PENDIDIKAN PARA NABI

Posted by Unknown on 01:52
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan manusia dengan dipikulkan padanya banyak amanah. Salah satunya yaitu amanah anak. Anak yang merupakan titipan dan amanah dari Allah, menuntut kita untuk dapat menjalankan amanah dengan baik, dengan penuh kasih sayang, dengan mengikuti manhaj Islami yang dijunjung tinggi oleh generasi Salaf Ash Sholih.
Kenyataannya, tidak semua orang tua memahami tugas dan tanggung jawabnya. Hal inilah yang mengakibatkan sebagian orang tua tidak memperhatikan pendidikan anaknya. Dengan kata lain tidak menerapkan pendidikan yang baik alias asal-asalan kepada buah hatinya.
Berkaitan dengan amanah anak, kita tak bisa lepas dari masalah pendidikan, yang popular dalam istilah arab “Tarbiyatul Abna”. Pendidikan anak yang melibatkan banyak pihak; keluarga, lingkungan, dan sekolah. Tetapi tentunya, pendidikan anak ini lebih banyak dititikberatkan pada keluarga, khususnya bapak-ibu sebagai orang tua. Wajar sekali, karena dari pendidikan anak dalam keluarga ini akan menjadi dasar pendidikan seorang anak kedepannya.
Ketika ia tumbuh besar, bergaul dengan sekolah dan lingkungannya, pijakan pertama yang ia akan jadikan bekal yaitu pendidikan yang ia telah peroleh dari orang tuanya. Membentuk pendidikan dasar sang anak dalam keluarga merupakan hal yang sangat penting. Ibarat sebuah gedung, sebelum terbangun, pasti diperlukan sebuah pondasi, semakin pondasi kuat dan semakin ke pangkal dan dalam, maka gedung yang akan dibangun di atasnya juga akan menjadi gedung yang kuat dan gagah, gedung yang tidak cepat rapuh. Begitu pula, jika sang anak mendapatkan pendidikan dalam lingkungan rumah dengan kuat, sebelum ia berinteraksi keluar, maka InsyaAllah ia akan menjadi pribadi yang kuat, tahan dan kokoh dalam menghadapi pengaruh negatif dari luar.[1]
Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang merupakan panduan seorang Muslim, telah membahas banyak hal berkaitan dengan Tarbiyatul Abna’. Tetapi di sini, kita akan titik beratkan pada satucerita yang Allah abadikan untuk diambil ibrah dan pelajaran bagi para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Adalah Luqman dan Ibrahim, yang namanya terabadikan sebagai nama dari salah satu surat Al-Qur’an. mereka merupakan sosok ayah yang bijaksana, pandai dan sholih, yang telah berhasil dalam menanamkan pondasi iman bagi anaknya, hingga wajar dan tepat sekali bila Allah mengabadaikan kisah keduanya didalam Al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagamana konsep pendidikan Nabi Ibrahim didalam Al-Qur’ansurat Ash-Shaffat ayat 100-102?
2.    Bagaimana implementasi konsep pendidikan Nabi Ibrahim dalam pendidikan masa kini?











BAB II
KAJIAN TEORITIS

1.      Pengertian Konsep
Konsep berasal dari bahasa Inggris “concept” yang berarti “ide yang mendasari sekelas sesuatu objek”,dan “gagasan atau ide umum”. Kata tersebut juga berarti gambaran yang bersifat umum atau abstrak dari sesuatu.[2]

2.      Pengertian Pendidikan
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, serta beberapa pemahaman yang diturunkan dari beberapa istilah dalam pendidikan islam seperti tarbiyah. Ta’dib, dan riyadhoh, maka pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut: prosses transinternalisasi pengetahuan dan nilai islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[3] Definisi ini memiliki lima unsur pokok pendidikan islam yaitu :
a.       Proses transinternalisasi. Upaya dalam pendidikan islam dilakukan secara bertahap, berjenjang, terencana, tersruktur, sistematik dan terus menerus.
b.      Pengetahuan dan nilai islam. Materi yang diberikan kepada peserta didik adalah ilmu pengetahuan dan nilai islam.
c.       Kepada peserta didik. Pendidikan diberikan kepada peserta didik sebagai subjek dan objek pendidikan.
d.      Melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya.
e.       Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan akhir pendidikan islam adalah terciptanya insan kamil yaitu manusia yang mampu menyelaraskan dan memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat.

3.      Biografi Ibrahim AS
Ibrahim dilahirkan dan dibesarkan di negeri Babilon (Irak). Ayahnya bernama Azar (Tahir) bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aabir bin Shalih bin Afrakhsyad bin Saam bin Nuh, seorang kafir pembuat berhala. Sedang ibunya adalah seorang yang beriman secara diam-diam. Ibrahim lahir pada masa pemerintahan Raja Namrud yang perkasa, seorang raja yang sangat ditakuti oleh rakyatnya. Ia seorang penyembah berhala dan mengaku Tuhan, maka orang yang menyembahnya lantaran takut kepadanya.[4]
Menurut Ibnu  Katsir nama lengkapnya adalah Ibrahim bin tarikh bin Nahur bin Sarugh bin Raghu bin Faligh bin Abir bin Syalih bin Arfakhsyadz  bin saam bin Nuh AS. Istri nabi Ibrahim yang pertama adalah Sarah sedang yang kedua adalah Siti Hajar. Adapun anak anak beliau adalah Nabi Ismail dari istrinya Hajar, dan Nabi Ishaq dari Istrinya Sarah, kemudian dari Nabi Ishaq mempunyai anak Nabi Ya’qub kemudian Nabi Yusuf dan dari keturunan Nabi Ismail hingga Nabi kita Nabi Muhammad saw.[5]
Nabi Ibrahim disebutkan dalam  Al-Qur’an sebanyak 69 kali dalam 63 ayat dan menjadi nama surat ke 14 dari Al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut secara garis besar menjelaskan tentang sifat-sifat dan keutamaan Nabi Ibrahim, Allah menguji Nabi Ibrahim, dakwah Nabi Ibrahim dan membangun ka’bah, Nabi Ibrahim menunaikan ibadah haji, Nabi Ibrahim kekasih Allah, turunnya azab kepada kepada kaum Nabi Ibrahim dan hijrah Nabi Ibrahim ke Sham. Juga menjelaskan tentang kehidupan kekeluargaan Nabi Ibrahim bersama Siti Hajar dan Ismail as, mimpi menghidupkan orang mati, dan berdebat dengan raja Namrud. Interaksi dengan ayahnya, berisi tentang dakwah kepada ayahnya, kekufuran ayah Nabi Ibrahim dan permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya.[6]



BAB III
KAJIAN TAFSIR

QS. Ash-Shaffat Ayat 100-102

Éb>u ó=yd Í< z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÉÈ   çm»tRö¤±t6sù AO»n=äóÎ/ 5OŠÎ=ym ÇÊÉÊÈ   $¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ  
Artinya:
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

a.       Penafsiran kalimat kunci
1.      Ghulam
Kata “ghulam” artinya adalah usia anak mulai dari lahir sampai menjelang dewasa[7] atau bisa diartikan anak-anak yang sudah hampir dewasa, mamapu membedakan yang baik dan buruk.
2.      Halim
Kata “halim”artinya adalah cerdik, bijaksana atau dapat diartikan orang yang berjiwa besar, maka “ghulamhalim” artinya Seorang anak yang cerdik dan bijaksana. Yang dimaksud adalah di saat dia dewasa, dia memiliki sifat ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa dari anak Ibrahim AS yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagian mengatakan yang dimaksud adalah Ishaq. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian salaf seperti Ikrimah dan Qatadah. Ada juga yang menukil dari beberapa shahabat, di antaranya ‘Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, Umar bin Al-Khaththab, Jabir, dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum.
Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah Isma’il AS, dan ini pendapat yang dinukilkan dari Abu Hurairah dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum. Dan ini pendapat Sa’id bin Musayyab, Asy-Sya’bi, Yusuf bin Mihran, dan yang lainnya. Dan pendapat ini dikuatkan oleh para ahli tahqiq seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syinqithi, dan yang lainnya rahimahumullah.[8]
Pendapat yang terkuat adalah yang kedua. Kuatnya pendapat ini ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan berita gembira kepada Ibrahim ‘alaihissalam tentang anak yang akan disembelih. Kemudian setelah menyebut kisahnya secara sempurna, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan setelahnya berita gembira tentang lahirnya Ishaq ‘alaihissalam:
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq.”(QS. Ash-Shaffat: 112-113)
Maka ini menunjukkan bahwa ada dua berita gembira, berita tentang anak yang akan disembelih serta anak yang bernama Ishaq.
Kedua: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebut tentang kisah penyembelihan kecuali pada surat Ash-Shaffat saja, sedangkan pada ayat-ayat yang lain hanya disebutkan berita gembira tentang lahirnya Ishaq secara khusus.
Ketiga: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.”(QS. Hud: 71)
Kalau sekiranya yang disembelih itu Ishaq, tentu Ibrahim ‘alaihissalam akan menganggap terjadinya penyalahan janji tentang munculnya Ya’qub dari keturunan Ishaq AS.
Keempat: bahwa yang disifati dengan sifat sabar adalah Isma’il ‘alaihissalam, seperti dalam firman-Nya:
“Dan (ingatlah kisah) Isma’il, Idris, dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar.”(Al-Anbiya: 85)

3.      Bunayya
Kata ini berasal dari kata banun atau ibn. Dalam ayat di atas digunakan kata “bunayya”, bukan kata ibniy. Terdapat perbedaan makna dan rasa bahasa antara penggunaan dua kata ini. Penggunaan kata yaa ibniy adalah panggilan biasa tehadap anak yang di dalamnya tidak terkandung makna cinta dan kasih saying, sedangkan Al-Qur`an menggunakan “yabunayya“ yang merupakanredaksi tasghîr, Hal itu bukan untuk mengecilkan atau merendahkan, namun untuk menunjukan rasa cinta dan kasih sayang kepada anak.[9]

4.      Abati
Kata abati berasal dari kata abun, yang kemudian menjadi abiy. Kedua kata abati dan abiy sepintas maknanya sama, yang berarti “Hai ayahku”. Tetapi dari segi makna dan rasa bahasa ternyata keduanya mengandung makna yang bebeda. Penggunaan Yaa Abiytidak mengandung makna cinta, kasih, dan sayang, serta penghormatan pemuliaan yang tinggi dari anaknya. Bahkan kata itu agak kasar terasa oleh orang yang memiliki rasa bahasa yang mendalam. Sedangkan penggunaan kata yaa abati mengandung makna yang sangat dalam, mengandung cinta, kasih dan sayang serta penghormatan dan pemuliaan yang tinggi dari sang anak terhadap ayahnya.

b.      Penafsiran Secara Global
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar dianugrahi anak yang termasuk golongan orang-orang yang saleh. Maka ia diberi kabar gembira dengan kehadiran seorang anak yang sangat sabar, yakni Ismail. Ismail merupakan anak pertama Nabi Ibrahim dan sebagai kabar gembira bagi dirinya.[10]Ketika Ismail dewasa serta dapat pergi bersama ayahnya dan sanggup melaksanakan pekerjaan yang dikerjakan oleh ayahnya, Ibrahim berkata kepadanya “Hai anakku, Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Maka ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar”.
Mimpi yang disampaikan Nabi Ibrahim kepada putranya, yang disebutkan di dalam ayat di atas, adalah mimpi yang benar, bahwa itu adalah perintah Allah swt. Karena mimpi seorang Nabi adalah benar, dan itu adalah salah satu bentuk wahyu dari Allah swt. Begitu tulusnya seorang ayah memanggil putranya dengan kata “bunayya”. Kata ini berasal dari kata banun atau ibn. Dalam ayat di atas digunakan kata “bunayya”, bukan kata ibniy. Terdapat perbedaan makna dan rasa bahasa antara penggunaan dua kata ini. Penggunaan kata yaa ibniy adalah panggilan biasa tehadap anak atau putra, yang di dalamnya tidak terkandung makna cinta dan kasih sayang. Panggilan anak dengan yaa ibniy, adalah panggilan biasa yang didalamnya tidak terdapat cinta dan kasih sayang terhadap anak. Penggunanan kata yaa bunayya seperti di dalam ayat mengandung makna cinta dan kasih sayang yang sangat dalam.
Ismail pun menyambut panggilan ayahnya dengan penuh kasih sayang, disertai penghormatan dan sikap memuliakan terhadap ayahnya Ibrahim. Hal ini terlihat dari penggunaan kata yaa abati yang disebutkan di dalam ayat itu. Kata abati ini berasal dari kata abun, yang kemudian menjadi abiy. Kedua kata abati dan abiy sepintas maknanya sama, yang berarti “Hai ayahku”. Tetapi dari segi makna dan rasa bahasa, ternyata keduanya mengandung makna yang bebeda. Penggunaan kata yaa abati mengandung makna yang sangat dalam, mengandung cinta, kasih dan sayang serta penghormatan dan pemuliaan yang tinggi dari sang anak terhadap ayahnya. Seakan-akan Islamail menyatakan dengan yaa abati itu menunjukkan ketulusannya yang luar biasa.
Ketinggian akhlak dan sopan santun seorang anak itu tidak terlepas dari sang ayah. Pastilah sang ayah telah menanamkan dalam hati dan benak anaknya tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepada-Nya. Sikap dan ucapan sang anak yang direkam oleh ayat ini adalah buah dari pendidikan tersebut.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:[11]“Ini adalah ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kekasih-Nya yakni Ibrahim AS untuk menyembelih putranya yang mulia dan baru terlahir setelah beliau berumur senja. Ujian ini terjadi setelah Allah memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar saat Ismail masih menyusui di tempat yang gersang, sunyi tanpa tumbuhan yang dapat dimakan buahnya, tanpa air dan tanpa penghuni. Ia taati perintah Allah SWT itu, meninggalkan isteri dan putranya yang masih kecil dengan keyakinan yang tinggi dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka kemudahan, jalan keluar, serta limpahan rizki dari arah yang tiada disangka. Setelah semua ujian itu terlampaui, Allah menguji lagi dengan perintah-Nya untuk menyembelih putranya sendiri, yaitu Ismail Alaihissallam . Dan tanpa ragu, Ibrâhîm menyambut perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu dan segera mentaatinya. Beliau Alaihissallam menyampaikan terlebih dahulu ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut kepada putranya, agar hati Ismail menjadi lapang serta dapat menerimanya, sehingga ujian itu tidak harus dijalankan dengan cara paksa dan menyakitkan.
Ibrahim dan Ismail adalah sosok ayah dan anak yang bertaqwa kepada Allah SWT. Keimanan, ketaatan, ketaqwaan dan kesabaran Ibrahim dan putranya Ismail tersebut hendaknya menjadi spirit didalam mendidik anak dalam konteks kekinian.
Maka konsep pendidikan yang terkandung dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102 adalah sebagai berikut:
1.      Memanggil anak dengan panggilan yang indah dan penuh kasih sayang.
2.      Mengedepankan konsep musyawarah dalam setiap suruhan atau larangan dan menggunakan argumen yang logis dan tepat.
3.      Mengedepankan Metode “pendidikan keteladanan.” Keteladanan yang baik merupakan satu-satunya sarana untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Jika seandainya Ibrahim tidak mempunyai teladan yang baik, maka perintah yang ia sampaikan pada putranya tidak akan dipenuhi oleh anaknya.



BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI

Seorang pendidik wajib mendidik anaknya agar mengesakan Allah SWT dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Pendidikan tauhid atau akidah ini merupakan pendidikan yang pertama yang harus di berikan kepada peserta didik, karena sebagai dasar bagi dirinya untuk dapat melanjutkan tahap pendidikan yang selanjutnya. Sehingga ketika pada tahap selanjutnya ada goncangan-goncangan yang bersifat merusak akidah seorang peserta didik, maka ia sudah mampu unutk melawan atau menolak goncangan tersebut.
Merupakan hak anak-anak, yaitu mendapatkan mauidzhoh ataupun nasehat yang baik dari orang tuanya, dengan nasehat tersebut seorang anak akan berjalan dengan petunjuk cahaya, sehingga tumbuh kembang anak menjadi anak yang berkepribadian baik, beraqidah lurus, berakhlaqul karimah, sebagai pondasi baginya untuk membangun dan memakmurkan dunia dengan syariat Allah.
Dalam mendidik seorang anak, orang tua harus memperhatikan unsur-unsur pokok pendorong keberhasilan pendidikannya, yaitu:
a.       Memilih pasangan hidup berdasarkan pertimbangan agama dan akhlaknya.
b.      Ibu dan bapak harus pasangan muslim.
c.       Berwawasan (pendidikan).
d.      Orang tua harus menjadi teladan yang baik dan contoh yang tepat dalam semua aspek kehidupan.
e.       Orang tua harus memiliki sifat kasih sayang, cinta kasih dan kelembutan tanpa berlebihan.
f.       Orang tua harus memiliki sifat tawadhu’, jujur dan menepati janji.
g.      Orang tua harus menjauhkan diri dari kebiasaan sering mencela, menegur dan mencari kekurangan anak.
h.      Orang tua harus mencari waktu yang tepat untuk memberi pengarahan dan menyampaikan pesan yang baik.
i.        Orang tua harus selalu mendoakan kebaikan bagi anak, bukan mendoakan keburukan.[12]




BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
1.      Dalam QS. Ash-Shaffat ayat 100-102 mengandung pesan bahwa seorang ayah harus mendidik anak dengan cara yang baik, memanggil dengan panggilan yang halus, berdialog danbermusyawarah dengan anaknya tentang apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah. Seorang ayah memberi arahan plus-minus terhadap jalan pilihan kehidupan putranya tersebut berdasarkan perintah Allah SWT.
2.      Setidaknya ada tiga hal pokok yang ditawarkan dari QS. Ash-Shaffat ayat 100-102, yaitu sebagai berikut:
1.      Memanggil anak dengan panggilan yang indah dan penuh kasih sayang.
2.      Mengedepankan konsep musyawarah dalam setiap suruhan atau larangan dan menggunakan argumen yang logis dan tepat.
3.      Mengedepankan Metode “pendidikan keteladanan.” Keteladanan yang baik merupakan satu-satunya sarana untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Jika seandainya Ibrahim tidak mempunyai teladan yang baik, maka perintah yang ia sampaikan pada putranya tidak akan dipenuhi oleh anaknya.
B.       Saran-saran
Penulis ingin memberikan sedikit masukan kepada para pembaca, khususnya yang telah menjadi seorang ayah atau ibu dari putra dan putrinya. Untuk memberikan perhatian yang lebih pada pendidikan tauhid dan moral pada. Pendidikan tauhid dan moral merupakan hal yang urgen dan paling mendasar dalam kehidupan anak. Jangan samakan pola pendidikan kita yang Islami dengan pola pendidikan barat. marilah kita semua berperan aktif dalam pendidikan ketauhidan Islami dan moral bangsa. Sebab nasib bangsa ke depan, sangat ditentukan oleh generasi muda sekarang.
Islam telah memberi pandangan dan teladan pendidikan dalam kitab suci al-Qur’an, Hendaknya kita dapat meneladani sejarah pendidikan sosok ayah Ibrahim AS yang tertera dalam al-Qur’an tersebut. Semoga kita semua menjadi muslim yang peduli terhadap pendidikan Islam.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
Ar Rifai, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, terj. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 2000
Cowie, Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, London:Oxford University Press, 1974
Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan Di Masa Remaja, terj. Aan Wahyudin, Jakarta: Amzah, 2007
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Beirut: Dar al-Fikr, 2000
Mujib, abdul dan Mudzakir, Jusuf, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006
Saha, M. Ishom El dan Hadi, Saiful, Sketsa Al Qur’an, Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005
Mu’jam Al-Wasith, Mesir: Maktabah Al-Shuruq Al-Dauliyah, 2010
Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali, Shahîh Qashashil-Anbiyâ`, Kuwait: Muassasah Gharras, 2005










[1]Latifah Munawaroh, ”Tarbiyah Ala Luqman Al-Hakim”, Artikel Ilmiyah, diakses dari  http://alhusnakuwait.blogspot.co.id/2012/10/tarbiyah-ala-luqman-al-hakim.html, pada tanggal 13 Oktober 2015 pukul 20.17
[2]Cowie, Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, London:Oxford University Press, 1974
[3]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006, hlm. 29-28
[4]M. Ishom El Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al Qur’an, Jilid 1, Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005, hal. 253.
[5]Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (terj. M. Abdul Ghoffar), Jilid V. Pustaka imam Syafi’I, Jakarta,   2009, hal. 27
[6]Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan (10 Cara Qur’an Mendidik Anak),UIN  Malang Press, Malang, Cet.I, 2008, hal. 99-100
[7] Lihat Mu’jam al-wasith, hal. 283
[8] LihatTafsir Ibnu Katsir, Al-Qurthubi,Taisir Al-Karim Arrahman, Adhwa`ul Bayan, danMajmu’ Fatawa Syaikhul Islam, jilid4, hal. 331-336
[9]Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, Jilid 9, Beirut: Dar al-Fikr, 1991, hal. 143
[10]Muhammad Nasib Ar Rifai, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, terjemah oleh Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 38
[11]Lihat Shahîh Qashashil-Anbiyâ, hal. 132
[12]Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan Di Masa Remaja, terj Aan Wahyudin, Jakarta: Amzah, 2007, hal. 329-360
Categories: