Nikah Mut’ah dalam Prespektif islam
Posted by Unknown on 02:49
Mahasiswa Jurusan Syariah Universitas Ibn Khaldun Indonesia
A. Pengertian Nikah Mut’ah
Secara etimologi, Mut’ah
bersal dari kata tamatta’a, yatamatta’u
tamattu’an yang artinya mengambil manfaat dari sesuatu[1]. Adapun Nikah Mut’ah secara etimologi berkumpul
atau bercampur, sedangkan menurut syari’at secara hakekat adalah akad (nikah)
dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat
yang shahih[2],
karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab
Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-Tazwiij (perkawinan)[3].
Menurut istilah, Nikah Mut’ah adalah seseorang laki-laki menikahi
seorang wanita dengan sesuatu dari harta untuk jangka waktu tertentu,
pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut tanpa adanya
perceraian, juga tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal serta tidak ada
waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal sebelum
berakhirnya masa pernikahan[4]. Pernikahan
ini juga tidak mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari
bapak atau wali, dan status wanitanya sama dengan wanita sewaan atau budak[5].
B. Sejarah Nikah
Muth'ah
Nikah
Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at
islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi
kemudian diharamkan.
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah
waktu itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi
(masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa
jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada
pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka
adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan
adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah
untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang.
Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan
kemaluannya. Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام
وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك.
ورخص
لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
Dari mas'ud berkata : waktu itu kami
sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami
berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang
kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk
menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu.
Tetapi
rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga hari setelah itu Beliau melarangnya, seperti
sabdanya :
وعن سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى
الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya
:
Dari
Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah
pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau
melarangnya (HR Muslim)
Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah saw
pernah memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan menasah rukhshah
tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan
kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian
diharamkannya dalam perang khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun
penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu Nikah Muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga terhapuslah
rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :
وعن علي رضي الله تعالى عنه قال : نهى رسول
الله صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه)
Artinya
:
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah
melarang nikah muth'ah pada tahun Khaybar
وعن ربيع بن سبورة, عن أبيه رضي الله عنه, أن
رسول الله صام قال : إنى كنت أذنت لكم الإستمناع من النساء,
وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه
مسلم وأبو داود والنساء وأحمد وابن حبان)
Artinya :
Dari
Rabi' bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari
wanita, dan sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat
(HR Muslim, Abu Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah).
C. Pendapat Sahabat ra, Tabi’in Dan Fukoha’ Tentang Hukum Nikah Mut’ah
Pengharaman Nikah Mut’ah merupakan ijma’ dikalangan
Fuqoha’. memang tidak diragukan lagi, pada mulanya Nikah Mut’ah
diperbolehkan diawal-awal islam, kemudian Rasulullah saw mengharamkannya
setelah itu sampai datangnya Hari Kiamat. Maka pada saat itu tidak ada
perbedaan diantara para Sahabat kecuali sekelompok kecil di antara mereka.
Telah
ditetapkan bahwa sebagian diantara salaf membolehkannya setelah
Rasulullah saw wafat. Di antara mereka ada yang dari kalangan Sahabat ra ada pula dari kalangan tabi’in.
Ibnu Hazem Dalam bukunya menyebutkan, di antara Sahabat-Sahabat ra yang
membolehkannya yaitu: Asma’ Binti Abu Bakar, Jabir Bin Abdullah, Ibnu Mas’ud,
Ibnu Abbas, Muawiyah Bin Abi Sofyan, Amru Bin Harist, Abu Sa’id al-Khudri,
Salamah, Dan Ma’bad anak-anak dari Umayyah Bin Kholaf. Adapun dari kalangan
tabi’in diantaranya Toowus, Atho’, Sa’id Bin Jubair dan seluruh Fukoha’ Makkah.
Diriwayatkan bahwa Sahabat yang lain membantah pendapat tersebut dan mengatakan
keharamannya. Di antara mereka yang membantah pendapat orang-orang yang
membolehkannya yaitu: Abdullah Bin
Zubair, Urwah Bin Zubair, Ali Bin Abi Tholib, Umar Bin al-Khottob dan selain
mereka[6].
Maka
diriwayatkan mereka (yang membolehkan Nikah Muta’h) menarik kembali
pernyataan mereka dan mengatakan bahwasanya Nikah Mut’ah telah dihapus.
Akan tetapi, adapula riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas memberikan
keringanan. Ia membolehkan Nikah Mut’ah sebagaimana Allah membolehkan
Darah dan daging Babi bagi orang yang mudthor (terpaksa).
Pengkiasan Ibnu Abbas tersebut tidaklah benar, kaerena darurat dalam hal
ini, tidak terjadi sebagai mana apa yang terjadi dalam hal makanan, yang
dengannya manusia dapat bertahan hidup dan tampanya dapat menyebabkan kematian
(hal ini dikemukakan oleh al-khottobi). Disamping itu, ada pula riwayat yang
mengatakan bahwasanya, setelah Abdullah Bin Zubair ra dan Ali Bin Abi Tholib ra
mendebatnya, ia menarik kembali
pernyataannya tersebut dan mengatakan keharamannya.
setelah Ibnu Abbas mengharamkannya, maka
keharaman Nikah Mut’ah telah menjadi ijma’ (kesepakatan). Hal ini
karena orang-orang yang menghalalkannya menyandarkan hal tersebut kepada Ibnu
Abbas ra[7].
Dan bukti kesepakatan mereka atas haramnya Nikah Mut’ah adalah, larangan
Nikah Muta’h yang dilakukan Umar Bin al-Khottob semasa menjabat sebagai
Khalifah. Pada saat itu tak seorang pun yang mengingkari hal tersebut, maka ini
merupakan dalil ketaatan mereka atas apa yang dilarangnya[8].
D. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah
Sebagaimana
telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw adalah rahmat bagi
seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt mengharamkan Nikah Mut’ah kerna
tidak sesuai dengan misi yang diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya nikah
ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi
Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa jarak antara
keislaman mereka masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh
didalamnya sebelum datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk
akal dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan
berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid
dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar dibolehkannya
Nikah Mut’ah.
Setelah
hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui firmannya dan Lisan
Rasulnya saw. Karena, Nikah Mut’ah menyusahkan perempuan dan anak yang lahir
dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat dan tabi’in yang
melakukan itu lagi.
Bila
dilihat dari definisi Nikah Mut’ah,
pernikahan seperti ini terjadi kontradiksi
terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan adalah suatu
ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan
niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan
yang telah digariskan Allah swt dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan,
dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi
berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
Seperti Firman Allah swt :
والله جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم
بنين وحفدة (النحل : )
Artinya :
Allah
telah menjadikan jodoh bagimu dari jenismu sendiri (laki-laki dan perempuan),
dan dari perjodohanmu itu anak-anakmu. (an-Nahl : 76)
يايهاالناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق
منها زوجها وبث منهارجالا كثيرا ونساء (ألنساء :1 )
Artinya :
Wahai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (an-Nisa' : 1)[9]
Dalam
prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai
dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah
mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir
dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan
dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia,
dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.
Selain
dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri yang
boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang peria menikah lebih dari empat orang
istri. Dan ini dapat dilakukan tampa wali atau tampa persetujuan walinya, dan
dalam pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan dan pemberian nafkah
setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah
terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil[10].
Bila
ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah
merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga,
menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan
dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak
diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua
bersaudara, atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup
kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang
dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena
ketidak tahuannya dan tidak adanya orang yang mengetahuinya.
Dengan
demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mut'ah,
selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan
lilalaamin) dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki
banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama,
masyarakat maupun akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw
mengharamkannya, karena didalamnya terdapat berbagai macam kerusakan.
Daftar Pustaka
1.
Al-Qura’n Dan al-Hadist.
2.
Muhammad majuddin, al-Mu’jam al-Muhith, libanon: Dar ihya’u
al-Turost al-Arobi, cetakan 2, 1424H.
3.
Ahmad bin ‘Ali bin
Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari (Maktabah Syamilah), Jilid 14
4.
Muhammad bin Mukarram
al-Mishri, Lisanul ‘Arab Beirut: Dar Shadir, cetakan I, Jilid 2.
5.
Mamduh Farhan
al-Buhairi, asy-Syi’ah Minhum ‘Alaihim, Indonesia: Dar al-Faruq lin
Nasyr wat Tauzi’, Cetakan I, 1422 H.
6.
Ibnu Hazem, syarah al-Muhalla, Beirut: Dar Ihya’u al-Thurost
al-Arobi, Cetakan 3, 1422H, Bab al-Nikah, Jilid 11.
7.
Asyrof, Muhammad
al-Sodiki al-Azhim abadi, Aun Ma’bud
Syarah sunan zffAbi Daud, Beirut: Dar Ihyau al-Turost al-Arobi, Cetakan 2,
1421H, Bab Nikah al-Mut’ah, Jilid 6.
8.
Imam al-Ashkolaani, Fath al-Bari Syarh Sohih al-Bukhori,
Riadh: Maktabah al-Rosyiid Naasyiruun, Cetakan 1, 1425H,Bab Nahyi Rasulullah
saw an Nikah al-Muta’h Akhiron, Jilid 9.
9.
Ahmad Saalus, Ali, Ma’a al-Itsna al-Asyariah Fi al-Usul wa
al-Furu’, Riyadh: Dar al-Fadhilah, 1424H, Bab Zawaj al-Mut’ah.
10.
Farukh, Umar, al-Usroh Fi al-Syar’I al-Islami Ma’a Lamhah
Min Tarikh al-Tasyri’ Ila Zuhuri al-Islam, Beirut: Maktabah al-Asriyah,
1408H, Bab al-Mut’ah.
[1] Muhammad
majuddin, al-Mu’jam al-Muhith, libanon: Dar ihya’u al-Turost al-Arobi, cetakan
2, 1424H, hal 237
[2] Ahmad bin ‘Ali
bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari (Maktabah Syamilah) j. 14, hlm. 288
[3] Muhammad bin
Mukarram al-Mishri, Lisanul ‘Arab Beirut: Dar Shadir, cet I, TT j. 2,
hlm. 625
5Mamduh Farhan
al-Buhairi, asy-Syi’ah Minhum ‘Alaihim, Indonesia: Dar al-Faruq lin
Nasyr wat Tauzi’, cet I, 1422 H, hlm. 208
[6] Ibnu Hazem,
syarah al-Muhalla, Beirut: Dar Ihya’u al-Thurost al-Arobi, cet 3, 1422H, Bab al-Nikah, j 11, Hal 69
[7] Asyrof,
Muhammad al-Sodiki al-Azhim abadi, Aun Ma’bud Syarah sunan Abi Daud, Beirut:
Dar Ihyau al-Turost al- Arobi, Cet 2,
1421H, Bab Nikah al-Mut’ah, j 6, hal 51
[8] Imam
al-Ashkolaani, Fath al-Bari Syarh Sohih al-Bukhori, Riadh: Maktabah al-Rosyiid
Naasyiruun, Cet 1, 1425H,Bab Nahyi Rasulullah saw an Nikah al-Muta’h Akhiron, j
9, Hal 213-223
[9] Ahmad Saalus, Ali, Ma’a al-Itsna al-Asyariah
Fi al-Usul wa al-Furu’, Riyadh: Dar al-Fadhilah, 1424H, Bab Zawaj al-Mut’ah,
Hal 1067
[10] Farukh Umar,
al-Usroh Fi al-Syar’I al-Islami Ma’a Lamhah Min Tarikh al-Tasyri’ Ila Zuhuri
al-Islam, Beirut: Maktabah al-Asriyah, 1408H, Bab al-Mut’ah, Hal 215
Categories: Artikel