Konsep Harta

Posted by Unknown on 01:17
Oleh: Hasnan Hanif
(Mahasiswa Pascasarjana Ulil Albab Univ. Ibn Khaldun Bogor Magister Ekonomi Islam)


BAB 1
PENDAHULUAN
                                                                   
I.1.       Latar Belakang
Pokok permasalahan mendasar dari permasalahan ekonomi adalah bukan karena kelangkaan sumber daya alam melainkan karena keserakahan umat manusia itu sendiri. Ia mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri sendiri.
Adalah Baqir Al-Sadr telah membuat konsep ekonomi dengan bukunya yang  fenomenal yaitu Iqtishaduna (ekonomi kita) yang kemudian menjadi mazhab tersendiri. Menurut ia, perbedaan filosofi akan berdampak pada perbedaan cara pandang dalam melihat permasalahan ekonomi. Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Artinya adalah, manusia selagi mempunyai keinginan maka keinginan itu mendorong mereka untuk memilikinya. Sementara sumber daya yang tersedia untuk memenuhi keinginan mereka itu terbatas jumlahnya. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, sebab Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an [1]:

 
 “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (Q.S Al-Qomar: 49)”

Dari pernyataan di dalam bukunya tersebut telah mencuatkan nama Baqir Al-Sadr sebagai teoritis kebangkitan Islam terkemuka. Pernyataan tersebut sangatlah kontroversial karena Baqir Al-Sadr melihat dari sudut pandang wahyu. Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan ukurannya. Allah yang maha kuasa tidak mungkin membatasi ciptaanNya. Segala yang tersedia dibumi cukup untuk kebutuhan manusia. Hanya saja manusia memiliki hawa nafsu dan menginginkan sumber daya (harta) dengan serakah. Inilah yang menjadi penyebab kelangkaan sumber daya dalam ekonomi.

Pada saat ini seringkali kita mengamati banyaknya masyarakat miskin yang tidak mempunyai harta benda. Bahkan ada yang tergolong miskin absolut. Di Indonesia sendiri masih terdapat masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Baik itu kemiskinan yang terjadi di desa maupun di kota. Tentu kita bertanya – tanya sesungguhnya apa yang terjadi ? mungkinkah faktor utamanya disebabkan oleh kelangkaan sumber daya, ?.  ataukah ada faktor lain yang mempengaruhi kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang kompleks. Yang tidak bisa dilihat hanya dari satu dimensi. Kemiskinan tidak hanya terjadi pada negara berkembang bahkan negara – negara maju walupun tidak sebesar negara berkembang.
Di Indonesia tercatat penduduk miskin pada bulan September 2011 mencapai 29,89 juta orang. Yang terdiri dari 11, 05 juta penduduk miskin di daerah perkotaan dan 18,97 juta orang berada di daerah pedesaan[2]. Sisanya adalah masyarakat menengah keatas yang memiliki harta cukup bahkan berlimpah. Harta tersebut hanya beredar diantara orang-orang kaya saja yang menyebabkan gap antara si miskin dan si kaya. Yang kaya menjadi kaya dan yang  miskin tidak mempunyai kesempatan untuk menaikkan status mereka.
Bahkan majalah Forbes merilis orang terkaya di Indonesia sebanyak 40 orang pada tahun 2012. Total kekayaan dari para konglomerat yang terkaya di Indonesia di Tanah Air itu diperkirakan mencapai US$ 88,6 Miliar atau Rp841,7 Triliun (kurs Rp9.500) [3]. Ini menunjukkan kepada kita dimana harta itu hanya beredar diantara orang-orang kaya saja. Kalau disisihkan dari harta mereka untuk didistribusikan kepada golongan miskin dapat kita pastikan sudah berapa banyak yang masyarakat yang dapat keluar dari jerat kemiskinan.
Tidak itu saja persoalan lain adalah masalah kepemilikan harta terdapat perbedaan yang tajam antara teori ekonomi konvensional dengan teori ekonomi Islam terhadap kepemilikan harta itu sendiri. Pertama, Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep kepemilikan harta. Pandangan tentang kepemilikan harta berbeda antara sistem ekonomi Sosialis dengan sistem ekonomi Kapitalis serta berbeda juga dengan sistem ekonomi Islam.
Kepemilikan harta (barang dan jasa) dalam Sistem Sosialis dibatasi dari segi jumlah (kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara (kualitas) memperoleh harta yang dimiliki. Artinya dalam memperolehnya dibebaskan dengan cara apapun yang dapat dilakukan. Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya (kualitas) tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada aturan halal dan haram). Demikian juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta.
Dalam sistem ekonomi Sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property), yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu.
Berbeda dengan itu didalam Sistem Ekonomi Kapitalis dikenal kepemilikan individu (private property) serta kepemilikan umum (public property). Perhatian Sistem ekonomi Kapitalis terhadap kepemilikan individu jauh lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan umum. Tidak jarang kepemilikan umum dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan jalan privatisasi. Berbeda lagi dengan Sistem Ekonomi Islam, yang mempunyai pandangan bahwa ada kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property) serta kepemilikan negara (state property). Menurut Sistem ekonomi Islam, jenis kepemilikan umum khususnya tidak boleh diubah menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan individu.
Kedua, Perbedaan dalam hal konsep pengelolaan kepemilikan harta, baik dari segi nafkah maupun upaya pengembangan kepemilikan. Menurut sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, harta yang telah dimiliki dapat dipergunakan (konsumsi) ataupun dikembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan aspek halal dan haram serta bahayanya bagi masyarakat. Sebagai contoh, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan, bahkan upaya pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik minuman keras dilegalkan dan tidak dilarang. Sedangkan menurut Islam harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram adalah tidak diperbolehkan. Termasuk juga upaya investasi berupa pendirian pabrik barang-barang haram juga dilarang. Karena itulah memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras adalah sesuatu yang dilarang dalam sistem ekonomi Islam.
Di dalam Islam harta sesungguhnya adalah milik Allah dan amanah yang diserahkan sepenuhnya pengelolaan kepada manusia. Dalam ajaran Islam tidak dibenarkan manusia memperoleh kekayaan sesuka hatinya tanpa diatur oleh seperangkat aturan. Pengaturan diperlukan agar tidak terjadi gejolak sosial, kekacauan ditengah masyarakat, dan kerusakan lingkungan. Islam mengakui hak-hak individu untuk memiliki kekayaan akan tetapi setiap individu harus tunduk kepada batasan – batasan agama agar kekayaan itu tidak membahayakan kepentingan bersama[4].
Merupakan fitrah manusia didalam Islam untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu juga merupakan fitrah manusia untuk memperoleh kekayaan dalam memenuhi kebutuhan. Hanya saja dalam memperoleh harta tersebut tidak boleh sesukanya dan memanfaatkannya sekehandak hati. Apabila dibiarkan begitu saja tentu kekayaan tersebut hanya dimonopoli oleh orang – orag kaya saja  sedangkan orang – orang lemah akan binasa.
Harta dapat menjadikan kebaikan dan keburukan. Orang yang menumpuk harta tanpa mengolahnya dengan baik akan cenderung berfoya-foya, hidup mewah dan bakhil. Ketika ia mengabaikan hak – hak kaum miskin yang terdapat dalam harta mereka maka ini akan mengundang kecemburuan sosial. Kadang kita melihat banyak orang kaya menghabiskan hartanya untuk hal-hal yang sebenarnya itu merupakan gaya hidup seperti resepsi mewah, belanja keluar negeri. Padahal masih banyak orang yang miskin yang butuh rasa kepedulian dari orang-orang kaya. Harta pun dapat menjadi kebaikan sebagai penyuci jiwa manakala harta tersebut diberikan kepada golongan yang tidak mampu. Maka, disinilah peran ekonomi Islam yang mengatur dari kepemilikan harta, cara pengelolaan dan mendapatkannya. Ajaran tersebut berlandaskan dari Al-Qur’an dan Hadits.
Pandangan al-Qur’an terhadap harta dan kegiatan ekonomi dapat diuraikan dalam 5 hal: pertama, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia harus bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah. Kedua, dari segi status harta dalam pandangan Islam, ada 4 hal: 1) harta sebagai amanah (titipan) dari Allah. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebihan. 3) harta sebagai ujian keimanan. 4) harta sebagai bekal ibadah. Ketiga, perolehan harta dapat dilakukan, antara lain melalui usaha (a’māl ) atau mata pencaharian (ma’īsyah) yang halal dan sesuai dengan aturan Allah secara sungguh-sungguh dan tidak boleh berputus asa. Keempat dalam mencari harta, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah:188), riba (Al-Baqarah:273-281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (Al-Maidah: 90-91), mencuri, merampok, tipu-menipu, suap-menyuap curang dalam takaran dan timbangan (Al-Mutafifin:1-6). Kelima, harta yang diperoleh digunakan dan diinfakkan secara berimbang, tidak kikir dan tidak pula boros, diutamakan kerabat dan ketika berinfak jangan diikuti dengan celaan dan hinaan.
Dari sisi lain, harta termasuk salah satu sendi kehidupan manusia di dunia ini, karna tanpa harta, khususnya makanan, manusia tidak akan bertahan hidup. Oleh karena itu Al-Qur’an memberikan pedoman tentang harta, pemilik harta, status harta, bagaimana cara memperolehnya, cara memfungsikannya dan pedoman menginfakannya[5].

I.2.       Rumusan Masalah

Dalam makalah ini akan membahas dua pokok permasalahan yaitu :
1.              Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan hadits terhadap konsep harta ?
2.              Serta bagaimana implementasinya dalam teori ekonomi ?





BAB II
KAJIAN PUSTAKA

II.1.     Definisi Harta

Dalam kamus Meriam Webster[6] kekayaan diartikan sebagai all material objects that have economic utility; especially : the stock of useful goods having economic value in existence at any one time” terjemahannya adalah “semua benda material yang memiliki utilitas/kegunaan ekonomi, terutama: stok barang berguna memiliki nilai ekonomi yang ada pada satu waktu”.
Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam ekonomi kapitalis Harta termasuk benda yang memiliki nilai atau utility/manfaat. dalam ekonomi kapitalis juga disebutkan bahwa harta termasuk kedalam kepemilikan.kepemilikkan dalam teori ekonomi ini sepenuhnya dikendalikan oleh individu. Individu memiliki kebebasan dalam kepemilikan harta.  
Ini juga dikuatkan oleh Chaudory (2012), ia menyatakan Kepemilikan dalam ekonomi kapitalis ini bersifat penuh kepada individu. Individu boleh mencari, memiliki atau memisahkan hartanya dengan cara bagaimanapun juga yang dia inginkan. Hak untuk memiliki harta secara tak terbatas itu dapat dapat mengarah kepada konsentrasi kekayaan ditangan sedikit orang[7].
Dalam sistem ekonomi liberal, manusia dibebaskan dalam memperoleh harta benda sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara walaupun dengan cara mengeksploitasi orang lain. Sistem ini akan menimbulkan jurang yang sangat dalam antaraorang kaya dengan orang miskin.
Dalam Islam harta dianggap sebagai bagian dari aktifitas dan tiang kehidupan yang dijadikan Allah untuk membantu proses tukar – menukar (jual-beli), dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang menahannya atau menimbunnya. Syari’at Islam mengandung kaidah – kaidah umum yang mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain.
Dalam kamus arab – Indonesia, kata مَالٌ berarti harta benda[8]. Pada dasarnya al-maal (الْمَلُ) itu adalah barang milik seperti emas, atau perak, tetapi kemudian kata al-maal itu dipakai untuk semua jenis –jenis benda yang bisa dikonsumsi dan dimiliki.
Didalam kamus al-muhith dijelaskan bahwa maal itu adalah apa saja yang kamu miliki[9]. Sedangkan dalam Mu’jam al-wasith, maal itu adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan hewan. menurut Ajaran Islam Allah SWT adalah sebagai pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Dia adalah pemberi rezeki.

II.1.1.  Menurut Hanafiyah

Harta secara etimologi, al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.

“Segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dapat dimanfaatkan”[10].

Definisi ini dikemukakan oleh ulama hanafiyah. Dalam definisi ini tersirat bahwa manfaat tidak termasuk harta, karena manfaat termasuk milik.
Sedangkan ulama jumhur, selain ulama hanafiyah mengatakan harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.
Dalam kandungan kedua definisi diatas, ada perbedaan pendapat mengenai konsep harta. Menurut jumhur ulama, harta itu tidak saja termasuk materi melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda sedangkan ulama hanafiyah berpendapat sebaliknya harta itu hanya bersifat materi, sedangkan manfaat termasuk dalam pengertian milik.

II.1.2.  Menurut Wahbah Zuhaili

 Dalam (Dimyauddin Djuwaini: 2008). Secara linguistik, al-mal didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi’il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti: komputer, kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya, ataupun berupa manfaat, seperti kendaraan, pakaian, ataupun tempat tinggal[11].  
Berdasarkan definisi diatas, sesuatu itu akan dikatakan sebagai al-mal, jika memenuhi 2 kriteria ;
·         Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi ataupun immateri.
·         Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia. Konsekuensinya jika tidak bisa/belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan sebagai harta (al-mal). Misalnya burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada didasar lautan atau barang tambang yang berada di perut bumi.

II.1.3.  Pendapat Mayoritas Ulama

Menurut mayoritas ulama fiqh, al-mal adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk menanggung atau menggantinya. Imam Syafi’i juga mengatakan, al-mal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini al-mal haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan sebuah nilai finansial dalam arti ia bisa diukur dalam satuan moneter. Wahbah Zuhaili dalam (Dimyauddin Djuwaini; 2008)[12]. 
Al-Isfahānī mendefinisikan al-mal summiya mālan likaunihī mailan abadan wa zailan. Harta dikatakan mal, karena selamanya cenderung kepadanya dan akan hilang. Terkadang diartikan dengan ‘aradan: barang-barang selain emas dan perak. Yusuf Al-Qardhowi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn ‘Asyur, bahwa harta itu pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki. Sedangkan Mustafa Zarqa memberikan definisi yang lebih lengkap, bahwa harta adalah segala sesuatu yang konkret bersifat material yang mempunyai nilai dalam pandangan manusia[13].
Dari berbagai definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa harta adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa materil dan dapat digunakan dalam menunjang kehidupan (wasilah al-hayah), seperti tempat tinggal, kendaraan, barang-barang perlengkapan, emas, perak, tanah, binatang, bahkan berupa uang, atau sesuatu yang mempunyai nilai dalam pandangan manusia.
  





BAB III
PEMBAHASAN

III.1.    Allah Hakekat Pemilik Harta

Sesungguhnya harta adalah amanah dari Allah. Islam mempunyai pandangan dalam konsep harta bahwa kepemilikan mutlak harta itu adalah milik Allah, syari’ah mengatur kepemilikan harta sehingga manusia tidak berhak memiliki harta secara mutlak. Ayat yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain:
Surah Ali-Imran : 109:

“Dan milik Allah-lah apayang ada dilangit dan apa yang ada dibumi, dan hanya kepada Allah segara urusan dikembalikan”. (Ali-Imran:109)

Surah Al-Maidah : 17

  

“Dan milik Allah-lah kerajaan dilangit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dia kehendaki. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu. ” (Al-Maidah: 17).

Kedua ayat itu memberikan isyarat dengan jelas bahwa kepemilikan mutlak seluruh yang ada di jagat raya dan segala yang apa ada di dalamnya adalah milik Allah. Termasuk di dalamnya adalah, seperti bumi, langit, manusia, hewan, tumbuhan, air dan udara, dataran kering di planet ini, semua makhluk hidup yang berakal maupun yang tidak berakal.
Sekalipun milik Allah, namun sarana dan prasarana ini, diperuntukkan bagi kepentingan dan kelangsungan hidup manusia, seperti terlukis dalam firman-Nya, Surah Al-Baqarah : 29 ;

       
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju kelangit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengatahui segala sesuatu. (Al-Baqarah : 29)”.

Alam semesta beserta isinya diciptakan sebagai sarana untuk kelangsungan hidup manusia. Pengertian lafal khalaqa lakum menurut para ulama adalah segala apa yang ada dibumi pada dasarnya dapat digunakan oleh manusia, kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Namun demikian, beberapa ulama berpendapat sebaliknya, bahwa segala sesuatu boleh jadi dilarang terkecuali ada dalil yang membolehkannya untuk menggunakannya[14].
Menurut An-Nawawi lafal huwal-lazī kholaqalakum berarti memberi manfaat dalam kehidupan dunia dan agama untuk menunjukkan keberadaan manusia dan memperbaiki jasmani dan tubuhnya[15]. Ar- rāzī menafsirkan lain, bahwa tanah yang kita diami merupakan satu kesatuan, termasuk bumi baik bagian permukaan maupun apa yang terdapat di dalam bumi, seperti barang – barang tambang maupun hasil bumi. Sementara menurut az-Zamakhsyarī, yang dimaksud dengan bumi adalah yang dibawah, sebagaimana ketika disebut langit berarti yang diatas. Adapun mengenai tanah, sudah dijelaskan oleh beberapa kalangan yang menyatakan bahwa ia haram untuk dimakan, namun tanah pada dasarnya dapat dimanfaatkan[16].
At-Tabarī dalam tafsirnya, ada 3 makna dari kalimat khalaqa lakum mā fil-ardi jamī’an, yaitu 1) bumi dan segala isinya diperuntukkan demi kepentingan dan manfaat bagi manusia; 2) dari sisi agama menunjukkan Kemahakuasaan Allah, dan dari sisi dunia merupakan tempat mencari harta atau rezeki serta layak untuk dihuni; 3) bumi ini merupakan sarana untuk taat kepada Allah dan menunaikan perintahnya. [17]  
Hamka menjelaskan pangkal ayat 109 dari Surat Al-Imran. Ia mengatakan: “Di semua langit dan bintang – gemintangnya dan beberapa rahasia langit yang lain, diatas dataran bumi sampai kepada kulitnya  yang dibawah, semuanya tuhan yang empunya, tuhan yang mengatur”. Lebih lanjut diujung ayat 109 “dan kepada Allahlah akan dikembalikan segala urusan” (ujung ayat 109). Hamka menjelaskan bahwa, hanya kepada Allahlah tempat  kembali, Dia tidak sekali-kali berlaku zalim kepada hamba-hambaNya. Maka kalau telah kembali kepada tuhan jangan disalahkan, periksalah apalagi yang belum beres dalam pekerjaan kita[18]”.
  Dalam hadits Abu daud disebutkan bahwa;

“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah berperang bersama Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam tiga kali, aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal rumput, air dan api." (HR. Abu Daud)

Para ahli hukum Islam mengidentifikasikanya : al-mā’ yaitu air yang mengalir di sungai dan di lautan, al-kala’ yaitu hutan, padang rumput, atau tanah yang tak bertuan dan tak terpakai, sedang an-nar adalah sumber energi berupa api, listrik dan sebagainya. Semuanya sebagai kebutuhan pokok masyarakat, yang harus dikuasai oleh negara, kerajaan, atau yang mempunyai otoritas  dan kekuasaan dalam suatu wilayah[19]. 
Dari ungkapan ayat dan hadits diatas dapat dipahami bahwa pesan moral yang terkandung dari kedua ayat dan hadits tersebut diatas ; pertama, sarana dan prasarana hidup ini (wasilah al-hayāh) diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Kedua, semua orang berhak untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan tersebut. Ketiga, tidak boleh diskriminatif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber harta tersebut. Keempat, tidak boleh ada hak monopoli yang diberikan kepada individu, perorangan, suku, agama, dan golongan dalam mendapatkan dan mencari harta dari sumbernya, yaitu bumi dan segala sarana dan prasarana yang ada didalamnya. Kelima, sumber – sumber harta berupa air, rumput dan api pada hakikatnya milik bersama dan semua orang berhak untuk mendapatkannya, tidak boleh sekelompok orang menguasai secara semena-mena[20].
Jadi, Allah SWT telah memberikan panduan di dalam firmannya tentang kepemilikan harta, agar umat manusia sadar dan insaf harta itu hanya milik Allah dan manusia diberikan hak untuk mengelolanya secara baik untuk kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Begitu juga Allah memperingatkan agar jangan sampai memiliki harta dengan serakah dengan melanggar yang sudah disyariatkan. 

III.2.    Status Harta

III.2.1. Harta Merupakan Titipan dan Amanah.

Sekalipun harta merupakan milik dan ciptaan Allah, tetapi Allah memberi hak kepada manusia untuk menggunakan dan memanfaatkan  sebagai titipan dan amanah dan sekaligus mendistribusikan harta yang diperoleh kepada yang berhak[21], seperti dalam firmanNya dalam surah al-Hadid/57:7:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu dan yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang – orang yang beriman di antara kamu dan menafkakan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (al-hadid:7)

Kata mustakhlafina dari ayat tersebut menurut Az-Zamakhsary : “Bahwa harta yang ada pada tangan kamu sekalian adalah harta Allah yang diciptakan dan dikembangkanNya untuk kalian. Allah memberikan harta tersebut dan mengizinkan untuk kamu nikmati. Allah menjadikan kalian sebagian khalifah-khalifah yang mampu mengelola harta. Karena itu harta bukanlah milik kalian. Posisi kalian sebagai harta itu hanya sebagai ‘wakil dan pemegang amanat’. Karenanya infakkanlah harta itu pada hak-hak Allah. Ringankanlah tanganmu untuk menginfakkannya, sebagaimana seseorang menginfakkan harta orang lain dengan ringan[22].
Az-Zamakhsyarī, Ar-Rāzī menganggap orang kaya sebagai pemilik harta sementara dan hanya sebagai penjaga gudang – gudang Allah. Sedang orang fakir dan miskin adalah keluarga Allah. Seperti dalam ungkapannya : “Sesungguhnya orang – orang fakir adalah ‘keluarga’ Allah”. Karenanya harta yang ada ditangan orang-orang kaya adalah harta Allah[23]. Sedangkan Ibn ‘Arabī dalam tafsirnya mengatakan bahwa kekayaan itu merupakan nikmat yang dianugerahkan kepada seseorang. Sebagai tanda syukur dan terima kasih pada-Nya harus diinfakkan untuk orang-orang fakir, miskin, dhuafa, dan yang tidak berhasil dalam kehidupan ini[24].
Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar menjelaskan bahwa Surat Al-Hadid turun di Madinah dimana umat masyarakat Islam disadarkan kembali akan kewajibannya dalam alam dunia ini. Ia menjelaskan juga bahwa harta benda dan kemegahan dunia adalah materi dan tidak sebanding dengan perjuangan jihad di jalan Allah. Menurut Hamka keutamaan jihad di jalan Allah pahalanya lebih besar ketimbang nilai dari harta di dunia. Harta benda wajib dinafkahkan agar hidup ini bernilai. Lebih lanjut hamka mengatakan makna Surat Al-Hadid ayat 7 adalah harta benda yang kita punya selama di dunia bukanlah milik kita. Karena kita datang ke dunia tidak membawa apa-apa. Harta tersebut diberikan kepada kita agar kita dapat memanfaatnya.  Bagaimanapun banyaknya harta benda tentu tidak akan dibawa ke dalam kubur. [25]
Dari ayat tersebut Hamka menerangkan bahwa keimanan yang tebal kepada Allah dan kepada Rasul, harus terbukti dengan kesudian menafkahkan harta benda yang ada pada kita. Karena orang yang beriman kepada Allah selalu yakin bahwa Allah tidak akan membuat dirinya terlantar dalam hidup. Harta yang ada pada kita adalah pemberian Allah. Sebagai umat muslim kita mesti percaya bahwa harta tersebut datangnya dari Allah SWT.     
Dari berbagai penafsran para ulama dapat ditarik kesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada di jagat raya ini dan termasuk apa yang ada di dalamnya, mutlak dan murni hanya milik Allah SWT. Manusia hanya diberi amanat, mandat dan kekuasaan sebagai wakil untuk mendistribusikan kepada yang berhak dan kurang beruntung dalam kehidupan ini. Pemilik harta hendaklah tidak boleh bakhil terhadap hartanya karena harta tersebut merupakan titipan Allah kepada hambaNya.

III.2.2.   Harta Sebagai Perhiasan Dunia

Sudah menjadi naluri manusia mencintai harta, wanita dan anak-anak. Semua itu adalah kesenangan di dunia yang akan dimintai pertanggung jawabannya. Ini seperti disebutkan dalam surat Āli ‘Imrān : 14


  

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak dan kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Āli ‘Imrān:14)

Abdulah Yusuf Ali memberikan komentar tentang ayat ini: ayat ini menyebutkan karunia Allah berupa kecintaan kepada 7 hal, yaitu wanita, anak-anak, harta berupa emas, perak dan kuda pilihan (kendaraan), binatang ternak, sawah ladang (pertanian). Semuanya merupakan nikmat yang dirasakan pada saat hidup di dunia. Terdapat beberapa alasan mereka dicintai. Wanita dicintai karena cantiknya. Putra - putri merupakan simbol kekuatan dan kebanggaan, kekayaan yang berlimpah merupakan kemewahan, kuda dan ternak sebagai ukuran kekayaan zaman dahulu dapat diqiyaskan pada zaman modern ini dengan kendaraan dan pertanian. Pada zaman zaat ini, makna dari al-khail al-musawwamah dapat diperluas pengertiannya dengan kendaraan yang bermacam-macam model dan jenisnya. Hewan berupa : unta, kerbau, sapi, dan kambing. Investasi dibidang pertanian : tanah, sawah, ladang, kebun luas atau dalam bentuk properti. Semua yang disebutkan diatas merupakan perhiasan di dunia yang merupakan kebanggaan dari seseorang.[26]

Setiap kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena itu merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai manusia. Apalagi fitrah manusia cenderung kepada kesenangan duniawi dan kepemilikan harta duniawi. Secara fitrah manusia tidak bisa mengingkari nalurinya dalam upaya memperoleh kekayaan dan memanfaatkannya sebagai perhiasan hidup.
Hamka menjelaskan surat Ali-Imran :14 turun manakala ada utusan – utusan Nasrani dari Najran itu datang dengan memakai pakaian indah-indah bahkan salib yang terbuat dari emas yang diberikan Raja Romawi yang berkuasa di timur yang berkedudukan di Syam pada masa itu, yaitu Raja Heraclius. Sebagian penulis sejarah Nabi ada yang meriwayatkan mereka yang menerima perhiasan itu mengakui dengan kebenaran kerasulan Nabi tapi mereka enggan mengikuti risalah yang dibawa Nabi takut perhiasan yang mereka dapai ditarik kembali oleh Raja Heraclius kalau mereka menukar agama mereka.[27] 
Lebih lanjut ia menafsirkan pangkal ayat 14:
‘diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada barang yang diingin’.
arti“Zuyinna nya diperhiaskan. Maksudnya, segala barang yang diingini itu ada baiknya dan ada buruknya, tetapi apabila keinginan telah timbul, yang kelihatan hanya eloknya saja dan lupa akan buruk dan susahnya. Kata kedua adalah hubb, artinya kesukaan atau cinta. Kata ketiga adalah syahwat, keinginan-keinginan yang menimbulkan selera yang menarik nafsu buat mempunyainya”.     
Hamka menjelaskan  ada 6 kategori yang sangat disukai dan diingin manusia. berikut  Kategori tersebut yang diringkas dari buku tafsir Al Azhar adalah sebagai berikut[28] :
                                i.            Perempuan
Keinginan kepada perempuan adalah didasarkan pada syahwat kalau tidak berarti laki-laki itu sakit. Allah telah mentakdirkan laki-laki mengingini perempuan sebagai hikmat untuk menyambung kehidupan. Tetapi kalau syahwat laki-laki tidak terkendali maka zinalah yang terjadi. Hamka menjelaskan juga di dalam ayat ini tidak disebutkan yang sebaliknya, bahwa perempuan tergila-gila kepada laki-laki. Perempuan yang tergila-gila kepada laki-laki ditiadakn saja karena sangat jarang itu ialah perempuan yang tidak beres. Hamka beralasan umumnya pada perempuan hanyalah kesetiaan dan penyerahan diri dan kelemah-lembutan itulah yang membuat laki-laki terpesona. Ia menambahkan bahwa perempuan mempunyai syahwat. Tetapi latar belakang syahwat perempuan dikarenakan insting atau naluri hendak mengasuh anak.
                              ii.            Anak Laki-laki
Di ayat ini disebut banin di tonjolkan, karena kesukaan ingin mempunyai anak. Terutama mempunyai anak laki-laki. Hamka menjelaskan karena anak laki-laki adalah penyambung keturunan. Pada zaman jahiliyah orang tidak suka kalau lahir anak perempuan. Mereka malu mendapat anak perempuan muka mereka menjadi hitam bila orang mengabarkan mereka mendapat anak perempuan. Maka di dalam ayat ini masih dibayangkan bahwa keinginan mendapat anak laki-laki lebih utama bagi mereka ketimbang mereka mendapat anak perempuan.
                            iii.            Berpikul Emas dan Perak.
Yaitu kekayaan. Manusia mempunyai keinginan untuk kaya. Didalam ayat disebut emas dan perak karena memang ukuran standar kekayaan adalah emas dan perak. Meskipun kita hidup dengan uang kertas pasti didukung dengan emas. Bahkan keinginan manusia terhadap emas itu tidak terbatas. Sehingga Nabi SAW pernah bersabda:

 
“Kalau adalah bagi anak adam dua buah lembah dari pada emas, masihlah dia menginginkan yang ketiga. Tapi tidaklah yang memenuhi perut anak Adam, selain tanah. Dan Allah akan memberi taubat kepada orang yang taubat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari hadits Ibn Abbas)

Keinginan harta tidaklah terbatas. Padahal hidup itu sendiri terbatas. Kalau manusia tidak membatasi seleranya, sampai matinya ia tidak akan merasa puas dengan yang ada.
                            iv.            dan Kuda Kendaraan yang Diasuh
Di zaman dahulu kuda sangat diistimewakan dalam hal perawatan sampai zaman sekarangpun masih tetap. Apalagi mempunyai kuda yang tangkas dan kencang berlarinya. Pada zaman sekarang ini mundurlah kuda sebagai kendaraan yang dipingit dan naiklah mobil dan motor. Perlengkapan modern itu sekarang bukan lagi menjadi barang mewah melainkan sudah menjadi kebutuhan.

                              v.            Binatang-Binatang Ternak
Hitungan kekayaan bukan saja dari kendaraaan mewah tapi juga  binatang – bintang ternak.
                            vi.            dan Sawah –Ladang
Di dalam ayat ini menjelaskan kekayaan pertanian dihiaskan bagi manusia, sehingga kadang-kadang seluruh tenaga dan kegiatan mereka curahkan untuk mencapainya. Dan mereka lupa akan tujuan yang hakiki. Oleh sebab itu tuhan berfirman memberikan peringatan dengan lanjutan “yang demikian itulah perhiasan hidup di dunia” tegasnya bahwa semua itu adalah perhiasan hidup di dunia yang tidak kekal.  

III.2.3. Harta Sebagai Fitnah Ujian dan Keimanan

Harta itu bukan sesuatu yang buruk dan bukan pula siksaan, sebagaimana anggapan sebagian manusia. Ia juga bukan ukuran bagi ketinggian derajat pemiliknya, atau keutamaan dan kesalehan sebagaimana anggapan orang. Ia merupakan nikmat dari Allah yang dengannya Dia menguji pemiliknya, apakah bersyukur atau kufur. Karena itu Allah SWT menyebut harta sebagai ‘fitnah’  ujian dan cobaan.
Allah berfirman dalam Surat Al-Anfal : 28 :
  
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan. Dan sungguh, di sisi Allah pahala yang besar”. (Al-Anfal:28)

Ibn Asyur dalam tafsirnya memberikan pengertian “fitnah” yaitu kegoncangan hati serta kebingunannya, akibat situasi yang tidak sejalan dengan suasana yang menghadapi situasi itu. Sedang Az-Zuhaili memberikan makna fitnah itu dalam 3 dampak yang akan dimunculkan ; 1) dapat mendorong seseorang untuk berbuat yang haram 2) enggan menunaikan hak-hak Allah 3) dapat melakukan perbuatan tercela dan dosa.     

III.2.4. Harta Sebagai Bekal Keimanan

Harta yang dimiliki seseorang seyogyanya digunakan untuk ibadah dalam bentuk melaksanakan perintah Allah SWT melalui kegiatan zakat. Seperti dalam firmanNya, Surah At-Taubah 103 :
  
“Ambilah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu menumbuhkan (ketentraman) jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (AT-Taubah:103).

Ibn Katsir menjelaskan Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya agar dia mengambil sedekah dari sebagian harta mereka untuk mensucikan dan membersihkan mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ats-Sauri dan Waki’i dari Abu Hurairah, dia berkata : Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian mengembang-biakkannya bagimu sebagaimana kamu mengembang-biakkan anak kuda sehingga sedekah sesuap pun menjadi sebesar gunung uhud.[29]

III.3.    Cara Memperoleh Harta

Berusaha dan bekerja dengan sungguh – sungguh.
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan dan didorong oleh semangat iman, bukan saja menunjukkan kepribadian pribadi muslim tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai khalifah dimuka bumi ini. Mencari rezeki direalisasikan dalam bentuk kerja dan usaha merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang dikenal dengan istilah amal sholeh.
Amal soleh dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 351 kali. Yang memberikan isyarat pentingnya beramal, bekerja, dan beraktivitas sehingga terbentuk dan terciptalah kemajuan dan peradaban. Islam telah mengajarkan sejak dahulu kepada umatnya untuk bersungguh – sungguh bekerja dan berdisiplin dan bersungguh – sunguh mencari rezeki berupa harta termasuk berupa bagian dalam ibadah. [30]
Setiap muslim wajib mencari rezeki halal. Baik itu ia berikan kepada dirinya, istri, anak, orang tua ataupun kerabatnya. Berdasarkan Hadits Nabi SAW :
 
Artinya:
“mencari yang halal itu adalah wajib bagi setiap orang Islam.”  (HR.Ibnu Mas’ud)

Hadits tersebut menjelaskan. Pertama, mencari rezeki halal merupakan kewajiban bagis etiap pribadi muslim. Kedua, tingkat kewajiban mencari rezeki halal, merupakan kewajiban kedua setelah menunaikan kewajiban ibadah yang sifatnya murni. Ketiga, mencari rezeki halal sama halnya dengan jihad, namun jihad disini bukan jihad mengangkat senjata untuk mebela agama atau negara , namun jihad mencari nafkah untuk memperjuangkan kehidupan anak, istri dan keluarga[31]. 
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bersungguh-sungguh. Allah berfirman dalam Surat Al – Mulk : 15 :
    
          Artinya :  “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (Al-Mulk:15)

Menurut Quraish Shihab, paling tidak ada dua pesan moral : 1) ayat ini menjelaskan bumi dimudahkan Allah untuk dihuni manusia, antara lain dengan menciptakannya berbentuk bulat, akan tetapi meskipun demikian kemanapun kakinya melangkah ia akan mendapatkan bumi terhampar; 2) dimana – mana ia akan mendapatkan sumber makanan atau rezeki. Kata ɀalūlan terambil dari akar kata ɀalala yang berarti rendah/hina dalam bentuk ɀalūan berarti penurut, ditundukkan sehingga menjadi mudah, menurut Al-Isfahani bermakna tiada kesulitan.[32]
Jadi, Allah SWT menjadikan bumi ini sebagai sarana penopang dan penunjang hidup bagi manusia, sarana – sarana tersebut dijadikan oleh Allah dengan maksud agar mudah dikelolah oleh manusia.
  Sedangkan Ibn Katsir menafsirkan ayat diatas
“Allah telah menundukkan bumi untuk mereka dan memudahkannya sehingga menjadi tempat menetap yang tentram bagi manusia agar manusia dapat melancong ke berbagai penjuru bumi yang diinginkan manusia agar bisa membawa berbagai hasil usaha. Usaha tersebut tidak akan mendapatkan manfaat melainkan karena allah telah memudahkannya bagimu”[33].

Itulah kemudahan yang diberikan Allah kepada umat muslim untuk mencari rezeki yang halal, sehingga usaha mencari rezeki pun bernilai ibadah di sisi Allah SWT.


BAB IV
IMPLEMENTASI KONSEP HARTA DALAM AKTIVITAS EKONOMI MIKRO

Harta (maal) merupakan nikmat Allah apabila harta tersebut digunakan untuk kebaikan di jalan Allah. Namun demikian, pentingnya harta dalam kehidupan tidak boleh manusia memanfaatkannya seenaknya, untuk hal-hal yang tidak mendatangkan keridhoan Allah SWT ataupun menjadikan uang itu sesembahan selain Allah.
Al-Qur’an dan Hadits sudah memberikan aturan tentang Harta (maal) baik itu tentang kepemilikannya, penggunaannya, pengelolaannya dan pendistribusiannya. Allah pun mengancam bagi orang – orang yang menyalahgunakan harta (maal).

VI.1.    Larangan Menimbun Harta

Penimbunan harta dilarang dalam Islam dengan jelas dan eksplisit, dan siapapun yang menimbun harta serta tidak dibelanjakannya di jalan Allah diancam dengan siksaan yang pedih. Penimbunan harta adalah kejahatan yang besar, karena sama artinya dengan menutup aliran harta yang telah Allah anugerahkan dari sikaya kepada simiskin yang benar-benar memerlukannya. Oleh karena itu Islam melarang penimbunan harta dan sebaliknya menolong sirkulasi harta diantara semua  bagian masyarakat. Berikut adalah ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
   
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya” (Q.S Al-Hasyar:7).

Ayat tersebut mengancam orang yang menimbun harta dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis dimana kepemilikan harta adalah mutlak milik individu. Terjadinya monopoli harga pasar karena pemerintah tidak boleh ikut campur. Kalaupun ada peran pemerintah itu hanya terbatas. Sehingga dengan sangat mudah sebagian orang memainkan harga dan terjadilah penumpukan harta hanya dikalangan tertentu saja.
Begitu juga dengan sistem ekonomi sosialis pada saat ini, dimana pemerintah mengatur seluruh aktivitas ekonomi masyarakat dan masyarakat mendapatkan hak yang sama. Kesamaan dalam segala hal. Setiap orang diberikan sesuatu yang sama seperti yang diberikan kepada orang lain. Ringkasnya aliran sosialisme ini berusaha untuk menuju kesamaan (equity) secara riil diantara individu. Adakalanya kesamaan didalam jasa, alat-alat produksi atau kesamaan secara mutlak.
Taqyuddin An-Nabhani menjelaskan sistem ini melanggar fitrah manusia, karena manusia mempunyai karakter fitrah yang berbeda – beda tingkat kekuatan tubuh dan akalnya. Termasuk berbeda – beda tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Sehingga kesamaan diantara mereka tidak mungkin dapat terjadi. Termasuk dalam penggunaan kekayaan tentu mereka tidak bisa sama mempergunakannya. Sedangkan penghapusan pemilikan khusus secara total bertentangan dengan fitrah manusia[34].
Penimbunan harta dikutuk oleh Islam dengan ancaman siksa yang pedih, karena perputaran harta itu merupakan keharusan. Dilarangnya penimbunan harta itu tidak hanya memaksa harta yang ditimbun itu keluar dari peti simpanannya melainkan juga menjamin alirannya kesaluran – saluran investasi sehingga akhirnya akan sampai pada distribusi.
Dalam sebuah hadits disebutkan “Abu Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah biasa tidak menyimpan apapun juga untuk besok”. (HR Tirmidzi). Inti dari larangan menimbun harta karena kegiatan menimbun harta itu menghalangi dan membuntu beredarnya harta di masyarakat dan menjadikan harta itu terkonsentrasi ditangan sedikit orang. Itu sama dengan menjadikan harta itu tersia-siakan dan akibatnya menyengsarakan hidup banyak orang. Oleh karena itulah, hukuman yang diancamkan kepada penimbun harta itu amat pedih[35]. 
Zakat mencegah penimbunan kekayaan dan mendorong peredaran dan sirkulasinya. Orang yang menimbun hartanya mengetahui bahwa hartanya itu akan habis dimakan zakat. oleh karenanya ia tidak akan membiarkannya tertimbun menganggur; sebaliknya mereka akan mengedarkannya dengan cara menginvestasikan ataupun membelanjakannya. Dengan demikian, konsumsi dan investasi akan memiliki multiplier effect terhadap pertumbuhan pendapatan nasional. Lebih lanjut, pajak seperti halnya zakat, dikutip dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin dan hal ini akan meningkatkan daya beli dan karena itu akan meningkatkan pembelian mereka akan barang dan jasa. Kaum industrialis akan memproduksi lebih banyak untuk memenuhi meningkatnya permintaan tersebut. Selanjutnya meningkatnya permintaan dan penawaran akan mendorong industrialisasi dan selanjutnya memperluas penyerapan tenaga kerja di dalam perekonomian.
Membayar zakat dan sedekah tidak saja membersihkan harta melainkan juga membersihkan jiwa manusia. Harta adalah sesuatu yang disukai dan siapapun juga dan setiap orang ingin memilikinya. Dengan mendorong orang untuk membayar zakat dan sedekah dari sebagian hartanya. Islam mendorong semangat berkorban, cinta, kebaikan hati dan kerjasama. Al-Qur’an menyatakan ‘perumpamaan orang –orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhoaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak didataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya maka hujan gerimis pun memadainya. Dan Allah maha melihat apa yang kamu perbuat” (Q.S Al-Baqarah 265).
Membayar zakat dan sedekah membersihkan jiwa manusia dari keburukan seperti rakus, kikir, mementingkan diri sendiri dans sebagainya. Inilah yang menjadikan landasan motivasi umat muslim untuk berzakat membantu sesama karena ingin mendapatkan keridhoan dan pahala dari Allah SWT.

VI.2.    Pengelolaan Harta Melalui Baitul Mal

Baitul Mal adalah pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin. Tiap harta yang menjadi hak kaum muslimin, sementara pemiliknya tidak jelas, maka harta tersebut merupakan hak baitul mal. Baitul mal sebagai pengambangan harta berfungsi sebagai melakukan kegiatan pengembangan usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan makro terutma dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya[36].

VI.2.1. Sumber Pemasukan Baitul Mal

Taqiyyuddin an-nabhani menjelaskan pemasukan bagi baitul mal adalah fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, ushr, khums, nikaz, tambang, serta  harta zakat. Hanya saja harta zakat diletakan pada kas khusus baitul mal dan didistribusikan khusus kepada 8 asnaf yang telah disebutkan di didalam al-qura’an[37].

VI.2.2. Prinsip Pengelolaan Harta Baitul Mal

Pengeluaran atau penggunan harta baitul mal menurut uraian Taqiyuddin an-nabhani ditetapkan berdasarkan 6 kaidah berikut, yang didasari dengan tatacara pengelolaan harta[38]:
-          Harta yang mempunyai kas khusus dalam baitul mal.
Ialah bersumber dari zakat dan didistribusikan khusus kepada 8 asnaf. Apabila dalam baitul mal tadi tidak ada harta dari bagian zakat maka tidak ada seorang pun dari ke 8 asnaf tadi yang berhak menerima harta dari baitul mal.
-          Harta yang diberikan baitul mal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan, serta melaksanakan kewajiban jihad.
Misalnya, nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil, serta nafkah untuk keperluan jihad. Hak mendapatkan pemberian untuk keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut, jadi hak tersebut adalah hak yang bersifat tetap baik harta tersebut ada maupun tidak ada dalam baitul mal.
-          Harta yang diberikan baitul mal sebagai suatu pengganti /kompensasi (badal/ujrah)
Yaitu, harta yang menjadi hak orang – orang yang telah memberikan jasa, seperti gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, dan tenaga edukatif. Hak mendapatkan pemberian ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut, jadi hak tersebut merupakan hak yang bersifat tetap, baik harta tersebut ada maupun tidak ada di baitul mal. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu wajib diberikan. Apabila tidak ada maka negara wajib mengusahakannya. Dengan cara memungut harta kepada kaum muslimin.
-          Harta yang dikelola baitul – mal yang bukan sebagai pengganti/kompensasi (badal/ujrah), tetapi yang digunakan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum. Misalnya, sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah rumah sakit, dan sarana-sarana lainnya. Hak ini bersifat tetap. Apabila ada harta di baitul mal wajib disalurkan untuk keiatan tersebut.
-          Harta yang disalurkan baitulmal karena adanya unsur kedaruratan.seperti panceklik/kelaparan, angin topan, gempa bumi atau serangan musuh. Ini merupakan hak tetap yang harus segera disalurkan. Kalaupun tidak ada maka wajib memungut harta kaum muslimin.     




BAB V
KESIMPULAN

Harta adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa materiil dan dapat digunakan dalam menunjang kehidupan. dalam Islam kepemilikan harta secara mutlak adalah Allah SWT, dan manusia diberi wewenang dalam memiliki, mengelola, memanfaatkannya. Status harta dapat dibagi menjadi 4 hal yaitu : harta merupakan titipan dan amanah, harta sebagai hiasan hidup di dunia, harta sebagai fitnah ujian dan harta sebagai bekal ibadah.
Cara memperoleh harta adalah dengan sungguh- sungguh dalam bekerja, tidak mengenal putus asa dan tidak boleh menempuh usaha terlarang dalam memperolehnya.
Didalam Islam dilarang keras menimbun harta. Penimbunan harta dikutuk dan diancam siksa yang pedih. Karena menyebabkan tersendatnya perputaran harta diantara masyarakat yang tidak mampu.
Baitul mal adalah wadah dimana harta dapat dikelola dengan baik secara Islami dan didistribusikan kepada yang menerima. Baitul mal adalah penunjang kegiatan aktivitas ekonomi mikro dan makro. Pemasukan baitul mal dari fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, ushr, khums, nikaz, tambang, serta  harta zakat. Prinsip pengelolaan baitul mal adalah dengan menggunakan prinsip Islam yang menerapkan cita-cita dan nilai-nilai Islam (salam/keselamatan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan).


DAFTAR PUSTAKA


Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok. Gramata Publishing.
Chalil, Zaki Fuad. 2009. Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam. Jakarta. Penerbit.  Erlangga.
Chaudry,  Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. (Penj Suherman Rosyidi). Jakarta. Kencana.
Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. 2009. Tafsir Al-Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta. Penerbit. Pustaka Pelajar.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jilid 1. 2003. Pustaka Nasoional PTE LTD Singapura. Singapura.
Mahmud Yunus. 1989. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta. Penerbit. Hidakarya Agung.
Majdudin Bin Yaqub Al-Feirus. 1952Al-Kamus Al-Muhith. Kairo. Abadi Haladi.
Muhammad Nasib A-Rifa’i. 1999. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. Jilid dua.  (Penj; Shihabudin). Jakarta. Penerbit Gema Insani Press.
Nasrun Haroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta. Penerbit : Gaya Media Pratama..
[1]Nurul Huda, Dkk. 2012. Keuangan Publik Islami. Jakarta. Penerbit  Kencana.
Taqyuddin An-Nabhani. 2009. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya.
Badan Pusat Statistik. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2012.  Jumlah Penduduk Miskin September 2012 Mencapai 28,59 Juta Orang  www.bps.go.id No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013.   diakses pada tanggal 5 Februari 2013.
Iwan Kurniawan. Daftar 40 orang Terkaya di Indonesia http://bisnis.news.viva.co.id di akses pada tanggal 5 Februari 2013.


[1] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok. Gramata Publishing. 2010. Hlm. 288.
2 Badan Pusat Statistik. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2012.  Jumlah Penduduk Miskin September 2012 Mencapai 28,59 Juta Orang  www.bps.go.id No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013.   diakses pada tanggal 5 Februari 2013.
[3] Iwan Kurniawan. Daftar 40 orang Terkaya di Indonesia http://bisnis.news.viva.co.id di akses pada tanggal 5 Februari 2013.
[4] Zaki Fuad Chalil. Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam. Jakarta. Penerbit.  Erlangga. 2009. Hlm. 156.
[5] Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al-Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009. hlm. 01.
[6] Meriam Webster Dictionary. http://www.merriam-webster.com diakses pada tanggal 23 Februari 2013
[7] Muhammad sharif chaudry. Sistem ekonomi islam prinsip dasar. (penj. Suherman rosyidi). Jakarta. Penerbit: Kencana. 2012. Hlm. 356.
[8] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta. Penerbit. Hidakarya Agung. 1989. Hlm. 433.
[9] Majdudin Bin Yaqub Al-Feirus, Al-Kamus Al-Muhith. Kairo, Abadi Haladi, 1952. Hlm. 892.
[10] Ibn Abidin Dalam (Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta. Penerbit : Gaya Media Pratama. 2007. Hlm. 73).
[11] Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta. Penerbit. Pustaka Pelajar. 2008. Hlm. 18.
[12] Wahbah Zuhaili. dalam (Dimyauddin Djuwaini; 2008). 
[13] Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al-Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat.  Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009. hlm. 02.

[14]M. Quraish Sihab dalam (Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al- Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009. hlm. 06.)
[15]An Nawawi dalam Tafsir Al-Quran Tematik Departemen Agama RI. 2009. Hlm 6.
[16]Az-zamsyaksary dalam Tafsir Al-Quran Tematik Departemen Agama RI. 2009. Hlm. 6
[17]At-tabari dalam dalam Tafsir Al-Quran Tematik Departemen Agama RI. 2009. Hlm. 6
[18] Hamka. Tafsir al-azhar. Pustaka nasoional PTE LTD Singapura. Singapura. 2003. Jilid 1. Hlm. 885.
[19] Ziadudin Ahmad dalam (Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik . 2009. Hlm. 9
[20] Departemen Agama RI.Tafsir Al-Quran . 2009. Hlm. 9.
[21] Yusuf Qordhowi dalam (Departemen Agama RI Tafsir Al-Qur’an Tematik. 2009. Hlm. 10)
[22] Az-Zhamzaksyari dalam (Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik. 2009. Hlm. 11)
[23] Fakhruddin Ar-Rāzī dalam (Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik. 2009. Hlm. 11)
[24] Ibn Al-‘Arabi dalam (Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik. 2009. Hlm. 11)
[25] Hamka. Tafsir Al-Azhar..Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. Singapura. 2003. Jilid 9. Hlm. 7156
[26] Abdullah Yusuf Ali dalam Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik. 2009. Hlm. 11)
[27] HAMKA tafsir al-azhar jilid 2..Pustaka nasional PTE LTD singapura. Singapura. 2003. Hlm. 718
[28] HAMKA tafsir al-azhar jilid 2..Pustaka nasional PTE LTD singapura. Singapura. 2003. Hlm. 720-724


[29]Muhammad Nasib A-Rifa’i Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. (Penj; Shihabudin). Jakarta. Penerbit Gema Insani Press. 1999. Jilid dua Hlm. 660.
[30]Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al- Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.2009. hlm. 17

[31]Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik. 2009. Hlm. 19
[32]Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik. 2009. Hlm. 20
[33]Muhammad Nasib A-Rifa’i Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. (Penj; Shihabudin). Jakarta. Penerbit Gema Insani Press. 1999. Jilid dua Hlm. 766.
[34]Taqyuddin An-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya. 2009. Hlm. 39.
[35]Muhammad Sharif Chaudry. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. (Penj Suherman Rosyidi).. Jakarta. Kencana. 2012. Hlm. 37
[36]Nurul Huda, dkk. Keuangan Publik Islami. Jakarta. Penerbit  Kencana. 2012. Hlm. 285.
[37]Taqiyuddin An-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Perspektif Islami. (Penj: Munawar Ismail). Surabaya. Risalah gusti. 2009.
[38]Taqiyuddin An-Nabhani:2009.hlm.264-269.
Categories: