Konsep Kasab

Posted by Unknown on 01:46



 
Oleh: Tefur Rochman
(Mahasiswa Pascasarjana Ulil Albab Univ. Ibn Khaldun Bogor Magister Ekonomi Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar belakang
Di dalam sebuah kehidupan, sering kita temui orang-orang yang sibuk beraktivitas dalam bekerja, karyawan pabrik misal, setiap hari pulang pergi dari pabriknya, para nelayan, yang dengan bekerja keras mencari nafkah di pantai untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, polisi yang mengatur lalu lintas dijalan dengan terpaan hujan bahkan panas terik ia lalui, guru yang tekun dan sabar mengajarkan siswa-siswanya, dan masih banyak lagi profesi lainnya yang kesemuanya itu menggambarkan bagaiman manusia disibukan dalam urusan pekerjaan. Bahkan banyak yang menggunakan berbagai cara dan usaha untuk bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan tersebut guna mendapatkan barang dan jasa.
Dari kesemuanya itu, bisa kita bahasakan bahwa mereka semua melakukan kegiatan/aktivitas yang pastilah ada suatu tujuan tertentu, dari tujuan tertentu itulah maka perlu adanya suatu kasabatau yang disebut dengan usaha (ikhtiyar) guna mewujudkan tujuan tertentu.

Di dalam dunia Islam, makna bekerja bukan hanya sekedar bekerja saja, disitu ada inti bagaimana islam mengatur manusia untuk mendapatkan rizki/penghasilan dengan kasabyang bukan hanya sekedar mencari uang. Karena di dalam syariat Islam, tidak semua yang menghasilkan barang dan jasa adalah suatu aktivitas produksi, akan tetapi perlu mempertimbangkan halal dan haram suatu pekerjaan itu, sehingga bisa dipertanggungjawabkan sebagai umat muslim yang taat dengan syariat Islam. Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktifitas produksi.
b.      Rumusan masalah
Berdasrkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaimana konsep kasabdalam pandangan Al Quran dan hadist. ?
2.    Apa implementasi kasabdalam teori ekonomi?

BAB II
KAJIAN TEORITIS
Pengertian Kasab
             Kata "فَضْلٌ"ditinjau dari sudut etimologinya berarti “keutamaan” dan "كَسْبِ" berasal dari derivasi isim masdar yakni كَسَبَ – يُكْسِبُ – كَسْباً yang berarti berusaha, bekerja, mencari nafkah, memperoleh dan lain sebagainya. Jadi jika digabungkan menjadi فَضْلٌ الكَسْبِ, tersusun dari mudhof dan mudhofilaih berarti keutamaan berusaha, bekerja, mencari nafkah, memperoleh penghasilan  dan lain sebagainya. Kasab ternyata bisa juga diartikan bisnis  yang dengan segala bentuknya ternyata tanpa kita sadari telah terjadi dan menyelimuti aktivitas dan kegiatan kita setiap harinya. Sejak mulai kita bangun tidur sampai kita tidur lagi tak bisa terlepas dari cakupan bisnis. Bayangkan saja, mulai dari tempat tinggal (rumah seisinya), segala pakaian yang kita pakai, beraneka ragam makanan yang kita makan tiap hati, mobil untuk ke kantor, tempat kita bekerja dan sebagainya hasil dari proses bisnis. Intinya segala apa yang ada dan dimiliki serta dilakukan oleh manusia tak lepas dari hasil dan produk bisnis.[1]
Dari Imam Asy-Syaibani dinukil dari bukunya Dr. Ridjaluddin, Nuansa nuansa Ekonomi Islam, mendefinisikan al-kasab(kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktifitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, tidak semua barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas menghasikan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.[2]
Maka dari itu, pandangan Islam tentang konsep kasab dalam produksi barang dan jasa berbeda dengan sistem ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Dengan kata lain dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif.
Produksi suatu barang atau jasa, seperti dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai, utilitas(nilai guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna jika dan hanya jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Asy-Syatibi, kemaslahatan yang hanya dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian, seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahat tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahat merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashic) syari’ah, yaitu menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.[3]
Pada dasarnya, ada dua tujuan yang harus dicapai oleh produsen dalam melakuakan pekerjaan, materialisme dan konotasi untinity, dan spiritual dengan konotasi ibadah. Karena setiap langkah dan gerak manusia yang berdasarkan ridha Allah dalam bekerja dan bernilai ibadah.[4]
Dari Ibnu Umar ra. dari Nabi SAW. Bahwasanya beliau bersabda:
إن الله تعالى يحبكل مؤمن محترف ابا العيال ولا يحب الفارغ الصحيح لا فى عمل الدنيا ولا فى عمل الا خرة.
“Sesungguhnya Allah suka pada setiap mu’min yang berusaha, ayah dari berapa anggota keluarga; dan Allah tidak suka pada penganggur yang sehat, tidak dalam amal dunia dan juga tidak pada amal akhirat”



BAB III
PEMBAHASAN

Ayat tentang Kasab dalam Al Quran
1.             QS. al-Jumu’ah (62) :10 :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠)
10. apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
2.             QS. Al-Mulk (67) : 15 :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (١٥)
15. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
3.             QS. Al-Ankabut (29) : 17:
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (١٧)  
17. Sesungguhnyaapa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta [1146]. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.


4.             QS. Al-Muzzamil(73) : 20 :
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٠)
20. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.




Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengankasab:
1.     Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ:لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ
 Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96]
2.    Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihiwa sallam bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَة َو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدَهِ
Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2073].

Penjelasanayat-ayat Al-Qur’an danHadist Nabi Muhammad Saw :
QS. al-Jumu’ah (62) :10 :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠)
10. apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Tentang ayat ini dalam sebuat tafsir Ibnu Katsir disebutkan, Firman Allah lebih lanjut فَإِذَاقُضِيَتِالصَّلاةُ, Dan jika telah menunaikan sholat.  Artinya telah menyelesai mengerjakannya. Maka Allah mengizinkan mereka setelah selesai menunaikan sholat untuk bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah ta’ala.
Firman Allah selanjutnya فَانْتَشِرُوافِيالأرْضِوَابْتَغُوامِنْفَضْلِاللَّهِ, Maka bertebarlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah. Ketika Allah melarang mereka berjual beli setelah teredengar suara adzan dan memerintahkan mereka untuk berkumpul. maka Allah mengizinkan mereka setelah setelah selesai menunaikan sholat untuk bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah.[5]
selanjutnya Allah Swt berfirman :
QS. Al-Mulk (67) : 15 :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (١٥)
15. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Tentang ayat ini, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Kemudian, Dia menyebutkan nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada makhlukNya dengan menyediakan bumi bagi mereka dan membentangkannya untuk mereka. Dia membuatnya sebagai tempat menetap yang tenang, tidak miring dan tidak juga bergoyang, karena Dia telah menciptakan gunung-gunung padanya. Dan Dia alirkan air di dalamnya dari mata air. Dia bentangkan jalan-jalan, serta menyediakan pula di dalamnya berbagai manfaat, tempat bercocok tanam dan buah-buahan. Dia berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
"(Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya)".

            Maksudnya, lakukanlah perjalanan ke mana saja yang kalian kehendaki dari seluruh belahannya, serta bertebaranlah kalian ke segala penjurunya untuk menjalankan berbagai macam usaha dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan macam usaha dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan bermanfaat bagi kalian sama sekali, kecuali jika Allah memudahkan untuk kalian. Oleh karena itu, Dia berfirman : وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
(Makanlah sebagian dari rezekiNya). Dengan demikian, usaha yang merupakan sarana, sama sekali tidak bertentangan dengan tawakal.
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
(Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan).
Maksudnya ialah, tempat kembali pada hari Kiamat kelak.Ibnu “Abas, Mujahid, as-Suddi, dan Qatadah mengatakan” Kata manaakibihaa berarti ujung, belahan, dan penjuru. Sedangkan Ibnu ‘abbas dan Qatadah mengemukakan “manaakibihaa berarti gunung-gunung.[6]
وَعَنْ اَبِى عَبْدِاللهِ الزُّبَيْرِبنِ العَوَّامِ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ :لأَنْ يَأْخُذَ اََحَدُكُمْ اَحْبُلَهُ ثُمَّ يَاْتِى الْجَبَلَ فَيَاْتِىَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِخِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ اَعْطَوْهُ اَوْ مَنَعُوْهُ

Dari Abi Abdillah (Zubair) bin Awwam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. (HR.Bukhari,no.1470;Muslim,no.1042)
Dari beberapa ayat diatas juga menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya bekerja dan berusaha memenuhi hajat hidupnya dengan jalan apapun menurut kemampuan, asal jalan yang ditempuh itu halal. Hal ini berbeda dengan kosep ekonomi konvensional yang menerapkan prinsip berusaha dan bekerja dengan modal yang sedikit bisa mendapatkan untung yang berlipat-lipat tanpa memandang apakah itu haram ataukah halal.
Bekerja merupakan pondasi dasar dalam produksi sekaligus berfungsi sebagai pintu pembuka rezeki. Menurut Ibnu Khaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran standar dalam sebuah nilai. Proses produksi akan sangat bergantung terhadap usaha atau kerja yang yang dilakukan oleh para karyawan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, adapun factor produksi yang lain berfungsi sebagai komplementer atas daya dan upaya manusia dalam menghasilkan barang dan jasa. Selain itu dengan adanya profesionalisme dalam bekerja akan meningkatkan nilai atas hasil produksi.[7]
Oleh karena itu, proses produksi yang menghasilkan sebuah nilai telah diajarkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjadikan umatnya sebagai insan-insan terhormat dan terpandang, dan bukan umat yang lemah lagi pemalas.
Dalam bekerja dan berusaha, seseorang tidak boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dalam pandangan manusia dinilai hina.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ:لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ.
“Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
َ4- عَنْ اَبِى هُرَيْرَة َو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدَِْهِ.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2073].
Nabi Daud Alaihissalam, disamping sebagai nabi dan rasul, dia juga seorang Khalifah. Namun demikian, sebagaimana diceritakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Beliau, bahwa apa yang dimakan Nabi Daud adalah dari hasil jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Di antaranya sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi Daud, sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلا يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ (١٠)أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (١١)
"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan".[Qs. Saba`(34) : 10-11].
Dan dalam bekerja dan berusaha, seorang muslim juga harus dilandasi dengan keikhlasan hanya mencari keridhaan Allah Swt.
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Ankabut (29) : 17:
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (١٧)  
17. Sesungguhnyaapa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta [1146]. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.
Pada hakikatnya, seseorang bekerja untuk hidupnya senantiasa mengharapkan keridhaan Allah dalam pekerjaannya.[8]


BAB IV
IMPLEMENTASI
Di dalam pandangan Islam, mengacu pada pembahasan sebelumnya, maka telah banyak disebutkan dalam Al-Quran dan hadits bahwa Allah Swt mewajibkan umatnya untuk bekerja mencari mata pencaharian sumber rezekiya dan menghasilkan pendapatan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya maupun keluarganya. Karena itu, bekerja merupakan inti kegiatan ekonomi. Tanpa ada yang bekerja, maka roda kegiatan ekonomi tidak akan berjalan. Maka konsep kasab dapat diimplementasikan pada kehidupan ekonomi Islam, implementasinya antara lain sebagai berikut :
1.        Kasab dalam mengurangi pengangguran
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ:لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ.
 “Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. (HR Bukhari)
Dengan pernyataan hadis ini, maka tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menganggur, apalagi menjadi manusia yang jumud kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang memberikan makna apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya merupakan kehinaan. Dengan demikian, hanya pribadi-pribadi yang menghargai nilai kerja yang kelak akan mampu menjadikan masyarakatnya sebagai masyarakat yang tangguh.
Sebaliknya pribadi yang malas dan bermental pengemis hanyalah akan mengorbankan masyarakat dan bahkan generasinya sebagai umat yang kedodoran, terjajah dan terbelenggu dalam kategori bangsa yang memiliki nilai kelas teri. Tak punya wibawa, ke dalam tak mengganjilkan, keluar tak menggenapkan, ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, wujuduhu kaadamihi, ada dan tiadanya sama saja, tidak menjadi perhitungan orang.
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdiannya kepada dirinya kepada Allah Swt.
Dikatakan sebagai aktivitas dinamis, mempunyai makna bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan seorang muslim harus penuh dengan tantangan (challenging), tidak monoton, dan selalu berupaya untuk  mencari terobosan-terobosan baru (innovative) dan tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan[9].
2.       Kasab dalam mengharap ridha Allah
Allah befirman :
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (١٧)  
Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta [1146]. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (QS. Al-Ankabut (29) : 17)
Keikhlasan dalam bekerja memang menjadi sesuatu yang esensi dan sangat penting. Ikhlas adalah menjadikan tujuan dari kerja kita adalah dalam rangka taat dan merealisasikan amanah dari Allah Yang Mahabenar dalam tugas dan pekerjaan. Artinya, yang kita inginkan dan harapkan dalam bekerja adalah semata-mata keridloan dan ampunan Allah. Bukan untuk yang lain seperti mengambil hati orang lain, mengharap pujian atau makna lain selain mengabdikan diri kepada-Nya. Tentu itu sebagai tanggung jawab kita sebagai pekerja untuk menuntaskan segala kewajiban yang bersangkutan dengan job kita, tidak lantas selalu menuntut hak berupa gaji sementara masih banyak pekerjaan yang belum selesai. Perkara hak kita sebagai pekerja yakni mendapatkan kesejahteraan dan gaji yang layak itu akan berbanding lurus dengan optimalisasi kinerja yang dilaksanakan dan tentu ada hak yang lebih utama yang harus menjadi pengharapan yakni balasan dan fahala yang berlipat ganda dari Alloh SWT Pemilik Segala Keagungan manakala kinerjanya professional dan ikhlas.
3.        Kasab dalam meningkatkan perekonomian pemerintah
Menurut Imam Asy-Syaibani, usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian dan jasa.[10] dalam hal ini, jika semua sektor peran pemerintah tersebut bisa diterapkan dengan dasar-dasar Al Quran dan hasit, maka ekonomi bisa lebih meningkat dan peran pemerintahdalam hali ini pengupahan yang layak guna meningkatkan perekonomian dan lebih banyak menciptakan peluang pekerjaan supaya siklus perekonomian berjalan dengan seimbang.









BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan kepada keterangan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan penjelasan-penjelasan seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa Islam sangat serius terhadap apa yang dinamakan dengan 'kasab' dengan menjelaskan konsep kasab  tersebut dan implementasinya dalam kehidupan ekonomi dalam aturan ajaran islam.
Pembahasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Kasab/bekerja adalah serangkaian aktivitas atau upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir, dzikir dan tindakannya dalam rangka memenuhi / mencukupi kebutuhan hidupnya baik jasmani maupun rohaninya dan yang meliputi kerja untuk dunia dan kerja untuk akhirat
2.      Dengan adanya anjuran bekerja maka akan terciptanya etos kerja yang tinggi untuk umat agar tidak malas, tidak pasif, tidak pesimis terhadap prestasi orang lain yang bekerja keras dan akan bergerak roda perekonomian dengan baik.
3.      Islam melarang atau menolak pengangguran kerana ia akan dedahkan kepada kelemahan dan kefakiran dan jatuhnya maruah diri atau ummah, kerana Islam menghendaki setiap umatnya bermaruah dan berdikari, tidak meminta-minta dan berharap kepada bantuan dan belas kasihan orang lain; bahkan sebaliknya hendaklah menjadi muslim yang kuat dan mampu membela mereka yang lemah dan tertindas agar seluruh manusia menikmati keadilan dan rahmat yang dibawa oleh Islam sebagai agama yang tertinggi dan mengatasi seluruh persoalan termasuk pesoalan ekonomi manusia.
4.      Islam menyatakan bahwa dalam melakukan pekerjaan harus disertai atau diimbangi dzikir dan doa kepada Allah, begitu juga diniatkan untuk memperoleh ridho Allah, demikian supaya memperoleh keuntungan yang berlipat ganda baik berupa keuntungan materi maupun non materi (ridho dan pahala) dari Allah.
5.      Dalam mengimplementasikan kedalam kehidupan ekonomi, konsep kasab akan selalu bersinergis dengan perkembangan ekonomi karena dibarengi dengan niat amal shaleh, kualitas kerja, dan keikhlasan dalam bekerja.
 Saran
1.      Bagi Pemerintah
Memandang pentingnya konsep kasab  dalam penerapannya dalam pemerintahan, diharapkan pemerintah lebih bersungguh-sungguh dalam bekerja, mengutamakan keadilan, kepercayaan(amanah) dan keikhlasan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan didasarkan hanya mengharap ridha dari Allah Swt dan tidak mementingkan kepentingan pribadinya sendiri, sehingga masayarakat akan mudah mendapatkan pekerjaan guna menunjang roda perekonomian suatu pemerintahan.
2.      Bagi Akademis
Bagi kalangan akademis, diharapkan agar supaya selalu tekun dalam belajar,  dan bersungguh-sungguh setelah memahami konsep kasab dalam penerapannya didalam kehidupan di dunia akademik.
3.      Bagi Pembaca
Bagi pembaca, dengan makalah ini semoga pembaca akan lebih memahami tentang konsep kasab dan implementasinya dalam kehidupan ekonomi, dan apabila terdapat kekurangan dari makalah ini, dengan keterbatasan kemampuan penulis, maka perlu adanya sebuah koreksi agar kedepan penulis bisa lebih baik lagi.



REFERENSI

Arifin, Johan, Etika Bisnis Islami, Semarang: Walisongo Press, 2009
Marthon, Sa’ad, Said  ,  Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global” jakarta; maktabah ar-Riyadh, 2007
Rahman, Afzalur, Doktrin ekonomi islam jilid 1, Yogtakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
Ridjaluddin, Nuansa nuansa Ekonomi Islam, Jakarta: CV. Sejahtera, 2007
Tasmara, Tono. Etos Kerja Pribadi Muslim, Cet. II Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
PDF :
Tafsir Ibnu Katsir di unduh pada hari jum’at, 08/02/2013 jam 13.24 wib di http://shirotholmustaqim.wordpress.com/tafsir-ibnu-katsir-juz-1-18/



[1]Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, Semarang: Walisongo Press, 2009, hlm. 19.
[2]Dr. Ridjaluddin, Nuansa nuansa Ekonomi Islam, Jakarta: CV. Sejahtera, 2007, hlm. 10
[3]Ibid.
[4]DR. Said Sa’ad Marthon ,  Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global”jakarta; maktabah ar-Riyadh, 2007, hlm.52
[5]http://shirotholmustaqim.wordpress.com/tafsir-ibnu-katsir-juz-1-18/
[6]ibid
[7]DR. Said Sa’admarthon, hlm 53
[8] Afzalur rahman, Doktrin ekonomi islam jilid 1, Yogtakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm, 254
[9]Tono Tasmara. Etos Kerja Pribadi Muslim, Cet. II Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm 10
[10] Dr. Rijaluddin,hlm 14
Categories: