Konsep Rezeki

Posted by Unknown on 03:23










BAB I
PENDAHULUAN

I.1.       Latar Belakang
Salah satu pokok permasalahan yang paling mendasar dari permasalahan ekonomi adalah bukan karena kelangkaan sumber daya alam melainkan karena keserakahan umat manusia itu sendiri. Ia ingin mendapatkan rezeki yang sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri sendiri tanpa menghiraukan halal ataupun haram dari cara memperolehnya.
Salah seorang tokoh ekonomi yaitu Baqir Al-Sadr telah membuat konsep ekonomi dengan bukunya yang begitu fenomenal yaitu Iqtishaduna (ekonomi kita) yang kemudian menjadi mazhab tersendiri. Menurutnya, perbedaan filosofi akan berdampak pada perbedaan cara pandang dalam melihat permasalahan ekonomi. Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Artinya adalah, manusia selagi mempunyai keinginan maka keinginan itu mendorong mereka untuk memilikinya. Sementara sumber daya yang tersedia untuk memenuhi keinginan mereka itu terbatas jumlahnya. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, sebab Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas.[1] Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an:

                                               إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ                                   
 “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qomar: 49)

Dari pernyataan di dalam bukunya tersebut telah mencuatkan nama Baqir Al-Sadr sebagai teoritis kebangkitan Islam terkemuka. Pernyataan tersebut sangatlah kontroversial karena Baqir Al-Sadr melihat dari sudut pandang wahyu. Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan segala sesuatu dengan ukurannya. Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Kuasa tidak mungkin membatasi ciptaan-Nya. Segala yang tersedia di bumi cukup untuk kebutuhan manusia. Hanya saja manusia memiliki hawa nafsu dan menginginkan rezeki yang di antaranya adalah sumber daya (materi, harta, dan benda) dengan serakah. Inilah yang menjadi penyebab kelangkaan sumber daya dalam ekonomi.
Anggapan bahwa rezeki adalah semata-mata materi, harta, dan benda saja itu tidak lain hanyalah pandangan orang-orang kafir yang hidup bergelimang dalam kejahiliyahan, kekafiran, dan kebiadaban yang secara umum terbingkai oleh paham ekonomi materialisme dan determinisme[2]. Sehingga dalam pandangan materialisme itu yang merupakan suatu konsekuensi logis dari pengingkaran kepada Tuhan, menganggap bahwa materi adalah primordial atau isi fundamental jagat raya yang tidak diatur oleh intelegensi, tujuan, atau sebab-sebab final yang dijelaskan dengan proses-proses materil.[3] Karena itulah kekayaan, kepuasan jasmaniah, dan kesenangan sensasi merupakan satu-satunya nilai terbesar yang dapat dicapai oleh manusia. Materialisme telah menyediakan fondasi bagi kultur komersial yang dari waktu ke waktu semakin kokoh dan telah berhasil melipatgandakan jumlah keinginan manusia, jauh dari kemampuan sumber-sumber daya untuk memenuhinya.[4]
Adapun dalam pandangan Islam, rezeki bukanlah senata-mata materi, harta, dan benda saja. Apalagi, yang hanya terbatas karena hasil usaha (kerja) manusia itu sendiri. Rezeki dalam Islam melingkupi semua apa yang ada dalam kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan, kesempatan, kecerdasan, istri, anak, orang tua, tetangga, teman, lingkungan, hujan, tanaman, hewan piaraan dan masih banyak sekali yang lainnya. Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
وَمِنَ الأنْعَامِ حَمُولَةً وَفَرْشًا كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٤٢)
“dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-An’am: 142)

Kemudian itulah mengapa Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan manusia bahwa nikmat (rezeki) Allah terhadap manusia sungguh tidak akan pernah bisa dihitung. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan untuk umat manusia apa saja yang manusia perlukan pada segala situasi dan kondisi.
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ (٣٤)
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim: 34).

Allah subhanahu wa ta’ala memang memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya, tetapi tidak semua mendapatkan rezeki yang mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka itu? Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam Al-Qur’an:
فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٥٠)
“Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”
(QS. Al-Hajj: 50)

Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir mengutip pernyataan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar firman Allah Ta’ala (wa rizqun karim) ‘Dan rezeki yang mulia,’ maka rezeki yang mulia itu adalah surga.”[5]

Dengan demikian, maka sebaik-baik rezeki adalah surga. Jadi, dalam kehidupan dunia ini kita harus mengutamakan dua perkara penting, yakni iman dan amal sholeh. Karena hanya keduanyalah yang dapat mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rezeki yang mulia.
Sangat tidak patut bahkan sangat tercela bila ada seorang Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta. Apalagi kalau sampai berani mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya karena alasan kemiskinan. Sebab, rezeki yang paling mulia adalah surga, bukan harta atau benda.
Itulah sebabnya mengapa, para Nabi dan Rasul tidak pernah berbangga dengan rezeki yang didapatkan berupa harta dan benda yang dimiliknya. Bahkan para Nabi dan Rasul itu lebih memilih hidup susah demi rezeki yang mulia di sisi-Nya. Namun demikian, Islam tidak mengharamkan umatnya kaya raya. Karena kekayaan yang disertai iman juga bisa mengantarkan seseorang pada derajat yang mulia di sisi-Nya.[6]
Namun pada saat ini seringkali kita mengamati banyaknya masyarakat miskin yang tidak mempunyai harta benda dari rezeki yang diperolehnya. Bahkan ada yang tergolong miskin absolut. Di Indonesia sendiri masih terdapat masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Baik itu kemiskinan yang terjadi di desa maupun di kota. Tentu kita bertanya–tanya sesungguhnya apa yang terjadi? Mungkinkah faktor utamanya disebabkan oleh kelangkaan sumber daya? Ataukah faktor cara memperoleh rezeki itu sendiri yang mempengaruhi kemiskinan.
Di Indonesia sendiri tercatat penduduk miskin pada bulan September 2011 mencapai 29,89 juta orang. Yang terdiri dari 11,05 juta penduduk miskin di daerah perkotaan dan 18,97 juta orang berada di daerah pedesaan.[7] Sisanya adalah masyarakat menengah ke atas yang memiliki harta cukup bahkan berlimpah. Harta tersebut hanya beredar diantara orang-orang kaya saja yang menyebabkan gap antara si miskin dan si kaya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin tidak mempunyai kesempatan untuk menaikkan status mereka.
Bahkan majalah Forbes merilis orang terkaya di Indonesia sebanyak 40 orang pada tahun 2012. Total kekayaan dari para konglomerat yang terkaya di Indonesia di Tanah Air itu diperkirakan mencapai US$ 88,6 Miliar atau Rp. 841,7 Triliun (kurs Rp. 9.500).[8] Ini menunjukkan kepada kita dimana harta itu hanya beredar diantara orang-orang kaya saja. Kalau disisihkan dari harta mereka untuk didistribusikan kepada golongan miskin dapat kita pastikan sudah berapa banyak yang masyarakat yang dapat keluar dari jerat kemiskinan.
Tidak itu saja persoalan lain adalah masalah perolehan rezeki dan kepemilikan harta terdapat perbedaan yang tajam antara teori ekonomi konvensional dengan teori ekonomi Islam terhadap kepemilikan harta itu sendiri. Pertama, Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep kepemilikan harta. Pandangan tentang kepemilikan harta berbeda antara sistem ekonomi Sosialis dengan sistem ekonomi Kapitalis serta berbeda juga dengan sistem ekonomi Islam.
Kepemilikan harta (barang dan jasa) dalam Sistem Sosialis dibatasi dari segi jumlah (kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara (kualitas) memperoleh harta yang dimiliki. Artinya dalam memperolehnya dibebaskan dengan cara apapun yang dapat dilakukan. Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya (kualitas) tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada aturan halal dan haram). Demikian juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta.
Dalam sistem ekonomi Sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property), yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu.
Di dalam Islam harta sesungguhnya adalah milik Allah dan amanah yang diserahkan sepenuhnya pengelolaan kepada manusia. Dalam ajaran Islam tidak dibenarkan manusia memperoleh kekayaan sesuka hatinya tanpa diatur oleh seperangkat aturan. Pengaturan diperlukan agar tidak terjadi gejolak sosial, kekacauan ditengah masyarakat, dan kerusakan lingkungan. Islam mengakui hak-hak individu untuk memiliki kekayaan akan tetapi setiap individu harus tunduk kepada batasan–batasan agama agar kekayaan itu tidak membahayakan kepentingan bersama[9].
Merupakan fitrah manusia didalam Islam untuk mencari rezeki. Oleh karena itu juga merupakan fitrah manusia untuk memperoleh kekayaan dalam memenuhi kebutuhan. Hanya saja dalam memperoleh rezeki tersebut tidak boleh sesukanya dan memanfaatkannya sekehandak hati. Apabila dibiarkan begitu saja tentu kekayaan tersebut hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, sedangkan orang-orang lemah akan binasa.
 Maka, disinilah peran ekonomi Islam yang mengatur dari kepemilikan harta, cara pengelolaan dan mendapatkannya. Ajaran tersebut berlandaskan dari Al-Qur’an dan Hadits. Pandangan al-Qur’an terhadap harta dan kegiatan ekonomi dapat diuraikan dalam 5 hal: pertama, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Kepemilikan oleh manusia harus bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah. Kedua, dari segi status harta dalam pandangan Islam, ada 4 hal: 1) harta sebagai amanah (titipan) dari Allah. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebihan. 3) harta sebagai ujian keimanan. 4) harta sebagai bekal ibadah. Ketiga, perolehan harta dapat dilakukan, antara lain melalui usaha (a’māl ) atau mata pencaharian (ma’īsyah) yang halal dan sesuai dengan aturan Allah secara sungguh-sungguh dan tidak boleh berputus asa. Keempat dalam mencari harta, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah: 188), riba (Al-Baqarah: 273-281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (Al-Maidah: 90-91), mencuri, merampok, tipu-menipu, suap-menyuap curang dalam takaran dan timbangan (Al-Mutaffifin: 1-6). Kelima, harta yang diperoleh digunakan dan diinfakkan secara berimbang, tidak kikir dan tidak pula boros, diutamakan kerabat dan ketika berinfak jangan diikuti dengan celaan dan hinaan. Dari sisi lain, harta termasuk salah satu sendi kehidupan manusia di dunia ini, karna tanpa harta, khususnya makanan, manusia tidak akan bertahan hidup. Oleh karena itu Al-Qur’an memberikan pedoman tentang harta, pemilik harta, status harta, bagaimana cara memperolehnya, cara memfungsikannya dan pedoman menginfakannya.[10]
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an:
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ ۚ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَىٰ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ ۚ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ                                                يَجْحَدُونَ [١٦:٧١]
“dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah[11]?”

I.2.       Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas dua pokok permasalahan yaitu: Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan hadits terhadap konsep rezeki itu sendiri? Serta bagaimana implementasinya dalam teori ekonomi islam dan dalam perspektif bisnis Islam.    




BAB II
KAJIAN TEORITIS

II.1.     Pengertian Rezeki
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata rezeki memiliki dua arti yaitu, pertama rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan) berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu kata kiasan dari penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan sebagainya.[12]
Adapun defenisi lain, kata rezeki berasal dari bahasa Arab. Secara etimologi, رزق berarti pemberian.[13] Adapun menurut istilah, Al-Jurjani menyebutkan ar-rizq berarti segala sesuatu yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluk-Nya untuk mereka konsumsi, baik halal atau haram.[14]

II.2.     Macam-Macam Rezeki Menurut Ulama
Menurut Syaikh Abdur Razzaq bin Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr, rezeki Allah subhanahu wa ta’ala bagi hamba-Nya ada dua macam: pertama, Rezeki yang umum yang mencakup orang yang baik dan jelek, yang mukmin dan kafir, yang pertama dan yang terakhir, yaitu rezeki badan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (٦)
“dan tidak ada suatu binatang melata[15] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.[16] semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud: 6)

Jika Allah memberi rezeki dan anak keturunan kepada orang kafir dan melapangkannya bukan berarti Allah ridha’ terhadapnya.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ (٥٥)نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ (٥٦)
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar[17].”

Kemudian yang kedua, adalah rezeki khusus, yaitu rezeki hati dan siramannya berupa ilmu, iman, dan rezeki halal yang dapat memperbaiki agama seorang hamba. Dan ini khusus bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkatan mereka darinya, sesuai dengan ketentuan hikmah dan rahmat-Nya. Dan Allah menyempurnakan kemuliaan-Nya bagi mereka dan menganugerahkan kepada mereka surga yang penuh dengan kenikmatan pada hari kiamat.[18] Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an:
رَسُولا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِ اللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللَّهُ لَهُ رِزْقًا (١١)
“(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 11)

II.3.     Batasan Rezeki
Batasan rezeki dalam kehidupan manusia harus diperluas agar setiap saat kita tetap bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat yang telah Allah berikan tidak hanya sebatas harta kekayaan semata melaikan semua aspek yang berkitan dengan kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. Konteks rezeki bisa bermacam-macam wujudnya, contohnya; penciptaan kita sebagai manusia makhluk yang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya, penciptaan langit dan bumi dari sanalah Allah menghampar rezeki-rezekinya untuk manusia yang mau terus berusaha, berfungsinya akal yang kita miliki dengan baik dan normal, keimanan dan keislaman adalah rezeki, sehat, hujan, kemarau, kehidupan, ilmu yang bermanfaat, saudara seiman merupakan sebagian kecil rezeki yang Allah berikan.
Jika konteks rezeki demikian luas, mengapa kita mempersempit makna rezeki itu sendiri hnaya dalam batas kekayaan semata? Kita sebagai manusia kadang sangat lupa karunia yang Allah berikan kepada kita sebagai manusia, bila saja kita diciptakan sebagai hewan apakah kita akan menikmati rezeki yang Allah berikan layaknya kita sebagai manusia? Manusia adalah makhluk yang terkadang melupkan rasa syukur terhadap rezeki yang Allah berikan. Selayaknya sebagai manusia yang memiliki iman kita tetap berusahan memperoleh rezeki yang telah Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya dan terus berusaha di jalan Allah dengan cara halal dan baik.[19]





BAB III
PEMBAHASAN

III.1.    Konsep Rezeki Dalam Tinjauan Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur'an, kataرزق  disebutkan sebanyak 123 kali di dalam surah-surah yang berbeda. Adapun sebanyak 61 kali penyebutan dari kata-kata رزق tersebut, disebut dengan menggunakan kata kerja (fi'il) seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala (وكلوا مما رزقكم الله حلالا طيبا) dalam surah Al-Maidah ayat 88. Sementara sebanyak 62 kali kata itu disebut dengan menggunakan kata benda (isim) seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala (كلوا واشربوا من رزق الله) dalam surah Al-Baqarah ayat 60.[20]

Para ulama tafsir menyebutkan, kata رزق di dalam Al-Qur'an itu  memiliki arti yang beragam. Setidaknya dapat dirangkum dalam beberapa makna berikut ini:[21]

a.       Ar-rizq berarti pemberian. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 2: 3,254).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٥٤)
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at[22]. dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim."
    (QS. Al-Baqarah: 254)

b.      Ar-rizq berarti makanan. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 2: 25)

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٥)
dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.”[23] (QS. Al-Baqarah: 25)

c.       Ar-rizq berarti hujan. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 51: 22, 45: 5)

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)
“dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu[24] dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu[25].”

وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ رِزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٥)
“dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.”

d.      Ar-rizq berarti nafkah. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 2: 233, 4: 6)

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (٦)
“dan ujilah[26] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”

e.       Ar-rizq berarti ganjaran. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 3: 169, 40: 40)

وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (١٦٩)
“janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup[27] disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”

مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.”

f.       Ar-rizq berarti surga. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 33: 31)

وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا (٣١)
“dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.”

g.      Ar-rizq berarti syukur. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 56: 82)

وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ (٨٢)
“kamu mengganti rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.”

h.      Ar-rizq berarti buah-buahan. Sebagaimana makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Al-Qur’an, firman Allah subhanahu wa ta’ala (QS. 3: 37)

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”

Sekalipun makna dari kata رزق  di dalam Al Qur'an beragam, akan tetapi makna-makna tersebut berpulang pada satu pokok makna, yaitu pemberian (al-'atha').[28]

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣)
Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman[29] kepada yang ghaib[30], yang mendirikan shalat[31], dan menafkahkan sebahagian rezki[32] yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 3)

III.2.    Kewajiban Mencari Rezeki dan Mencukupi Kebutuhan Sendiri
Syari’at Islam adalah syari’at yang mulia dan senantiasa mengajarkan dan menganjurkan setiap kemuliaan kepada ummatnya serta melarang setiap hal yang hina dan akan mendatangkan kehinaan kepada pelakunya. Syari’at ini berlaku dalam segala aspek kehidupan manusia, dimulai dari urusan manusia paling besar, yaitu yang berkaitan dengan harga diri dan tujuan hidup mereka di dunia, agar seluruh ummat manusia menghargai dirinya dan mendudukkannya kepada posisi yang telah Allah subhanahu wa ta’ala anugrahkan kepada mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا (٧٠)

dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[33], Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa’: 70)

Ummat manusia telah dijadikan sebagai ummat yang lebih mulia dibanding kebanyakan makhluk-Nya. Sehingga merupakan suatu kehinaan bagi mereka bila mereka merendahkan dirinya dengan mengagungkan dan mengibadahi sesama makhluk, misalnya sapi, ular, kerbau, jin, wali, Nabi, atau senjata dan lainnya. Padahal kedudukannya sama atau bahkan lebih rendah dibanding mereka, bahkan kebanyakan mereka diciptakan di dunia ini untuk kepentingan manusia.[34] Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam Al-Qur’an:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٢٩)

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 29)







Dan juga Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam ayat yang lain:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ (٢٠)

“tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”     (QS. Luqman: 20)

Dalam pergaulan sesama manusia, Islam mengajarkan agar mereka senantiasa berperilaku luhur nan terpuji, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٩٠)
 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)

Qatadah rahimahullahu ta’ala berkata:
Tidaklah ada suatu perangai baik yang pernah diyakini dan diamalkan kaum Jahiliyyah zaman dahulu melainkan telah Allah perintahkan. Dan tiada perangai buruk yang dahulu mereka jadikan bahan celaan kecuali telah Allah larang. Dan sesungguhnya yang Allah larang hanyalah perangai-perangai yang rendah dan tercela.[35]

Dan diantara bentuk akhlak dan kepribadian mulia yang diajarkan oleh Islam kepada ummatnya adalah sifat mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain dalam setiap keperluan hidupnya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Tidaklah ada seseorang yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada makanan hasil dari pekerjaan tangannya sendiri. Dan dahulu Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri.”[36]
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus menyebutkan bahwa Nabi Dawud alaihissalam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, ini dikarenakan beliau adalah seorang Nabi yang diberi kekayaan dan kekuasaan, akan tetapi walau demikian adanya, beliau tidak mau memakan kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri.[37]
Dalam pada hadits yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلًا فَيَأْخُذَ حُزْمَةً مِنْ حَطَبٍ فَيَبِيعَ فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهِ وَجْهَهُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أُعْطِيَ أَمْ مُنِعَ
Telah menceritakan kepada kami Mu'allaa bin Asad telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam dari bapaknya dari Az-Zubair bin Al-'Awwam radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya". (HR. Bukhari)

Dan juga dalam hadits lain yang berkaitan dengan hadits di atas adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tangan yang di atas lebih baik dibanding tangan yang di bawah, tangan yang di atas adalah tangan yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah tangan peminta.”[38]
Oleh karena itu, dahulu para sahabat dan ulama salaf bekerja guna mencukupi kebutuhannya sendiri atau mencari rezeki, ada yang berdagang, ada yang bercocok tanam, dan ada yang menjadi pekerja tanpa ada rasa sungkan atau gengsi.
Mari kita renungkan kisah ini:
بَاب حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى هُوَ ابْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَيْنَمَا هُوَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِمَ تَحْتَبِسُونَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الرَّجُلُ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ سَمِعْتُ النِّدَاءَ تَوَضَّأْتُ فَقَالَ أَلَمْ تَسْمَعُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَاحَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata, telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Yahya -yaitu Ibnu Abu Katsir- dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa 'Umar radhiyallahu 'anhu ketika berdiri memberikan khuthbah pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk (Masjid). 'Umar lalu bertanya, "Kenapa anda terlambat shalat?" Laki-laki itu menjawab: "Aku tidak tahu hingga aku mendengar adzan, maka aku pun hanya berwudhu." Maka "Umar berkata, "Bukankah kamu sudah mendengar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika salah seorang dari kalian berangkat shalat jum'at hendaklah mandi." (HR. Bukhari-Muslim)
Sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu tidak mencela sahabat ini karena ia bekerja mencari rezeki, akan tetapi mencelanya karena ia terlambat hadir shalat jum’at dan melupakan kewajiban mandi sebelum menghadiri shalat jum’at.[39]

III.3.    Tidak Meminta-minta
Demikianlah syari’at Islam mengajarkanummatnya tanpa terkecuali, agar senantiasa hidup mandiri, mencukupi kebutuhannya dengan hasil kucuran keringat sendiri. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan atas ummatnya perbuatan menghinakan diri dengan cara meminta-minta atau menggantungkan kebutuhannya dari uluran tangan orang lain, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut: “Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga akhirnya kelak pada hari kiamat ia datang sedangkan di wajahnya tidak terdapat sekerat daging pun.” (Muttafaqun ‘alaih)
Larangan meminta-minta berlaku bagi setiap muslim, kecuali tiga kelompok orang, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلَالِيِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا قَالَ ثُمَّ قَالَ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
Dari Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, "Aku memikul suatu beban (hutang untuk mendamaikan dua kabilah yang bersengketa), lalu aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat dalam masalah ini. Lalu beliau bersabda, 'Pertahankanlah hingga sedekah datang kepada kita, maka aku akan memerintahkan untuk memberikannya kepadamu.' Lalu beliau berkata, 'Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperkenankan kecuali dalam tiga hal; orang yang memikul beban hutang (gharim), maka dia diperbolehkan untuk meminta-minta hingga mendapatkan modal yang cukup dan kemudian berhenti; orang yang tertimpa musibah sehingga menghabiskan hartanya, maka diperbolehkan meminta-minta sampai ia mempunyai bekal hidup, atau beliau berkata, hingga ia bisa menutupi kebutuhan hidup; seorang yang tertimpa kemiskinan, hingga tiga orang yang terpercaya dari kaumnya mengatakan, " fulan tertimpa kemiskinan" maka ia dibolehkan meminta-minta sekedar dapat bertahan hidup. (Atau beliau berkata, "menutupi kebutuhan hidup") Adapun selain dari tiga macam orang tersebut, wahai Qubaishah, maka diharamkan meminta-minta.” (HR. Muslim 3/ 97-98)

III.4.    Anjuran Menjaga Kehormatan Diri
Walaupun ketiga golongan orang ini dihalalkan untuk meminta-minta, akan tetapi syari’at Islam tetap menganjurkan kepada mereka agar semampu mungkin dapat menjaga harga dirinya dengan tidak meminta-minta, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢٧٣)
 
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”
     (QS. Al-Baqarah: 273)

Dan juga sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Abu Az- Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah disebut miskin orang berkeliling meminta-minta kepada manusia dan bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan atau satu dua butir kurma. Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak mendapatkan seseorang yang bisa memenuhi kecukupannya, atau yang kondisinya tidak diketahui orang sehingga siapa tahu ada yang memberinya shedaqah atau orang yang tidak meminta-minta kepada manusia". (HR. Bukhari)

Demikianlah syari’at Islam mendidik ummatnya agar hidup dengan jiwa yang mulia dan senantiasa menghindari segala hal yang akan merendahkan martabat dirinya. Bukan karena ingin pujian orang lain atau sanjungan, akan tetapi dalam rangka menjaga kemurnian iman dan aqidah mereka, agar tidak ada sedikitpun rasa ketergantungan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Segala apa yang ada di dunia ini adalah milik Allah, dan segala yang didapatkan oleh manusia datangnya dari Allah, sehingga tiada yang dapat memberi atau menghalangi suatu kenikmatan sebesar apapun dari seorang hamba selain Allah ta’ala:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”
    (QS. An-Nahl: 53)

Dan pada ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ (٢٠)
“tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”
    (QS. Luqman: 20)

Karena semua yang didapatkan oleh manusia dan yang akan ia dapatkan datangnya hanyalah dari Allah, maka tidaklah layak bagi seorang muslim untuk menggantungkan kebutuhannya kepada selain Allah ta’ala:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
 “dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(QS. Thaha: 131)

Setelah setelah Allah subhanahu wa ta’ala melarang Nabi-Nya untuk menujukan pandangannya kepada kenikmatan yang dimiliki oleh orang-orang kafir, Allah mengingatkan bahwa rezeki subhanahu wa ta’ala lebih baik dibanding kekayaan yang dimiliki oleh orang kafir. Dan rezeki Allah subhanahu wa ta’ala mencakup rezeki di akhirat yaitu surga, dan juga mencakup rezeki di dunia berupa ilmu, dan harta benda yang barokah, sehingga bermanfaat bagi pemiliknya.
Walaupun kekayaan harta benda yang dimiliki oleh orang-orang kafir juga termasuk rezeki dan kekayaan Allah, akan tetapi harta benda tersebut Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada mereka bukanlah kenikmatan yang dilimpahkan kepada mereka, akan tetapi merupakan fitnah yang Allah subhanahu wa ta’ala ujikan kepada mereka.

III.5.    Hikmah Dari Larangan Meminta-minta
Dengan memahami kandungan ayat di atas kita dapat memahami hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari larangan meminta-minta, di antaranya: Meminta-minta merupakan cerminan sikap lalai dan kurang iman bahwa Allah Maha Kaya dan hanya Allah yang dapat memberikan rezeki atau menghalanginya. Dan hikmah yang kedua: Meminta-minta adalah sebuah pertanda buruknya standar penilaian pelakunya, dimana ia menganggap bahwa kebaikan dan kebahagiaan itu senantiasa ada bersama harta kekayaan. Padahal kebahagiaan dan kedamaian serta kemuliaan akan senantiasa ada pada orang yang dekat dengan Allah Ta'ala dan mendapatkan kerahmatan dari-Nya.[40]
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٩٧)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[41] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Ibnul Qayyim berkata, "Cinta, mengenal, senantiasa mengingat Allah, merasa tentram lagi damai di sisi Allah, dan mengesakan-Nya dengan rasa cinta, takut, harap, tawakkal, dan perbuatan, -sehingga hanya Allah Ta'ala yang menguasai hasrat dan tekadnya- adalah surga kehidupan dunia dan kenikmatan yang tiada tara."[42]
Di antara salah satu hikmah diharamkannya meminta-minta dalam Islam adalah agar ummat Islam senantiasa menjaga dan menyadari akan kenikmatan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah dilimpahkan kepada ummat manusia, yaitu kenikmatan berupa dijadikannya manusia sebagai makhluk-Nya yang terhormat dibandingkan makhluk lainnya.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا (٧٠)
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[43], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
(QS. Al-Isra’: 70)

Manusia diciptakan memiliki martabat yang sejajar, sebab menurut syari’at Islam bahwa seluruh keturunan Adam, dengan berbagai perbedaan bahasa, ras, warna kulit yang ada, memiliki derajat dan martabat yang sejajar. Tiada yang membedakan antara mereka selain ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga tidaklah layak bagi mereka untuk merendahkan dirinya di hadapan sesama manusia untuk mendapatkan rezeki dengan cara meminta-minta, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat: 13)

Inilah diantara alasan mengapa para ulama memfatwakan bahwa wajib atas setiap manusia untuk mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya dengan hasil kucuran keringat sendiri, bukan dari hasil mengulurkan tangan kepada orang lain.[44]
Sebagai penegasan dalam masalah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ خَيْثَمَةَ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو إِذْ جَاءَهُ قَهْرَمَانٌ لَهُ فَدَخَلَ فَقَالَ أَعْطَيْتَ الرَّقِيقَ قُوتَهُمْ قَالَ لَا قَالَ فَانْطَلِقْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ.
Dari Khaitsamah, dia berkata, "Kami pernah duduk bersama Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, tiba-tiba datanglah pembantunya, lalu masuk ke dalam rumah. Kemudian Abdullah bin Amru bertanya kepada Khaitsamah, 'Sudahkah kamu beri makan budak itu?' Khatsamah menjawab, 'Belum.' Aku berkata, 'Pergilah, lalu berilah mereka makan." Abdullah bin Amru berkata, "Rasulullah berkata, 'Cukuplah dosa seseorang karena tidak memberi makan orang yang menjadi tanggungannya.'' (HR. Muslim 3/78)

III.5.    Mendatangkan Rezeki Dengan Jalur Bisnis
Menurut Jahrudin Arsyad, bisnis bukan berarti harus meninggalkan profesi yang lainnya yang sedang digeluti. Bila belum siap untuk meninggalkna karir yang susah payah dirintis, atau profesi yang digeluti saat ini, bukanlah suatu masalah. Yang penting, niat sebagai langkah awal untuk melakukan perubahan hidup (hijrah) ke arah yang lebih baik dan sejahtera, benar-benar ada dalam fikiran kita. Sejarah telah mencatat bahwa ratusan pengusaha sukses hanya mengenyam pendidikan SMP dan SMA saja, dan banyak pengusaha yang lahir setelah menginjak usia 30 atau 40 tahun ke atas.[45]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan ummatnya untuk berdagang (bisnis), karena menurut beliau g, jalur wirausaha merupakan jalur dibukanya pintu rezeki lebih banyak dibanding dengan profesi lainnya.[46] 



III.5.    Antara Dakwah dan Kewajiban Mencari Rezeki
Berdakwah adalah merupakan kewajiban setiap orang yang memiliki kemampuan, baik kemampuan ilmu, atau kemampuan fisik dan juga kemampuan dalam hal lain, dan masing-masing sesuai dengan keadaannya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[47] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Ahli tafsir menjelaskan makna ayat tersebut yaitu sebagai berikut: “Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyeru manusia menuju kepada jalan Allah dengan berdasarkan hikmah, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah serta menggunakan peringatan yang bagus, yaitu peringatan yang mengandung ancaman dan berbagai kejadian yang pernah dialami oleh orang lain, serta dengan mengingatkan mereka agar mereka menjadi waspada. Dan bila ada dari mereka yang memerlukan kepada perdebatan, maka layanilah dengan cara-cara yang baik pula, yaitu dengan lemah lembut, dan metode pembicaraan yang bagus nan santun.”[48]
Walau demikian halnya, tanggung jawab mendakwahkan kebenaran ini tidak diwajibkan hanya kepada kelompok tertentu saja, atau beberapa orang saja, akan tetapi dakwah adalah kewajiban setiap orang lslam dan yang memiliki kemampuan untuk melakukannya dengan cara-cara yang benar, dan masing-masing pada bidang yang ia kuasai. Hal ini dapat dipahami dengan jelas dari firman Allah Ta'ala berikut:
 وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[49]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Masih banyak lagi dalil-dalil yang membuktikan bahwa dakwah adalah tanggung jawab setiap muslim yang berkompeten untuk menjalankannya, baik dari sisi keilmuan, kemampuan fisik, mental dan lainnya. Dakwah menyeru manusia kepada kebenaran hukumnya adalah fardhu kifayah, dan bukan fardhu 'ain (wajib atas setiap orang muslim). Sehingga, bila pada suatu masyarakat sudah ada da'i-da'i yang telah menjalankan kewajiban ini dan itu telah dirasa cukup, maka gugurlah kewajiban berdakwah atas selain mereka, dan dakwah bagi mereka telah berubah hukum, yaitu menjadi sunnah.
Agar lebih jelas, sebagai penerapannya: bila seorang dai harus berdakwah setiap hari, maka keluarganya akan terbangkalai, tidak terurus, kekurangan nafkah, pendidikan dan lain-lain, akan tetapi bila ia berdakwah sekali atau dua kali sebulan, maka keluarga akan tercukupi kebutuhan nafkah serta pendidikannya, maka ia harus mendahulukan kewajiban memenuhi kebutuhan nafkan dan pendidikan keluarganya tersebut, sebab menafkahi mereka dan mendidiknya hukumnya adalah fardhu ‘ain atas dai tersebut, di dunia ini tidak ada orang lain yang berkewajiban menafkahi keluarga selain dirinya sendiri, sedangkan berdakwah hukumnya adalah fardhu kifayah.
Bila dai tersebut berdakwah dalam porsi yang berlebihan sehingga mengakibatkan keluarganya terbengkalai, kekurangan nafkah, pendidikan mereka tidak terurus, maka ia telah berbuat dosa, dan dakwahnya tidak lagi menjadi amal sholeh akan tetapi malah berbalik menjadi suatu kemungkaran dan ia berdosa karenanya.[50]








BAB IV
IMPLEMENTASI KONSEP REZEKI DALAM AKTIVITAS (ETIKA) BISNIS ISLAM

Rezeki merupakan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang mengharuskan kita menggunakan rezeki tersebut hanya untuk kebaikan di jalan Allah. Namun demikian, seiring dengan banyaknya rezeki seseorang yang diperolehnya dari Allah subhanahu wa ta’ala dalam kehidupannya justru tidak boleh dimanfaatkan seenaknya saja, untuk hal-hal yang tidak mendatangkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala ataupun menjadikan rezeki itu sebagai sesembahan kepada selain Allah, seperti halnya Qarun yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur’an:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ (٧٨)فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (٧٩)وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ (٨٠)
“Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[51]. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar."

Al-Qur’an dan Hadits sudah memberikan aturan tentang konsep rezeki itu sendiri, baik itu tentang cara memperolehnya, kepemilikannya, penggunaannya, pengelolaannya dan pendistribusiannya. Allah pun mengancam bagi orang–orang yang menyalahgunakan rezeki yang didapatkannya.

IV.1.    Distribusi

Secara jelas dan eksplisit, Islam melarang menimbun rezeki yang berupa harta atau pun materi, dan siapapun yang menimbun harta serta tidak dibelanjakannya di jalan Allah akan diancam dengan siksaan yang pedih. Penimbunan harta adalah kejahatan yang besar, karena sama artinya dengan menutup aliran harta yang telah Allah anugerahkan dari si kaya kepada si miskin yang benar-benar memerlukannya. Oleh karena itu Islam melarang penimbunan harta dan sebaliknya menolong sirkulasi harta diantara semua bagian elemenmasyarakat. Berikut adalah ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berkaitan dengan hal tersebut:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)  
“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”
      (QS. Al-Hasyar: 7).

Ayat tersebut mengancam orang yang menimbun harta dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis dimana kepemilikan harta adalah mutlak milik individu. Terjadinya monopoli harga pasar karena pemerintah tidak boleh ikut campur. Kalaupun ada peran pemerintah itu hanya terbatas. Sehingga dengan sangat mudah sebagian orang memainkan harga dan terjadilah penumpukan harta hanya dikalangan tertentu saja.
Begitu juga dengan sistem ekonomi sosialis pada saat ini, dimana pemerintah mengatur seluruh aktivitas ekonomi masyarakat dan masyarakat mendapatkan hak yang sama. Kesamaan dalam segala hal. Setiap orang diberikan sesuatu yang sama seperti yang diberikan kepada orang lain. Ringkasnya aliran sosialisme ini berusaha untuk menuju kesamaan (equity) secara riil diantara individu. Adakalanya kesamaan didalam jasa, alat-alat produksi atau kesamaan secara mutlak.
Taqyuddin An-Nabhani menjelaskan sistem ini melanggar fitrah manusia, karena manusia mempunyai karakter fitrah yang berbeda–beda tingkat kekuatan tubuh dan akalnya. Termasuk berbeda-beda tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Sehingga kesamaan diantara mereka tidak mungkin dapat terjadi. Termasuk dalam penggunaan kekayaan tentu mereka tidak bisa sama mempergunakannya. Sedangkan penghapusan pemilikan khusus secara total bertentangan dengan fitrah manusia.[52]
Penimbunan harta dikutuk oleh Islam dengan ancaman siksa yang pedih, karena perputaran harta itu merupakan keharusan. Dilarangnya penimbunan harta itu tidak hanya memaksa harta yang ditimbun itu keluar dari peti simpanannya melainkan juga menjamin alirannya kesaluran-saluran investasi sehingga akhirnya akan sampai pada distribusi.
Dalam sebuah hadits disebutkan “Abu Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah biasa tidak menyimpan apapun juga untuk besok”. (HR. Tirmidzi). Inti dari larangan menimbun harta karena kegiatan menimbun harta itu menghalangi dan membuntu beredarnya harta di masyarakat dan menjadikan harta itu terkonsentrasi ditangan sedikit orang. Itu sama dengan menjadikan harta itu tersia-siakan dan akibatnya menyengsarakan hidup banyak orang. Oleh karena itulah, hukuman yang diancamkan kepada penimbun harta itu amat pedih.[53] 
Zakat mencegah penimbunan kekayaan dan mendorong peredaran dan sirkulasinya. Orang yang menimbun hartanya mengetahui bahwa hartanya itu akan habis dimakan zakat. Oleh karenanya ia tidak akan membiarkannya tertimbun menganggur; sebaliknya mereka akan mengedarkannya dengan cara menginvestasikan ataupun membelanjakannya. Dengan demikian, konsumsi dan investasi akan memiliki multiplier effect terhadap pertumbuhan pendapatan nasional. Lebih lanjut, pajak seperti halnya zakat, dikutip dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin dan hal ini akan meningkatkan daya beli dan karena itu akan meningkatkan pembelian mereka akan barang dan jasa. Kaum industrialis akan memproduksi lebih banyak untuk memenuhi meningkatnya permintaan tersebut. Selanjutnya meningkatnya permintaan dan penawaran akan mendorong industrialisasi dan selanjutnya memperluas penyerapan tenaga kerja di dalam perekonomian.
Membayar zakat dan sedekah tidak saja membersihkan harta melainkan juga membersihkan jiwa manusia. Harta adalah sesuatu yang disukai dan siapapun juga dan setiap orang ingin memilikinya. Dengan mendorong orang untuk membayar zakat dan sedekah dari sebagian hartanya. Islam mendorong semangat berkorban, cinta, kebaikan hati dan kerjasama. Al-Qur’an menyatakan “perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhoaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak didataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya maka hujan gerimis pun memadainya. Dan Allah maha melihat apa yang kamu perbuat” (Q.S Al-Baqarah 265).
Membayar zakat dan sedekah membersihkan jiwa manusia dari keburukan seperti rakus, kikir, mementingkan diri sendiri dans sebagainya. Inilah yang menjadikan landasan motivasi umat muslim untuk berzakat membantu sesama karena ingin mendapatkan keridhoan dan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.

IV.2.   Produksi

Pengelolaan rezeki (harta) melalui baitul mal kaum muslimin dalam pendistribusiannya adalah hal yang sangat efektif, mengingat peran dari baitul mal itu sendiri. Baitul Mal adalah pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin. Tiap harta yang menjadi hak kaum muslimin, sementara pemiliknya tidak jelas, maka harta tersebut merupakan hak baitul mal. Baitul mal sebagai pengambangan harta berfungsi sebagai melakukan kegiatan pengembangan usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan makro terutma dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.[54]

2.1.      Rezeki (Harta) Sebagai Sumber Pemasukan Baitul Mal

Taqiyyuddin an-nabhani menjelaskan pemasukan bagi baitul mal adalah fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, ushr, khums, nikaz, tambang, serta  harta zakat. Hanya saja harta zakat diletakkan pada kas khusus baitul mal dan didistribusikan khusus kepada 8 asnaf yang telah disebutkan di dalam al-Qura’n.[55]

2.2.      Prinsip Pengelolaan Rezeki Harta (Baitul Mal)

Pengeluaran atau penggunan harta baitul mal menurut uraian Taqiyuddin an-nabhani ditetapkan berdasarkan 6 kaidah berikut, yang didasari dengan tata cara pengelolaan harta:[56]
-          Harta yang mempunyai kas khusus dalam baitul mal, ialah bersumber dari zakat dan didistribusikan khusus kepada 8 asnaf. Apabila dalam baitul mal tadi tidak ada harta dari bagian zakat maka tidak ada seorang pun dari ke 8 asnaf tadi yang berhak menerima harta dari baitul mal.
-          Harta yang diberikan baitul mal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan, serta melaksanakan kewajiban jihad, misalnya, nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil, serta nafkah untuk keperluan jihad. Hak mendapatkan pemberian untuk keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut, jadi hak tersebut adalah hak yang bersifat tetap baik harta tersebut ada maupun tidak ada dalam baitul mal.
-          Harta yang diberikan baitul mal sebagai suatu pengganti/ kompensasi (badal/ ujrah), yaitu, harta yang menjadi hak orang-orang yang telah memberikan jasa, seperti gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, dan tenaga edukatif. Hak mendapatkan pemberian ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut, jadi hak tersebut merupakan hak yang bersifat tetap, baik harta tersebut ada maupun tidak ada di baitul mal. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu wajib diberikan. Apabila tidak ada maka negara wajib mengusahakannya. Dengan cara memungut harta kepada kaum muslimin.
-          Harta yang dikelola baitul mal yang bukan sebagai pengganti/ kompensasi (badal/ ujrah), tetapi yang digunakan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum, misalnya, sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah rumah sakit, dan sarana-sarana lainnya. Hak ini bersifat tetap. Apabila ada harta di baitul mal wajib disalurkan untuk keiatan tersebut.
-          Harta yang disalurkan baitul mal karena adanya unsur kedaruratan, seperti panceklik/ kelaparan, angin topan, gempa bumi atau serangan musuh, ini merupakan hak tetap yang harus segera disalurkan. Kalaupun tidak ada maka wajib memungut harta kaum muslimin.

IV.4.    Konsumsi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada bab pembahasan, bahwa dalam hal konsumsi ini maka menurut ajaran Islam kita diharuskan mencari rezeki yang halal yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Dampaknya adalah terdapatnya keberkahan dalam rezeki itu sendiri sehingga kegiatan ekonomi khususnya konsumsi itu berjalan sesuai dengan aturan syariat Islam.    

IV.3.    Etos Kerja (Bisnis)
Dalam hal etos kerja di sini yaitu meningkatkan usaha individu masyarat maupun kelompok untuk mencari rezeki dan kegiatan ekonomi lainnya. Tinjauan dari sisi amalan manusia maka Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan hamba-Nya untuk berusaha dan berikhtiar melangsungkan kondisi-kondisi yang di dalamnya rezeki bisa datang. Namun, pada saat yang sama, ia harus paham bahwa usaha, ikhtiar dan kondisi itu bukan sebab bagi datangnya rezeki. Allah tidak menanyakan tentang datang dan tidaknya rezeki, tetapi Allah akan menanyakan usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki. Karenanya, Allah menjelaskan mana yang halal dan yang tidak.
Rezeki setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun telah menetapkan kadar dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba (Lihat, QS. Hud [11]: 6). Allah subhanahu wa ta’ala meluaskan dan menyempitkan rezeki seorang hamba sesuai kehendak-Nya. Itu adalah ujian bagi hamba (lihat, QS. al-Fajr [89]: 15-16). Kaya dan miskin tidak bersifat baik atau buruk dengan sendirinya; juga tidak menentukan mulia dan hinanya seseorang. Namun, kaya dan miskin itu menjadi baik atau buruk, memuliakan atau menghinakan, ditentukan oleh penyikapan terhadapnya.
Rezeki seorang hamba telah dijamin oleh Allah. Porsi dan takarannya juga telah ditetapkan. Jika hamba itu memintanya dengan jalan yang halal ataupun dengan jalan yang haram, Allah berikan. Namun, Allah akan menanyai tatacara perolehan dan pembelanjaan harta itu.
Seret atau tertundanya rezeki hendaknya tidak membuat seseorang tergesa-gesa lalu memintanya kepada Allah dan mencarinya dengan jalan yang haram.  Keimanan tentang rezeki itu menjadi salah satu kunci seorang tidak akan tersibukkan dengan dunia, tidak menjadi pemburu harta, bisa bersikap zuhud, giat beramal, berdakwah amar makruf nahi mungkar dan ketaatan pada umumnya.



BAB V
PENUTUP

V.1.     Kesimpulan
1.1.      Defenisi Rezeki
Rezeki memiliki dua arti yaitu, pertama rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan) berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu kata kiasan dari penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan sebagainya. Adapun defenisi lain, berarti segala sesuatu yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluk-Nya untuk mereka konsumsi, baik halal atau haram.
1.2.      Implementasi Dalam Bidang Produksi
Rezeki merupakan segala sesuatu yang didapatkan, baik berupa materi maupun non-materi dan dapat digunakan dalam menunjang kehidupan. Dalam Islam, manusia diberi wewenang dalam usaha mencari rezeki (memiliki), mengelola, memanfaatkannya. Pemberian modal dalam kegiatan ekonomi berasal dari rezeki yang halal.
1.3.      Implementasi Dalam Bidang Distribusi
Di dalam Islam sendiri, kaitannya dengan rezeki berupa harta, maka dilarang keras menimbunnya. Penimbunan harta dikutuk dan diancam siksa yang pedih. Karena menyebabkan tersendatnya perputaran harta diantara masyarakat yang tidak mampu dan menyebabkan ketidakstabilan kegiatan ekonomi. Pendistribusiannya sesuai dengan konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah.


1.4.      Implementasi Dalam Bidang Konsumsi
Cara memperoleh rezeki adalah dengan sungguh-sungguh dalam bekerja, tidak mengenal putus asa dan tidak boleh menempuh usaha terlarang dalam memperolehnya. Kemudian harus jelas tinjauan halal haramnya seperti dalam bab pembahasan.
1.5.      Implementasi Dalam Bidang Etos  Kerja (Bisnis)
Dalam hal etos kerja di sini yaitu meningkatkan usaha individu masyarat maupun kelompok untuk mencari rezeki dan kegiatan ekonomi lainnya. Tinjauan dari sisi amalan manusia maka Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan hamba-Nya untuk berusaha dan berikhtiar melangsungkan kondisi-kondisi yang di dalamnya rezeki bisa datang. Namun, pada saat yang sama, ia harus paham bahwa usaha, ikhtiar dan kondisi itu bukan sebab bagi datangnya rezeki. Allah tidak menanyakan tentang datang dan tidaknya rezeki, tetapi Allah akan menanyakan usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki. Karenanya, Allah menjelaskan mana yang halal dan yang tidak.

V.2.     Saran
2.1.      Bagi Pemerintah
                        Hendaknya pemerintah menerapkan aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi di Negara ini khususnya masalah “konsep rezeki” itu sendiri agar disesuaikan dengan ketetapan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.2.      Akademisi (Kajian Akademik)
                        Konsep rezeki dalam makalah ini dapat dijadikan rujukan atau salah satu referensi dalam dunia akademik (PBM) untuk menopang efektifitas dan kualitas pendidikan.



2.3.      Masyarakat
                        Menerapkan konsep rezeki ini dalam menjalani kehidupan sehari-hari demi terciptanya kegiatan perekonomian yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA


Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok. Gramata Publishing.

Arsyad, Jahrudin. 2008. 10 Pintu Rezeki 9 Dibuka Lewat Jalur Bisnis. Tangerang. Irsyad Publishing.

Asadullah Al-Faruq. 2012. Rahasia Sukses Dagang Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Solo. As-Salam Publishing.

Chalil, Zaki Fuad. 2009. Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam. Jakarta. Penerbit.  Erlangga.

Chaudry,  Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. (Penj. Suherman Rosyidi). Jakarta. Kencana.

Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat. 2009. Tafsir Al-Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Jakarta.

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta. Penerbit. Pustaka Pelajar.

Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jilid 1. 2003. Pustaka Nasoional PTE LTD Singapura. Singapura.


Mahmud Yunus. 1989. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta. Penerbit. Hidakarya Agung.

Majdudin Bin Yaqub Al-Feirus. 1952. Al-Kamus Al-Muhith. Kairo. Abadi Haladi.

Muhammad Nasib A-Rifa’i. 1999. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. Jilid dua.  (Penj; Shihabudin). Jakarta. Penerbit Gema Insani Press.

Muhammad Arifin bin Badri. 2008. Sifat Perniagaan Nabi. Bogor: Pustaka Darul Ilmi.

Nasrun Haroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta. Penerbit : Gaya Media Pratama.

Nurul Huda, Dkk. 2012. Keuangan Publik Islami. Jakarta. Penerbit  Kencana.

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr. 2010. Fikih Asma’ul Husna. Jakarta: Darus Sunnah Press.

Taqyuddin An-Nabhani. 2009. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya.

www.bps.go.id diakses pada tanggal 5 Februari 2013.





                [1] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok. Gramata Publishing. 2010. Hlm. 288.
                [2] M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 22.
                [3] Lihat Jacques Barzun, Darwin, Marx, Wagner (1958), hlm. 3.
                [4] M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 23.
                [5] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Edisi Lisensi, 1997, hlm. 68.
                [6] Asadullah Al-Faruq, Rahasia Sukses Dagang Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdurrahman bin Auf, Solo: As-Salam Publishing, 2012, hlm. 126.
                [7] www.bps.go.id diakses pada tanggal 5 Februari 2013.
                [8] http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/371058-daftar-40--orang-terkaya-di-indonesia
                [9] Zaki Fuad Chalil, Pemerataan Distrbusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Penerbit  Erlangga, 2009, Hlm. 156.
                [10] Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Tafsir Al-Qur’an Tematik. Pembangunan Ekonomi Umat, Jakarta: Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009, hlm. 01.
                [11]  Ayat ini salah satu dasar Ukhuwah dan Persamaaan dalam Islam.
                [12] Em Zul Fajri, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Difa Publishing
                [13] Ibrahim Musthafa dkk, al-Mu'jam al-Wasith, Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972, hlm.342.
                [14] Ali ibn Muhammad al-Jurjani, at-Ta'rifat, Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1405, Al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.47, hlm. 147.
                [15] Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.
                [16] Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim.
                [17] Lihat surat at Taubah ayat 55, dan Lihat surat Ali Imran ayat 178.
                [18] Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr, Fikih Asma’ul Husna, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010, hlm. 169-170.
                [19] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 11.
                [20] Mu'jam Mufahfas Li alfazh al-Qur'an
                [21] Lafzhu ar-rizq fi al-Qur'an, islamweb.net, diakses 21/02/2013 pukul. 11.00.
                [22] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.
                [23] Kenikmatan di syurga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.
                [24] Maksudnya: hujan yang dapat menyuburkan tanaman.
                [25] Yang dimaksud dengan apa yang dijanjikan kepadamu ialah takdir Allah terhadap tiap-tiap manusia yang telah ditulis di Lauhul mahfudz.
                [26] Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
                [27] Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana Keadaan hidup itu.
                [28]  Lafzhu ar-rizq fi al-Qur'an, islamweb.net, diakses 21/02/2013 pukul. 11.00.
                [29] Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.
                [30] Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
                [31] Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.
                [32] Rezeki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.
                [33] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
                [34] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 12.
                [35] Ibid, hlm. 13.
                [36] HR. Al-Bukhari
                [37] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 13.
                [38] HR. Bukhari-Muslim
                [39] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 13.
                [40]  Ibid, hlm. 22.
                [41] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
                [42] Lihat Al-Waabilush Shayyib, oleh Ibnul Qayyim, hlm. 64-65.
   [43] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
                [44] Lihat Taudhihul Ahkam oleh Ibnul Bassam, 4/221. Jika ingin mendapatkan penjelasan lebih luas tentang hukum meminta-minta, maka silahkan merujuk ke sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, dengan judul: Dzammul Mas’alah, yang telah diterjemahkan oleh Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, dengan judul terjemahan “Tercelanya Meminta-minta”.
                [45] Jahrudin Arsyad, 10 Pintu Rezeki 9 Dibuka Lewat Jalur Bisnis, Tangerang: Irsyad Publishing, 2008, hal. 34.
                [46]  Ibid.
   [47] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
                [48] Lihat Tafsir Ibnu Jarir, 14/194. Dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/591.
   [49] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
                [50] Lihat Madaarijus Saalikin, oleh Ibnul Qayyim, 1/225. Dan Tajridul Ittiba’, oleh Ibrahim ar-Ruhaili, hal. 48.
                [51] Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya.
                [52] Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2009. Hlm. 39.
                [53] Muhammad Sharif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, (Penj. Suherman Rosyidi), Jakarta: Kencana, 2012, Hlm. 37.
                [54] Nurul Huda, dkk, Keuangan Publik Islami, Jakarta: Penerbit Kencana, 2012, Hlm. 285               
                [55] Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Perspektif Islami, (Penj: Munawar Ismail), Surabaya: Risalah gusti. 2009.
                [56] Taqiyuddin An-Nabhani, 2009, hlm. 264-269.
Categories: