Konsep Definisi Pendidikan Islam Menurut Al-Hazim (Resensi Buku Ushul at-Tarbiyah karya al-Hazimi)

Posted by Unknown on 19:18


Oleh: 
Ade Wahidin 

BAB 1
PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui, bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw telah sempurna. Itu berarti tidak boleh bagi siapapun untuk menambahkannnya ataupun menguranginya walaupun satu huruf, karena itu adalah bagian daripada tuduhan bahwa Nabi Muhammad saw telah mengkhianati amanah Alloh SWT  yang tidak menyampaikan islam secara paripurna.
Sedemikian sempurna agama Islam, maka praktis tidak ada satu masalahpun di dunia ini melainkan Islam punya jawabannya. Pertanyaannya adalah mengapa bisa demikian? Bukankah dunia ini memiliki sederet permasalahan dalam bidang-bidang utama aspek kehidupan manusia seperti akidah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Belum lagi jika dirinci masalah-masalah turunan yang muncul dari masing-masing bidang utama
tersebut, maka dapat dipastikan semua sisi ruang kehidupan manusia dipenuhi dengan masalah. Tetapi sekali lagi semuanya itu pasti akan ditemukan jawaban dan solusinya dalam Islam. Hal ini tidak terlepas dari salah satu karakter syariat Islam itu sendiri, yang bersifat solutif yaitu universal dan cocok pada setiap ruang dan waktu. Disamping itu, perkara mendasar dalam Islam yang wajib difahami yang dapat mendukung kesempurnaan dan eksistensi syariatnya adalah karena dalam islam ada yang disebut ats-Tsawâbit wa al-Mutaghoyyirât[1] (perkara-perkara yang baku dan yang tidak baku) sehingga dari sini muncul jawaban-jawaban yang solutif yang dihasilkan dari dualisme konsep syariat Islam tersebut. Dan dapat dikatakan bahwa solusi-solusi yang ditawarkan Islam itu tidak akan keluar dari salah satu keduanya. Bisa jadi itu termasuk masalah-masalah yang baku dan bisa juga termasuk masalah yang tidak baku yang keduanya cocok dan sesuai dengan kondisi psikologis manusia secara umum yang terkadang tegas dan terkadang juga fleksibel.
Dan konsep ini berlaku untuk semua bidang kehidupan manusia termasuk didalamnya adalah bidang pendidikan. Karena pendidikan yang dibingkai dengan syariat Islam akan melahirkan konsep-konsep yang tidak keluar dari Tsawâbit dan Mutaghoyyirât.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika didapati silang pendapat antar ulama dan pemikir Islam baik salaf maupun khalaf dalam mendeskripsikan hakikat dan definisi pendidikan menurut kacamata syariat Islam. Definisi pendidikan Islam yang ditawarkan Ibnu Khaldun tentu berbeda dengan yang ditawarkan al-Ghazali, al-Qabisi, Ibnu taymiyah, Ibnu Sina dan lain sebagainya. Karena masing-masing melihatnya sesuai dengan kapasitas khazanah ilmu yang dimilikinya dan juga latar belakang akidah yang mendominasi jiwanya. Dan hal ini akan dialami oleh pemikir-pemikir pendidikan Islam dimasa kini dan yang akan datang. Tinggal bagaimana definisi-definisi pendidikan Islam yang telah ada ataupun yang akan muncul itu tidak keluar dari dualisme konsep syariat Islam yaitu Tsawâbit dan Mutaghoyyirât. Sehingga perbedaan definisi tersebut termasuk kedalam khilaf tanawwu’ (redaksional) yang dibolehkan dalam Islam.
Penulis meyakini bahwa saat ini sudah banyak para pemerhati pendidikan Islam yang berkontribusi mengupas pemikiran para tokoh Islam, terutama tokoh-tokoh Islam dahulu seperti al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, al-Mawardi dan lain sebagainya. Demikian juga dengan pemikiran para tokoh Islam kontemporer, walaupun mungkin tidak sebanyak yang mengupas pemikiran tokoh Islam kontemporer. Maka berangkat dari sini, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang definisi pendidikan Islam yang ditawarkan salah seorang pakar pendidikan Islam kontemporer yaitu Doktor Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimi yang tertuang dalam kitabnya “Usul at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah”.

BAB II 
KONSEP DEFINISI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-HÂZIMI

Kalau dicermati ilmu-ilmu yang ada dalam syariat Islam secara umum tidak akan pernah habis dan akan terus berkembang seiring berkembangnya zaman, hal ini tak ubahnya lautan yang tak bertepi. Termasuk didalamnya ilmu yang berkaitan dengan pendidikan Islam, betapa banyak ulama salaf yang berbicara tentang makna pendidikan, tetapi hal itu tidak menyurutkan para generasi setelahnya untuk mengomentari, mengkritisi konsep pendidikan yang ada bahkan ada diantaranya yang memunculkan konsep pendidikan Islam yang “baru”.
Dan diantara pemikir Islam kontemporer yang “berani” memunculkan konsep baru tentang definisi pendidikan Islam adalah al-Hâzimi. Dan sangat menarik untuk dibedah dan dikaji apa yang beliau jelaskan tentang konsep pendidikan Islam yang tertuang dalam kitabnya, terutama yang bersinggungan langsung dengan definisi pendidikan Islam dalam perspektif bahasa dan syariat Islam.
Dalam mengkaji pendapatnya tentang definisi pendidikan Islam, maka penulis akan membagi ke dalam dua bagian utama:
Yang pertama: pendidikan menurut bahasa
Yang kedua: pendidikan menurut istilah Syar’i

A.    Definisi Pendidikan Secara Bahasa Menurut Al-Hâzimi

Sudah menjadi metodologi umum yang biasa berlaku dalam penulisan buku baik dahulu maupun sekarang, bila seorang ulama atau pemikir Islam akan mendefinisikan suatu variabel tertantu, maka pertama kali yang akan ditempuhnya adalah dengan mengartikan variable tersebut menurut tinjauan bahasa, yang tentunya disesuaikan dengan asal bahasa variable tersebut diambil. Hal itu dilakukan untuk beberapa tujuan. Yang pertama adalah memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam menganalisa definisi secara syar’i yang akan ditawarkan sang penulis. Yang kedua dapat memberikan sekilas gambaran tentang unsur-unsur yang menjadi bagian tak terpisahkan dari variable tersebut. Dan yang ketiga sebagai pintu gerbang untuk masuk ke definisi variable tersebut menurut tinjauan syar’i.
Metodologi semacam ini terus dilakukan oleh para ulama, baik salaf maupun khalaf, walaupun pada rincian sumber rujukan arti bahasa yang diambil berbeda-beda antara satu ulama dengan ulama yang lainnya. Yang tentunya tidak keluar dari 3 sumber rujukan utama bahasa arab yaitu al-Qur’an, al-Hadist dan Syair orang-orang arab terdahulu yang terkumpul dalam kamus-kamus bahasa arab.
Para ulama salaf yang memiliki perhatian dalam bidang pendidikan selalu meberikan definisi pendidikan secara bahasa lebih dahulu, baru kemudian secara syar’i. hal itu juga dilakukan oleh para ulama pendidikan khalaf, yang semuanya bertujuan ingin mengungkap hakekat rincian makna yang termasuk kedalam kata pendidikan. Dengan kata lain sebenarnya apa sajakah makna-makna yang termasuk dalam istilah pendidikan, sehingga ketika diangkat ke permukaan makna-makna tersebut, maka orang akan mengatakan bahwa itu adalah bagian dari pada pendidikan.
Oleh karena itu, dalam mencantumkan makna bahasa tersebut para pemikir Islam berbeda-beda cara dan bilangannya. Ada yang mencantumkan satu makna saja, dan ada juga yang antusias untuk mendatangkan makna secara bahasa yang sebanyak-banyaknya.
Dan diantara pemikir Islam yang melakukan pendekatan seperti ini, dalam mendefinisikan kata pendidikan secara bahasa adalah al-Hâzimi. Ketika al-Hâzimî mulai membahas tentang makna pendidikan menurut bahasa, maka beliau menyebutkan setidaknya ada 5 makna yang termasuk bagian dari makna pendidikan, kelima makna itu adalah:

1.      Al-Ishlâh (memperbaiki)

Diantara makna pendidikan adalah al-ishlâh. Kata ini bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti memperbaiki. Ketika dikatakan Rabba asy-Syai’a maka artinya adalah memperbaiki sesuatu. Menurut al-Hâzimi al-Ishlah merupakan bagian dari makna pendidikan, yang harus ada dalam proses pendidikan.   
Dalam kitabnya beliau tidak menjelaskan secara panjang lebar tentang makna al-ishlâh. Beliau hanya mengatakan “kata al-Ishlâh seringkali tidak menunjukkan makna bertambah, tetapi ia mengandung makna meluruskan dan membenarkan”[2]. Walaupun demikian, penulis berpandangan bahwa yang dimaksud al-ishlâh disini adalah tindakan perbaikan seorang guru kepada muridnya yang terkait dengan penyakit-penyakit yang bersumber dari dalam jiwa ataupun hatinya. Penyakit jiwa itu meliputi akidah, akhlak, sulûk (prilaku) ibadah baik mahdhah (antara seorang hamba kepada pencipta-Nya) maupun ghair mahdhah (antara seorang hamba kepada sesamanya) yang secara sadar ataupun tidak, ditampakkan dengan kesalahan-kesalahan dalam perkataan dan perbuatannya. Maka disaat itulah sang guru memberikan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan tersebut. pandangan ini muncul didasarkan oleh dua alasan: yang pertama dari istiqra (pengamatan) penulis terhadap kata al-Ishlah dan pecahannya yang ada dalam al-Qur’an. Yang kedua dari istiqra penulis terhadap dialog orang-orang arab Yaman.
Yang pertama dari al-Qur’an, berikut ini ayat-ayat yang berkaitan dengan kata al-Ishlâh dan juga pecahan-pecahannya:

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya: “Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Baqarah: 160)


قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Artinya: Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (Q.S. Hûd: 88)

يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Artinya: “Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (Q.S. al-Ahzâb: 71)

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Artinya: “Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (Q.S. asy-Syûrâ: 40)

Dalam ayat-ayat diatas maksud dari arti memperbaiki, mengadakan perbaikan dan berbuat baik, adalah berkaitan dengan semua kesalahan yang bersumber dari penyakit jiwa.

Adapun perbaikan yang berkaitan dengan kesalahan ataupun keteledoran sang murid dalam tindak-tanduk yang diluar kontrol jiwanya, atau dengan kata lain kesalahan yang sifatnya administratif, seperti kerapihan, kebersihan dan lain sebagainya. maka bahasa arab yang digunakan adalah dengan kata Tashlîh, yang merupakan bentuk Mashdar (yang datang sebagai urutan ketiga dalam ilmu sharf) dari kata shallaha yushallihu, contohnya shallahtu tsaubahu, artinya saya memperbaiki pakaiannya. Kesimpulan ini diambil, berdasarkan pengamatan penulis terhadap percakapan yang dilakukan oleh orang Arab khususnya Yaman. Yang ketika melihat saudaranya yang memakai pakaian tidak rapi mengatakan: “Shallih tsaubak” yang artinya perbaikilah pakaianmu.
Dengan demikian bisa ditarik satu benang merah, bahwa kata ishlâh digunakan untuk makna memperbaiki yang bersifat syar’i dan ukhrowi, sedangkan kata tashlîh digunakan untuk makna yang bersifat administratif atau duniawi murni.
Pada akhirnya penulis sangat setuju dengan al-Hâzimi yang mencantumkan ishlâh sebagai salah satu makna pendidikan. Karena dalam kesehariannya sang guru sudah seharusnya sensitif untuk memperbaiki segala kesalahan yang dilakukan oleh anak didiknya baik yang ukhrawi maupun yang dunawi, karena yang demikian itu adalah bagian dari salah satu syiar Islam yang sudah diabaikan mayoritas kaum muslimin yaitu amar makruf dan nahi mungkar.

2.      An-Nama’ wa az-Ziyâdah (berkembang dan bertambah)

Makna pendidikan yang kedua adalah berkembang dan bertambah. Makna ini bisa dikatakan  sebagai hasil dari proses kegiatan pendidikan itu sendiri. Artinya setelah sekian lama sang guru membina muridnya maka tampaklah hasilnya. bisa jadi hasilnya memuaskan dan sesuai dengan harapan sang guru, atau bisa jadi sebaliknya hasilnya tidak maksimal bahkan pada tataran tertentu hasilnya nol. Kedua hasil berbeda tersebut didasarkan beberapa faktor yang menentukan hasilnya masing-masing. Tetapi penulis meyakini bahwa walau bagaimanapun orang yang pernah merasakan proses tarbiyah pasti akan berbeda dengan yang belum pernah menyentuh sama sekali proses tarbiyah. Karena ini termasuk kedalam firman Alloh SWT dalam surat az-Zumar ayat 9:

 قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

3.      Nasyaa dan Tara’ra’a (tumbuh dan terbimbing)

Makna pendidikan yang ketiga adalah tumbuh dan terbimbing. Makna inipun tidak jauh berbeda dengan yang kedua, hanya saja ia lebih ditekankan kepada proses tarbiyahnya bukan pada hasilnya.

4.      Sâsahu wa Tawallâ amrahu (memimpin, dan mengedalikan urusannya)

Makna pendidikan yang keempat adalah memimpin dan mengendalikan urusan anak didik. Sudah barang tentu sang guru adalah seorang imam bagi anak didiknya. Oleh karena itu sebagai imam dia harus memimpin dengan baik proses jalannya pendidikan terhadap anak didik tersebut. Dan selama dia menjadi guru, maka dia adalah pemimpin bagi anak didiknya. Bagus tidaknya hasil dan kualitas sang murid itu, salah satunya terletak pada kepandaian dan kecermatan sang guru dalam memimpin sang muridnya. Semakin serius dan intensif kepemimpinannya, maka semakin bagus pula anak didik yang menjadi alumninya. Sebaliknya semakin kacau kepemimpinannya, maka semakin buruk pula kualitas anak didiknya.
Disamping itu yang perlu diketahui oleh segenap guru- yang memiliki banyak anak didik- bahwa para murid memiliki sifat dan watak yang berbeda-beda, dan itu adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan dunia ini. ada yang sifatnya pendiam ada juga yang suka berbicara. Ada yang penurut ada juga yang nakal. Ada yang manja ada juga yang tidak. Ada yang pelit ada juga yang boros dan seterusnya. Dengan adanya keragaman sifat disini, sang guru lebih dituntut lagi untuk menguras fikirannya dalam mencari formulasi kepemimpinan yang tepat dan benar kemudian menerapkannya dalam proses pendidikan tersebut.
Begitu juga sang guru mengatur dan mengendalikan segala urusan yang berkaitan dengan anak didiknya. Mulai dari hal yang sepele sampai kepada masalah yang serius. Mulai dari hal yang kecil sampai kepada masalah yang besar. Mulai dari perkara agama sampai kepada pekara dunia. Bahkan kalau bisa mayoritas aktifitas anak didiknya berada dalam kendali dan pengawasannya. Sehingga dengan demikian, akan lahir anak didik yang berkualitas.

5.      Ta’lîm (Pengajaran)

Makna yang kelima yang disebutkan oleh al-Hâzimi adalah pengajaran. Dalam menjelaskan makna ini beliau mengutip perkataan dua ulama. Salah satunya Ibnu al-A’rabi, beliau mengatakan[3]:
“Robbani adalah seorang ulama yang mengajarkan ilmu kepada manusia dari ilmu yang termudah sampai yang tersulit”.
Berbeda dengan makna-makna pendidikan lainnya, dapat dikatakan makna ini adalah yang paling sering disandingkan dengan kata tarbiyah dalam berbagai literatur pendidikan Islam. Hal ini didasarkan adanya keterikatan yang kuat antara ta’lîm dan tarbiyah. Tetapi, antara keduanya ada keumuman dan kekhususan. Karena setiap tarbiyah adalah ta’lîm tetapi setiap ta’lîm belum tentu disebut tarbiyah. Karena bisa dikatakan bahwa tarbiyah adalah bentuk follow up dari pada kegiatan ta’lîm.
Di masa lalu, makna pengajaran memiliki cakupan yang sangat luas, asalkan terjadi proses belajar yang melibatkan dua pihak, yaitu guru dan murid, maka itu sudah cukup untuk disebut sebagai kegiatan pengajaran. Tetapi di masa kini, maknanya sudah sedikit bergeser. Karena ketika kata makna pengajaran diangkat, maka yang terbesit pertama kali di fikiran kalangan manusia modern adalah kegiatan belajar dan mengajar yang resmi, yang  penyelenggaraannya di madrasah ataupun sekolah.
Disisi lain, kata Ta’lim-khususnya di Indonesia- sering kali di pakai untuk kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh kalangan orangtua, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak. Dan bahkan merupakan bagian dari nama kelompok belajarnya atau kelompok pengajiannya yang lebih familiar disebut dengan majlis ta’lim. Dan jumlah majlis ta’lim di indonesia sangatlah banyak, bahkan semakin hari semakin bertambah bak jamur di musim penghujan.
Setelah panjang lebar al-Hâzimi menjelaskan makna tarbiyah secara bahasa, kemudian beliau memberikan kesimpulan:
Dari makna pendidikan secara bahasa, maka dapat disimpulkan bahwa makna tarbiyah itu berkisar antara kegiatan memperbaiki, mengendalikan urusan anak didik, memperhatikannya dan membimbingnya ke arah yang membuatnya maju dan berkembang. Dan definisi pendidikan secara istilah sangat erat kaitannya dengan makna-makna tersebut[4].

B.     Definisi Pendidikan Secara Istilah Menurut Al-Hâzimi

Setelah diuraikan tentang makna pendidikan secara bahasa menurut al-Hâzimi, maka langkah selanjutnya adalah menjelaskan tentang definisi pendidikan secara istilah. Tetapi sebelum itu penulis ingin angkat juga makna kata tarbiyah dan pecahannya dalam al-Qur’an, sebagaimana yang dicantumkan oleh beliau dalam kitabnya. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk lebih “mengakrabkan”indera kita terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dan bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu kalau diteliti dan terus digali maknanya, maka dapat memunculkan keyakinan, bahwa al-Qur’an itu pembahasannya universal dan mendetail, sampai kepada masalah pendidikan yang mungkin dianggap sebagian orang sebagai masalah yang muncul dari dunia barat. Padahal sejatinya itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Oleh karena itu, mari direnungkan kembali makna ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kata tarbiyah. Berikut ini makna kata tarbiyah dan pecahannya dalam al-Qur’an.

1.      Tarbiyah Adalah al-Hikmah, al-Ilm dan at-Ta’lîm

Arti Kata al-hikmah dapat dibagi menjadi 2:
Pertama: kalau disebutkan secara mandiri maka maksudnya adalah at-Tafaqquh fi ad-Dîn (memperdalam ilmu agama), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik ketika menafsirkan ayat 269, surat al-Baqarah[5]:
                                                                                                                                                      يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al      Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Kedua: kalau disertai dengan kata al-Kitab maka arti kitab adalah al-Qur’an sedangkan arti al-Hikmah adalah sunnah atau hadist Nabi saw. Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 129, dan lain sebagainya.
Disamping makna hikmah, kata tarbiyah juga bias bermakna al-Ilmu yaitu ilmu pengetahuan dan juga at-Ta’lim yaitu pengajaran. ketiga makna ini terambil dari tafsiran para ulama mengenai kata pecahan tarbiyah dalam surat ali Imran ayat: 79.
وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ 
Artinya: “Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.
Ibnu Abbas dan yang lainnya menafsirkan kata Rabbaniyyin sebagai Hukama (Orang-orang bijaksana), Ulama (orang-orang berilmu), Hulama (orang-orang santun). Sedangkan adh-Dhahhak berpendapat bahwa kata rabbaniyyin bermakna mengajarkan dan memahamkan orang lain[6].

2.      Tarbiyah Adalah ar-Ri’âyah

Makna tarbiyah berikutnya yang ada dalam al-Qur’an adalah bimbingan. Sebagaimana dalam surat al-Isra ayat: 24.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا        
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Dan juga firman Alloh yang mengutip perkataan firaun kepada Nabi Musa dalam surat asy-Syu’ara ayat: 18.
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِين
Artinya: “Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktukamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu”.
Dan ini menunjukkan bahwa diantara makna tarbiyah adalah ar-Riâyah wa al-‘Inâyah (Bimbingan dan perhatian).
Kemudian al-Hâzimi menjelaskan tentang definisi tarbiyah menurut istilah, dengan mengatakan:

“ bahwa tarbiyah adalah mendidik manusia setahap demi setahap dalam semua aspek kehidupannya untuk mewujudkan kebahagiaan didunia dan akhirat sesuai dengan metodologi Islam”

Dalam menjabarkan definisi pendidikan Islam menurut al-Hazimi, penulis akan memetakannya ke dalam 5 poin sebagaimana yang tersirat dalam kitabnya:

1.      Mendidik Manusia

Kata Mendidik manusia berarti manusia adalah satu-satunya objek yang menjadi sasaran proses tarbiyah. Sehingga selain manusia seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan bukanlah termasuk objek garapan tarbiyah. Tetapi sebenarnya selain manusia ada juga mkhluk lain yang mirip dengan manusia dari sisi kesiapannya dalam menerima pendidikan. Makhluk itu bernama binatang. Walaupun realitanya  pendidikan yang diterimanya tidak sesempurna yang didapatkan oleh manusia. Disamping itu tidak adanya follow up yang lebih terhadap pendidikan yang telah diterimanya sebagaimana yang yang dilakukan oleh manusia.
 Ambil contoh burung beo, sudah menjadi rahasia umum bahwa burung beo adalah binatang yang terkenal memiliki kemampuan meniru perkataan manusia. Setiap perkataan atau kalimat yang diajarkan pemiliknya dapat mudah ditiru olehnya, terutama kalimat-kalimat yang berkonotasi sambutan untuk orang yang bertamu kepada majikannya. seperti kalimat Asslamu’alaikum, selamat datang, dan lain sebagainya. Tetapi kalimat yang diucapkannya hanyalah sekedar kalimat tanpa ada reaksi lebih lanjut terhadap kalimat-kalimat tersebut. Karena dia tidak memiliki instrumen -dalam hal ini akal- yang dapat memfollow up kalimat tersebut ke dalam bentuk riil sebagaimana yang dimilki oleh manusia. Pandangan ini bisa dikatakan muncul bertolak dari realita diatas dan dan dalil naqli dari al-Qur’an, Alloh SWT berfirman:

  يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا   اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.” (Q.S. al-Maidah: 4)

Dalam ayat ini Alloh SWT menggambarkan tentang adanya anjing yang “terdidik” yang membuat buruannya halal untuk dimakan. Dan ini merupakan kelebihan yang tidak diberikan kepada anjing lainnya yang tidak terdidik. Tetapi bisajadi ada alasan tersendiri yang disampaikan oleh al-Hâzimi mengapa beliau begitu tegas membatasi objek tarbiyah hanya pada manusia saja. Penulis menduga bahwa alasannya adalah berangkat dari kata tarbiyah itu sendiri, karena apabila kata tarbiyah diangkat ke permukaan maka konotasinya adalah pendidikan yang dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Dan itu tidak terjadi pada makhluk selain manusia, makanya beliau tegas mengatakan “dan objek pendidikan itu dibatasi hanya pada jenis manusia, ini berarti meniadakan jenis mahluk hidup selain manusia[7].
Kembali ke kata manusia, kalau digali lebih dalam tentang manusia maka ruang lingkupnya sangat luas karena ia mencakup semua macam yang berada dalam “naungan” kata manusia. Seperti pria wanita, nenek kakek, ibu bapak, pelajar, dosen dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kategori manusia. Dan menurut al-Hâzimi yang dimaksud manusia disini tidak hanya terbatas pada manusia muslim tetapi juga mencakup manusia kafir. Karena menurut beliau”kita ingin mendidik seorang muslim disebabkan kepasrahannya terhadap syariat Islam, dan mendidik orang kafir supaya masuk Islam dengan cara nasehat dan bimbingan”[8].

2.      Setahap Demi Setahap

Ungkapan ini menunjukkan bahwa, kegiatan pendidikan  itu dilakukan melalui proses yang panjang baik dari sisi waktu maupun materi. Atau meminjam istilah para ulama adalah dengan Tadarruj(bertahap dan berurutan). Dan kalau kita telusuri ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Islam sangatlah banyak dan luas, yang keluasannya ibarat lautan yang tak bertepi. Dari sisi materi ilmu, Ada ilmu Ghayah (Tujuan) seperti: Tauhid, Tafsir, Hadist, Tazkiah dan lain sebagainya. Ada juga Ilmu Alat/Washilah (Perantara) seperti Ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah, ‘Arudh dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sedemikian banyak dan luas samudra ilmu Islam maka untuk meraihnya diperlukan proses yang panjang dan waktu yang sangat lama. Bahkan waktu yang lama sendiri telah menjadi salah satu syarat suksesnya seseorang dalam menuntut ilmu. dan metode yang seperti ini telah biasa ditempuh oleh para ulama terdahulu dan juga kontemporer. Maka tidak sedikit diantara mereka yang menghabiskan separuh hidupnya untuk menuntut ilmu. Bahkan pada tataran tertentu, ada diantara mereka yang seluruh hidupnya dicurahkan untuk menuntut ilmu.
Disamping waktu, materi yang disampaikan dalam proses tarbiyah haruslah tadarruj (bertahap), dari mulai yang paling mudah sampai yang paling susah. Dari mulai kitab yang kecil sampai yang berjilid-jilid. Sehingga dengan demikian dapat menghasilkan ulama yang rabbani yaitu yang dapat mengajarkan ilmu dari mulai yang paling mudah sampai yang paling susah. Dengan tidak mengabaikan mana yang prioritas dan mana yang bukan prioritas.
Demikian Itu adalah gambaran ideal tadarruj dalam menuntut ilmu, tetapi kalau kita kaitkan teori tadarruj ini dengan kondisi kaum muslimin saat ini. penulis berpendapat bahwa teori ini belum tepat diterapkan kepada mayoritas kaum muslimin –terutama yang ada di indonesia- . karena kebanyakan mereka sudah “terlanjur” mengagumi dan mengutamakan ilmu pengetahuan umum daripada Ilmu syar’i. sehingga waktu luang untuk belajar ilmu syar’i sangatlah minim. Jangankan untuk bertadarruj dalam menuntut ilmu syar’i, supaya mengikuti taklim satu pekan satu kali saja masih sangat susah. Maka harus ada konsep tarbiyah yang praktis dan sistematis yang bisa diterapkan kepada mereka. Mulai dari isi materi sampai kepada rentang waktu yang diperkirakan cukup untuk membuat mereka faham terhadap agama ini dengan baik dan benar. Walaupun sekali lagi, tidaklah sama hasilnya  antara orang yang belajar agama 10 tahun dengan system tadarruj dengan orang yang “blentang-blentong” dalam belajar  agama selama 10 bulan.

3.      Mencakup Semua Aspek Kehidupan Murid

Kemudian beliau melanjutkan bahwa pendidikan ini, haruslah mencakup semua aspek kehidupan murid, baik yang berkenaan akidahnya, fikihnya, ibadahnya, akhlaknya dan lain sebagainya. Jadi beliau berpandangan bahwa mendidik murid haruslah menyeluruh dan tidak boleh setengah-setengah. Atau dengan kata lain mendidiknya pada satu aspek tetapi pada saat yang sama meninggalkan aspek yang lainnya. Misalkan hanya mendidik aspek akhlaknya saja sedangkan akidahnya diabaikan, atau mendidik fikihnya saja sedangkan ibadahnya ditinggalkan. Ini tentu tidak mencakup semua aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh sang murid. Walaupun tetap harus diperhatikan mana saja yang paling prioritas dan mana saja yang prioritas untuk sang murid dengan tidak mengabaikan cara dan metode yang sesuai dengan kondisinya. Jadi, mendidik sang murid itu haruslah menyeluruh ke semua aspek kehidupannya. Dan semua pendidikan tersebut pasti akan bermuara pada salah satu dari dua sisi manusia yang tidak bisa dipisahkan, yaitu rohani dan jasmani. Karena kalau seorang guru sangat memperhatikan pendidikan dua aspek ini, maka sang murid akan menjadi manusia yang “Basthatan fî al-Ilm wa al-Jism” yaitu manusia yang tangguh baik rohani maupun jasmani.

4.      Sukses Dunia Akhirat

Al-Hâzimi berpandangan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang dalam prosesnya bertujuan mengantarkan sang murid kepada gerbang kesuksesan baik di dunia maupun akhirat. Bukan pendidikan yang bertumpu pada kehidupan dunia yang hanya akan menghasilkan kebahagiaan semu. Seperti pendidikan kapitalisme dan komunisme, yang segala sesuatunya diukur dengan materi. Tetatpi Bukan juga pendidikan yang bertumpu pada apa yang disebut dengan “Rahbanah” suatu perkara baru dalam agama yang pertama kali dimunculkan oleh pendeta-pendeta nashrani, yatu meninggalkan amalan-amalan duniawi dan memfokuskan diri secara total untuk amalan ukhrowi.
Kedua teori ini sama-sama tidak menawarkan kebahagiaan yang hakiki kepada para pelakunya, karena memang sudah keluar dari koridor syariat Islam. Manhaj Islam sendiri sangatlah sederhana dan perhatian terhadap pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, keduanya sama-sama menjadi tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Banyak sekali dalil naqli baik dari al-Qur’an maupun dari al-Hadits yang menegaskan tentang prinsip perhatian Islam terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat, diantaranya adalah:
Alloh SWT berfirman:
  وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (Q.S. al-Qashash: 77)
Alloh juga berfirman, mengajarkan doa kebahagiaan dunia akhirat”.

  وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: “Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka" (Q.S. Al-Baqarah: 201)

5.      Sesuai Dengan Syariat Islam

Unsur utama yang terakhir dari konsep pendidikan Islam al-Hâzimi adalah semestinya pendidikan tersebut berdiri diatas manhaj atau metodologi Islam. Yaitu metodologi yang menggabungkan antara ilmu dan amal. Ketika demikian adanya maka pendidikan tersebut disebut sebagai pendidikan Islam.
Oleh karena itu, setiap pendidikan yang tidak sesuai dengan manhaj Islam maka tidak dinamakan sebagai pendidikan Islam. Dan pendidikan yang tidak sesuai dengan manhaj Islam ini sangatlah banyak macamnya, tetapi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:

a.      Pendidikan Ala Yahudi

Maksudnya adalah pendidikan yang sebagaimana diterapkan oleh orang-orang yahudi dalam menyikapi syariat yang Alloh SWT turunkan kepada mereka. Diamana mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran tersebut, tetapi tidak menerapkan sebagaimana mestinya. Bahkan mereka mencari jalan yang lainnya yaitu dengan cara merubah syariat tersebut sehingga bersesuaian dengan hawa nafsu mereka.
Oleh karena itu, mereka disebut sebagai golongan al-Maghdûb ‘alaihim yang artinya golongan yang dimurkai Alloh SWT sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Fatihah ayat terakhir.
Metodologi inilah yang telah diterapkan oleh orang-orang yahudi dalam “mendidik” jiwa-jiwa mereka. maka siapa saja yang menerapkan metodologi ini baik dari kalangan orang-orang Islam maupun orang-orang kafir selain yahudi maka mereka telah mengikuti langkah-langkah metodologi pendidikan ala Yahudi.

b.      Pendidikan Ala Nasrani

Yaitu pendidikan yang menerapkan pola implementasi ritual ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu. Maka pendidikan dengan metodologi seperti ini disebut sebagai Pendidikan ala Nasrani, karena merekalah yang pertama kali menerapkannya. Dan ketika mereka menerapkannya disebutlah mereka sebagai adh-Dhâllîn yaitu orang-orang yang sesat sebagaimana tercantum dalam surat al-Fatihah ayat terakhir.
Setelah itu siapa saja yang menerapkan metodologi pendidikan seperti ini baik itu muslim maupun kafir maka orang tersebut telah mengikuti langkah-langkah orang-orang Nasrani.
 
                                                                        BAB III 

                                                                 KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa al-Hâzimi berpendapat tentang adanya istilah bahasa yang termasuk dalam kategori pendidikan yaitu al-Ishlâh (perbaikan), an-Nama wa az-Ziadah (berkembang dan bertambah), Nasyaa dan Tara’ra’a (tumbuh dan terbimbing), Sâsahu wa tawalla amrahu (memimpin, dan mengedalikan urusannya), dan Ta’lim (Pengajaran). Dan dalam prosesnya, bahwa  setiap pendidikan tidak lepas dari makna-makna bahasa diatas.
Kemudian dia menegaskan bahwa yang dinamakan pendidikan Islam adalah  “Mendidik manusia setahap demi setahap dalam semua aspek kehidupannya untuk mewujudkan kebahagiaan didunia dan akherat sesuai dengan metodologi Islam”. Maka disadari atau tidak, menurutnya siapa saja yang menerapkan defnisi diatas berarti dia telah mencerminkan pendidikan Islam.
Demikianlah konsep pendidikan Islam yang ditawarkan oleh al-Hâzimi, secara pribadi penulis sepakat dengan definisi pendidikan Islam yang ditawarkannya. Dan bukan berarti definisi yang ditawarkannnya adalah definisi yang sempurna yang tidak boleh diganggu gugat, karena kesempurnaan itu hanyalah milik Alloh SWT semata. dan seiring berjalannya waktu bisa jadi akan muncul definisi pendidikan Islam yang baru yang lebih Jami’(mencakup semua unsur-unsur yang termasuk dalam definisi tersebut) dan Mani’ (mengeluarkan semua unsur yang tidak termasuk dalam definisi tersebut) yang akan menambah khazanah ilmu-ilmu pendidikan Islam.
Akhirnya, semoga semua upaya yang telah dilakukan oleh semua pemikir Islam baik salaf maupun khalaf dalam memunculkan definisi pendidikan menurut Islam akan dicatat oleh Alloh SWT sebagai amal kebaikan dan dapat dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Amien

 




                                                                                                                             












[1] Lihat Kitab ats-Tsawâbit wa al-Mutaghoyyirât, karya ad-Duktur Shalâh Shâwî, Muntadâ al-Bayân. Dalam kitab tersebut dijelaskan tentang rincian ats-Tsawâbit (perkara-perkara yang baku) dan al-Mutaghayyirât (perkara-perkara tidak baku) dalam agama Islam.
[2] Ad-Duktur Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah, Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M, hal. 17.
[3] Ad-Duktur Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah, Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M, hal. 18.

[4]Ad-Duktur Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah, Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M, hal. 18.


[5] Asy-Syeikh Ahmad Syâkir, ‘Umdatu at-Tafsîr ‘An al-Hafidz Ibn Katsîr, Kairo, Dâr al-Wafa, 1425 H/2005 M, Hal. 291.
[6] Ad-Duktur Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah, Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M, Hal. 18.

[7] Ad-Duktur Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah, Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M, Hal. 19.
[8] Ibid, Hal. 19.
Categories: