, dkk., Studi Islamika, Bogor: IPB, 1977, hal. 259
[24] Lihat. E.
Hassan Saleh, I.S.L.A.M., op.cit., hal. 368
[25] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 50
[26] Ibid., hal.
52
[27] Lihat. Amin
Abu Lawi, op., cit., 23
[28] Akhmad Alim, op.,
cit., 93
[29] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, Al-Jami’
Li Ahkamil al-Qur’an, Muassasatu al-Risalah, Juz 17, hal. 108
[31] Ibid.
[32] Tafsir
Kitab Al Qur’an, tafsirmanusia.blogspot.co.id
[33] Abu Ja’far
at-Thobari, Jami’ al-Bayan fi ta’wil al-Qur’an, Cet. I, Muassatu
al-Risalah: 2000, 420 (Maktabah Shameelah)
[35] Al-Qhodi
Nashir al-Din Abi Sa’id Abdillah bin Umar Al-Baidhowi, Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Bairut: Daar al-Rasyid, juz 3, hal. 81
[36] Abu al-Fida’
Isma’il bin Katsir al-Qursyi al-Damasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, Cet.
II, Daar al-Thayyibah, 1999, hal. 420 (Maktabah Shameelah)
[37]
Imam
Al-Ghozali, Menyingkap Hati, Menghampiri Ilahi
[39] E. Hassan
Saleh, I.S.L.A.M., op.cit., hal. 70-71
[40] Abdullah
Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. III, Jilid 2,
Semarang: CV. Asy Syifa’, 1981, hal. 43
[41] Akhmad Alim, op.,
cit., hal. 103
[42] Abdullah
Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. III, Jilid 2,
Semarang: CV. Asy Syifa’, 1981, hal. 43
Categories: Jurnal