METODE KETELADANAN

Posted by Unknown on 22:00
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode yang paling sukses untuk mempersiapkan akhlak seorang anak, dan membentuk jiwa serta rasa soasialnya. Sebab, seorang pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, dan akan menjadi panutan baginya. Disadari atau tidak, sang anak didik akan mengikuti tingkah laku pendidiknya. Bahkan akan terpatri kata-kata, tindakan, rasa, dan nilainya di dalam jiwa dan perasaannya, baik ia tahu maupun tidak tahu. [1]
Abu Musa Al-Asy’ari r.a berkata bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk adalah seperti penjual minyak misik dan peniup perapian. Pembawa minyak misik bisa jadi memberikan minyaknya kepadamu, atau engkau membelinya, atau engkau mencium baunya. Sedangkan peniup perapian bisa jadi membakar pakaianmu, atau engkau mencium bau tidak sedap darinya.” (Muttafaq’alaih)[2]
Dr. Musthafa Dib al-Bugha dalam syarah kitab Riyadhush Shalihinnya menerangkan bahwa Nabi saw menyerupakan orang yang saleh seperti penjual minyak kasturi untuk menunjukkan bahwa akhlak yang mulia itu menular dan menular terhadap teman-temannya disebabkan pergaulan dengannya. Begitupula Rasulullah saw menyerupakan bergaul dengan orang yang jahat dengan orang yang meniup bara api, karena hal itu akan menular kepada orang lain.[3]
Dari hadist di atas dapat disimpulkan bahwa pergaulan sangat berpengaruh terhadap karakter manusia. Bagi anak-anak di rumah, pergaulan dengan orang tua, khadimat atau pembantu rumah tangga, tetangga, saudara. Atau siapa pun yang berada di lingkungan rumah nya akan sangat berpengaruh karena dari mereka lah anak akan mengambil contoh teladan.
Di lingkungan sekolah pun demikian. Anak-anak, baik yang sudah ataupun belum memasuki usia remaja tentu akan banyak mencontoh orang-orang yang ada di sekitarnya. Terutama teman dan guru yang sering berinteraksi dengan mereka. Guru, dalam hal ini sebagai tenaga pengajar tentu memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan contoh teladan bagi para muridnya.
Namun pada kenyataannya, orang tua maupun guru yang seharusnya menjadi teladan bagi anak ternyata malah memberikan contoh yang kurang baik. Berita-berita seputar kebejatan moral guru cukup banyak kita temui di portal-portal berita saat ini. Contohnya yang terjadi di Jembrana, Bali pada Bulan Oktober 2015. Seorang guru tega menyetubuhi muridnya sendiri.[4]
Ada juga di Kefamemanu, Nusa Tenggara Timur, 23 murid dipaksa membenturkan kepala ke meja sebagai hukuman karena tidak mengerjakan tugas yang berakhir dengan salah seorang murid mengalami koma.[5]
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada acara “Sosialisasi Bahaya Kekerasan Seksual di Sekolah dengan tema ‘Penguatan Karakter Pendidikan Khodijah Guna Menyiapkan Generasi Emas’” di Yayasan Pendidikan Khodijah di Surabaya, Sabtu 14 Februari 2015 menyebutkan bahwa dari data media online di seluruh Indonesia, tahun 2014 dari 25 Provinsi di Indonesia, Jawa Timur menempati peringkat tertinggi dengan persentase 80 persen daerah persebaran kasus kejahatan seksual di sekolah," urainya.Selain itu, Jawa timur juga mendapat predikat tertinggi persebaran kasus kejahatan seksual dengan pelakunya adalah guru."Untuk pelaku guru, persentasenya mencapai 22 persen, tertinggi di Indonesia," imbuhnya.[6]
Di rumah, orang tua perokok sering kali mencontohkan anak untuk merokok. Mereka dengan santainya merokok di depan anak-anak mereka. Menurut Sotar Sinaga, perwakilan dari Yayasan Kampus Diakonia Modern dalam pertemuan yang dilakukan sejumlah gerakan dan komunitas peduli anak di Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Jumat 9 Oktober 2015, selain membahayakan kesehatan si anak, tindakan orang dewasa yang merokok di depan anak berpotensi membuat anak yang bersangkutan dapat menjadi konsumen rokok pada usia dini, seperti yang saat ini banyak terjadi.[7]
Sering kali orang tua melarang anak untuk merokok, tetapi mereka justru malah memberikan contoh yang berlawanan dengan apa yang diucapkan. Dalam shalat berjamaah pun demikian. Orang tua sering kali menyuruh anak untuk shalat di masjid, tetapi tidak mencontohkan dalam perbuatannya.  
Pendidikan pertama seorang anak adalah orang tuanya. Maka orang tua memiliki peranan yang penting dalam pengajaran anak di usia dini. Pentingnya peran orang tua ini dituangkan dalam sebuah hadist Rasulullah SAW yang berbunyi: “Setiap anak itu dilahiran dalam keadaan suci. Kedua Ibu Bapaknya lah yang menjadikannya Nasrani atau Majusi.”[8]
Kegiatan pengajaran berlangsung utamanya di rumah dan di sekolah. Sebelum anak-anak bersekolah di institusi resmi, setiap orang tua pasti akan mengajarkan anak-anaknya pengetahuan ataupun keterampilan yang diperlukan untuk perkembangan otak maupun motoric anak. Selanjutnya anak akan mendapatkan pengajaran di sekolah. Peranan guru dan orang tua terutama sangat penting bagi perkembangan anak.

1.2  Rumusan Masalah
Dalam memahami teladan yang baik, sebagai orang muslim, tentunya para orang tua dan guru perlu mencontoh Nabi Muhammad saw sebagai role model. Agar lebih yakin dengan hal tersebut, maka perlu dijawab beberapa pertanyaan berikut:
1.      Mengapa harus Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan?
2.      Apa saja teladan yang dapat dicontoh dari Nabi Muhammad saw?

BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1         Pengertian Metode
Secara harfiyah metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu metayang berarti menuju, dan hodos yang berarti jalan atau cara tertentu. Dalam bahasa Arab kata metode diungkapkan dalam bentuk kata thariqah yang berarti jalan, dan manhaj yang berarti system, serta wasilah yang berarti perantara. Dari kedua bahasa tersebut sepertinya tidak terjadi perbedaan makna.[9]
Metode secara istilah di artikan oleh Prof Abuddin Nata sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.[10]
Metode pendidikan merupakan suatu cara yang digunakan pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran, keterampilan, keteladanan, atau sikap tertentu agar proses pendidikan berlangsung efektif, dan tujuan pendidikan tercapai dengan baik.[11]
Pemilihan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan, demikian juga metode yang kurang tepat akan membuat proses pendidikan menjadi gagal, suasana pembelajaran akan terasa membosankan, sehingga siswa sulit menerima pelajaran. Bahkan materi yang mudah akan terasa sulit. Mendidik dengan cara salah sering menimbulkan penolakan. Sebaliknya, ketepatan memilih metode akan membuat transfer ilmu dan sikap terasa mudah dan menyenangkan.[12]

2.2         Metode-Metode Pendidikan
Prof. A. Tafsir mendefiniskan pendidikan islami dalam arti sempit sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam.[13] Bimbingan yang diberikan oleh seseorang dalam pengertian diatas adalah pengajaran. Berdasarkan pengertian ini, maka kegiatan pendidikan tidak bisa terlepas dari kegiatan pengajaran. Setiap proses pengajaran pasti memerlukan metode sebagai cara penyampaiannya.
Terdapat banyak metode yang disampaikan dalam Al-Quran. Diantaranya surat An-Nahl ayat 125: “Serulah manusia ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”[14]
Allah Ta’ala berfirman seraya memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw agar menyeru umat manusia dengan penuh hikmah. Ibnu Jarir mengatakan: “Yaitu apa yang telah diturunkan kepada beliau berupa Al-Quran dan as-sunnah serta pelajaran yang baik, yang didalamnya berwujud larangan dan berbagai peristiwa yang disebutkan agar mereka waspada terhadap siksa Allah Ta’ala.[15]
Akhmad Alim, mengutip apa yang disampaikan oleh Al-Fakhr Al-Razi dalam Al-Tafsir Al-Kabir menyatakan: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk mengajak manusia (kepada jalan Allah) dengan salah satu dari ketiga metodologi ini, yakni dengan hikmah, mau’izah hasanah, dan mujadalah dengan cara yang baik.”[16]
Akhmad Alim menjabarkan ketiga metode tersebut secara lebih rinci lagi. Berikut penjelasannya:
1.      Metode Hikmah
Metode Hikmah dapat dikembangkan dalam beberapa bentuk metode sebagaimana uraian berikut:
·      Metode Keteladanan (Uswatun Hasanah)
Metode keteladanan merupakan sebuah cara dengan memberikan contoh yang baik (uswah hasanah) dalam setiap ucapan dan perbuatan kepada anak didik.
Konsep keteladanan dalam sebuah pendidikan sangatlah penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos social anak. Karena seorang pendidik merupakan sosok figure dalam pandangan anak, disadari atau tidak akan ditiru oleh anak. Bahkan bentuk perkataan dan tindak tanduknya akan senantiasa tertanam dalam konsep kepribadian anak.
Pada dasarnya manusia membutuhkan sosok dan panutan yang dapat dicontoh, sehingga mengarahkan dirinya pada jalan yang benar. Keberhasilan pendidikan ini memang memiliki korelasi yang sangat kuat dengan keteladanan. Sebab sejarah mencatat, bahwa Rasulullah Saw sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) telah berhasil merubah sebuah generasi dari generasi biadab menjadi generasi beradab. Allah berfirman dalam QS Al-Ahzab: 21: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu, bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan hari akhir dan dia banyak mengingat Allah.”
·         Metode Praktik
Metode praktek merupakan cara mendidik dengan mengaplikasikan secara langsung dalam bentuk latihan. Manfaat metode ini adalah mewujudkan hubungan antara teori dan praktek, ilmu dan hasilnya, menghasilkan kemahiran dan kecermatan yang tinggi, merangsang muslim untuk melakukan kewajibannya, memunculkan kebahagiaan individu karena ia melihat hasil sesungguhnya, dan terakhir mengurangi kesalahan dan menambah kesungguhan.
Rasulullah Saw ketika membina sahabatnya sering menggunakan metode ini. Ketika mengajak shalat, beliau bersabda “Shalluu kamaa ra-aitumuunii” (shalatlah seperti yang kalian melihatku). Beliau berperan langsung sebagai imam, sementara para sahabat menjadi makmum, dengan maksud memberikan pelajaran kepada mereka.
·         Metode Perumpamaaan (amtsal)
Metode perumpamaan merupakan metode pendidikan yang digunakan pendidik kepada anak didik dengan cara memajukan berbagai perumpamaan agar materinya mudah dipahami. Dalam QS Al-Zumar: 27 disebutkan: “Dan sungguh kami telah membuat bagi manusia di dalam Al-Quran ini setiap perumpamaan, supaya mereka mendapat pelajaran.” Ayat ini merupakan dalil naqli bahwa islam menggunakan perumpamaan sebagai metode dalam menyeru manusia pada kebenaran sehingga mereka mau mengikuti petunjuk Allah.
Terdapat banyak ayat dan hadist yang menggunakan metode ini. Beberapa perumpamaan dalam Al-Quran:
Ø  Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti orang yang menanam sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, yang tiap tangkainya berisi seratus butir. (QS. Al-Baqarah: 261)
Ø  Perumpamaan kasih sayang antara sesama muslim seperti satu jasad yang ikut merasakan sakit., ketika salah satu anggota tubuh tertimpa penyakit (HR. Muslim)
Ø  Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan –perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim: 24-25)
Ø  Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan (dengan) perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.”(QS Al-Baqarah: 26)
Ø  Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS Al-Ankabut: 41)
2.      Metode Mau’izhah Hasanah
Inti dari metode mau’izah hasanah adalah terfokus pada penyampaian pesan yang bertujuan untuk memberikan dorongan positif (targhib) dan menjauhkan dari dorongan negative (tarhib). Pengembangan dari metode ini bisa diwujudkan sebagi berikut:
·         Qaulan baligha (nasihat argumentative) ditujukan pada siswa yang suka berdebat
·         Qaulan layyina (nasihat yang lembut) ditujukan pada siswa yang mudah diatur
·         Qaulan masyiura (nasihat yang mudah) ditujukan pada siswa pemula
·         Qaulan karima (nasihat yang mulia) ditujukan pada seluruh siswa secara umum
·         Qaulan sadidun (nasihat yang tegas) ditujukan pada siswa yang sering melakukan pelanggaran
·         Qaulan hasana (nasihat yang baik) ditujukan pada semua siswa secara umum
3.      Metode Mujadalah
Dalam proses pendidikan, istilah mujadalah secara esensial dikenal dengan metode diskusi, dialog atau hiwar, yang dilaksanakan dengan baik sesuai dengan nilai islami. Proses diskusi bertujuan menemukan kebenaran, memfokuskan diri pada pokok permasalahan. Menggunakan akal sehat dan jernih, menghargai pendapat orang lain, memahami tema pembahasan antusias, mngungkapkan dengan baik, dengan santun, dapat mewujudkan suasana yang nyaman dan santai untuk mencapai kebenaran serta memuaskan semua pihak.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu pesan yang disampaikan secara langsung dan dapat mengetahui respon yang bersangkutan. Guru yang menjalankan metode ini bisa mengaktifkan akal, menguatkan meeka dalam menerima pengetahuan baru, dan menumbuhkan kecintaan pada kebenaran.
Berikut ini adalah beberapa contoh dialog dalam Al-Quran:
·         Dialog Allah dengan para malaikat dalam penciptaan Adam. (QS Al-Baqarah: 30)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
·         Dialog Allah dengan para rasul seperti Nabi Musa (QS Al-A’raf: 143)
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ (143)
Artinya: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman"
·         Dialog Allah dengan manusia di akhirat (QS Al-Mukminun: 112-113)
قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الأرْضِ عَدَدَ سِنِينَ (١١٢) قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ (١١٣)
Artinya: Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? (112)
Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung" (113)


BAB III
KAJIAN TAFSIR

            Allah telah menjamin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah teladan yang paling baik. Manusia yang paling baik dan paling layak untuk dijadikan panutan oleh seluruh manusia adalah Nabi Muhammad SAW. Hal ini di sebutkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
Artinya:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang mencontoh Rasulullah SAW dalam berbagai perkataan, perbuatan, dan perilakunya. Untuk itu Allah Tabaraaka wa Ta’ala memerintahkan manusia untuk mensuriteladani Nabi SAW pada hari Ahzab dalam kesabaran keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabarannya dalam menanti pertolongan dari Rabb-Nya.[17]
Ummu Salamah berkata: “Aku telah menyaksikan di samping Rasulullah SAW beberapa peperangan yang hebat dan ngeri, peperangan di Almuraysia’, khaibar, dan kami pun telah menyaksikan pertemuan dengan musuh di hudaibiyah, dan aku pun turut ketika menaklukkan Mekkah dan peperangan di Hunain. Tidak ada pada peperangan yang aku saksikan itu yang lebih membuat lelah Rasulullah dan lebih membuat kami-kami jadi takut, melebihi peperangan khandaq. Karena kaum muslimin benar-benar terdesak dan terkepung pada waktu itu, sedang Bani Quraizhah tidak lagi dipercaya karena sudah membelot, sampai Madinah dikawal sejak siang sampai waktu subuh, sampai kami dengar takbir kaum muslimin untuk melawan rasa takut mereka. Yang melepaskan kami dari bahaya ialah karena musuh-musuh itu telah diusir sendiri oleh Allah dari tempatnya mengepung itu dengan rasa sangat kesal dan sakit hati, karena maksud mereka tidak tercapai.
Memang ada orang yang bergoncang pikirannya, berpenyakit jiwanya, pengecut, munafiq, tidak berani bertanggung jawab, bersedia-sedia hendak lari dari badwi ke dusun-dusun, tenggelam dalam ketakutan melihat dari jauh betapa besar jumlah musuh yang akan menyerbu. Tetapi masih ada lagi orang-orang yang berpendirian tetap, tidak putus harapan, tidak kehilangan akal. Sebab mereka melihat sikap dan tingkah laku pemimpin besar mereka sendiri, Rasulullah saw. Beliau mendengar nasehat Salman Al-Farisy agar ditempat musuh bisa menerobos dibuat parit pertahanan, dan nasehat ini segera beliau laksanakan. Beliau sendiri yang memimpin penggalian parit bersama-sama dengan para sahabat. Beliau turut memikul galian tanah, sehingga tanah dan pasir ikut mengalir bersama keringat beliau. Semuanya dikerjakan oleh para sahabat dengan bergembira karena meliaht Rasulullah pun kelihatan gembira dan bersemangat. Rasulullah ikut menyanyikan syair yang digubah ‘Abdullah bin Rawahah terutama di ujung syair sehingga semua pun turut senang, lupa bagaimana beratnya pekerjaan dan bagaimana besarnya musuh yang dihadapi. Padahal jika dilihat kondisi saat itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Jenderal ‘Abdullah Syist Khaththaab di Iraq, memang amat besar bahaya yang mengancam dalam perang khandaq itu. Hari di musim dingin, persedian makanan di Madinah yang kurang, kalau terbayang saja ada sedikit kecemasan di wajah beliau, pastilah semangat para pejuang akan luntur. Namun beliau bersikap seakan-akan bahaya itu kecil saja dan dapat diatasi dengan kegembiraan dan kesungguhan bekerja.[18]
 Keteladanan yang baik tentu akan lahir dari pribadi yang memiliki akhlak yang baik. Nabi Muhammad adalah sosok yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk memiliki akhlak dan perbuatan paling mulia. Allah SWT menegaskan hal ini di dalam Surat Al-Qalam ayat 4:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيم ٤
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung (mulia)”
Ma’mar menceritakan dari Qatadah. ’Aisyah pernah ditanya mengenai akhlak Rasulullah maka ia menjawab: “akhlak beliau adalah Al-Quran.” Demikianlah hadist ringkas dari hadist yang cukup panjang. Dan juga telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya, dari hadist Qatadah yang cukup panjang. Dan itu berarti bahwa Nabi saw menjadi percontohan Al-Quran, baik dalam hal perintah, larangan, sebagai karakter sekaligus perangai beliau. Apapun yang diperintahkan Al-Quran, maka beliau pasti mengerjakannya, dan apapun yang dilarangnya beliau pasti akan menghindarinya. Dan itu disertai pula dengan apa yang diberikan Allah kepada beliau berupa akhlak yang sangat agung, yaitu rasa malu, pemurah, pemberani, pemberi maaf lagi sabar, serta semua akhlak mulia, sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab ash-shahihain dari Anas, dia berkata: “Aku pernah melayani Rasulullah saw selama sepuluh tahun, selama itu pula beliau tidak pernah mengatakan: ‘Ah’ sama sekali kepadaku. Dan tidak juga beliau mengomentari sesuatu yang aku kerjakan dengan mengatakan: ‘mengapa engkau kerjakan itu?’ dan juga tentang sesuatu yng belum aku kerjakan dengan mengatakan: ‘mengapa engkau tidak mengerjakannya?’ Rasulullah saw adalah yang paling baik akhlaknya. Beliau tidak pernah mamakai kain yang ditenun dari sutera. Tidak ada yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah. Dan aku tidak pernah maencium bau harum dan wangi-wangian yang lebih wangi dari keringat Rasulullah saw.”[19]
            Sayyid Quthb, dalam tafsir Fi Zhilalil-Quran menyebutkan bahwa dalam periode Mekkah, Nabi Muhammad saw selalu mendapat ejekan dan pelecehan yang sangat menyakitkan dari kaum musyrikin. Allah menonjolkan unsur akhlak yang ditampilkan melalui dakwah ini dan melalui diri Nabi yang mulia, serta menafikkan tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh kaum musyrikin terhadap dirinya.[20]
3.1 Kajian Sirah
            Jika kita mengkaji kitab-kitab sirah, akan sangat banyak teladan yang bisa dicontoh dari Rasulullah saw. Hal ini karena memang akhlak Rasulullah adalah Al-Quran sebagaimana dijelaskan di pembahasan sebelumnya. Berikut akan disebutkan beberapa contoh teladan Rasulullah saw serta bagaimana pengaplikasiannya dalam kegiatan mengajar baik di rumah oleh orang tua, maupun di sekolah ataupun perguruan tinggi oleh para guru.
1.      Rasulullah saw sangat mencintai umatnya.
Tidak ada yang meragukkan kecintaan Nabi Muhammad saw kepada ummat nya. Setiap hal yang dilakukannya merupakan perwujudan cinta nya. Marahnya beliau pun adalah wujud kecintaannya. Hukuman yang diterima Kaab bin Malik dan kedua sahabatnya (Murarah bin Ar-Rabi’ dan Hilal bin Umaiyyah) karena tidak mengikuti perang Tabuk tanpa alasan berupa pengucilan dari Rasulullah dan para sahabat, sejatinya itu adalah bentuk kecintaannya agar mereka bertiga segera bertaubat dan tidak lagi lari dari medan jihad.
Ibnul Qayyim berkata: Demikianlah Allah memperlakukan hamba-Nya dalam hukuman kejahatan mereka. Dia menghukum hamba-Nya yang beriman dan mencintai-Nya, bahkan ia sangat mulia di sisi-Nya, hanya karena ketergelinciran dan kesalahan ringan sehingga dengan demikian ia senantiasa sadar dan hati-hati. Sedangkan orang yang hina dan tidak punya kedudukan mulia di sisi-Nya dibiarkan terus dengan berbagai kemaksiatan. Bagi hamba-Nya yang beriman, setiap kali melakukan kesalahan Allah memberikan nikmat kepadanya.[21]
Jika dalam memberikan hukuman saja, Rasul memberikan hukuman yang mendidik yang didasari oleh cinta, tentunya segala perbuatan baik lainnya yang selalu beliau lakukan di dasari dengan cinta. Rasulullah orang yang sangat halus hatinya. Seringkali Rasulullah menangis sebagai bentuk kasih sayangnya kepada ummatnya. Ketika ada ayat yang membahas tentang siksaan neraka atau hari hisab, beliau selalu meneteskan air mata teringat akan nasib umatnya.[22] Seperti yang diungkapkan Ustadz Rahmat Abdullah ketika mengatakan tentang dakwah, sebagai konsekuensi dari cinta, “Cinta akan meminta segalanya darimu, sampai pikiranmu, sampai perhatianmu, berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai.”
2.      Rasulullah saw selalu melakukan kebaikan atau meninggalkan keburukan terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Ishaq bahwasanya Rasulullah saw pernah mengutus ‘Amr bin ‘Ash kepada Al-Julanda Malik ‘Uman Watsimah untuk mengajaknya memeluk agama islam, ia lalu berkata: “Sesungguhnya dia (‘Amr bin ‘Ash) telah menunjukkan aku untuk mengikuti seorang nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis). Sungguh, beliau (Nabi saw) tidak pernah menyuruh suatu kebaikan, melainkan beliau sendiri orang yang pertama melakukannya. Sebaliknya, beliau tidak pernah suatu kejahatan, melainkan belaiu sendiri orang yang pertama meninggalkannya. Sungguh, beliau tidak sombong meskipun meraih kemenangan. Sebaliknya, beliau tidak mengeluarkan kata-kata kotor sekalipun beliau dikalahkan. Beliau senantiasa memenuhi dan melaksanakan janji. Aku bersaksi bahwa beliau adalah benar-benar seorang nabi.”[23]
3.      Rasulullah saw selalu menepati janji
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq diatas, telah disebutkan bahwa Rasulullah selalu menepati janji. Maka demikian lah seharusnya seorang pendidik terhadap anak didiknya, orang tua kepada anaknya. Apabila janji telah diucapkan, maka pantang bagi seorang muslim untuk melanggarnya.
4.      Rasulullah saw menegur sahabat dengan metode yang mendidik
Dalam menegur sahabat, Rasulullah mencontohkan beberapa hal. Diantaranya adalah dengan berdialog dengan orang yang bersangkutan. Seperti dalam hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad yang diriwayatkan dari Abi Umamah Al-Bahili, ia berkata: “sesungguhnya seorang pemuda telah datang kepada Nabi saw lalu berkta: ‘wahai Rasulullah, izinkanlah aku berbuat zina.’ (mendengar perkataan tersebut) sekelompok orang mencelanya dan berkata: ‘hentikan dan cegahlah (usirlah) dia.’ Rasulullah kemudian berkata (kepada pemuda itu): ‘Mendekatlah kepadaku!’ pemuda itu pun mendekat dan duduk dihadapan Rasulullah. Beliau bertanya: ‘apakah engkau senang jika yang dizinahi itu ibumu?’ pemuda itu menjawab: ‘Tidak demi Allah, wahai Rasulullah, lebih baik aku menjadi tebusanmu saja.’ Beliau kemudian menjelaskan: ‘orang-orang pun juga tidak akan rela apabila yang dizinahi itu ibu mereka.’ Beliau bertanya lagi: ‘apakah engkau rela jika yang dizinahi itu anak perempuanmu?’ pemuda itu menjawab: ‘Tidak demi Allah, wahai Rasulullah, lebih baik aku menjadi tebusanmu.’ Beliau kemudian berkata: ‘manusia manapun juga tidak akan rela jika yang dizinahi anak mereka.’ Beliau lalu bertanya lagi: ‘apakah engkau rela jika yang dizinahi itu saudara (adik atau kakak) perempuanmu?’ dia menjawab: ‘Tidak demi Allah, wahai Rasulullah, lebih baik aku menjadi tebusanmu.’ Beliau kemudian menjelaskan: ‘siapapun juga tidak akan rela jika yang dizinai adalah saudara perempuan mereka.’ Beliau bertanya lagi: ‘apakah engkau rela jika yang dizinahi itu bibimu (dari pihak ayah)?’ pemuda itu menjawab: ‘Tidak demi Allah, wahai Rasulullah, lebih baik aku menjadi tebusanmu.’ Beliau menjelaskan: ‘manusia manapun tidak akan rela apabila yang dizinai adalah bibi mereka (dari pihak ayah).’ Beliau bertanya lagi: ‘apakah engkau rela jika yang dizinahi itu bibimu (dari pihak ibu)?’ pemuda itu menjawab: ‘Tidak demi Allah, wahai Rasulullah, lebih baik aku menjadi tebusanmu.’ Beliau menjelaskan: ‘manusia manapun tidak akan rela apabila yang dizinai adalah bibi mereka (dari pihak ibu).’ Setelah itu lalu beliau meletakkan tangan beliau diatas pundak pemuda tersebut seraya berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah dosanya; bersihkanlah hatinya; dan jagalah kemaluannya.’ Sejak saat itu, tidak pernah terbesit sedikitpun pada pemuda tersebut untuk berzina.”[24]
Meskipun hadist diatas menunjukkan cara nabi menegur dengan dialog yang baik,  Rasulullahsaw juga pernah menampakkan kemarahannya ketika menegur sahabat. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: “suatu hari Rasulullah saw keluar menemui kami yang mana ketika itu kami sedang berselisih tentang persoalan qadar, maka beliau marah sampai-sampai muka beliau memerah seakan-akan buah delima dibelah dikedua pipi beliau, lalu beliau bersabda: ‘apakah ini yang telah diperintahkan kepada kalian? Ataukah untuk urusan ini aku diutus kepada kalian? Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian rusak lantaran mereka berselisih dalam masalah ini. Aku mengharuskan kepada kalian untuk tidak saling berselisih dalam masalah ini.” (HR. Tirmidzi)[25]
5.      Rasulullah saw mendengarkan pendapat para sahabat
Dalam Perang Uhud, setelah mendengar kabar bahwa pasukan Quraisy yang berjumlah tiga ribu orang akan menyerang Madinah, Rasulullah saw segera mengadakan musyawarah dengan para sahabat. Dalam musyawarah ini Rasulullah menawarkan kepada mereka antara keluar menjemput musuh di luar kota Madinah, atau bertahan di dalam kota Madinah; jika musuh datang menyerang kota Madinah, barulah kaum muslimin menghadapi mereka di dalam kota. Dari kalangan orang-orang tua, termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul, memilih tawaran kedua (bertahan di dalam kota Madinah) sedangkan sebagian besar para sahabat yang tidak berkesempatan ikut perang Badr berkeinginan menghadapi musuh di luar kota Madinah. Mereka terus mendesak Rasulullah saw agar mau mengadakan perang di luar Madinah, sampai akhirnya beliau menyetujuinya.[26]
Dalam Perang Khandaq, ketika Rasulullah saw mengetahui berita keberangkatan pasukan musyrikin dari Mekkah, beliau mengumumkan kepada para sahabat dan memerintahkan mereka untuk mengadakan persiapan perang. Rasulullah saw meminta pandangan para sahabat dalam menghadapi peperangan ini. Salman al-Farisi mengusulkan supaya digali parit di sekitar kota Madinah. Kaum muslimin mengagumi usul ini dan menyetujuinya.[27]
6.      Rasulullah saw memberikan pujian dan memberikan perhatian dengan memegang tangan atau bahu
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata: “Rasulullah saw pernah bertanya kepadaku: ‘Wahai Abu Mundzir, ayat manakah dari kitab Allah (Al-Quran) yang menurutmu paling agung?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau mengulangi pertanyaannya lagi: ‘Wahai Abu Mundzir, ayat manakah dari kitab Allah (Al-Quran) yang menurutmu paling agung?’ aku kemudian menjawab: ‘Yaitu ayat ‘Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyum’ (maksudnya ayat kursi,-ed). Setelah itu beliau menepuk dadaku dan mengatakan:
ليهنك العلم ابا المنذر
‘Semoga ilmumu membuatmu bahagia.’” (HR. Imam Muslim)[28]
7.      Rasulullah saw memilih momentum yang tepat dalam menyampaikan sesuatu
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, dia mengatakan: “sejumlah tawanan perang pernah diserahkan kepada Nabi saw. Diantara tawanan ada seorang wanita yang air susunya membasahi kainnya (lantaran sudah penuh). Dia pun lantas mencari anaknya yang telah lepas dari pelukannya. Saat mendapatinya, dengan segera ia membopong anak itu, lalu mendekatkannya pada perut dan menyusuinya. Beliau saw kemudian bertanya kepada para sahabat: ‘apakah mungkin perempuan ini tega melemparkan anaknya sendiri kedalam kobaran api?’ kami menjawab: ‘Tidak, ia tidak mungkin tega melemparkannya.’ Lalu beliau bersabda: ‘sungguh, kasih sayang Allah kepada hamba-Nya jauh lebih besar dari pada kasih sayang perempuan ini terhadap anaknya sendiri.’” (HR. Bukhori dan Muslim)[29]
8.      Rasulullah saw selalu memberikan motivasi
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d Al-Sa’idi, dia berkata: “Rasulullah saw telah bersabda: ‘kelak aku dan pengasuh anak yatim akan berada di syurga laksana dua jari ini.’ Seraya beliau berisyarat dengan kedua jari beliau, jari telunjuk dengan jari tengah sedikit direnggangkan.’” (HR. Bukhori)[30]
Muslim manakah yang tidak ingin bersama Rasulullah saw di syurga nanti? Tentu tidak ada. Dan dalam hadist di atas Rasulullah saw memberikan motivasi kepada para sahabat untuk memuliakan dan mengasuh anak-anak yatim. Bukan hanya memberikan anjuran untuk mengasuh anak yatim, tapi Nabi saw menekankan lagi dengan sebuah ganjaran yang luar biasa sehingga para sahabat tentu akan semakin termotivasi melakukan amalan tersebut.
9.      Rasulullah saw terbuka terhadap kritikan.
Rasulullah tiba di pinggir lembah Badr dengan posisi nyaris sehadap dengan lawan sebelum Perang Badr terjadi. Habbab bin Mundzir bertanya kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini Anda menerima wahyu dari Allah swt yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu muslihat peperangan?” Rasulullah saw menjawab: “tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan tipu muslihat peperangan.” Al-Habbab mngusulkan: “Ya, Rasulullah, jika demikian, ini bukan tempat yang tepat. Ajaklah pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh, kita membuat kubu pertahanan di sana dan menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita membuat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh, dengan demikian kita akan berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air minum.” Rasulullah saw menjawab: “Pendapatmu sungguh baik.” Rasulullah saw kemudian bergerak dan pindah ke tempat yang diusulkan oleh al-Habbab.[31]
Dari kisah di atas kita bisa belajar bahwa Nabi Muhammad saw tidak anti kritik. Apabila ada pendapat sahabat yang lebih baik, beliau tidak segan-segan mengakuinya dan mengikuti saran sahabat.
10.  Rasulullah saw adalah sosok yang perhatian kepada sahabat
Perhatian Rasulullah saw terhadap para sahabatnya sangat besar. Setiap ada yang sakit pasti akan dijenguk, meskipun rumahnya jauh. Utsman bin Affan pernah bercerita: “Demi Allah, kami senantiasa menemani Rasulullah, baik dalam perjalanan ataupun ketika mukim. Beliau senantiasa menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, ikut berperang, dan memberi kepada kami, baik dengan banyak ataupun sedikit.[32]


BAB IV
KAJIAN IMPLEMENTASI
1.      Rasulullah saw sangat mencintai umatnya.
Seorang pendidik yang mencintai anak didiknya tentu akan melakukan segala upaya yang terbaik agar anak didiknya mampu menjadi muslim sempurna. Dia akan selalu memikirkan segala hal terbaik yang perlu dilakukan untuk kemajuan anak didiknya. Dan dari cinta ini lah, akan muncul keteladanan yang mampu menjadi contoh yang baik untuk anak-anak didiknya.
Cinta pendidik kepada anak didiknya akan melahirkan perhatian hati yang lembut sekaligus tegas. Uang tidak akan menjadi prioritas utama ketika mendidik. Melihat anak didiknya sukses adalah sebuah kebahagiaan bagi seorang pendidik yang mencintai anak didiknya.
2.      Rasulullah saw selalu melakukan kebaikan atau meninggalkan keburukan terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain.
Baik guru maupun orang tua, jika ingin menyuruh anaknya, sebaiknya melakukan dan mencontohkan apa yang diperintahkan. Dalam hal ibadah misalnya, menyuruh anak untuk shalat di masjid, seorang ayah tentulah sebaiknya mencontohkan dengan shalat di masjid juga. Tidak lantas ayah menyuruh anak shalat di masjid, tapi ayah malah shalat di rumah. Di sekolah misalnya, jika ingin mendidik anak untuk membiasakan shalat dhuha, maka para guru sebaiknya ikut mencontohkan dengan shalat dhuha bersama murid-muridnya.
Contoh lain yang juga dikemukakan di bagian latar belakang masalah, ketika ingin menhindarkan anak dari rokok, maka orang tua pun harus mencontohkan terlebih dahulu dengan meninggalkan rokok. Di sekolah murid dilarang merokok, jika ketahuan biasanya akan ada hukuman bagi murid. Tapi terkadang ada saja guru yang merokok, meskipun tidak dilakukan di sekolah, tapi seorang perokok tidak akan bisa menghilangkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang perokok. Apalagi jika merokoknya dilakukan di depan murid baik di sekolah ataupun saat kegiatan di luar sekolah.
3.      Rasulullah saw selalu menepati janji
Seorang pendidik tentulah harus selalu menepati janjinya. Orang tua di rumah, dalam mendidik anak tidak sebaiknya membohongi anak-anaknya. Jika menjanjikan hadiah atas pencapaian yang didapat anaknya, maka hadiah tersebut harus diberikan. Tentu hadiah yang diberikan sebaiknya hadiah yang mendidik atau tidak berlebihan.
Guru di sekolah pun demikian, jika menjanjikan sesuatu kepada murid, maka sudah sepantasnya janji tersebut ditunaikan. Hal ini akan menjadikan murid paham akan pentingnya sebuah janji.
4.      Rasulullah saw menegur sahabat dengan metode yang mendidik
Dalam hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad mengenai dialog Nabi saw dengan seorang pemuda yang ingin berzina, Rasulullah menegur tidak dengan memarahi. Tetapi Nabi justru menggunakan pendekatan dialog dan pengandaian yang baik. Dengan pendekatan ini, akhirnya pemuda tersebut mampu menjauhi zina. Hal ini dapat diterapkan pula terhadap anak baik di rumah ataupun di sekolah. Misalnya saat ada anak yang merokok atau terlibat tawuran, orang tua atau guru bisa berdialog dengan anak tersebut dan memberikan pemahaman tentang bahaya rokok atau tawuran dengan penganalogian yang sederhana. Dialog seperti ini sebaiknya dilakukan dengan pendekatan dialog yang penuh kasih, bukan sekedar dialog yang seolah-olah menggurui. Anak didik diajak berpikir logis akan konsekuensi atas segala tindakan yang dilakukannya.
Rasulullah saw juga pernah menampakkan kemarahannya untuk menegur sahabat yang sedang berselisih seperti yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Kemarahan ini ditujukan kepada sahabat yang berselisih karena hal-hal yang tidak perlu diperselisihkan. Hal ini karena hanya akan membuang-buang waktu percuma. Meskipun demikian, Rasulullah tidak mengeluarkan kata-kata kotor sedikitpun. Orang tua dan guru boleh saja memarahi anak didik tetapi perlu diperhatikan juga adabnya. Jangan sampai ketika memarahi kita menggunakan kata-kata kotor atau kasar sehingga kemarahan yang ditampakkan adalah kemarahan yang mendidik, bukan kemarahan karena nafsu.
5.      Rasulullah saw mendengarkan pendapat para sahabat.
Alangkah baiknya jika setiap pendidik melibatkan anak didiknya dalam perencaan kegiatan belajarnya. Tentu tidak semua hal perlu didiskusikan dengan anak didik, tetapi sesekali anak didik perlu diajak berdiskusi untuk hal-hal yang bukan aturan baku. Anak didik akan merasa lebih dihargai pendapatnya dan terbiasa terlibat dalam menentukan hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan dirinya. Contoh misalnya jika akan melakukan studi tur, anak didik bisa dilibatkan dalam penentuan lokasi kunjungan, atau ketika akan melakukan kegiatan sosial, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
6.      Rasulullah saw memberikan pujian dan memberikan perhatian dengan memegang tangan atau bahu.
Pendidik sebaiknya memberikan pujian atas keberhasilan atau kemajuan yang dialami peserta didik. Tentu tidak perlu pujian berlebihan, salah satu contohnya seperti mendoakan kebaikan untuk anak didik sambil memegang dada atau bahu peserta didik seperti dalam hadist yang diriwayatkan Imam Muslim. Anak didik akan merasa dihargai atas segala usaha yang dilakukannya dalam kegiatan belajarnya, dan akan semakin menambah motivasinya untuk terus lebih baik.
7.      Rasulullah saw memilih momentum yang tepat dalam menyampaikan sesuatu
Banyak riwayat hadist yang menjelaskan tentang pemilihan Nabi saw akan momentum yang tepat dalam menyampaikan pengajaran. Momentum yang tepat akan menambah pemahaman dan tentunya akan sulit dilupakan oleh anak didik. Dalam mendidik anak, ada kalanya pendidik memanfaatkan momen yang tepat untuk mnjelaskan sesuatu. Misalnya dalam menjelaskan tentang kedudukan Masjidil Aqso dan Palestina dalam islam, akan sangat tepat momennya dijelaskan seperti saat Israel melakukan penyerangan terhadap Palestina seperti saat ini. Contoh lain misalnya memanfaatkan momen pergantian tahun hijriah untuk menjelaskan sejarah Hijrah yang dilakukan Nabi saw.
8.      Rasulullah saw selalu memberikan motivasi.
Dalam mendidik, seorang pendidik baiknya memberikan motivasi yang baik dalam pengajarannya. Hal ini agar anak didik lebih bersemangat dalam menuntut ilmu atau berbuat baik. Selain hadist yang menjelaskan keutamaan mengasuh anak yatim sebagai motivasi, masih banyak hadist-hadist lain yang menjelaskan keutamaan suatu amalan yang bisa digunakan untuk memotivasi anak didik. Contohnya hadist dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang mengajak manusia kepada petunjuk Allah, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)[33]
      Motivasi yang diberikan Nabi saw kepada para sahabat selalu berorientasi pada akhirat. Maka sangat baik mengikuti teladan Nabi yang telah dicontohkan. Orang tua bisa memotivasi anak dari semenjak pendidikan dini di rumah dengan motivasi akhirat. Guru melanjutkan memotivasi anak didik di sekolah. Motivasi yang baik tentu akan menghasilkan peserta didik yang baik pula.
9.      Rasulullah saw terbuka terhadap kritikan.
Kisah dalam Al-Habbab yang mengusulkan Nabi Muhammad saw untuk berpindah tempat saat perang Badr dan apa yang dilakukan Nabi saw menunjukkan bahwa seorang pemimpin besar pun mau menerima kritik. Nabi Muhammad saw bukan hanya seorang pemimpin perang, tapi juga seorang guru terbaik.
Dalam praktek pendidikan saat ini, kira-kira berapa banyak guru yang siap dikritik? Beberapa kejadian menunjukkan ketidaksiapan guru untuk dikritik. Seperti yang terjadi di Riau 2014 lalu, tiga orang siswa SMA dikeluarkan karena mengkritik guru yang terlambat tetapi tidak mendapat hukuman, berbeda jika murid yang terlambat.[34]
Sudah sewajarnya pendidik tidak anti terhadap kritikan. Di rumah, orang tua seharusnya terbuka dengan saran-saran dan kritikan anak jika memang anak benar. Di sekolah pun guru seharusnya menerima krtikan yang membangun dengan baik. Komisioner KPAI bidang pendidikan, Sutanto, mengatakan, guru tidak boleh bersikap superior. Guru juga harus mau menerima kritik dari para murid didiknya agar tercipta sekolah yang ramah anak.[35]Akan lebih baik jika sekolah membuat kotak saran untuk menampung aspirasi murid sehingga murid memiliki wadah yang sesuai untuk menyalurkan aspirasinya.
10.  Rasulullah saw adalah sosok yang perhatian kepada sahabat.
Jika para guru memberikan perhatian yang baik kepada para murid kedekatan dengan murid akan semakin terbentuk. Murid akan sangat menghormati guru. Memberikan perhatian banyak bentuknya, menjenguk saat ada murid yang sakit adalah salah satu contohnya.Guru yang dekat dengan murid akan lebih mudah dalam menyampaikan pelajaran. Bukan hanya soal pelajaran, tapi akhlak dan perilaku murid pun akan lebih mudah dibentuk.
Di rumah pun orang tua perlu memberikan perhatian yang cukup. Terutama bagi keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, maka setiap momen bersama anak harus selalu dimanfaatkan. Menyempatkan menelepon anak akan sangat baik dalam menunjukkan perhatian dan cinta kepada anak.






BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1  Kesimpulan
Nabi Muhammad saw adalah orang yang memiliki Akhlak yang baik. Akhlak beliau adalah Al-Quran sehingga Rasulullah menjadi panutan yang sangat layak untuk di contoh. Allah swt pun telah menjaminnya dalam surat Al-Ahzab ayat 21 dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah suri tauladan yang baik.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita meneladani beliau. Apalagi sebagai seorang pendidik, Rasulullah saw adalah role model yang sangat tepat. Beliau telah memberikan berbagai macam contoh metode yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Salah satu metode yang tidak bisa lepas, dan selalu akan terikat dengan pelakunya adalah keteladanan. Mengajar dengan metode apapun, tentu harus dilandasi dengan keteladanan, karena anak didik cenderung mencontoh perilaku pendidiknya, baik orang tua di rumah maupun guru di sekolah.
Beberapa contoh keteladanan yang dibahas dalam makalah ini dan dapat diteladani oleh para pendidik saat ini diantaranya:
1.      Selalu melakukan kebaikan atau meninggalkan keburukan terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain
2.      Selalu menepati janji
3.      Menegur dengan metode yang mendidik
4.      Mendengarkan pendapat anak didik
5.      Memberikan pujian dan memberikan perhatian dengan sentuhan
6.      Memilih momentum yang tepat dalam menyampaikan sesuatu
7.      Selalu memberikan motivasi
8.      Terbuka terhadap kritikan
9.      Perhatian kepada anak didik
10.  Mencintai anak didik

5.2  Saran
Makalah ini memuat beberapa keteladanan yang dicontohkan Rasulullah saw dalam mendidik para sahabat menjadi generasi terbaik ummat ini. Karena itu harapannya setiap pendidik mampu meenjadi teladan bagi anak didiknya dengan mengacu kepada Nabi Muhammad saw sebagai role model utama baik orang tua di rumah, maupun guru di sekolah.
Bagi institusi pendidikan sendiri, penanggung jawab tertinggi di suatu institusi baiknya menerapkan dan memonitor standar keteladanan dengan baik
























DAFTAR PUSTAKA

Abu Ghuddah, ‘Abdul Fattah, 40 Metode Pendidikan Pengajaran Rasulullah SAW, Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2009
Al-Bugha, Musthafa Dib, Syarah Riyadhush Shalihin Imam an-Nawawi, Jakarta: Gema Insani, 2012
Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press, 1999
Al-Faruq, Umar, Kisah-Kisah Mengharukan dalam Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, Surakarta: Al-Qudwah Publishing, 2013
Alim, Akhmad, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014
Hamka, Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Pustaka Islam, 1979
Ibn Ishaq, Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004
Kauma, Fuad, Air Mata Rasulullah, Jakarta: Gema Insani Press, 2009
Mahfuzh, M. Jamaluddin, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000
Quthb, Sayyid,Fi Zhilalil-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2004
Ulwan, Abdullah Nashih, Tarbiyatul Aulad, Jakarta: Khatulistiwa Press, 2015

Sumber Internet
http://news.detik.com/berita/2739375/keluarkan-3-siswa-karena-kritik-guru-di-fb-kepsek-status-itu-puncaknya, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 08.00



[1]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad, Jakarta: Khatulistiwa Press, 2015, h. 364
[2]Musthafa Dib al-Bugha, Syarah Riyadhush Shalihin Imam an-Nawawi, Jakarta: Gema Insani, 2012, jilid 1, h. 360
[3]Ibid, h. 361
[8]M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, h. 6
[9]Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, h. 92
[10]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, h. 22
[11] Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, h. 88
[12]Ibid, h. 89-90
[13] A. Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: Rosda, 2013, h. 43
[14]Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004, jilid 5, h. 120-121
[15]Ibid.
[16]Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, h. 95
[17]Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004, jilid 6, h. 461
[18]lihat Hamka, Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Pustaka Islam, 1979, jilid XXI, h. 263-266
[19]Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004, jilid 8, h. 251
[20]Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2004, jilid 12, h. 101
[21]Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press, 1999, h. 406
[22]Fuad Kauma, Air Mata Rasulullah, Jakarta: Gema Insani Press, 2009, h. 128
[23]‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, 40 Metode Pendidikan Pengajaran Rasulullah SAW, Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2009, h. 80-81
[24]Ibid, h. 113-114
[25]Ibid, h. 228
[26]Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press, 1999, h. 216
[27]Ibid, h. 276
[28]‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, 40 Metode Pendidikan Pengajaran Rasulullah SAW, Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2009, h. 169-170
[29]Ibid, h. 175
[30]Ibid, h. 135
[31]Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press, 1999, h. 191
[32]Umar al-Faruq, Kisah-Kisah Mengharukan dalam Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, Surakarta: Al-Qudwah Publishing, 2013, h. 83
[33]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad, Jakarta: Khatulistiwa Press, 2015, h.406
Categories: