Belajar Dari Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam

Posted by Unknown on 22:34

Setiap memasuki bulan Dzulhijjah, memori kita kembali membuka dirinya. Mengajak kita mengenang kembali seorang manusia agung yang menorehkan fakta sejarah peradaban umat manusia dan membentuk arah kehidupan kita. Dialah Ibrahim ‘alaihissalam, salah seorang Rasul Ulul Azmi.
Di antara keutamaan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah bahwa beliau seorang Nabi yang disebut Allah sebagai “ummat”. Allah Ta'ala berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang ummat (imam) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan senantiasa berpegang kepada kebenaran. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (QS. al-Nahl: 120)
Allah juga menyebut Ibrahim sebagai qudwah, teladan. Dalam al Qur'an, hanya ada dua sosok yang disebutkan secara tegas sebagai teladan, yaitu Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam (QS al Ahzab: 21) dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (QS Al Mumtahanah: 4).
Mendalami hikmah dua keutamaan tersebut, kehidupan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjadi sangat penting diperhatikan. Tulisan ini akan menguraikan empat hal yang hendaknya diteladani dari kehidupan Nabi Ibrahim.
Pertama, Ketundukan secara Total kepada Ketentuan Allah.

Nabi Ibrahim diperintahkan Allah membawa keluarganya ke Makkah yang saat itu belum dihuni seorang manusia pun. Beliau bersama anak dan istri tercinta menempuh jarak yang tidak dekat. Namun, kala rasa penat belum lagi hilang, keringat pun belum mengering, beliau mendapat perintah suci dari Allah untuk pergi dan meninggalkan keluarganya di lembah tandus tak berpenghuni.
Beliau pergi dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah. Sikap taat ini tidak hanya dimiliki Ibrahim, tetapi tertanam pula di dalam sanubari sang istri dan mengalir dalam darah dan daging sang anak, Ismail ‘alaihissalam.
Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki seorang Muslim. Senantisa tunduk dan patuh kepada setiap perintah Allah. Inilah hakikat dan bukti komitmen keislaman. Sebab, hakikat Islam adalah ketundukan secara total kepada ketentuan sang Pencipta. Seorang Muslim ketika berhadapan dengan perintah Allah, maka sikap dan perbuatannya bahkan pikirannya adalah mengerahkan segenap upaya untuk menunaikan perintah tersebut dengan cara maksimal dan terbaik.
Kedua; Konsisten dalam Memegang Prinsip.
Ibrahim ‘alaihissalam adalah teladan dalam keteguhan memegang prinsip aqidah yang diyakininya. Demi mempertahanan keyakinannya, beliau berhadapan dengan seorang penguasa dzalim yang memaksakan pemahaman yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid. Bahkan beliau dilemparkan ke dalam kobaran api.
Cobaan yang dihadapi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak hanya berasal dari luar. Ujian berat dalam mempertahankan dan memperjuangkan idealisme aqidah tauhid juga datang menjelma dari sang ayah tercinta.
Dalam Al-Qur'an, Allah mengabadikan dialog antara Ibrahim dengan ayahnya, yang membuat dan menyembah berhala. Azar, ayah Ibrahim, mengancam akan merajam Ibrahim jika beliau tidak menghentikan da'wah tauhidnya. Dialog tersebut terekam dalam QS: Maryam: 46.
Sebagai seorang muslim maka hendaknya meneladani Nabi Ibrahim dalam mempertahankan keyakinan. Saat ujian dan kesulitan dengan segala bentuk dan kadarnya datang menghadang maka selayaknya kesabaran menjadi perisai dan peredam kegunjangan jiwanya. Sikap yang sama juga dituntut ketika kita diuji dengan kemudahan dan kemewahan yang menyilaukan mata.
Banyak orang yang sanggup bertahan ketika diuji dengan kesulitan, tetapi tidak berdaya saat diuji dengan kemudahan. Jarang kita dengar, mantan aktivis organisasi mahasiswa menjadi pragmatis setelah hidup mapan. Padahal sewaktu kuliah mereka dikenal sebagai aktivis dengan idealisme yang kokoh.

Ketiga, Peka Terhadap Problem Sosial yang Muncul di sekitarnya.
Ibrahim ‘alaihissalam adalah sosok yang peka problem. Ketika tidak ada orang yang peduli bahkan larut pada penyimpangan aqidah di masyarakat seperti menyembah bintang dan berhala, sensitifitas Ibrahim sebagai seorang yang bertauhid muncul. Ia bangkit, bergerak mengadakan upaya perbaikan dan meluruskan penyimpangan aqidah tersebut.
Ditempuhnya berbagai macam cara dan sarana oleh Ibrahim untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Ia berdialog dengan hikmah, berdebat dengan cara yang ahsan, metode terbaik. Bahkan, ia terjun langsung ke lapangan, mengubah dengan tangan. Patung-patung berhala yang disembah kaumnya, ia hancurkan dengan kapak hingga berantakan. Tak satu patung pun mampu membela dirinya .
Demikianlah cerminan bagi seorang Muslim yang memiliki idealisme, selayaknya mereka peka terhadap berbagai problem yang melanda Ummat Islam. Peka problem juga bermakna mampu mengidentifikasi kemudian menyelesaikan problem paling krusial yang menimpa ummat.
Sesungguhnya diantara problem paling pelik yang menimpa ummat Islam hari ini tidak berbeda dengan apa yang dihadapi Nabi Ibrahim di masanya yaitu masalah kerusakan aqidah. Upaya perusakan aqidah hari ini diusung dengan jargon-jargon yang kelihatannya ilmiah. Upaya dekontrusi syari'ah, liberalisasi, bahkan sampai desakralisasi kitab suci disebarkan dengan kemasan yang mengatasnamakan pembaharuan dan pencerahan.
Pemuda Muslim seharusnya berada di garda terdepan dalam menghadang berbagai upaya penodaan dan perusakan ajaran Islam. Sebagaimana dahulu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memberantas kerusakan aqidah yang terjadi di tengah-tengah ummatnya.
Keempat, Bertindak Cerdas.
Ibrahim ‘alaihissalam telah memadukan antara sikap kritis dan kepekaan pada problem dengan kecerdikan dalam bertindak. Sikap kritis tidak spontan membuat beliau bertindak ‘anarkis” tanpa perhitungan. Benar, jika beliau menghancurkan patung-patung yang disembah oleh Namruz dan rakyatnya. Tetapi beliau juga telah menyiapkan argumen yang cerdas untuk menjawab tuduhan dan tuntutan para penyembah berhala tersebut.
Beliau tidak menghancurkan semua patung yang ada. Beliau masih menyisakan satu patung yang paling besar dan menggantungkan kapak di leher patung tersebut. Maksudnya adalah la'allahum ilaihi yarji'uun, agar mereka kembali kepadanya. Ibrahim hendak menghentak kesadaran mereka bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya keliru dan bertentangan dengan fitrah serta akal sehat.
Mereka kemudian tersadar bahwa sesembahan yang mereka ibadahi adalah Dzat yang tidak pantas untuk disembah. Berhala-berhala tersebut tidak sanggup memberi manfaat dan menolak mudharat. Berhala-berhala itu tidak kuasa membela diri ketika dihancurkan Nabi Ibrahim, bahkan hanya untuk sekadar berkata-kata. Jadi, Ibrahim tidak sekadar menghancurkan sarana kesyirikan, tetapi mengajak para pelaku kesyirikan untuk merenung mengakui kesalahan mereka.[Syam]


Categories: