Politik Ekonomi Islam

Posted by Unknown on 01:19










BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kegagalan kapitalisme sudah menjadi rahasia umum. Menurut Zainuddin Ali, kegagalan kapitalisme ini karena ia tidak mampu digunakan untuk menciptakan kesejahteraan secara menyeluruh. Bahkan menciptakan kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, sehingga tampak yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat. Terjadi kondisi ketidakseimbangan dan penumpukan kekayaan di tangan segelintir kelompok. Salah satu alasan yang menyebabkan ketidakseimbangan tersebut adalah akibat kegagalan asumsi-asumsi yang digunakan oleh pakar ekonomi kapitalisme dalam pembangunan ekonomi berdasarkan sistem kapitalisme itu sendiri. Hal ini akibat diabaikannya nilai-nilai moral dan etika yang bersumber dari ajaran agama dalam aktivitas perekonomian.[1]
            Lebih jauh Ali menemukan dan menganalisis berbagai asumsi yang dibangun kapitalisme dan ketidaksesuaiannya dengan realitas yang menunjukkan bahwa kapitalisme telah gagal:[2]

Pertama, dalam sistem kapitalisme tercipta keselarasan antara kepentingan individu (individual interest) dengan kepentingan-kepentingan itu. Asumsi tersebut mengalami kegagalan karena pada praktiknya, sistem ekonomi kapitalisme lebih mengagungkan pemenuhan hak dan kepentingan individu dari kepentingan masyarakat. Selain itu, mengatasnamakan hak asasi, sehingga setiap individu berhak untuk mengeksploitasi segala sumber daya negara tidak memiliki hak untuk mengekang setiap individu di dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Keadaan ini diperparah oleh tidak adanya nilai moral yang mengarahkan aktivitas ekonomi dari setiap individu.
            Kedua, dalam sistem kapitalisme, preferensi individual merupakan cerminan dari prioritas sosial. Setiap kejadian dalam sistem sekuler terjadi berdasarkan nilai-nilai kegunaan/manfaat, sehingga pemanfaatan sumber daya yang ada hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Asumsi ini mengalami kegagalan karena ternyata penggunaan segala sumber daya yang terbatas itu tidak mencerminkan kebutuhan sosial secara umum, melainkan hanya mencerminkan pemenuhan kebutuhan kelompok bagi yang kaya (the have) saja, yang terkadang hanya mencerminkan nilai prestasinya. Sebagai contoh dapat diungkapkan: konsumsi mobil mewah yang berlebihan, penumpukan kendaraan sebagai pameran kekayaan.
            Ketiga, terwujudnya distribusi pendapatan dan kekayaan secara merata. Padahal, pada kenyataannya justru sebaliknya, pendapatan dan kekayaan tidak terdistribusikan secara adil dan merata.
            Keempat, tingkat harga yang terjadi mencerminkan urgency of wants. Hal ini dilandaskan kepada anggapan bahwa kesediaan konsumen tanpa memandang kaya dan miskin untuk membayar harga pasar mencerminkan kepentingan kebutuhannya. Akan tetapi, asumsi ini pun tidak sesuai, karena walaupun setiap anak sama-sama membutuhkan susu, namun kemampuan keluarga kaya berbeda dengan keluarga miskin. Bahkan Arthur Okun menyatakan bahwa kelompok kaya akan mampu memberi makan binatang piaraannya lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok miskin yang memberi makan anaknya.
Kelima, adanya struktur pasar persaingan sempurna, yaitu setiap individu/perusahaan dapat bebas keluar masuk pasar tanpa adanya rintangan. Asumsi ini pun gagal karena pada kenyataannya struktur pasar yang terbentuk adalah imperfectcompetition, yaitu pasar dikuasai oleh industri besar ataupun perusahaan-perusahaan multinasional. Kegagalan asumsi-asumsi di atas mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan market strategy dan membuktikan ketidakmampuan sistem tersebut dalam memperlihatkan perubahan struktural radikal yang diperlukan untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi berdasarkan prinsip keadilan dan stabilitas.
Selain itu, menurut Abdurrahman Al-Maliki, sistem ekonomi kapitalis menjadikan peningkatan pendapatan nasional sebagai landasan politik ekonominya (bukan pendapatan per individu). Selanjutnya, ketika tampak kerusakan dan kezaliman akibat diterapkannya sistem ini, maka dibuatlah beberapa hukum terkait dengan kaum buruh, pegawai, dan fakir miskin yang dinamakan dengan jaminan sosial dan keadilan sosial serta asuransi sosial. Tujuannya untuk meringankan kezaliman yang menimpa mereka serta untuk menambal kerusakan dan kebrobrokan sistem ini. Dengan demikian, jaminan yang terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis ini bukan dasar sistemnya dan bukan perkara yang esensial. Akan tetapi, merupakan hukum-hukum yang dibuat belakangan yang dimaksudkan untuk menambal keburukannya.[3]
Akan tetapi, kegagalan kapitalisme bukanlah alasan utama umat Islam menggunakan sistem ekonomi Islam, karena alasan utamanya adalah karena kesadaran akan hubungan dengan Allah[4] yang telah memerintahkan umat Islam untuk memperhatikan dan menjadikan al-Quran dan Hadis sebagai pedoman dan solusi, bukan mengikuti asumsi dan konsep politik ekonomi kapitalisme yang keliru dan telah terbukti gagal. Karena itulah, perlu diketaui konsep politik ekonomi dalam pandangan al-Quran dan  Hadis tersebut.
           
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah sebelumnya, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagaimana berikut:
1.    Bagaimana konsep politik ekonomi dalam pandangan al-Quran dan Hadis?
2.    Bagaimana implementasi politik ekonomi menurut al-Quran dan Hadis dalam teori ekonomi?






BAB II
KAJIAN TEORITIS

A.  Definisi Politik Ekonomi
Politik ekonomi terdiri dari kata politik dan ekonomi. Kata politik mulanya berasal dari bahasa Yunani dan Latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.[5] Dalam kamus Littre sebagaimana dikutip Hamid, politik adalah ilmu memerintah dan mengatur negara. Sedangkan dalam kamus Robert, politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.[6] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Juga dalam arti kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[7]
Adapun menurut Asad, politik adalah menghimpun kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan; mengawasi dan mengendalikan kekuatan; dan menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya. Sedangkan Catlin mendefinisikan politik sebagai studi tentang kontrol, yaitu tindakan kontrol manusia atau kontrol masyarakat.[8]
Dari definisi politik yang berbeda tersebut dapat ditarik benang merah bahwa politik sebagai pengaturan urusan masyarakat oleh kekuasaan negara maupun oleh masyarakat itu sendiri.[9]
Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan sitilah siyasah, seperti dalam buku-buku ulama salaf dikenal dengan siyasah syar’iyah. Sedangkan kata siyasah itu sendiri berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti qama ‘alaihi wa radhaha wa addabaha yang berarti mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya.[10]
Rasulullah sallallahu ‘alahi wa sallam  menggunakan kata politik (تَسُوْسُ) dalam sabdanya:

كَانَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْل تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَ إِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
Dulu Bani Israil diurusi (urusannya) oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantikanya. Tidak ada nabi setelahku. Akan tetapi, akan ada banyak khalifah (HR Bukhari dan Muslim).

Jelaslah bahwa istilah politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Dengan demikian, politik berarti pengaturan urusan masyarakat.
Adapun ekonomi (economy) berasal dari bahasa Latin: oikonomia. Oikonomia berasal dari kata oikos yang berarti rumah tangga dan nomos yang berarti mengatur. Jadi, secara literal ekonomi artinya mengatur rumah tangga. Sedangkan dalam literatur bahasa Arab, ekonomi dikenal dengan iqtishadi yang berasal dari kata iqtashada-yaktashidu-iqtishadan yang berarti niat, maksud, tujuan, jalan yang lurus, penghematan, kesederhanaan.[11]
Secara terminologi, istilah ekonomi mempunyai konotasi mengurus harta kekayaan, baik dengan memperbanyak kuantitasnya maupun menjamin pengadaannya. Dalam konteks ini, dibahas dalam ilmu ekonomi. Adakalanya mengurus harta kekayaan tersebut bukan memperbanyak kuantitasnya maupun menjamin pengadaannya, tetapi terkait dengan mekanisme pendistribusiannya. Dalam konteks ini, dibahas dalam sistem ekonomi.[12]
Dari definisi politik dan ekonomi sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi adalah pengaturan urusan masyarakat dalam harta kekayaan.
Adapun menurut an-Nabhani, politik ekonomi (economic policy, kebijakan ekonomi) adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia.[13]
Dari berbagai definisi yang ada dapat ditarik simpulan bahwa politik ekonomi adalah pengaturan, kebijakan, atau strategi ekonomi berdasarkan hukum tertentu yang digunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan urusan manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah pengaturan, kebijakan atau strategi ekonomi berdasarkan hukum Islam (syariah) yang digunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan urusan manusia.[14]

B.  Politik Ekonomi Islam
Sebagaimana telah disebutkan bahwa politik ekonomi Islam adalah pengaturan, kebijakan atau strategi ekonomi berdasarkan hukum Islam (syariah) yang digunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan urusan manusia. Adapun politik ekonomi Islam menurut an-Nabhani adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang dengan pemenuhan secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan skunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai orang yang hidup dalam sebuah masyarakat (society) yang memiliki (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primer (basic needs)-nya dengan pemenuhan secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan skunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam interaksi  tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan (life style) tertentu pula.[15]
Politik ekonomi Islam selalu mengacu kepada problem utama ekonomi, yakni jaminan terpenuhinya semua kebutuhan primer (basic needs) tiap individu masyarakat serta kemungkinan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya. Politik ekonomi Islam tidak ditujukan untuk sekadar meningkatkan GNP. Akan tetapi, agar setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, sekaligus jika memungkinkan mereka dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya.[16]
Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primer (basic needs)-nya dengan pemenuhan secara menyeluruh. Baru, berikutnya Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan skunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam interaksi  tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan life style tertentu pula.[17]
Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut. Politik ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran manusia dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya hak hidup tiap orang. Akan tetapi, politik ekonomi Islam adalah semata-mata merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi tiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai dengan interaksi-interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya di dalamlife style tertentu. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tentu berbeda dengan politik ekonomi yang lain.[18]
Islam, ketika mensyari'atkan hukum-hukum ekonomi kepada manusia, Islam telah mensyari'atkan hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Sedangkan pada saat mengupayakan terjamin-tidaknya hak hidup serta tercapai-tidaknya suatu kemakmuran, Islam telah menjadikan semuanya harus direalisasikan dalam sebuah masyarakat yang memiliki life style tertentu. Karena itu, Islam memperhatikan hal-hal yang menjadi tuntutan masyarakat, pada saat melihat terjamin-tidaknya kehidupan serta mungkin-tidaknya tercapainya suatu kemakmuran. Islam, bahkan, telah menjadikan pandangannya kepada apa yang dituntut oleh masyarakat sebagai asas dalam memandang kehidupan dan kemakmuran.[19]
Oleh karena itu, hukum-hukum syara' telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer (basic needs) tiap warga negara Islam secara menyeluruh, seperti sandang, papan dan pangan. Caranya adalah dengan mewajibkan bekerja bagi tiap laki-laki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs)-nya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut sudah tidak mampu bekerja, maka Islam mewajibkan kepada anak-anaknya serta ahli warisnya --untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Atau, bila yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, maka baitul mal-lah yang wajib memenuhinya.[20]
Dengan demikian, Islam telah menjamin tiap orang secara pribadi, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, yaitu pangan, sandang, dan papan. Islam juga mendorong orang tersebut agar bisa menikmati rizki yang halal serta mengambil hiasan hidup di dunia sesuai dengan kemampuannya. Islam juga melarang negara untuk mengambil harta orang tersebut sebagai pajak, meski hal itu merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin, selain dari sisa pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, yang memang dia penuhi secara langsung dalam standar hidupnya yang wajar, meskipun hal itu merupakan kebutuhan skunder atau tersiernya.
Oleh karena itu, Islam telah menjamin terpenuhinya hak hidup tiap orang secara pribadi serta memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk memperoleh kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama, Islam telah membatasi pemerolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer (basic needs) serta kebutuhan skunder dan tersiernya dengan ketentuan yang khas, termasuk menjadikan interaksi orang tersebut sebagai interaksi yang mengikuti life style yang khas pula.[21]
Berikut ini merupakan garis-garis besar politik ekonomi Islam:[22]
1.    Negara khilafah mendistribusikan pendapatan bersih (profit) dari kepemilikan umum kepada individu-individu rakyat dalam bentuk zatnya atau dalam bentuk pelayanan sejak mereka lahir.
2.    Negara khilafah memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok kaum fakir (pangan, papan, dan sandang) dengan cara menyediakan lapangan kerja bagi orang yang mampu di antara mereka; dan dengan cara memberi bagi orang yang tidak mampu atau yang tidak mendapatkan pekerjaan. Negara khilafah memberi mereka dari harta zakat, harta kepemilikan umum, dan dari harta milik negara yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka.
3.    Negara khilafah memberi sebagian kecil orang kaya dari harta milik negara dan tidak diberikan kepada sebagian besar dari orang-orang kaya. Hal ini untuk mewujudkan keseimbangan di tengah masyarakat dan memperkecil perbedaan kepemilikan harta di antara masyarakat.
4.    Negara khilafah memberi utang tanpa riba dari berbagai direktorat baitul mal kepada mereka yang membutuhkan di bidang pertanian, industri, dan perdagangan.
5.    Negara khilafah melarang semua muamalah batil. Apabila terdapat akad yang tidak memenuhi syarat-syarat akad dan syarat-syarat sah seperti perusahaan multinasional, perseroan terbatas, perusahaan asuransi, dan lain-lain.
6.    Negara khilafah melarang jual beli, perdagangan dalam dan luar negeri terhadap komoditas yang tidak dimiliki dan belum diserahterimakan seperti yang berlangsung di bursa saham. Negara juga melarang tanjusy, yaitu spekulasi untuk mendongkrak harga.
7.    Negara khilafah melarang pertukaran emas, perak, dan seluruh jenis mata uang yang tanpa serah terima dalam pertukaran dua jenis yang berbeda; dan yang tanpa serah terima dan kuantitas yang semisal untuk pertukaran dua jenis yang sama, sebagaimana yang terjadi di pasar-pasar saat ini.
8.    Negara khilafah melarang kartu kredit yang bersifat ribawi, melarang beredarnya surat-surat berharga dan obligasi yang bersifat ribawi, dan melarang perdagangan saham yang batil.
9.    Direktorat-direktorat kontrol dan supervisi melakukan kontrol dan pengetatan bagi setiap orang yang ceroboh, rusak, penipu, penimbun, orang yang memperdagangkan harta haram, penjudi, pelaku kecurangan atau koruptor. Kemudian penerapan sistem ini dalam negara khilafah tidak akan berubah dan berganti menurut perubahan pemikiran dan selera penguasa. Sebaliknya sistem ini merupakan sistem yang telah diwajibkan oleh Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam), diterapkan dengan dorongan ketakwaan dan keadilan syariat, dalam negara yang melakukan pengurusan harta bukan negara pemungut harta. Jika semua politik ekonomi Islam di atas dilakukan, maka sistem ini akan benar-benar menjadi sistem yang mampu menjamin kehidupan ekonomi yang aman, adil, dan bebas krisis.

Penerapan politik ekonomi Islam tentu membutuhkan dana. Dana tersebut dikelola oleh baitul mal sebagai mengatur penerimaan dan pengeluaran negara (mengatur APBN).[23]
Sebagai lembaga negara yang mandiri, terpisah dari lembaga negara lainnya, dan langsung berada di bawah khalifah, baitul mal dipimpin oleh seorang wali al-kharaj yang menjadi pelaksana harian baitul mal. Ia membawahi divisi penerimaan, divisi pengeluaran dan wali baitul mal wilayah yang berkedudukan di wilayah (provinsi).[24]
Tata kelola anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: 1. kaidah pengalokasian belanja negara, 2. pos pembiayaan belanja wajib, dan 3. kaidah mendapatkan pembiayaan belanja wajib. Lebih jauh akan diuraikan dalam bab V Implementasi.

















BAB III
PEMBAHASAN

Landasan Politik Ekonomi Islam dalam al-Quran dan Hadis

Landasan politik ekonomi Islam sumber utamanya dari al-Quran, sedangkan Hadis merinci keglobalan penjelasan dalam al-Quran tersebut.
Allah SWT berfirman:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya (QS. Al-Hasyr: 7).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan bahwa maksud ayat di atas menjelaskan tentang makna fai’, sifat, dan hikmahnya. Fai’ adalah segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa mengerahkan kuda dan unta.[25]
Menurutnya Ali Al-Shabuni, penggalan ayat (مَاأَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى) maksudnya adalah sesuatu yang Allah jadikan ghanimah bagi Rasul dari harta-harta orang-orang kafir tanpa peperangan. Ibnu Abbas berkata: “yakni harta orang kafir (Yahudi) bani Quraizhah, Nadhir, Fadak, dan Khaibar”. Maksud (فَلِلَّهِوَلِلرَّسُولِ) bahwa hukumnya milik Allah yang Dia tetapkan menurut kehendak-Nya, bagi Rasul untuk kepentingan beliau sendiri dan kemaslahatan kaum muslim. Maksud (وَلِذِيالْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ), yakni untuk orang terdekat Rasul dari bani Hasyim, Abdul Muthalib, bagi anak yatim, bagi orang-orang miskin yang membutuhkan dan fakir, (وَابْنِ السَّبِيلِ) yakni bagi orang asing dalam perjalanannya, berkata dalam at-tashil:
Makna “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, jelas Ibnu Katsir rahimahullah, yakni Kami (Allah) jadikan pengaturan harta fai’ ini agar pemanfaatannya tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai kehendak dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta sedikitpun tersebut kepada fakir miskin.[26]
Abdurrahman bin Nashir  Al-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa dalam ayat di atas Allah menetapkan ketentuan dan hanya membatasi harta fai’ untuk golongan-golongan yang telah ditetapkan. Adapun maksud “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang kaya di antara kalian”, yakni beredar dan menjadi kekhususan di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Sebab andai Allah ta’ala tidak menetapkan ketentuan di atas, tentu hanya orang-orang kaya saja yang akan memutar uang dan orang-orang lemah tidak akan mendapatkan sedikit pun, yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala.[27]
Ali Al-Shabuni menjelaskan maksud (كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ) yakni agar harta itu tidak dinikmati oleh yang mampu saja tanpa dinikmati oleh fuqara, orang yang membutuhkan, dengan besarnya kebutuhan fuqara terhadap harta, Imam Qurthubi berkata: yang kami lakukan itu agar para pemimpin dan orang-orang kaya di antara mereka tidak membagi harta tanpa memperhatikan mereka, yakni fuqara dan dhuafa, karena kaum jahiliyah jika mendapatkan harta rampasan perang, pemimpin mereka mengambil seperempat bagian bagi dirinya dan memilih harta itu sekehendaknya. Para mufasir berkata: sesungguhnya Rasul membagi harta bani Nadhir untuk kaum Muhajirin yang ketika itu mereka dalam keadaan fakir, dan beliau tidak memberikan harta itu kepada kaum Anshar sedikit pun karena mereka ketika itu dalam keadaan mampu (berkecukupan). Maka, sebagian kaum Anshar berkata: Kami berhak (memiliki andil) atas harta fai’ itu. Maka Allah menurunkan ayat ini (وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ), yakni yang diperintahkan oleh Rasul, maka penuhilah (laksanakanlah) dan yang ia larang, maka tinggalkanlah (jauhilah), karena sesungguhnya ketika beliau memerintahkan kalian pada setiap perkara yang baik maslahat dan melarang melarang setiap keburukan dan kerusakan (fasad). Para mufasir berkata: ayat itu meskipun diturunkan berkaitan dengan masalah fai’, tetapi sebetulnya umum dalam setiap hal yang diperintahkan Rasul atau dilarangnya dari perkara perkara wajib, sunnah, mubah atau haram, termasuk dalam masalah fai dan masalah lainnya.[28]
Menurut Sayyid Tahir, ayat ini mengandung  prinsip umum tentang  pemberantasan konsentrasi  kekayaan atau dengan kata lain menjaga ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang dapat ditoleransi.[29] Merujuk pada ayat ini, Zaki Fuad Chalil menjelaskan bahwa konsentrasi kekayaan dan harta pada seseorang atau kelompok orang kaya (kapitalis) tidak dibenarkan sama sekali. Islam melarang hal itu dilakukan karena kekuatan terpusat secara lahiriah akan mengendalikan kehidupan orang banyak, menjadi penentu harga barang, dan menjadi pengatur hidup manusia. Orang miskin selalu diliputi rasa curiga dengan kekayaan yang dimiliki orang kaya. Kecemburuan sosial semacam ini merupakan benih awal yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis, dan dapat mengancam keutuhan tatanan masyarakat. Demikian pula halnya dengan harta kekayaan apabila tidak tersebar  secara merata dalam masyarakat dan terkonsentrasi pada segelitir kelompok tertentu akan mempercepat timbulnya berbagai gejolak dan ekses negatif lainnya yang disebabkan oleh ketidakmerataan, dan eksploitasi yang terjadi.[30]
Hal yang sama juga bermakna bahwa apabila harta kekayaan terkonsentrasi pada seseorang akan menghambat pertumbuhan ekonomi karena kekayaan yang ada tidak dimanfaatkan sebagai modal usaha membantu mereka yang membutuhkan sehingga menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan di tengah masyarakat di samping meningkatnya pengangguran, karena terbatasnya kesempatan berusaha.[31]
Dalam menjelaskan kedudukan fai’  sebagai sumber penerimaan negara di samping sumber penerimaan negara lainnya (zakat dan ghanimah) dan juga keterangannya tentang politik distribusinya, Jabirah bin Ahmad Al-Haritsi mengutip perkataan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu:[32]
“... kemudian dia (Umar radhiyallahu ‘anhu) membaca ayat, “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin... (At-Taubah: 60)  sampai akhir ayat. Lalu dia berkata: “Ini zakat bagi mereka”. Kemudian dia membaca ayat, “ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, ...(Al-Anfal: 41) sampai akhir ayat. Lalu dia berkata: “ini (ghanimah) bagi mereka”. Kemudian dia membaca, “apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-nya yang berasal dari penduduk kota-kota ... (Al-Hasyr: 7) sampai akhir ayat. Kemudian dia berkata: “Ini fai’ untuk mereka. Lalu dia membaca ,“(juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman ...” (al-Hasyr: 8) sampai akhir ayat. Lalu dia berkata:”mereka adalah sahabat muhajirin!” Kemudian dia membaca, “dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum mereka...”(Al-Hasyr: 9) sampai akhir ayat. Lalu dia berkata: “Mereka adalah orang-orang Anshar!” Kemudian dia membaca:” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami....” (al-Hasyr: 10) sampai akhir ayat. Lalu dia berkata: “ayat fai’ ini mencakup seluruh manusia, dan tidak tersisa seorang pun dari kaum muslimin melainkan dia memiliki hak dalam harta ini (baitul mal), kecuali sebagian orang yang kamu miliki dari hamba-hamba sahaya kamu. Karena itu, jika aku hidup, insya Allah, tidak akan tersisa seorang pun dari kaum muslimin melainkan akan datang kepadanya haknya, hingga penggembala kambing di Sarwahimyar pun datang kepadanya haknya, dan dia tidak berkeringat keningnya,”
Dalam atsar tersebut, Umar radhiyallahu ‘anhu menyebutkan tiga kelompok harta, yaitu zakat, ghanimah, dan fai’. Pembagian zakat adalah delapan kelompok manusia yang disebutkan dalam surat At-Taubah: 60 berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. at-Taubah: 60).

Ghanimah dibagikan kepada mereka yang telah ditentukan oleh surat al-Anfal: 41 berikut:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[613], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (al-Anfal: 41).

Fai’ yang darinya dilakukan “pemberian”. Pemberian di sini secara terminologi adalah sesuatu yang diberikan pemerintah (imam) dari baitul mal kepada rakyatnya karena keberhakan mereka sesuai dengan yang ditetapkan kepada mereka dalam catatan negara yang diberikan kepada mereka dalam waktu tertentu.[33]
Dalam hadits Abu Daud disebutkan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ اللُّؤْلُؤِيُّ أَخْبَرَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ حِبَّانَ بْنِ زَيْدٍ الشَّرْعَبِيِّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَرْنٍ وَ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا أَبُو خِدَاشٍ وَهَذَا لَفْظُ عَلِيٍّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا أَسْمَعُهُ يَقُولُ الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah berperang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiga kali, aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam tiga hal; rumput, air, dan api" (HR. Abu Daud).
            Redaksi senada terdapat dalam Hadis lain:
عَنْأَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُمْنَعُ المَالُ وَ النَّارُ وَالكَلاَءُ
Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Tidak akan pernah dilarang air, padang rumput, dan api".
Juga dalam redaksi lain:
قَالَالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Bahwasannya Nabi bersabda: “Manusia itu berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api (HR. Ibnu Majah).
Para ahli hukum Islam mengidentifikasikanya: al-mā’ yaitu air yang mengalir di sungai dan di lautan, al-kala’ yaitu hutan, padang rumput atau tanah yang tak bertuan dan tak terpakai, sedang an-nar adalah sumber energi berupa api, listrik, dan sebagainya. Semuanya sebagai kebutuhan pokok masyarakat yang harus dikuasai oleh negara atau yang mempunyai otoritas dan kekuasaan dalam suatu wilayah.[34]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya (al-Mulk: 15).

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS al-Jumuah: 10).

            Menurut Abdurrahman al-Maliki, kedua ayat tersebut menunjukkan kebolehan kepemilikan dan berproduksi bagi setiap individu.[35]

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ :" لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلا بِطِيبِ نَفْسِهِ 
Diriwayatkan dari Anas bahwasannya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal (mengambil) harta milik orang Islam, kecuali atas kerelaan darinya” (HR. Ahmad).
           
Masih menurutnya, Hadis ini menunjukkan bahwa syara’ mengharamkan negara dan lainnya menguasai harta benda individu rakyat dengan kekuasaannya dan dengan alasan apa pun.[36]   
Dari ungkapan ayat dan Hadis di atas dapat dipahami bahwa pesan )moral( yang terkandung dari ayat-ayat dan Hadis-hadis tersebut di atas; pertama, sarana dan prasarana hidup ini (wasilah al-hayāh) diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Kedua, semua orang berhak untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan tersebut. Ketiga, tidak boleh diskriminatif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber harta tersebut. Keempat, tidak boleh ada hak monopoli yang diberikan kepada individu, perorangan, suku, agama, dan golongan dalam mendapatkan dan mencari harta dari sumbernya, yaitu bumi dan segala sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Kelima, sumber – sumber harta berupa air, rumput, dan api pada hakikatnya milik bersama dan semua orang berhak untuk mendapatkannya, tidak boleh sekelompok orang menguasai secara semena-mena.[37]
Jadi, Allah SWT telah memberikan panduan di dalam firmannya tentang kepemilikan harta, agar umat manusia sadar dan insaf harta itu hanya milik Allah dan manusia diberikan hak untuk mengelolanya secara baik untuk kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Begitu juga Allah memperingatkan agar jangan sampai memiliki harta dengan serakah dan melanggar ketentuan yang telah disyariatkan. 
Lebih jauh Taqiyudin an-Nabhani menjelaskan bahwa Islam telah menjadikan ide dasar ekonominya berpijak pada upaya untuk menjalankan aktivitas perekonomian dengan berpegang kepada perintah dan larangan Allah yang didasarkan pada kesadaran adanya hubungan manusia dengan Allah. Dengan kata lain, Islam telah menjadikan ide yang dipergunakan untuk membangun pengaturan urusan kaum muslimin dalam suatu masyarakat dalam kehidupan ini adalah menjadikan aktivitas perekonomian tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh hukum-hukum syara', sebagai suatu aturan agama. Islam juga telah menjadikan pengaturan urusan rakyat atau mereka yang memiliki kewarganegaraan atau menjadikan aktivitas perekonomian tersebut, terikat dengan hukum-hukum syara' sebagai suatu perundang-undangan, sehingga mereka diberi kebolehan sesuai dengan apa yang telah diperbolehkan oleh Islam kepadanya yang mereka juga terikat dengannya.[38]
Dengan demikian nampaklah, bahwa politik ekonomi Islam tersebut telah dibangun dengan berpijak kepada asas terpenuhinya kebutuhan tiap orang sebagai individu yang hidup dalam suatu masyarakat (society) tertentu, serta asas bekerja untuk mendapatkan kekayaan dalam rangka memenuhi apa saja yang bisa memuaskan kebutuhan. Maka, politik ekonomi Islam tersebut sebenarnya berdiri di atas satu konsep, yaitu menjalankan tindakan ekonomi berdasarkan hukum syara' yang diterapkan oleh tiap orang dengan dorongan ketakwaan kepada Allah serta dilaksanakan oleh negara, dengan melalui pembinaan dan pengundang-undangan hukum syara' (yang bersumber dari al-Quran dan Hadis).[39]

              

BAB IV
IMPLEMENTASI POLITIK EKONOMI DALAM KEBIJAKAN FISKAL

Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, kunci permasalahan ekonomi terletak pada distribusi kekayaan yang adil, maka yang harus dijelaskan adalah metode untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil melalui kebijakan fiskal, sebagaimana Allah firmankan dalam QS. al-Hasyr [59]: 7 ("… Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …").
Dalam Islam, kebijakan fiskal hanyalah salah satu mekanisme untuk menciptakan distribusi ekonomi yang adil. Karenanya kebijakan fiskal tidak akan berfungsi dengan baik bila tidak didukung oleh mekanisme-mekanisme lainnya yang diatur melalui syariat Islam, seperti mekanisme kepemilikan, mekanisme pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan, dan mekanisme kebijakan ekonomi negara. Dengan kata lain, syariat Islam harus diterapkan secara menyeluruh (kaffah) tanpa dipilah-pilah (parsial) agar syari'ah mechanism dapat dengan sempurna mengatur distribusi ekonomi yang adil. Adapun peranan kebijakan fiskal sebagai salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian merupakan konsekuensi logis dari kewajiban syariat sebagai jawaban atas salah satu realitas yang menunjukkan bahwa tidak semua warga negara memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dalam ekonomi konvensional dikenal sebagai masalah "eksternalitas" dan kegagalan pasar (market failure).[40]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, politik ekonomi yang mendasari kebijakan fiskal Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu secara menyeluruh dan mendorong mereka memenuhi berbagai kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Menurut al-Maliki kebutuhan pokok yang disyariatkan oleh Islam terbagi dua. Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Kedua, kebutuhan-kebutuhan pokok bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini adalah keamanan, kesehatan, dan pendidikan.[41]
Dari politik ekonomi ini dapat dijabarkan arah kebijakan fiskal Islam sebagai berikut:[42]
Pertama, negara Islam melihat permasalahan kemiskinan yang harus dipecahkan adalah kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara.
Kedua, negara Islam menempatkan masalah kemiskinan sebagai masalah ekonomi yang krusial dan mendesak untuk dipecahkan.
Ketiga, kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan secara langsung diarahkan kepada individu, yakni setiap warga negara yang masuk katagori miskin.
Keempat, kebijakan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal berupa jaminan pemenuhan akan pangan, sandang, dan papan khusus ditujukan kepada warga negara miskin yang kepala keluarga dan ahli warisnya tidak mampu lagi memberikan nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Sedangkan warga negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara. Selanjutnya intervensi negara dalam pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan, kesehatan, dan pendidikan (public utilities) secara cuma-cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang apakah warga tersebut dari golongan kaya atau tidak. Artinya dalam katagori ini subsidi diberikan kepada seluruh rakyat.
Kelima, negara memahami bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan kekayaan dan meningkatkan kekayaan yang dimilikinya asalkan diperoleh dengan jalan yang dibenarkan syara'. Karena itu, negara Islam melakukan intervensi dengan tujuan mendorong warga masyarakat memperoleh kekayaan yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya secara ma'ruf sesuai dengan kemampuan warga itu sendiri. Bentuk-bentuk intervensi ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi warga masyarakat setempat. Maksudnya pola kebijakan yang diterapkan tidak pukul rata dan tidak sentralistik, tetapi bersifat bottom up sesuai kondisi dan harapan warga masyarakat setempat. Intinya pola kebijakan yang diterapkan ditujukan untuk mencapai kemaslahatan warga masyarakat.
Keenam, intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pada level makro ini harus diturunkan (dijabarkan) ke dalam level mikro yang bersentuhan langsung dengan aktivitas ril ekonomi masyarakat. Karena itu, agar efek fiskal berdampak positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat secara luas dan menyeluruh, pemerintah harus mengembangkan pola-pola kebijakan (skema) mikro yang bottom up dengan menyesuaikannya dengan potensi, kondisi, dan aspirasi warga masyarakat. Dari sisi permodalan negara dapat mengembangkan pola pinjaman tanpa bunga, subsidi, atau pola patnership seperti mudharabah dan musyarakah. Di sisi lain negara juga harus menyediakan infrastruktur, sarana, dan prasarana yang menunjang kegiatan produksi, jasa, dan perdagangan masyarakat, seperti listrik, sarana komunikasi, jalan umum dan sarana transportasi, serta bangunan pasar. Juga negara harus memberikan kemudahan akses bahan baku, menyediakan informasi dan membantu pemasaran, termasuk memperkerjakan tenaga ahli dan konsultan untuk melatih dan membentuk jiwa wirausaha (interprenurship) ataupun keahlian teknis bagi para pekerja.
Ketujuh, negara harus mampu menjalankan politik pertanian dan politik industri yang sesuai tuntutan syara' untuk mencapai kemandirian ekonomi. Sebab penguasaan dua pilar perekonomian ini sangat menentukan kekuatan ekonomi nasional dari segi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan pasokan alat-alat pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian, dan pasokan mesin-mesin pabrik dan industri.
Kedelapan, negara Islam wajib mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berbagai kepentingan dan urusan masyarakat terpenuhi dengan lancar.
Kesembilan, agar pejabat dan aparatur negara (termasuk tenaga ahli yang dikontrak pemerintah) dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, dan juga supaya kewenangan yang mereka miliki tidak disimpangkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, maka negara wajib memberikan santunan dan gaji yang layak kepada mereka.
Kesepuluh, sebagaimana yang dipaparkan Zallum bahwa kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi dalam tataran ekonomi, tetapi juga untuk pertahanan dan keamanan, serta penyebaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena itu kebijakan fiskal Islam juga difokuskan untuk mendukung dan menjaga kesinambungan (sustainability) dakwah islamiyah dan jihad fi sabilillah.
Penerapan politik ekonomi Islam tentu membutuhkan dana yang besar. Itulah peran penting baitul mal. Baitul mal adalah bagian dari struktur sistem pemerintahan khilafah islamiyah yang bertugas mengatur penerimaan dan pengeluaran negara (APBN) sesuai syariah Islam untuk menyejahterakan rakyat secara menyeluruh, orang per orang.[43]
Sebagai lembaga negara yang mandiri, terpisah dari lembaga negara lainnya, dan langsung berada di bawah khalifah, baitul mal dipimpin oleh seorang wali al-kharaj yang menjadi pelaksana harian baitul mal. Ia membawahi divisi penerimaan, divisi pengeluaran dan wali baitul mal wilayah yang berkedudukan di wilayah (provinsi).[44]
Tata kelola anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: 1. kaidah pengalokasian belanja negara, 2. pos pembiayaan belanja wajib, dan 3. kaidah mendapatkan pembiayaan belanja wajib. Penjelasannya sebagaimana berikut:[45]
1. Kaidah pengalokasian belanja negara.
Ditinjau dari jensi harta, pos-pos penerimaan negara khilafah terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama terdiri bagian fai’ dan kharaj yang menghimpun pemasukan dari ghanimah, fai’, anfal, khumus anfal, kharaj, jizyah, harta milik negara, ‘usr[46], harta ilegal penguasa, pejabat dan pegawai sera harta yang diperoleh dengan tindakan curang lainnya, khumus barang temuan dan tambang yang jumlahnya terbatas, harta waris yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad, dan harta dari pungutan dharibah. Bagian kedua adalah bagian pemilikan umum yang menghimpun pemasukan dari hasil-hasil pengelolaan harta milik umum. Bagian ketiga, bagian shadaqah atau zakat yang menghimpun harta zakat.
Perbedaan jenis harta ketiga bagian penerimaan negara itu, memberikan batasan kepada khalifah dalam melakukan kebijakan keuangan negara.
Batasan pertama, khalifah tidak boleh mencampuradukkan ketiga bagian penerimaan tersebut baik dari sisi pencampuran harta maupun dari sisi administrasi pembukuan.
Batasan kedua, khalifah tidak diperkenankan mengalokasikan anggaran ke pos-pos yang memang tidak memiliki hak terhadap bagian penerimaan tertentu.
Batasan ketiga, pelebaran alokasi pembiayaan dari suatu bagian penerimaan negara ke pos-pos pengeluaran yang dibiayai oleh bagian penerimaan negara lainnya dibolehkan jika ada kondisi-kondisi tertentu yang memenuhi ketentuan syariah, misalnya kas baitul mal kosong atau tidak mencukupi untuk membiayai belanja wajib yang sifatnya mendesak, kecuali bagian zakat yang memang sudah dibatasi alokasi pembelanjaannya oleh syariah yang tidak boleh dilanggar.
Berdasarkan ketiga batasan tersebut, maka alokasi penerimaan baitul mal adalah sebagai berikut:
a.         Bagian Fai’ dan Kharaj mengalokasikan untuk pos-pos pengeluaran berikut: seksi dar al-khilafah, seksi mashalih ad-dawlah, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat serta seksi anggaran belanja negara, pengendalian umum dan badan pengawas keuangan.
b.        Bagian Kepemilikan umum dialokasikan pada pos-pos pengeluaran seksi kepemilikan umum. Kemudian seiring dengan meluasnya tanggung jawab negara dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi, maka alokasinya diperluas pada pos-pos berikut: seksi dar al-khilafah, seksi mashalih ad-dawlah/pelayanan publik, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat/bencana alam, dan seksi anggaran belanja negara, pengendalian umum dan badan pengawas.
c.         Bagian Shadaqah. Alokasi pengeluaran negara dari sektor ini didasarkan pada QS at-Taubah ayat 60. Fungsi negara dalam sektor ini adalah menarik zakat dari orang-orang yang telah wajib zakat. Kemudian oleh negara, harta zakat yang terkumpul di baitul mal disalurkan kepada 8 (delapan) golongan yang berhak menerimanya yaitu orang fakir, orang miskin, para‘amilin zakat, mualaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil.
2. Kemutlakan pembiayaan belanja wajib
Anggaran belanja wajib merupakan anggaran pada pos-pos pengeluaran negara yang menurut syariah wajib ada (mutlak), artinya negara (pemerintah) wajib memenuhi belanja tersebut. Menurut an-Nabhani, pos-pos belanja negara yang masuk kategori wajib, pembiayaanya tidak bergantung pada ada-tidaknya kas di pos penerimaan negara yang menutupinya. Jika sumber-sumber penerimaan rutin tidak mampu membiayainya, sementara diperkirakan pos-pos belanja wajib tersebut bila tidak dibiayai dapat menimbulkan bencana bagi masyarakat, maka negara harus mencari jalan agar secepatnya pos belanja tersebut tertutupi.
Secara garis besar Abdul Qadim Zallum membagi pos belanja wajib dalam 6 kategori, yaitu pembiayaan: (1) Jihad dan semua perangkat yang diperlukan untuk jihad. Pembiayaan ini disebut juga belanja pertahanan keamanan, (2) Industri militer dan industri strategis serta pabrik-pabrik penunjangnya, (3) Santunan fakir-miskin dan ibnu sabil, (4) Santunan para pejabat negara, pembayaran gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru dan dosen dan lain-lainnya yang pekerjaan melayani masyarakat, (5) Untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup umat yang sifatnya sangat dibutuhkan seperti rumah sakit, sekolah, universitas, jalan raya, air bersih, listrik, masjid, bandara dan lain-lain, (6) Untuk keadaan darurat (bencana).
3. Kaidah pembiayaan belanja wajib
Kebijakan fiskal Islam bersandar pada prinsip mendahulukan anggaran wajib dan mewajibkan negara mengadakan sumber-sumber pembiayaan anggaran belanja wajib. Namun, jika semua sumber keuangan yang dimiliki negara telah dialokasikan ke belanja wajib tetapi belum mencukupi, maka kewajiban tersebut beralih menjadi kewajiban seluruh rakyatnya. Ada 5 (lima) langkah pokok yang dapat ditempuh negara dalam mencari solusi pembiayaan belanja wajib yang tidak dapat dipenuhi oleh sumber-sumber penerimaan dari harta milik negara, yaitu:
a.         Memperluas pemasukan dari sumber-sumber kepemilikan umum, misalkan: jalur lintas pipa dan serat optik laut, penyewaan jaringan satelit yang tidak membahayakan keamanan negara dan letak Indonesia yang strategis memungkinkan Selat Malaka dan beberapa tempat lainnya sebagai pelabuhan dan bandara transit dengan menghasilkan pendapatan yang tidak sedikit.
b.        Mengutamakan pengalokasian harta zakat untuk fakir-miskin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah di pos belanja wajib.
c.         Seandainya langkah pertama dan kedua belum dapat menutupi belanja wajib, pemerintah dapat memobilisasi rakyatnya agar menginfakkan sebagian hartanya untuk mengatasi kekurangan anggaran.
d.        Negara meminjam dana kepada masyarakat (yang bebas riba, tidak menyebabkan kehinaan dan ketundukan kepada orang kafir) baik dari individu maupun perusahaan swasta, tentunya akan dikembalikan ketika negara dalam kondisi surplus.
e.         Jika belum juga mencukupi, maka negara dapat memungut dharibah dari kaum muslim laki-laki yang kaya dari kelebihan harta mereka.
Lebih jauh sebagai implementasi terkait dengan pendanaan, dapat dijelaskan gambaran struktur dan postur APBN Khilafah (APBNK) untuk Indonesia sebagai berikut:[47]
1.    Penerimaan
Secara numerik, penerimaan APBNK untuk Indonesia dapat dirinci berdasarkan masing-masing bagian sebagaimana dalam tabel 1. Sementara bagian fai  dan kharaj serta bagian shadaqah tidak dimasukkan dahulu.

Tabel 1 Besaran Penerimaan
Penerimaan
Jumlah pemasukan (dalam juta dinar)


Bagian Kepemilikan Umum

-Minyak
121,5
-Gas
178,9
-Batubara
127,5
-Emas & mineral logam lainnya
33,5
-BUMN kelautan
48,9
-Hasil hutan
666,0


Jumlah Total Penerimaan
1176,3

Dari tabel tersebut diperoleh data bahwa APBNK melalui minyak sebesar 121.500.000 dinar, gas sebesar 178.900.000 dinar, batubara sebesar 127.500.000 dinar, emas dan mineral logam lainnya sebesar 33.500.000 dinar, BUMN kelautan sebesar 48.900.000 dinar, dan hasil hutan sebesar 666.000.000 dinar. Total penerimaan APBNK sebesar 1.176.300.000 dinar. Jika dikurskan dengan mata uang rupiah, maka total penerimaan APBNK adalah 2.000.000 x 1.176.300.000 dinar = Rp 2.352.600.000 (dua ribu tiga ratus lima puluh dua triliun enam ratus miliar rupiah).[48] Jumlah ini akan lebih besar lagi jika bagian fai’ dan kharaj serta bagian shadaqah dimasukkan dalam penerimaan.

2.    Pengeluaran
Untuk pengeluaran yang dibutuhkan oleh APBNK ini dapat diuraikan dalam tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Besaran Pengeluaran
Pengeluaran
Jumlah pengeluaran (dalam juta dinar)
Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk
167,9
Kompensasi

-Layanan hankam & jihad
41,7
-layanan pemerintahan dan peradilan
30,8
-layanan pendidikan
180,0
-layanan kesehatan
55,8
Maslahat vital (infrastruktur dan fasilitas umum)
143,1
Cadangan kebencanaan dan perang
33,3
Maslahat lainnya
13,2
Jumlah total pengeluaran
666

            Dari tabel tersebut terdapat angka pembiayaan yang dibutuhkan oleh APBNK untuk Indonesia. Pengentasan kemiskinan 50% penduduk sebesar 167.900.000 dinar, layanan hankam dan jihad sebesar 41.700.000 dinar, layanan pemerintahan dan peradilan sebesar 30.800.000 dinar, layanan pendidikan sebesar 180.000.000 dinar, layanan kesehatan sebesar 55.800.000 dinar, maslahat vital (infrastruktur dan fasilitas umum) sebesar 143.100.000 dinar, cadangan kebencanaan dan perang 33.300.000 dinar, maslahat lain-lain sebesar 13.200.000 dinar. Total pengeluaran APBNK sebesar 666.000.000 dinar atau setara dengan Rp 2.000.000 x Rp 666.000.000 = Rp 1.332.000.000 (satu juta tiga ratus tiga puluh dua triliun rupiah).
            Desain APBNK ini berbeda dengan APBN Indonesia (yang memiliki peluang markup atau penganggaran ganda sangat besar). Pada hitungan APBNK untuk Indonesia ini, surplus jumlah total penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia dengan cepat. APBNK untuk Indonesia ini sekaligus menggambarkan bahwa Indonesia ke depan bukan saja akan hidup makmur dan sejahtera, tetapi bebas dari penjajahan kapitalis sekuler dan Indonesia akan bangkit menjadi negara adi daya baru.[49]
            Dengan demikian, penting bagi Indonesia menerapkan APBN Khilafah ini jika sungguh-sungguh ingin menjadi negara besar, makmur dan sejahtera, dan terbebas dari penjajahan negara kapitalis.

















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan
Dari rumusan dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
1.    Politik ekonomi dalam pandangan al-Quran dan Hadis terutama mengacu pada QS al-Hasyr: 7 mengenai pembagian harta secara merata dan perintah untuk memenuhi semua aturan yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan (termasuk dalam Hadis untuk merinci keglobalan al-Quran). 
2.    Implementasi politik ekonomi berdasar al-Quran dan Hadis dalam teori ekonomi dapat dilihat dalam kebijakan fiskal negara Islam yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu secara adil sebagamana berikut:
a.    Aspek kebijakan
1)        Negara harus melihat permasalaha kemiskinan yang dipecahkan adalah kemiskinan yang menimpa setiap individu bukan kemiskinan secara umum yang menimpa negara.
2)        Negara Islam menempatkan kemiskinan sebagai permasalahan krusial yang mendesak untuk dipecahkan.
3)        Kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan diarahkan secara langsung kepada individu, yakni warga negara yang masuk kategori miskin.
4)        Kebijakan menjamin kebutuhan pokok ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Hanya saja intervensi melalui kebijakan fiskal berupa pemenuhan pangan, sandang, papan khusus ditujukan kepada keluarga miskin yang ahli warisnya tidak mampu lagi memberi nafkah yang memadai. Adapun jaminan pelayanan keamanan, kesehatan, dan pendidikan secara cuma-cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang kaya atau miskin.
5)        Setiap warna negara berhak mendapatkan kekayaan dan meningkatkan kekayaan yang dimilikinya asal diperoleh dengan jalan yang sesuai syariah.
6)        Intervensi negara dalam kebijakan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi dan pada level mikro bersentuhan langsung dengan aktivitas sektor ril.
7)        Negara harus mampu menjalankan politik pertanian dan industri untuk mencapai kemandirian ekonomi.
8)        Negara harus mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
9)        Negara wajib member gaji dan santunan (tunjangan) yang layak bagi pejabat dan aparatur negara (termasuk tenaga ahli yang dikontrak pemerintah) agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dan menggunakan kewenangan yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
10)    Kebijakan fiskal selain dalam tataran ekonomi juga berfungsi dalam tataran pertahanan dan keamanan serta dakwah (penyebaran Islam) ke seluruh penjuru dunia atau untuk kesinambungan dakwah dan jihad.
b.    Aspek Dana
Dalam aspek dana ini dilaksanakan oleh baitul mal sebagai pengelola APBN. Tata kelola anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: (1) kaidah pengalokasian belanja negara, (2) pos pembiayaan belanja wajib, dan (3) kaidah mendapatkan pembiayaan belanja wajib.

B.  Saran
1.    Kepada pemerintah
Mengingat kewajiban dan pentingnya penerapan konsep politik ekonomi Islam, maka baiknya pemerintah menerima dan menjadikan politik ekonomi Islam sebagai politik ekonomi dalam bernegara.


2.    Kepada civitas akademik
Politik ekonomi Islam perlu diteliti lebih jauh agar dapat dijelaskan, dikembangkan, dan diimplementasikan dengan lebih baik dalam kehidupan.
3.    Kepada masyarakat
Politik ekonomi Islam perlu dipahami dan disadari oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban yang agung dari Allah SWT yang wajib dipenuhi, karena jika tidak akan menyengsarakan kehidupannya, baik di  dunia maupun di akhirat kelak.























DAFTAR PUSTAKA

Al-Haritsi, Jabirah bin Ahmad, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2003.
Ali, Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Alim, Akhmad, Studi Islam IV Islamisasi Ilmu Ekonomi, Bogor: Pustaka al-Bustan, 2012.
Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, Bangil: al-Izzah. Terjemahan oleh Ibnu Sholah,  Bangil: al-Izzah, 2001.
Al-Rifai’, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Jilid dua, Penerjemah Shihabudin,  Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 1999.
Al-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir , Tafsir Al-QuranJilid 7, Jakarta: Darul Haq, 2012.
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwatu al-Tafasir, Kairo: Dar al-Shabuni, tt.
An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti: Surabaya, 2000.
Chalil, Zaki Fuad, Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga, 2009.
Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. Tafsir Al-Qur’an Temati, Pembangunan Ekonomi Umat, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009.
Hamid, Tijani Abd. Qadir, Pemikiran Politik dalam al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Kartikasari, Endah, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang, Bogor: al-Azhar Press, 2010.
Kurnia, M.R., dkk., Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif, Bogor: al-Azhar Press, 2004.
Muttaqin, Hidayatullah, Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam, makalah.
Rivai, Veithzal, dkk., Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2003.
Sholahuddin, Muhammad, “Politik Ekonomi Negara Khilafah”, al-wa’ie, XII, (5-31Juli, 2012).
Suma, Muhammad Amin, Menggali Akar Mengurangi Serat Ekonomi & Keuangan Islam. Tangerang: kholam Publishing, 2008.


[1]Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, cet. ke-1, hlm. 29.
[2]Ibid.
[3]Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: al-Izzah. Terjemahan oleh Ibnu Sholah,  Bangil: al-Izzah, 2001, cet. ke- 1, hlm. 159.
[4]Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 25.
[5]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2003, cet. ke-14, hlm. 416.   
[6]Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2001, cet. ke-1, hlm. 3. 
[7]http://kbbi.web.id
[8]M.R. Kurnia, dkk.,Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif, Bogor: al-Azhar Press, 2004, cet. ke-1, hlm. 3. 
[9]Ibid, hlm. 6.
[10]Al-Muhith dan al-Munawwir, hlm. 677.
[11]Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurangi Serat Ekonomi & Keuangan Islam. Tangerang: kholam Publishing, 2008, cet. ke-1, hlm. 45 dan 47-48.
[12]Hafidz Abdurrahman, Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam, Bogor: Al-Azhar Press, 2011, cet. ke-1, hlm. 44.
[13]Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 52.
[14]Sedangkan ekonomi politik adalah ilmu maupun pengetahuan yang  menyangkut studi tentang hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara faktor ekonomi dan faktor politik (Rachmat Hidayat, “Ekonomi Politik 1”, makalah).
[15]Ibid., hlm. 52-53.
[16]Endah Kartikasari, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang, Bogor: al-Azhar Press, 2010, cet. ke-1, hlm. 46.
[17]Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 52-53.
[18]Ibid., hlm. 53.
[19]Ibid.
[20]Ibid., hlm. 53-54.
[21]Ibid., hlm. 54.
[22]Veithzal Rivai, dkk., Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. ke-1, hlm. 482-484.
[23]Muhammad Sholahuddin, “Politik Ekonomi Negara Khilafah”, al-wa’ie, XII, (5-31Juli, 2012), hlm. 15. 
[24]Ibid.
[25]Muhammad Nasib Al-Rifai’, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 647. Harta fai’, menurut  Imam Al-Mawardi mencakup kharaj, jizyah, usyur dan seperlima ghanimah yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya (Imam Al-Mawardi,  Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 249).
[26]Muhammad Nasib Al-Rifai’, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 647.
[27]Abdurrahman bin Nashir  Al-Sa’di, Tafsir Al-QuranJilid 7, Jakarta: Darul Haq, 2012, hlm. 219.
[28]Muhammad Ali Al-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir, Kairo: Dar al-Shabuni, tt., hlm. 350-351.
[29]Sayyid Tahir dalam Monzer Khaf, Lesson in Islamic Economic, IRTI & IDB, 1998, hlm. 427.
[30]Zaki Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam,  Jakarta: Erlangga, hlm. 48.
[31]Ibid, 49
[32]Jabirah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2003, hlm. 255.
[33]Ibid, 254.
[34]Ziadudin Ahmad (dalam Departemen Agama RI, Tafsir Al-Quran Tematik, 2009, hlm. 9).
[35]Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: al-Izzah. Terjemahan oleh Ibnu Sholah,  Bangil: al-Izzah, 2001, cet. ke- 1, hlm. 41.
[36]Ibid., hlm. 83-84.
[37]Departemen Agama RI, Tafsir Al-Quran, 2009, hlm. 9.          
[38]Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terjemahan oleh Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, cet. ke-5, hlm. 59-60.
[39]Ibid., hlm. 61.
[40]Hidayatullah Muttaqin, “Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam”, makalah.

[41]Ibid.
[42]Hidayatullah Muttaqin, “Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam”, makalah.
[43]Muhammad Sholahuddin, “Politik Ekonomi Negara Khilafah”, al-wa’ie, XII, (5-31Juli, 2012), hlm. 15. 
[44]Ibid.
[45]Ibid., hlm. 16-17. 
[46]Usr diambil dari ahli dzimmi sebesar setengah ‘usr dan dari orang Islam setiap 40 dirham sebanyak satu dirham (seperempat ‘usr (Akhmad Alim, Studi Islam IV Islamisasi Ilmu Ekonomi, Bogor: Pustaka al-Bustan, 2012, hlm. 122 dan Tim Penulis Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariat Islam, 2002, hlm. 219).
[47]Dimodifikasi dari Endah Kartikasari, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang, Bogor: al-Azhar Press, 2010, cet. ke-1, hlm. 46.
[48]Asumsi 1 dinar = Rp 2.000.000 (dibulatkan). Sedangkan Kurs dinar (1 dinar) = Rp 2.378.000 (Republika (Jakarta), 22 Maret 2013, hlm.15).
[49]Endah Kartikasari, Membangun Indonesia Tanpa pajak dan Utang, Bogor: al-Azhar Press, 2010, cet. ke-1, hlm. 140.   
Categories: