IMPLEMENTASI EKONOMI SYARI’AH MENUJU ISLAM KAFFAH

Posted by Unknown on 11:05

Oleh : Drs. Agustianto, MA

Ekonomi Islam adalah bagian penting dari ajaran Islam yang bersumber Al-Quran dan hadits. Ijtihad para ulama tentang ekonomi Islam dan muamalah maliyah juga sangat melimpah. Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran ekonomi Islam tersebut agar keIslaman kita menjadi kaffah, tidak sepotong-potong. Allah SWT secara tegas memerintahkan agar kita memasuki Islam secara kaffah ( menyeluruh ). “ Hai orang – orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam kaffah, dan jangan kamu ikuti langkah – langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. ( QQ. 2 : 208 ). Dalam ayat lain Allah berfirman , “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada sebagian yang lain”.( QS 2 :85 ). Kedua ayat di atas mewajibkan kaum muslimin supaya masuk ke dalam Islam secara utuh dan menyeluruh.

            Tapi sangat disayangkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah, kematian dan akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam, seperti ONH atau tabungannya, uang mesjid, uang  Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, te diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.

Kebangkitan Kembali Ekonomi Islam
Harus diakui, bahwa selama berabad-abad umat Islam cendrung mengabaikan kajian ekonomi Islam. Pengajian agama di mesjid-mesjid, khutbah jum’at, bahkan kampus kurang tertarik dengan kajian ekonomi Islam. Jurusan mu’amalah dan ekonomi Islam baru muncul beberapa tahun belakangan. Akibatnya umat Islam tertinggal dalam kajian dan praktek ekonomi di dunia bahkan di Indonesia sendiri.
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis  15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah.
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggeris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini  Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan  Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.
Bank Syariah di Indonesia
            Di Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan  syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.
           Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa­nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
          Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi  dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.
            Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melak­ukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kred­it, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlang­sung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 mil­yard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).
            Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.
            Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang  konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain  bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.
 Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba..
Manfaat Mengamalkan Ekonomi Syari’ah
Mengamalkan ekonomi syariah jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Kedua, menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah,  atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek ekonominya berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.. Keempat, mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana  yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Keenam, mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek –proyek halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti diskotik, dan sebagainya.

Penutup
Dengan hadirnya lembaga- lembaga keauangan syariah, seperti perbankan syari’ah,  asuransi syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Reksadana Syari’ah, pasar modal  syari’ah, pegadaian syari’ah,dll, maka menjadi keharusan bagi umat Islam, untuk hujrah dari sistem ekonomi konvensional kepada sistem ekonomi syariah dalam rangka menuju Islam yang kaffah. (Penulis adalah Sekjen DPP IAEI dan Dosen Fiqih Muamalah Ekonomi Pascasarjana PSTTI Universitas Indonesia Jakarta, Dosen Pascasarjana Islamic Economics and Finance Univ.TRISAKTI dan Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam Universitas PARAMADINA)

Categories: