PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-QOBISI

Posted by Unknown on 21:36
Oleh: Didin Jaenuddin, S.Pd.I
I.       Pendahuluan
Pemikiran pendidikan Islam Al Qobisi, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Sahnun yang dilahirkan pada tahun 202 H (abad ke-3) telah dikenal sebagai salah satu tokoh pemikir Islam klasik yang sangat konsen terhadap masalah pendidikan. Abad ke 3 H, dunia pendidikan Islam banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran tokoh ini. Karya Ibnu Sahnun yang cukup spektakuler saat itu adalah Adabul al-Muallimin, beliau menyusun kitab tersebut  tidak lebih dari dua puluh enam halaman dari kertas ukuran kecil[1]. Sebuah kitab yang pada akhirnya nanti, banyak mempengaruhi pemikiran al-Qobisi, seorang pemikir Islam abad ke 4 H yang juga banyak mencurahkan pemikirannya terhadap pendidikan Islam. Adapun kitab pendidikannya yang pernah dikarang adalah al-Mufassalh Liahwal al-Muta’allimin (rincian tentang keadaan para pelajar, serta kode etik para guru dan pelajar). Dalam kitab ini beliau sangat terpengaruhi oleh tulisan Sahnun, sampai-sampai al-Qobisi meminjam setiap kata yang digunkan oleh Ibnu Sahnun dalam kitabnya Adabul al-Muallimin[2].

Sebagai ulama yang menyusun kitab  berkaitan dengan pendidikan, al-Qobisi menulis mengenai metode, kurikulum atau materi, tata cara belajar-mengajar, dan hal lain yang sangat terkait dengan konsep pendidikan di kuttab saat itu. Ada satu hal yang menarik untuk dikaji bagaimna sesungguhnya “Karakteristik pembelajaran yang diterangkan al-Qobisi kaitannya dengan pendidikan di Kuttab”.

II.    Riwayat Hidup Al-Qobisi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Khalaf al-Ma’arif al-Qobisi. Ia lahir di Kairawan, Tunisia (wilayah Magrib, Afrika Utara) pada hari Senin bulan Rajab tahun 324 H, bertepatan dengan 13 Mei 936 M. beliau wafat pada tanggal 3 Rabiul awwal  tahun 403 H bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1012. Dalam perjalanannya kemudian beliau dikenal dengan nama al-Qobisi.
Al-Qobisi menjalani kehidupan masa  kecil hingga dewasa di kota Kairawan. Sebuah kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah. Penduduknya giat menyebarkan, mengajarkan dan mendalami ajaran-ajaran Islam. Riwayat pendidikannya sangat erat dengan perantauannya ke beberapa Negara Timur Tengah pada tahun 353 H/ 963 M selama 5 tahun. Sewaktu di Mesir, ia berguru kepada salah seorang ulama Iskandariyah. Dia memperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama-ulama terkenal di Afrika Utara seperti Abu Abbas al-Ibyani dan Abu Hasan bin Masruf ad-Dibaghi, serta Abu Abdillah bin Masrur al-Assa’ali dan sebagainya.
Selanjutnya ketika ia berada di Kairawan Tunisia, ia berguru kepada ulama Malikiyah yang berkembang di daerah itu, sehingga ia juga menjadi orang yang ahli dalam bidang fiqih. Dengan penguasaannya yang begitu dalam terhadap bidang fiqih dan hadits, al-Qobisi lebih banyak mengambil corak pemikiran normatif. Acuan yang digunakan al-Qobisi dalam merumuskan pemikirannya termasuk bidang pendidikan adalah paradigm fiqih berdasarkan al-Qur’an dan hadits[3]. Sebagai ulama fiqih dan hadits, sebagaimana disebutkan diatas al-Qobisi merupakan ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab. Beliau mengahsilkan 15 karya dalam bidang fiqih maupun hadits, diantaranya al-mumahid fi al-fiqh dan al-I’tiqadat. Sedangkan karyanya dalam bidang pendidikan berjudul al-Mufassalh Liahwal al-Muta’alallimin wa al-Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin[4]. Sebuah kitab yang menjelaskan Rincian tentang keadaan para pelajar, serta hukum-hukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab ini terdiri dari 80 halaman dan dibagi dalam 3 juz.

III. Konsep Pendidikan Al-Qobisi
Dalam konteks pemikiran pendidikan yang dijalankan al-qobisi adalah pendidikan tingkat dasar yang berlangsung di Kuttab[5]. Oleh karenanya, konsep pendidikan yang ditawarkannya pun lebih banyak relevansinya dengan proses pendidikan anak.
Kenapa demikian? Hal ini bisa dilihat dari konsepnya tentang kewajiban mendidik anak. Menurut al-Qobisi, mendidik anak adalah kewajiban agama. Bagi orang tua yang mampu hendaknya mendidik anaknya sendiri, dan seandainya tidak ada kemampuan untuk mendidiknya, hendaknya mendelegasikan kepada orang alim dan mengupahnya[6]. Kewajiban mendidik anak merupakan proses awal itu sebagai upaya peningkatan kualitas ummat. Tanpa melalui proses awal itu, sangat tidak mungkin peningkatan kualitas terealisasi. Karena pada dasarnya anak merupakan makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah optimal kemampuan fitrahnya. Dalam kaitan ini al-Qobisi berpendapat bahwa jalur pendidikan anak merupakan faktor signifikan yang menjadi penentu keberhasilan proses pendidikan. Secara garis besar, konsep pendidikan yang disuguhkan al-Qobisi meliputi hal-hal sepeti: Tujuan Pendidikan, Kurikulum atau materi pendidikan Islam, Metode dan tekhnik belajar, waktu belajar, kode etik seorang pelajar, serta profesionalisme Guru.
1.      Tujuan Pendidikan
Latar belakang “tujuan pendidikan” yang dilakukan oleh al-Qobisi, Sejalan dengan sikapnya yang berpegang teguh kepada agama dengan spesialisasi bidang fiqih yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunah, al-Qobisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Menurutnya, nilai-nilai agama bersumber dari akhlak, dan dalam Islam sendiri agama merupakan dasar pendidikan akhlak, oleh karenanya akan menjadi satu keharusan dalam satu pengajaran ditanamkan pendidikan akhlak. Hal ini sejalan dengan pendapat Syaibani yangberpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempertinggi nilai-nilai akhlak, hingga mencapai akhlak karimah[7]. Sebagaimana sabda nabi yang artinya “sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”Ini artinya, faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai hal esensial dalam menentukan keberhasilan suatu pendidikan. Analisa yang bisa dikedepankan dari tujuan tersebut adalah bahwa secara fitrah, anak merupakan potensi dasar yang bisa diolah menurut keinginan pendidik.
Dalam hal ini membutuhkan peran orang tua dan guru, sehingga berhasil atau tidaknya seorang anak dalam melakukan interaksi edukatif kesemuanya sangat bergantung dari tujuan awal yang disajikan institusi. Mau diarahkan kemana anak didik semuanya sangat bergantung pada tujuan yang sejak awal disiapkan. Inilah yang sesungguhnya ingin diterapkan al-Qobisi. Untuk memenuhi tujuan pendidikan tersebut, yakni menjadikan anak berakhlak mulia, hal yang paling signifikan adalah bagaimana menerapkan satu sistem pembelajaran yang betul-betul bisa diterima anak, sistem pendidikan yang berjalan secara demokratis dan berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan siswa.
 Dalam menjalankan pendidikannya, al-Qobisi menerapkan pendekatan kasih sayang, berlaku adil dan tidak sekali-kali memberikan hukuman kepada anak tanpa alasan yang jelas. Satu tindakan demokratis yang pada akhirnya nanti akan banyak membantu menanamkan perilaku positif sebagaimana tujuan awal pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian proses perbaikan akhlak akan berjalan secara efektif manakala didukung sikap demokratis para pengelola pendidikan dan adanya dukungan sistem pembelajaran yang juga mendukung penanaman nilai-nilai demokrasi secara wajar.
2.      Mata Pelajaran
Dilihat dari segi pengajaran yang diterapkan, al-Qobisi membagi materi pelajaran ke dalam dua kelompok kategori:
a.       Mata pelajaran wajib
Al-Qobisi mengelompokkan  mata pelajaran yang termasuk bagian dari mata pelajaran wajib, adalah pelajaran membaca dan menulis al-Qur’an[8], termasuk juga didalamnya juga bacaan-bacaan shalat ditambah dengan penguasaan terhadap ilmu nahwu dan bahasa arab yang keduanya merupakan prasyarat untuk memantapkan bacaan al-Qur’an. Lebih  lanjut mengatakan bahwa dimasukannya pelajaran membaca dan menulis al Qur’an ke dalam mata pelajaran wajib adalah karena al-Qur’an merupakan kalam Allah dan menjadi sumber hukum tasyri. Disamping karena Al-Qur’an juga merupakan rujukan utama kaum muslimin dalam masalah ibadah dan muamalah[9]. 
b.      Mata pelajaran pilihan
Adapun mata pelajaran pilihan adalah materi pelajaran alternatif atau pilihan artinya tidak ada kewajiban bagi siswa untuk mengambil mata pelajaran model ini. Dalam kurikulumnya mata pelajaran pilihan  seperti :ilmu hitung (hisab), fiqih, penguasaan ilmu nahwu dan bahasa arab secara lengkap, syair, kisah-kisah bangsa arab serta sejarah. Materi-materi pelajaran yang kelihatannya merupakan pendorong untuk mengkaji ilmu-ilmu tertentu dan sebagai alat untuk menuangkan bakat dan potensi yang dimiliki seorang anak.
Kurikulum yang ditawarkan al-Qobisi lebih diorientasikan pada kepentingan siswa bukan pada kepentingan guru. Mata pelajaran wajib seperti membaca dan menulis al-qur’an bagi seorang anak akan menjadi hal yang urgen, karena bagi seorang mubtadin menulis dan membaca merupakan aktifitas awal yang akan banyak membantu proses pemahamannya terhadap isi kandungan al-Qur’an termasuk peningkatan ilmu pengetahuan lainnya. Materi pelajaran pilihan yang ditawarkan al-Qobisi, begitu sarat dengan kepentingan dan pengembangan potensi bakat siswa. Adanya materi pilihan, akan banyak membantu seorang anak dalam menentukan minat dan bakatnya secara alami. Dengan demikian, al-Qobisi sebagai ulama yang memperhatikan masalah pendidikan, menghendaki pendidikan yang betul-betul komprehensif, menyeluruh dan tidak parsial. Karena pada dasarnya ilmu itu satu sama lain saling berkaitan. 
3.      Metode dan Teknik Belajar
Dalam praktek pendidikannya, Al Qobisi menjelaskan bahwa pertama-tama anak harus diajari membaca dan menghapal al-Qur’an, kemudian diajari menulis ditambah lagi dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Dalam mengajarkan al-Qur’an ini anak juga tidak boleh dibiarkan berpindah dari surat ke surat yang lainnya sebelum ia hafal dengan irab dan tulisannya[10]. Metode yang digunakan yaitu: metode hapalan yang diajukan al-Qobisi. Hal tersebut, sesungguhnya didasarkan pada pemahaman sebuah hadits nabi SAW tentang menghapal al-Qur’an yang diumpamakan oleh nabi dengan perumpamaan al-Qur’an seperti unta yang diikat dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat pula dan jika ia melepaskan ikatannya maka ia akan pergi[11]. Berdasarkan  hadits tersebut, al-Qobisi menyatakan: “sesungguhnya Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya tersebut tentang cara-cara mengingat yang dapat memantapkan hapalan-hapalan al-Qur’an sehingga ia tidak perlu belajar lagi secara berulang-ulang.
Lebih lanjut al-Qobisi menjelaskan bahwa dalam menerapkan metode hapalan tersebut tidak mudah. Oleh karenanya harus disesuaikan dengan teknik dan waktu yang tepat. Menurutnya, waktu yang disediakan dalam mengikuti proses pembelajaran di kuttab adalah selama semimggu kecuali hari jum’at, dan hari kamis ba’da dzuhur, khusus pada hari rabu sore dan kamis pagi sampai waktu dhuha untuk mendalami al-qur’an. Dan waktu selebihnya ba’da dzuhur dialokasikan  untuk mempelajari mata pelajaran pilihan, seperti ilmu hitung, syair dan ilmu nahwu.
4.      Prinsip-prinsip Pendidikan
Prinsip-prinsip pendidikan yang diaplikasikan al Qobisi tidak lepas dari pemikiran pendidikan Ibnu Sahnun. Prinsip-prinsip tersebut yaitu pertama; larangan belajar diluar agama. Dalam hal ini, orang muslim dilarang belajar kepada non muslim, dan sebaliknya non muslim dilarang mendatangi kuttab untuk belajar kepada orang islam.
Bentuk larangan yang dimaksud diatas bukan merupakan sikap yang mengekang kebebasan ummat dalam melakukan proses pembelajaran. Tapi lebih merupakan sikap toleransi yang diterapkan al-Qobisi. Dengan bentuk pelarangan tersebut paling tidak akan meminimalisir bentuk-bentuk kecurigaan dari kedua belah pihak, sehingga bentuk keberagaman tidak lagi menjadi hal yang kontropersial. Satu sikap yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi[12].
Kedua mengenai tanggung jawab pendidikan. Al Qobisi berpandangan  bahwa kewajiban mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak adalah tanggung jawab orang tua, namun ketika orang tuanya tidak mampu mengajari anak-anaknya, maka orang tua berkewajiban menyuruh anak-anak belajar kepada orang lain atau mendatangkan guru al-Qur’an jika tidak mampu juga maka hendaklah orang tua dibebankan kepada baitul mal. Dengan demikian dapat disimpulkan penanggungjawab pendidikan adalah orang tua, guru dan pemerintah.

IV. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulanbahwa konsep pendidikan yang ditawarkan al-Qobisi lebih cenderung menerapkan corak pendidikan demokratis dalam menerapkan proses pembelajaran di lembaga pendidikan kuttab. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikasi sebagai berikut:
Pertama, al-Qobisi dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikannya, menjadikan anak berakhlak Islam, al-Qobisi mencoba menerapkan metode pembelajaran yang betul-betul memenuhi kebutuhan anak didik, yaitu bersikap adil atau tidak memihak, tidak menghukum dengan tanpa alasan yang jelas, kasih sayang, dan praktek-praktek yang lebih dekat dengan nilai-nilai demokrasi.
Kedua, kategorisasi dan pengelompokan mata pelajaran yang diterapkan al-Qobisi, materi wajib dan pilihan, hal tersebut dilakukan memiliki tujuan bagaimana seorang bisa memilih secara demokratis mata pelajaran yang coba ditawarkan pihak lembaga pendidikan. Kondisi demikian tentu akan lebih menghidupkan suasana lembaga pendidikan yang demokratis, suasana yang lebih banyak memberi kebebasan secara penuh kepada para siswa serta memberi kebebasan para siswa untuk bisa berpendapat secara transparan. Namun demikian, hal tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Tetapi apapun konsep dari al-Qobisi tentang pemilihan mata pelajaran merupakan upaya al-Qobisi menciptakan suasana pendidikan demokratis menurut aturan yang ada kepada peserta didik.


[1] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan islam, (Jakarta: al-Husna,2000) hal.230
[2] Ibid 142
[3] Dr. Abuddin Nata, MA, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta. Raja Grafindo Persada 2003) hal,26
[4] Dr. Muhammad Munir Mursi, At Tarbiyah al islamiyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-biladi al arobiyah, Dar al-Maarif, 1997, hal 119
[5] Lembaga pendidikan bagi anak-anak
[6] Dr. Muhammad Munir Mursi, hal 120
[7] Dr. Jalaludin , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta,Rajawali Press, 1996, hal 38
[8] Dr Amir Syamsudin, al-Fikr ‘Inda Ibn Sahnu wal Qobisi, Dar Iqra hal 88
[9] Dr. Muhammad Munir Mursi, hal 120
[10] Dr  Amir Syamsudin, hal 89
[11] Dr Abuddin Nata, hal35
[12] Suwito dan Fauzan(edt), Sejarah pemikiran para tokoh Pendidikan, Bandung: Angkasa,2003,
hal 106
Categories: