PENDIDIKAN AKHLAK

Posted by Unknown on 02:08
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Prof. A. Tafsir menyayangkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan core Pancasila sebagai filsafat Indonesia, dan telah turun dengan sempurna dalam UUD 45 namun tidak turun secara sempurna ke dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2013 sebagai bentuk operasional setelah konstitusi. Dimana keimanan dan ketakwaan tidak menjadi landasan pokok pendidikan. Sehingga core Ketuhanan YME tidak sampai secara turun temurun hingga Petunjuk Teknis (JUKNIS) yang kadang-kadang bentuk operasional terakhir dari suatu aturan.[1]
Sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia, seyogyanyalah menjadikan keimanan dan ketakwaan – dalam hal ini kepada Allah swt. Tuhan Yang Maha Esa – sebagai inti dan landasan utama pendidikan sebagai usaha memberantas krisis yang terjadi di negara ini. Penerapan tersebut bisa dilakukan walau Indonesia bukan negara Islam sebagaimana Arab Saudi dsb. karena dalam Islam tidak ada pertentangan antara agama dengan negara sebagaimana diisyaratkan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa: “…sebenarnya dalam sejarah Islam memang tak ada pertentangan antara kekuasaan agama (teokrasi) dengan kekuasaan temporal (sekuler), yakni seperti antara gereja dengan negara.”[2]
Pendidikan adalah sumber mata air murni yang menyediakan kejernihan pada saat masyarakat mengalami situasi keruh. Sehingga pendidikanlah sebagai benteng terakhir dari krisis multidimensi yang sedang dialami oleh masyarakat saat ini.[3] Tak terkecuali dunia pendidikan Islam pun saat ini mengalami krisis yang menyebabkan kemunduran. Di antara penyebab kemunduran tersebut adalah ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan krisis budaya, serta hilangnya qudwah hasanah, akidah shahihah, dan nilai-nilai Islami.[4]
Melalui pendidikan mental al-Akhlaq al-Karimah, permasalahan krisis yang terjadi di hampir setiap sektor saat ini akan mampu terurai dan mengembalikan kebudayaan dan peradaban yang telah terkikis. Perihal tersebut ditegaskan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa: “…Kebudayaan Islam lahir atas dasar rohani, yang mengajak manusia pertama kali dapat menyadari hubungannya dengan alam dan tempatnya dalam alam ini dengan sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian sudah sampai ke batas iman, maka imannya itu mengajaknya agar tetap terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan hatinya selalu, mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip yang lebih luhur – prinsip-prinsip harga diri, persaudaraan, cinta kasih, berbakti dan bertakwa.[5]
Agama dan kebudayaan yang telah dibawa oleh Muhammad Saw. kepada umat manusia melalui wahyu Allah sudah begitu terpadu sehingga tidak dapat lagi dipisahkan.[6] Sehingga dalam memaknai akhlaq al-karimah, Dr. Ulil Amri Syafri menyimpulkan bahwa akhlak adalah merupakan sikap yang melekat pada seseorang berupa ketaatan pada aturan dan ajaran syariat Islam yang tercermin dalam berbagai amal, baik amal batin seperti zikir, berdo’a, maupun amalan lahir seperti kepatuhan pelaksanaan ibadah dan sikap tata krama berinteraksi dengan orang lain.[7]
Sikap-sikap tersebut yang melekat pada setiap individu harus ditumbuhkan dan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum syariat agama Islam karena pada hakikatnya, akhlak adalah hukum syariat yang mana di antaranya adalah yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram sebagaimana pembagian hukum yang lima dalam ilmu fiqih.[8] Sehingga tujuan utama pendidikan, yakni dekat dengan Allah swt. dan sebagai bekal hidup di akhirat kelak dapat tercapai. Sebagaimana definisi pendidikan menurut al-Imam al-Ghazali bahwa pendidikan anak adalah pendidikan agama dan moral, yang berbasis pada kesederhanaan dan zuhud dari kenikmatan-kenikmatan dunia hingga terbebas darinya. Dan tujuan utamanya adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. serta persiapan untuk kehidupan akhirat.[9]

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka perlu perlu dirumuskan batasan pembahasan yang berkenaan dengan pembentukan al-akhlaq al-karimah berdasarkan syariat agama islam. Untuk itu, pertanyaan berikut perlu dijawab sebagai upaya realisasi pendidikan islami.
1.      Bagaimana metode pembentukan akhlak berdasarkan syariat agama Islam?
2.      Apa saja yang dapat dilakukan sebagai upaya pembentukan akhlak?



BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.    Pengertian Metode
Secara harfiyah metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta meta yang berarti menuju, dan hodos yang berarti jalan atau cara tertentu. Metodos berarti menuju jalan atau cara tertentu.[10] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), metode berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[11]
Secara sepintas, definisi yang terdapat dalam KBBI, kata metode ekuivalen dengan cara. Ini tidak seluruhnya salah, sebagaimana penjelasan Ahmad Tafsir: “… pengertian metode secara tepat, dapat kita lihat penggunaan kata metode dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris ada kata way dan ada kata method. Dua kata ini sering diterjemahkan cara dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya yang lebih layak diterjemahkan cara adalah kata way itu, bukan method. Metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.” Ungkapan “paling tepat dan cepat” itulah yang membedakan method dengan way (yang juga berarti cara) dalam bahasa Inggris.[12]
Dalam dunia pendidikan, selain kata metode dan cara, strategi juga sering didengar. Kata tersebut sering disandingkan dengan kata pembelajaran. Sehingga metode dan strategi juga seolah satu hal yang searti. Wina Sanjaya menjelaskan, “strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan metode adalah upaya mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.”[13]
Berdasarkan uraian di atas maka metode dapat diartikan sebagai cara kerja bersistem yang paling tepat dan cepat sebagai upaya mengimplementasikan sesuatu yang telah direncakan agar tercapai secara optimal.

B.     Akhlak Islam dan Ruang Lingkupnya
Secara bahasa, akhlak belarasal dari bahasa Arab yaitu akhläq adalah bentuk plural dari khulqu dan khuluq mempunyai arti kehormatan, kebiasaan, watak alami, budi pekerti, kelakuan.[14] Mujiddu ad-Din al-Fairuz Abadi dalam kamus al-Muhith menambahkan makna khuluq dengan ad-Din yang berarti agama.
Sedangkan secara istilah, akhlaq adalah suatu kondisi jiwa yang kokoh dimana setiap perbuatan timbul tanpa pemikiran dan gagasan.[15] Hal serupa juga disampaikan oleh Dr. Adian Husaini pada sesi perkuliahan Islamic Worlview di fakultas pascasarjana, universitas Ibnu Khaldun Bogor, 19 November 2015, bahwa akhlak adalah sikap yang melekat pada seseorang yang dilakukan tanpa berpikir lagi. Khuluq juga berarti keadaan jiwa yang mendorong kepada pekerjaan tanpa pemikiran dan pertimbangan.[16] Selain itu, menurut Imam Al-Ghozali: “Aklak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.”[17]
Dari pengertian di atas, akhlak adalah sikap, kebiasaan yang melekat pada diri seseorang yang pada dasarnya timbul secara alami dan diwujudkan dalam tingkah laku. Di samping sikap dan amal lahir, akhlak juga meliputi sikap dan amal batin pada seseorang (yang dilakukan hatinya).[18]
Dari beberapa definisi akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari khuluq di atas ditemukan kata khuluq yang berderivasi dengan kata khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan, makhluk), sehingga tuntutan berakhlak harus didasarkan pada norma-norma yang telah digariskan Al-Khaliq dan kepentingan makhluk. Dalam arti teknis, akhlak sama dengan etika atau moral. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani, ethos (watak, susila, adat) dan mores (adat kebiasaan).
Secara terminologi, etika adalah ilmu yang menjelaskan tentang arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa etika dapat membuat manusia menjadi baik, tetapi hanya bisa memperlihatkan kepada manusia apa itu kebaikan dan apa itu keburukan. Dengan kata lain, etika tidak akan berguna selama tidak ada kehendak pada diri seseorang untuk menjalankan perintah-perintah Allah serta menjauhi larang-larang-NYA.
Adapun moral adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk menentukan batas dari sifat, perangai, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk. Kata moral sering digunakan untuk memberikan batasan terhadap perbuatan seseorang dengan ketentuan baik atau buruk.
Akan tetapi akhlak (etika) Islam berbeda dengan akhlak (etika) non-Islam, atau akhlak (moral) non-Islam, karena akhlak Islam adalah produk dari keyakinan Muslim atas kemahaesaan Allah dengan segala konsekuensinya, yaitu tauhid. Perbedaan ini terdapat pada tinjauan sumber atau landasan yang dipakai. Akhlak bersumber pada kebenaran wahyu Allah, sedangkan etika atau moral berdasarkan kepada kebudayaan yang dilandasi hasil pemikiran manusia. Selain itu, dari tinjauan objek pembahasan, akhlak membahas masalah “benar” dan “salah”, atau “haqq” dan “bathil”, sehingga dapat diketahui mana yang termasuk “ma’ruf” (baik), dan mana yang “munkar” (buruk). Sedangkan etika membahas antara “baik” dan “buruk”. Selain itu, dari segi masa berlakunya, karena berbeda sumber dan landasannya, maka akhlak berlaku umum, menyeluruh (totalitas), dan universal, tidak terikat oleh waktu dan tempat (kebudayaan/adat yang berlaku); sedangkan etika terikat oleh waktu dan tempat dan adat kebiasaan.[19]
Akhlak bukanlah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri terpisah dari agama (syari’at), melaikan merupakan bagian dari agama, atau sesuatu yang dilahirkan oleh agama.[20] Dimana ajaran agama Islam pada garis besarnya terdiri atas tiga bidang, yatiu: aqidah, syari’at, dan akhlaq.[21]
Akidah atau keimanan adalah aspek kesadaran seseorang sebagai hamba Allah, merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan seorang muslim. Sehingga, akidah atau keimanan menuntut pembuktian dalam bentuk ibadah, baik secara khas (mahdhah) maupun dalam arti luas (mu’amalah), serta pencerminannya dalam bentuk akhlak. Dengan demikian, baik ibadah, mu’amalah maupun akhlak, ketiga-tiganya bertolak dari akidah. Antara ibadah, mu’amalah, dan akhlak, satu dengan lainnya saling berhubungan secara korelatif dan tak dapat dipisahkan. Dari penjelasan tersebut, segala aspek sistem sosial kemasyarakatan Islam (mu’amalah), sosial, politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seni, satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan karena kesemuanya itu merupakan pencerminan ibadah dan akhlak yang berakar pada aqidah Islam.[22]

C.     Kriteria Akhlak Terpuji
Kriteria akhlak yang terpuji (akhlaq al-karimah) atau al-fadhilat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)   Bijaksana (hikmah); kemampuan jiwa (spiritual) untuk membedakan yang benar (haq) dari yang salah (bathin). Kebijaksanaan merupakan hasil dari kekuatan ilmu berdasarkan ketentuan syara’ dan akal sehat, yang dapat memelihara nafsu syahwat, dan sifat angkara murka (ghadhabiyat).
2)   Berani (syaja’ah): keadaan daya ghadhab yang tunduk kepada akal dalam semua aktivitasnya, melahirkan sifat-sifat yang positif, seperti: dermawan, suka menolong, berterus terang, tahan uji, mampu menahan amarah, dan tidak lekas jemu.
3)   Suci hati (‘iffah): daya nafsu yang terpimpin, yang menimbulkan sifat murah hati, maluu berbuat yang tercela, toleransi, merasa cukup (qana’ah), dan sederhana (wara’).
4)   Adil (‘adalah): kemampuan jiwa (spiritual) untuk mengendalikan diri dari sifat yang melampaui batas (zhulm) dan sifat teraniaya (inzhilam). Demikian pula kemampuan dalam mengharmonisasikan sifat-sifat bijaksana (hikmah), berani (syaja’ah), dan suci hati (‘iffah).

D.    Profil Akhlak Terpuji
Setiap Muslim harus menampilkan akhlaq al-karimah yang bersumber pada Tauhid, sebagai berikut:
1)   Tingkah lakunya di manapun dan dalam keadaan apapun tidak luput dari penglihatan Allah.
2)   Siapapun dapat menyembunyikan diri dari penglihatan manusia, tetapi tidak dari penglihatan Allah swt.
3)   Siapapun dapata ditipu, tetapi Allah tidak.
4)   Kita dapat lari dari kejaran polisi, tetapi tidak dapat dari Allah.
5)   Dalam kehidupannya seseoarang mungkin dapat bebas dari pengadilan duni, tetapi tidak dari pengadilan Allah.
6)   Seseorang dapat dinilai dari segi lahirnya, tetapi Allah menilai dari segala segi termasuk niatnya.[23]

E.     Aktualisasi Akhlak Terpuji[24]
1.      Akhlak kepada Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Allah sebagai khalik, di antaranya adalah:
a.       Cinta kepada Allah
Bagi seorang mukmin, cinta kepada Allah adalah hal yang pertama dan utama sekali, dan Allah harus lebih dicintai dari segala sesuatu. Bila seseorang mencintai Allah, maka tentu ia akan berusaha untuk melakukan segala yang disukai Allah dan meninggalkan semua yang tidak disukai-Nya. Cinta kepada Allah ini bersumber dari iman, sebagaimana firman Allah.
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah [2]:165)

b.      Ridha kepada Allah
Sejalan dengan cintanya kepada Allah, seorang Muslim harus bersikap ridha dengan segala aturan dan ketentuan-Nya. Artinya, dia harus dapat menerima dengan sepenuh hati (ikhlas), tanpa penolakan sedikit pun, segala sesuatu yang datan dari Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan, maupun petunjuk-petunjuk lainnya. Ia akan melaksanakan semua perintah, meninggalkan semua larangan, dan mengikuti semua petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka….” (QS. Al-Ahzab [33]:36)

c.       Tawakkal kepada Allah
Tawakkal atau berserah diri (secara ikhlas) adalah membebaskan hari dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya. Seorang muslim hanya boleh bertawakkal kepada Allah semata sebagaimana firman-Nya:
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Artinya: “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah [9]:51)


2.      Akhlak kepada Manusia
Akhlak terhadap manusia terbagi kepada:
a.       Akhlak terhadap diri sendiri
Keberadaan seorang manusia di muka bumi menunjukkan posisinya sebagai makhluk yang dengan akalnya ia menyadari bahwa dirinya di samping sebagai makhluk individu ia pun merupakan bagian dari alam yang diciptakan Tuhan, yang tunduk kepada hukum alam (sunnah Allah), sehingga mau tak mau ia harus hidup berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Itulah sebabnya ia harus menjadi hamba Allah yang baik, dengan memelihara kesucian dirinya dengan jalan beribadah kepada Allah, dan sekaligus memelihara dirinya dari perbuatan dosa. Firman Allah:
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahriim [66]:6)
b.      Akhlak terhadap keluarga
Akhlak terhadap keluarga pada garis besarnya meliputi sikap-sikap suami kepada istri, sikap istri kepada suami, sikap orang tua terhadap anak, dan sebaliknya sikap anak terhadap orang tua.
c.       Akhlak terhadap tetangga
Tetangga sebagai lingkungan masyarakat terdekat mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Beberapa hadis mengingatkan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ
Artinya: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka janganlah menyakiti tetangganya.”
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Artinya: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka muliakanlah tetangga.”
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ مَنْ بَاتَ وَ شَعْبَانَ وَ جَارَهُ تَعْبَانَ وَ جَوْعًا
Artinya: “Tidak beriman seseorang yang makan kenyang dan tidur nyenyak, padahal tetangganya kelaparan dan tidak dapat tidur.”
d.      Akhlak terhadap masyarakat luas
Dalam suatu masyarakat harus tercipta rasa aman, saling mempercayai, tidak sombong, tidak menyinggung perasaan, tidak menghina, tidak memfitnah, tidak dendam, tidak kikir, dan suka kerja sama dalam kebaikan, dan harga-menghargai atas pendapat yang berbeda. Jika setiap individu telah mempunyai kemauan baik ke arah itu, maka paling tidak akan dapat mengekang setiap gejolak yang dapat menimbulkan hal-hal buruk, dan sebaliknya mendorong setiap usaha yang menghasilkan kemaslahatan bersama.

3.      Akhlak kepada Lingkungan
Akhlak terhadap lingkungan tidak terlepas dari dari fungsi manusia sebagai khalifah fi ‘l-ardh. Kekhalifahannya menuntut adanya hubungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitarnya. Kekhalifahan mengandung arti, pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujaun penciptaannya.[25]
Lingkungan hidup yang berupa alam sekitar, baik berupa udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan lainnya merupakan prasarana kehidupan yang harus tetap terpelihara keasriannya. Itulah sebabnya Islam melarang, bahkan mengutuk orang-orang yang melakukan kegiatan yang merusak lingkungan. Di antara ungkapan ayat Al-Qur’an yang menyangkut lingkungan hidup:
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
Artinya: Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Demikianlah akhlak Islam yang menyangkut lingkungan hidup memperlihatkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil-‘alamin. Hal yang demikian didasarkan pada suatu ketentuan bahwa secara fungsional seluruh makhluk satu sama lain saling berhubungan dan saling membutuhkan. Punah dan rusaknya salah satu bagian dari makhluk Tuhan itu akan berdampak negatif bagi makhluk hidup lainnya.[26]

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Kajian Tafsir
Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa secara garis besar, ajaran agama Islam terdiri atas tiga bidang: aqidah, syari’at, dan akhlaq, maka ketiga bidang tersebut haruslah berpedoman pada sumber-sumber yang menjadi landasan ajaran agama Islam juga. Berkenaan dengan metode pendidikan akhlak maka yang menjadi sumber pendidikan Islami menurut Amin Abu Lawi ada tiga, yakni: al-qur’an al-karim, al-sunnah al-nabawiyah, dan turats al-salaf.[27]
Pendapat tersebut sejalan dengan pemaparan Akhmad Alim bahwa, dalam tataran konseptual, metodologi pendidikan Islam, selalu berlandaskan pada aspek-aspek yang terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri yang bersumber dari Al-Qur’an, dan Sunnah, serta dapat didukung oleh ijtihad  dan kajian pemikiran ulama-ulama Islam yang kompoten dalam bidang-bidangnya yang kesemuanya itu terkumpul dalam khasanah keilmuan Islam shohihah, yaitu turats.[28]
Terdapat banyak metode pembentukan akhlak yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah metode yang Allah swt. ajarakan dalam surah Al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَ الْيَوْمَ الآخِرَ وَ ذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]:21)

‘Uqbah bin Hassan al-Hajari dari Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar (sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu) berkata: Rasulullah saw. dalam keadaan lapat; al-Khatib Abu Bakar Ahmad menyebutkannya dan berkata: telah menyendiri ‘Uqbah bin Hassan dari malik, dan saya belum pernah menulis kecuali sanad ini.[29]
Dalam kitab tafsir Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an dijelaskan bahwa ayat tersebut di atas adalah celaan bagi orang-orang yang berpaling dari peperangan. Yang mana diterangkan bahwa sahnya Rasulullah saw. sungguh memiliki suri teladan bagi kalian yang mana telah mengorbankan jiwanya untuk menolong agama Allah ketika keluar menuju perang Khandaq.[30]
Lebih lanjut Al-Qurthubi menjelaskan, al-uswah berarti ma yutaassa bihi atau ma yuta’azza bihi yang berarti apa-apa yang diteladani atau hal-hal yang diikuti. Maka sepantasnyalah Rasulullah saw. Menjadi model bagi kita dalam segala perbuatannya, dan perangai beliau. Sebagaimana Rasulullah diriwayatkan terluka pada bagian wajahnya, gigi bagian depannya patah, Hamzah, pamannya meninggal dunia, menderita kelaparan, namun tak pernah ditemukan kecuali dalam keadaan bersabar, berserah diri, bersyukur dan ridha kepada apa yang diberikan oleh Allah swt.[31]
Pada ayat ini, Allah juga memperingatkan orang-orang munafik bahwa sebenarnya mereka dapat memperoleh teladan yang baik dari Nabi saw. Rasulullah saw. adalah seorang yang kuat imannya, berani, sabar, tabah menghadapi segala macam cobaan, percaya dengan sepenuhnya kepada segala ketentuan-ketentuan Allah dan beliaupun mempunyai akhlak yang mulia. Jika mereka bercita-cita ingin menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan akhirat, tentulah mereka akan mencontoh dan mengikuti Nabi. Tetapi perbuatan mereka tidak mengharapkan keridhaan Allah dan segala macam bentuk kebahagiaan hakiki itu.[32]
Sedangkan Abu Ja’far al-Thobari menafsirkan ayat ini dengan kalimat perintah, “teladanilah dan tetaplah bersama Rasulullah dalam keadaan apapun!”[33]. Hal ini merangkan bahwa segala aspek yang dimiliki Rasulullah adalah pencerminan dari segala sesuatu dan telah sempurna untuk dijadikan contoh. Pernyataan ini sebagaimana firman Allah swt.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Allah swt. menerangkan dalam ayat ini bahwa sahnya Nabi Muhammad saw. benar-benar berbudi yang agung yaitu adab, moral, akhlak yang sesuai dengan Al-Qur’an yang dibimbing dan dibentuk langsung oleh Allah swt. yaitu dengan Islam dan syari’atnya.[34] Dari keterangan ini jelaslah bahwa segala yang ada pada diri Rasulullah saw. adalah suri tauladan bagi seluruh umat manusia tanpa terkecuali sesuai dengan ajaran yang dibawanya yaitu Islam.
Pada penggalan ayat berikutnya, Allah ta’ala menjelaskan bahwa Rasulullah selaku model juga bagi yang hanya mengharap akan balasan dari Allah swt. pada hari akhirat kelak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Al-Baidhowi, liman kana yarjullaha wal yaumal akhir, pahala dari Allah swt yakni perjumpaan denga-Nya dengan segala kenikmatan hari akhirat.[35]
Hal ini sejalan dengan keterangan Allah ta’ala bahwa ayat ini adalah landasan pokok dalam meneladani Rasulullah saw. dalam perkataan, perbuatan maupun perangai. Untuk itu Allah memerintahkan kepada manusia untuk meneladani Rasulullah saw. dalam hal kesabaran, keteguhan hati, tegar, kesungguhan, dan ketetapan dengan petunjuk Allah swt. Hari akhirat juga termasuk di dalamnya adalah mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan hukum Allah dan penuh harap hanya kepada-Nya, yang hanya mengharap kepada cita-cita dengan penuh ketakutan (khauf).[36]
Orang mukmin adalah orang yang takut kepada Allah swt. dengan seluruh anggota badannya, sebagaimana dikatakan Al-Faqih Abu Al-Layts, bahwa tanda ketakutan kepada Allah swt. itu terdapat pada tujuh hal. Di antaranya sebagai berikut:[37]
1.      Lidahnya, ia mencegahnya dari berkata dusta, menggunjing, menfitnah, menipu, dan perkataan yang tidak berguna.
2.      Kalbunya, ia mengeluarkan dari dalam kalbunya rasa permusuhan, kedengkian, dan hasud kepada teman.
3.      Pandangannya, ia tidak memandang makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya yang diharamkan.
4.      Perutnya, ia tidak memasukkan ke dalam perutnya makanan yang haram, sebab hal itu merupakan dosa besar.
5.      Tangannya, ia tidak menjulurkan tangannya kepada sesuatu yang haram.
6.      Kakinya, ia tidak berjalan untuk kemungkaran kepada Allah. Sebaliknya, ia berjalan dalam ketaatan dan keridhaan-Nya serta dalam bergaul dengan para ulama dan orang-orang shaleh.
7.      Ketaatannya, ia menjadikan ketaatannya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah swt. serta takut akan riya’ dan kemunafikan.
Selain itu, Allah juga menjelaskan, dzakarallaha katsiraa, bahwa mengharap hanya kepada Allah juga beriringan dengan senantiasa mengingat kepada-Nya. Yang pada akhirnya akan mengharuskan kepada kewajibannya untuk menjalankan perintahnya serta ta’at kepda hukum-hukum-Nya.[38]
Syari’at-syari’at tersebut terlah terkonsep rapih dalam Agama Islam. Agama penyempurna ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Islam disyariatkan dalam rangka mewujudkan salam (keselamatan, kesejahteraan, kedamaian) atau maslahat (kebaikan, kesejahteraan, kebahagiaan) dalam kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, yang dilandasi pengabdian kepada Allah[39].


BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTATIF
Dalam pembentukan akhlak khususnya kepada peserta didik dibutuhkan beberapa hal pokok sebagai core pendidikan, di antaranya:
1.      Metode keteladanan/model (Uswatun Hasanah)
Abdullah Nashih Ulwan mengutip sebagian perkataan Imam Al-Ghozali dalam bukunya Ihya al-‘Ulum al-Din mengenai pembiasaan anak berperangai baik atau jahat sesuai dengan kecenderungan dan nalurinya, ia mengatakan: “anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan seprerti dibiarkannya binatang, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan mengajari akhlak yang baik…”.[40]
Dari perkataan tersebut, memelihara dan mengajari akhlak tidak cukup dengan menyampaikan pengetahuan tentang akhlak saja akan tetapi haruslah dengan keteladanan. Yaitu sebuah cara dengan memberikan contoh yang baik (uswah hasanah) dalam setiap ucapan dan perbuatan kepada anak didik.
Konsep keteladanan dalam sebuah pendidikan sangatlah penting untuk menemukan hasil yang maksimal. Jika seorang pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka dalam diri anak akan terbentuk pribadi yang jujur, terbentuklah akhlak mulia, berani, mejauhkan diri dari segala perbuatan yang munkar. Begitu juga sebaliknya, jika sifat pendidika selalu berbohong, khianat, atau durhaka, maka anak yang dididik tidak akan jauh berbeda dari sifat pendidiknya.[41]
Untuk itu, selaku praktisi pendidikan maka sepantasnyalah seorang guru harus menjadi model bagi peserta didiknya. Sebagaimana rasulullah saw. menjadi model dan panutan bagi seluruh umat. Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak al-karimah.

2.      Tidak pamrih
Sebagaimana diterangkan dalam surah al-ahzab ayat 21 bahwa sahnya meneladani rasul dalam hal ini harus dilandasi dengan keimanan yang utuh. Percaya bahwa Nabi saw. adalah utusan Allah yang mengajarkan syari’at Allah kepada seluruh umat manusia untuk kebahagiaan di dunia lebih-lebih di akhirat. Oleh karena itu, seyogyanyalah pendidikan menjadi lahan untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan akhirat kelak. Sehingga seorang pendidikan maupun peserta didik haruslah melandaskan proses pendidikan yang ditempuhnya semata-mata hanya mengharap balasan dari Allah swt.

3.      Tekun beribadah
Seorang pendidik, pada posisinya sebagai model dan figur dalam pendidikan maka harus senantiasa mengingat Allah dalam artian taat kepada syariat-Nya. Hal ini harus diamalkan dalam segala gerak-gerik seorang pendidik sehingga peserta didik kelak tertular dengan kebiasaan dalam hal peribadatan.

4.      Metode pembiasaan
Dalam membentuk akhlak peserta didik dengan pembiasaan-pembiasaan akan dapat memasukan unsur-unsur positif dalam diri anak yang sedang tumbuh, karena kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah terbentuk pada diri seorang anak akan merasa ringan untuk mengerjakan apa-apa yang telah menjadi kebiasaanya. Pembiasaan ini khususnya dalam hal pengamalan syariat agama Islam karena peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni, keutamaan-keutamaan budi pekerti, spiritual dan etika gama yang lurus.[42]
Untuk itu, dalam sebuah lembaga pendidikan, seluruh komponen dan stokeholder seyogyanya menetapkan aturan-aturan disiplin yang mengacu dan mengarah kepada penegakan syariat agama Islam, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Hal ini dapat dilakukan dengan shalat berjama’ah tepat waktu, membaca al-qur’an di awal jam pertama tiap harinya, shalat dhuha pada jam istirahat, menjenguk kawan yang terkena musibah, saling berucap salam ketika bertemu. Ataupun dalam keluarga dapat juga dilakukan pembiasaan dengan tadarrus al-qur’an bersama antara maghrib dan isya, membiasakan memanggil saudara yang tua dengan kakak, dan yang muda dengan adik, dan sebagainya khusunya yang menjadi pokok kewajiban yaitu arkan al-islam.






BAB IV
KESIMPULAN
Beberapa metode yang telah diuraikan sebelumnya bersifat pokok dan mendasar, sehingga setiap pendidik dalam peran apapun harus memiliki kemauan yang kuat untuk menjalankan syariat agama Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam rangka menjadi teladan bagi peserta didiknya. Keteladanan ini minimal tercerminkan dalam hal ketaatan beribadah, dan tidak pamrih dalam segala perbuatan (ikhlas). Dan yang sangat mendasar dalam pembentukan akhlak adalah dengan pengamalan rukun islam yang menjadi pokok syariat agama Islam.
Dalam hal pengamalan rukun Islam tentunya tidak cukup dengan pengajaran teoritis saja akan tetapi harus dijabarkan dalam bentuk aturan disiplin sehari-hari dalam rangka pembiasaan. Hal ini diharapkan agar sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan “kebiasaan baik” yang sering kali terasa berat, menjadi ringan melalui proses penerapan disiplin. Kebiasaan baik yang terbentuk nantinya akan menjadi perangai dan watak pada peserta didik hingga akhirnya membentuk akhlak yang muliah (akhlaq al-karimah) berdasarkan tuntunan Islam.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sutrisno, Ushul at-Tarbiyah, Ponorogo: Darussalam, 2011
Al-Baidhowi, Al-Qhodi Nashir al-Din Abi Sa’id Abdillah bin Umar, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil,  Bairut: Daar al-Rasyid, juz 3
Al-Damasyqi, Abu al-Fida’ Isma’il bin Katsir al-Qursyi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, Cet. II, Daar al-Thayyibah, 1999 (Maktabah Shameelah)
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, Al-Jami’ Li Ahkamil al-Qur’an, Muassasatu al-Risalah, Juz 17
Al-Ghozali, Abu Hamid, Ihya Ulum ad-Din, Mauqi’ al-Waraq (Maktabah Shameelah)
__________, Menyingkap Hati, Menghampiri Ilahi
At-Thobari,  Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan fi ta’wil al-Qur’an, Cet. I, Muassatu al-Risalah: 2000 (Maktabah Shameelah)
Fananie, Zainuddin, Pedoman Pendidikan Modern, Fanani Center, 2010
Haekal, Muhammad Husain, Hayat Muhammad, diterjemahkan oleh, Ali Audah, dengan judul, Sejarah Hidup Muhmmad, Jakarta: Litera AntarNusa, 2014
Kusumamihardja, Supan, dkk., Studi Islamika, Bogor: IPB, 1977
Lawi, Amin Abu, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Riyadh: Daar Thayyibah
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline 1.5
Miskawȋh, Abu ‘Ali Ahmad Bin Muhammad Bin Ya’qub (Wafat 421 H.), Tahdzibu al-Akhlaq wa at-Tathiru al-A’raq, Maktabatu al-Tsaqofatu al-Diniyah (Maktabah Shameelah)
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Saleh, E. Hassan, I.S.L.A.M. The Misunderstood Religion, Jakarta: Audi Grafika, 2009
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2006
Syafri, Ulil Amri, Pendidikan Karakter Berbasisi Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012
Ulwan, Abdullah Nashih, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. III, Jilid 2, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1981
Tafsir Kitab Al Qur’an, tafsirmanusia.blogspot.co.id diakses pada tanggal 11-12-2015 pukul 09.00 wib.


[1] Lihat Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012, hal.74-76
[2] Muhammad Husain Haekal, Hayat Muhammad, diterjemahkan oleh, Ali Audah, dengan judul, Sejarah Hidup Muhmmad, Jakarta: Litera AntarNusa, 2014, hal. 607
[3] Lihat KH. R. Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, Fanani Center, 2010, hal. viii
[4] Lihat Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasisi Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hal. 1
[5]  Muhammad Husain Haekal, Hayat Muhammad, op., cit., hal. 606
[6]  Muhammad Husain Haekal, Hayat Muhammad, op., cit., hal. 603
[7] Ulil Amri Syafri, op., cit., hal. 75
[8] Lihat Amin Abu Lawi, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Riyadh: Daar Thayyibah, hal. 56-57
[9] Sutrisno Ahmad, Ushul at-Tarbiyah, Ponorogo: Darussalam, 2011, hal. 2
[10] Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, hal. 92
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline 1.5
[12] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, hal. 9
[13] Lihat. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2006, hal. 126
[14] Al-Muhith, Al-Munjid, Al-Munawwir, KBBI Offline 1.5
[15] Amin Abu Lawi, op., cit., hal. 56
[16] Abu ‘Ali Ahmad Bin Muhammad Bin Ya’qub Miskawȋh (Wafat 421 H.), Tahdzibu al-Akhlaq wa at-Tathiru al-A’raq, Maktabatu al-Tsaqofatu al-Diniyah, hal. 41 (Maktabah Shameelah)
[17] Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulum ad-Din, Mauqi’ al-Waraq, hal. 253 (Maktabah Shameelah)
[18] E. Hassan Saleh, I.S.L.A.M. The Misunderstood Religion, Jakarta: Audi Grafika, 2009. Hal 359
[19] Disadur dari ibid., hal. 357-358
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 73
[22] Lihat, ibid., hal. 360-363
[23] Supan Kusumamihardja, dkk., Studi Islamika, Bogor: IPB, 1977, hal. 259
[24] Lihat. E. Hassan Saleh, I.S.L.A.M., op.cit., hal. 368
[25] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 50
[26] Ibid., hal. 52
[27] Lihat. Amin Abu Lawi, op., cit., 23                                                         
[28] Akhmad Alim, op., cit., 93
[29] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil al-Qur’an, Muassasatu al-Risalah, Juz 17, hal. 108
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Tafsir Kitab Al Qur’an, tafsirmanusia.blogspot.co.id
[33] Abu Ja’far at-Thobari, Jami’ al-Bayan fi ta’wil al-Qur’an, Cet. I, Muassatu al-Risalah: 2000, 420 (Maktabah Shameelah)
[34] Ibid., hal. 564
[35] Al-Qhodi Nashir al-Din Abi Sa’id Abdillah bin Umar Al-Baidhowi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Bairut: Daar al-Rasyid, juz 3, hal. 81
[36] Abu al-Fida’ Isma’il bin Katsir al-Qursyi al-Damasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, Cet. II, Daar al-Thayyibah, 1999, hal. 420 (Maktabah Shameelah)
[37] Imam Al-Ghozali, Menyingkap Hati, Menghampiri Ilahi
[38] Al-Qhodi Nashir al-Din Abi Sa’id Abdillah bin Umar Al-Baidhowi loc., cit.
[39] E. Hassan Saleh, I.S.L.A.M., op.cit., hal. 70-71
[40] Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. III, Jilid 2, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1981, hal. 43
[41] Akhmad Alim, op., cit., hal. 103
[42] Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. III, Jilid 2, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1981, hal. 43
Categories: